Headlines News :
.
Home » » Teori Akal (Siti Ghoniyah-FAI Unisfat Demak)

Teori Akal (Siti Ghoniyah-FAI Unisfat Demak)

Written By Unknown on Selasa, 05 November 2013 | 21.42

akhmadrowi.blogspot

MAKALAH
TEORI AKAL
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. AKHMAD ROWI, M.H.




Disusun oleh :
Siti Ghoniyah




FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
            Dalam penyusunan makalah ini penulis mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kapada teman-teman yang telah memberikan motifasi belajar dan memberikan ilmunya kepada penyusun, sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan.
            Penulis mohon kepada teman-teman satu semester khususnya, dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah yang akan datang.

Wassalamualaikum Wr.Wb.


                                                                                                            Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.               Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah elat. Jika seseorang kehilangan akal maka elat-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima elati tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan  dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang elative, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui  akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat elative, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah.

B.   Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian akal  ?
2.    Apakah pengertian berfikir dan bernalar ?
3.    Apakah perbedaan bahasa dan pikiran?
3.    Apakah macam- macam berfikir?

C.  Tujuan
Dalam penulisan makalah ini pemakalah bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah dan semoga makalah bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Akal 
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
 Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut  kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql  mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani  yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql  sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8). 
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat  dalam pendapat mereka  tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti  Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan  daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti  pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang  membuat  seseorang dapat  membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas  moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat  dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT. [1]

B.     Berfikir dan Bernalar
Menurut Sudarminta sesungguhnya berfikir lebih luas dari sekedar bernalar. Bernalar adalah kegiatan pikiran untuk menarik kesimpulan dari premis – premis yang sebelumnya sudah diketahui. Bernalar ada tiga bentuk :
v  Induktif : proses penarikan kesimpulan yang berlaku umum ( universal ) dari rangkaian kejadian yang bersifat khusus ( particular ).
v  Deduktif : penarikan kesimpulan khusus berdasarkan hukum atau pernyataan yang berlaku umum.
v  Abduktif : penalaran yang terjadi dalam merumuskan suatu hipotesis berdasarkan kemungkinan adanya korelasi antara dua atau lebih peristiwa yang sebelumnya sudah diketahui.
Kegiatan bernalar merupakan aspek yang amat penting dalam berfikir. Akan tetapi, menyamakan berfikir dengan bernalar, seperti dikatakan Sudarminta, merupakan suatu penyempitan konsep berfikir. Penalaran adalah kegiatan berfikir seturut asas kelurusan berfikir atau sesuai dengan hukum logika. Penalaran sebagai kegiatan berfikir logis belum menjamin bahwa kesimpulan ditarik atau pengetahuan yang dihasilkan pasti benar. Dalam bernalar memang belum ada benar – salah. Yang ada adalah betul – keliru, sahih atau tak sahih.
C.    Bahasa dan Pikiran 
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah perkembangan ide dan konsep. Berfikir adalah suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah pada suatu tujuan. Kita berfikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang kita inginkan.
Ciri – ciri terutama dari berfikir adalah adanya abstraksi ( Purwanto, 1998:43). Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda – benda, kejadian – kejadian, situasi – situasi yang mula – mula dihadapi sebagai kenyataan.
Berfikir merupakan daya yang paling utama serta merupakan ciri yang khas yang membedakan manusia dan hewan. Manusia dapat berfikir karena manusia mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak. “ Bahasa” hewan adalah bahasa insting yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan, sedangkan bahasa manusia adalah hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan.
Dengan bahasa, manusia bisa memberi nama kepada segala sesuatu, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Senua benda, sifat, pekerjaan, dan lain – lain yang abstrak, diberi nama. Dengan begitu, segala sesuatu yang pernah diamati dan dialami dapat disimpan, menjadi tanggapan – tanggapan dan pengalaman – pengalaman, kemudian diolah ( berfikir ) menjadi pengertian – pengertian.
Dalam lapangan berfikir, Watson terkenal dengan teorinya bahwa berfikir pada hakikatnya adalah implicit behavior ( Dirgagunarsa, 1996 ). Berfikir haruslah merupakan suatu tingkah laku motoris. Anak – anak, bahkan orang dewasa, sering berfikir dengan bersuara. Berfikir dengan bersuara ini adalah untuk membisiki diri sendiri. Pada fase selanjutnya, berbicara terhadap diri sendiri ini menghilang dan diganti dengan gerakan – gerakan kecil pada lidah yang tidak dapat terlihat dari luar. Seorang anak belajar berbicara terhadap diri sendiri bukan hanya mengenai apa yang sedang dikerjakan, tetapi juga apa yang telah atau akan diperbuat. Oleh karenaitu, ia dapat mencapai bentuk berfikir pada orang dewasa.
D.    Macam – Macam Berfikir
Secara garis besar, ada dua macam berfikir, yaitu :
v  Berfikir Autistik : lebih tepatnya disebut dengan melamun, contoh : menghayal, fantasi, atau wishful thinking. Dengan berfikir seperti ini, seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar – gambar fantastis.
v  Berfikir Realistik : sering disebut reasoning ( nalar ), adalah berfikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L. Ruch ( 1967 ), sperti dikutip Rahmat ( 1994:69), menyebut tiga macam berfikir realistic :
Ø  Berfikir Deduktif : berlangsung dari yang umum menuju yang khusus. Berfikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan , yang pertama merupakan pernyataan umum, dalam logika, disebut dengan silogisme.
Ø  Berfikir Induktif : adalah proses berfikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan ( inferensi ). Berfikir induktif ialah menarik kesimpulan umum dari berbagai kejadian ( data ) yang ada disekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses berfikirnya adalah sintesis. Tingkatan berfikirnya adalah induktif. Pada hakikatnya,, semua pengetahuan yang dimiliki manusia berasal dari proses pengamatan ( observasi ) terhadap data.
Ø  Berfikir Evaluatif :ialah berfikir kritis, menilai baik – buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berfikir evaluative, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut criteria tertentu ( Rahmat, 1994 ). Perlu diingat bahwa jalannya berfikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam factor, antara lain yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tersebut, situasi yang tengah dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman – pengalaman orang tersebut, serta bagaimana intelegensi orang itu.  








BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir).
                        Pada hakikatnya berikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan antara manusia dan mahkluk lain. berfikir juga berarti berjerih – payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi.
                        Berfikir lebih luas dari sekedar bernalar. berfikir merupakan daya yang paling utama serta merupakan ciri yang khas yang membedakan manusia dan hewan. Manusia dapat berfikir karena manusia mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak.
                          Macam – macam berpikir diantaranya berfikir autistic dan berfikir realistic. Dan berfikir realistis yaitu dengan berfikir deduktif, induktif, evauatif.



Daftar Pustaka

1 http://www.referensimakalah.com/2012/11/akal-sebagai-sumber-pengetahuan.html
2 http://viecenut.blogspot.com/2012/06/teori-berfikir.html






[1] http://www.referensimakalah.com/2012/11/akal-sebagai-sumber-pengetahuan.html
[2] http://viecenut.blogspot.com/2012/06/teori-berfikir.html
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok