MAKALAH
MODERNISASI MUSLIM INDONESIA DI ERA GLOBALISASI:
BENTURAN ANTARA PERADABAN HUTINGTON HINGGA SEKULERISASI NURCHOLIS MAJID
Makalahinidisusununtukmemenuhitugasperkuliahan
Mata
kuliah :SejarahPeradaban Islam
Dosenpengampu
: Drs. H. AkhmadRowi, MH
DisusunOleh :
Putri Febriana Puspitasari
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Alhamdulillah
segalapujibagi Allah SWT yang telahmemuliakanmanusiadenganilmudanamal, dan yang
menciptakanmanusiadengansebaik-sebaikciptaan di
seluruhalam.dansenantiasamelimpahkannikmat, rahmat,
danhidayah-Nyasehinggapenulisdapatmenyelesaikanmakalah yang penulisbuat.
SholawatsertasalamselalutercurahkankepadaNabi
Muhammad SAW, yang menjadipanutanumat Islam. dan yang
telahmembebaskankitadarizamankegelapanmenujuzamanterang-benderang.
semogakitaselalumenjadiumatnyadanmendapatsyafaatnya di yaumulakhirnanti. Amin.
Dalampenulisanmakalah
yang bertema“Modernisasi
Muslim Indonesia di era Globalisai: Benturan antara Peradaban Hutington hingga
sekulerisasi Nurcholis Majid” ini penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga penulis dapat
memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah Psikologi Agama, yang di ampu oleh dosen
pengampu Bapak Drs. H. Akhmad Rowi, MH.
Akhir kata penulis mohon
maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan hati pembaca dan penulis mohon maaf
karena penulis merasa bahwa makalah ini jauh dari sempurna.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Penulis
Putri Febriana Puspitasari
BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Pasca serangan 9/11 terhadap World Trade Centre dan Pentagon
tahun 2001, serta aksi-aksi terorisme selanjutnya di Eropa, telah
memporak-porandakan sendi kehidupan banyak orang. Sebagian orang menyebutnya
sebagai ancaman Islam yang kini ada di dalam maupun di luar negeri. Dampak
serangan tersebut telah memunculkan beberapa pertanyaan terkait agama Islam dan
Muslim.
Peristiwa 9/11 juga menimbulkan
serangan teroris selanjutnya di negera-negara
Muslim dan di Madrid serta London. Citra negatif tersebut diperburuk
dengan menguatnya Islomofobia yang hampir tumbuh secara eksponensial. Islam dan
Muslim dianggap bersalah sebelum terbukti bersalah. Agama Islam lebih dianggap
sebagai penyebab, ketimbang konteks bagi radikalisme, ektrimisme dan terorisme.
Salah satu isu dalam hubungan antara
masyarakat Islam dan Barat adalah dampak yang dirasakan dari sistem nilai Barat
pada sistem nilai lokal dalam masyarakat yang didominasi Islam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa di semua negara yang disurvei, responden melihat
nilai-nilai Barat memiliki efek negatif pada nilai-nilai lokal. Dalam empat
negara, Jordan, Pakistan, Arab Saudi, dan Lebanon, respon yang paling umum
tunggal untuk pertanyaan tentang "dampak budaya Barat" adalah pilihan
pada skala yang menunjukkan bahwa efek dari nilai Barat telah "sangat
negatif" pada sistem nilai masyarakat mereka.
Keyakinan banyak orang Barat bahwa
Muslim tidak terbuka terhadap gagasan lain mungkin berasal dari pemikiran yang
ramai dipublikasikan bahwa anti-Amerikanisme sama dengan kebencian terhadap
nilai-nilai dan budaya Barat. Akan tetapi respon kaum Muslim terhadap banyak
pertanyaan terbuka menunjukkan fakta berbeda. Kebencian di kalangan Muslim di Timur
Tengah dan Afrika Utara sebagiannya berasal dari kenyataan bahwa meski
mengagumi kemajuan ilmiah dan teknologi Barat, serta Demokrasinya, sedikit yang
percaya Barat bersedia mengizinkan mereka mendapatkan manfaat yang sama.
Perdebatan antara Islam dan Barat
mengenai isu ekonomi, politik, sosial dan budaya, masih menjadi perdebatan yang
hangat hingga saat ini. Saling klaim atas keberhasilan dan kegagalan
masing-masing pihak menjadi diskursus yang panjang dan melelahkan. Sehingga
rentetan peristiwa yang terjadi didalam Dunia Islam dan Barat merupakan
indikasi dari belum membaiknya hubungan antara Barat dan Islam.
Islam sebagai agama yang dianut
mayoritas masyarakat Indonesia dan Indonesia sebagai negara yang berpenduduk
Muslim terbesar di dunia,memang seharusnya dapat memberikan sahamnya secara
lebih riil karena sebagaimana diungkapkan oleh Weber bahwa agama memiliki
kekuatan untuk membantu menyingkap makna dunia. Oleh karena itu, dalam konteks
Islam, diperlukan pemikiran dan pergerakan yang dimotori oleh para intelektual
aktivis Islam untuk meletakkan basis-basis kesadaran baru bagi masyarakat agar
mampu menjawab tantangan modernitas dan globalisasi yang melingkupinya.
Globalisasi memaksa umat Islam mencari
solusi alternatif untuk mempertahankan ideologinya. Modernisasi tak dapat di
elakkan dan umat Islam Indonesia sebagai bagian dari peradaban dunia, harus
mencari metode yang solutif dalam menghadapi arus globalisasi. Islamophobia
pasca 9/11, merupakan moment yang tepat bagi Muslim Indonesia untuk meletakkan
dasar pemahaman keagamaan yang modern, demi mengangkat kembali citra negatif
terhadap Islam dan berbagai isu besar yang kerap di justifikasi oleh Barat
terhadap Islam, seperti isu demokrasi, hak asasi manusia, ekonomi Islam dan
lainnya. Konsep “sekulerisasi” yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid merupakan
salah satu ide cemerlang, dalam membangun kemajuan Islam di masa depan.
B.RumusanMasalah
Dalammakalahiniakandibahasbeberapapokokpersoalansebagaiberikut
:
1. BagaimanaDinamika
Peradaban Dunia Islam dan Barat?
2. BagaimanaHubungan Dunia Muslim dan Barat?
3. BagaimanaMuslim di Era
Globalisasi?
4.Bagaimana Konsep Nurcholish Madjid tentang Moderasi Islam Indonesia dan Tantangan
Globalisasi?
C.
TujuanPenulisan
Makalahinidisusundalamrangkamerefleksikembalisejarahislam yang telahlalu,
sebagaicerminpertimbanganuntukmasamendatang. SekaligusjugauntukmemenuhitugasperkuliahanmatakuliahSejarahPeradaban
Islam.
BAB II
Pembahasan
1.
Dinamika
Peradaban Dunia Islam dan Barat
Peradaban merupakan entitas budaya.
Desa-desa, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, bangsa, agama, semua
memiliki budaya yang berlainan. Peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi
dari sekelompok orang dan identitas budaya paling luas yang dimiliki oleh
orang-orang yang membedakan manusia dari makhluk lain. Ia teridentifikasi baik
lewat unsur-unsur objektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan,
institusi maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.
Menurut hipotesis deskriptif Samuel P.
Hutington, dalam perjalanan peradaban
dunia, garis pemisah antarperadaban menggantikan batas-batas ideologi dan
politik Perang Dingin sebagai pemicu munculnya krisis dan pertumpahan darah.
Perang Dingin mulai ketika tirai besi memisahkan Eropa secara politis dan
ideologis, sehingga memunculkan pembagian budaya Eropa antara Kristen Barat di
satu sisi dan Kristen Ortodoks dan Islam di sisi lain muncul kembali.
Setelah perang dunia II, Barat justru
mundur, kekaisaran kolonial hilang, nasionalisme Arab awal dan kemudian
fundamentalisme Islam muncul. Barat mulai bergantung pada negara-negara Teluk
Persia untuk sumber energi, negara-negara Muslim kayapun berlimpah uang.
Invansi dan imprialisme negara-negara Eropa terhadap dunia Muslim terlihat
ketika Perancis menggelar perang yang amat berdarah dan kejam di Aljazair
sepanjang 1950-an, pasukan Inggris dan Perancis melakukan invasi ke Mesir pada
1956, pasukan bersenjata Amerika memasuki Libanon pada 1958 dan kembali lagi ke
Libanon, menyerang Libia, dan terlibat pertempuran dengan Iran, kaum teroris
Arab dan Islam.
Perang antara Arab dan Barat ini
memuncuk pada 1990, ketika Amerika Serikat mengirimkan pasukan dalam jumlah
yang besar ke Teluk Persia untuk membantu mempertahankan beberapa negara Arab
dari agresi yang dilancarkan oleh negara tetangganya.Di dunia Arab, demokrasi
yang di anut dan di agung-agungkan oleh Barat ternyata memperkuat kekuatan
politik anti Barat dan semakin memperumit hubungan antara negara-negara Islam dan
Barat secara politis.
Sejak berakhirnya Perang Dingin
tersebut pula, fundamentalis agama Islam dianggap sebagai salah satu ancaman
terbesar bagi demokrasi liberal. Serangan al-Qaeda pada 11 September 2001
memberikan kesimpulan atas perdebatan yang mengemuka setelah keruntuhan tembok
Berlin mengenai ancaman baru bagi perdamaian dan keamanan dunia. Media
terkemuka seperti Economist, Atlantic
Monthly, Time dan Foreign Affairs, menampilkan beberapa pendapat politisi
seperti Jacques Chirac, Helmut Kohl, Daniel Quayle dan Yitzhak Rabin bahwa
mereka memperingatkan akan “bahaya hijau” akan menggantikan “ancaman merah”
komunisme sebagai tantangan bagi peradaban Barat.
Anggapan bahwa dunia Muslim dapat
merangkul begitu banyak perspektif yang berbeda menunjukkan betapa amat
simplistik pandangan yang menduga tak terelakkan perbenturan antara Islam dan
Barat. Pandangan ini, yang populer di kalangan mantan perwiran Perang Dingin
yang mencari musuh baru untuk membenarkan anggaran dan imperium industri
militer mereka yang besar, telah memperoleh dukungan akademik dengan terbitnya
artikel panjang, seperti tulisan Samuel P. Hutington di Foreign Affairs tahun 1993.
Perang Salib selama dua abad merupakan
salah satu tonggak penting dalam proses interaksi dalam proses interaksi antara
peradaban Islam dengan Barat (Kristen). Dengan terjadinya perang itu mulai
terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkantilisme dan proses pertukaran budaya,
meski tidak seimbang antara kedua peradaban.
Namun disisi lain, Perang Salib
mempertajam rasa takut dan jiwa permusuhan terhadap Islam dan orang-orang
Muslim. Perang Salib ini telah menyerang orang-orang Eropa dengan guncangan
ilmu pengetahuan yang hebat dan dasyat, karena dengan terjadinya Perang Salib,
bangsa Eropa meyakini bahwa orang-orang yang mendiami tanah Syam (Muslim),
merupakan bangsa yang berperadaban besar dan maju, bahkan mereka mengungguli
peradaban Kristen-eropa dalam segala aspek dan segala bidang kehidupan.
Perdebatan intelektual sebelum
peristiwa 11 September 2001, seperti tesis Fukuyama tentang “Akhir Sejarah”,
sebuah argumentasi pertarungan antara “Jihad vs McWorld”, prediksi Robert
Kaplan tentang “anarki yang akan datang”, Samuel Hutington mengenai “benturan
antar peradaban”,memperkuat argumentasi dan gagasan bahwa Islam dan peradabannya
tidak cocok dengan gagasan kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, keadilan
gender dan lainnya.
Perselisihan-perselisihan yang paling
penting menurut Hutington, akan terjadi sepanjang garis kebudayaan yang
memisahkan Barat dari peradaban-peradaban non-Barat. Ia memprediksi bahwa
perang dunia berikutnya adalah sebuah perang antar peradaban. Tesis tersebut
juga diperkuat dengan fakta bahwa Amerika secara militer telah memerangi yang
mereka anggap teroris di bagian Iran dan bagian dunia Arab lainnya dan mencapai
puncaknya ketika Perang Teluk, antara Irak dengan Kuwait dan Barat mendukung
sepenuhnya keberpihakkan Arab Saudi.
Pendapat yang senada dengan Hutington
adalah sebuah artikel yang diterbitkan oleh majalah Cross Currents edisi Vol.51, No.4 pada tahun 2002, yang ditulis
oleh Jack Miles,dengan judul Theology and
The Clash of Civilizations. Dia berpendapat bahwa ada tiga “mazhab”
peradaban yang mempunyai kemungkinan berbenturan. Pertama, the western civilization yang tentu saja diwakili oleh negara adikuasa
Amerika. Kedua, the eastern civilization
yang personifikasikan dengan dua negara, Jepang dan Cina. Ketiga, the Islamic Civilization yang disebut
Jack Miles dengan da>r al-Isla>m.
Pada mazhab pertama dan kedua, benturan
peradaban bisa diminimalkan sampai titik terendah. Barat tidak akan berbenturan
dengan Timur yang diwakili oleh dua mainstream
besar, Jepang dan Cina. kepentingan peradaban Jepang sudah terakomodasi dalam
perjalanan zaman dan Cina pun sudah menunjukkan indikasi tidak memunculkan resistensi
terhadap western civilization, dengan
indikasi pengadaan Olimpiade di Beijing.
Satu-satunya kemungkinan terjadinya clash datang dari perdabana Islam yang
menurut Jack Miles disebut dengan peradaban yang menggariskan garis berdarah
yang panjang dalam peradaban dunia dan inilah yang melahirkan peperangan antara
komunitas Muslim dan non Muslim, seperti konflik yang terjadi di Mindanao,
yaitu Katolik Roma dengan Muslim Mindanao, Katolik Roma dengan Muslim di Timor
Leste Indonesia, pengikut ajaran Confucius dan penganut Budha dengan Muslim di
Singapura dan Malaysia, Hindu dengan Muslim Kasmir dan Minoritas Muslim di
India, Katolik Ortodoks Rusia dengan Muslim di Afganistan, katolik Ortodoks
Rusia dengan Muslim di Chechnya, Katolik Armenia dengan Muslim di Nagorno,
Katolik Maronit dan Mekhit dengan Muslim di Lebanon dan koflik lainnya.
Para kritikus menentang gagasan tentang
suatu budaya Islam yang tunggal dan menunjuk berbagai perbedaan subtansial yang
ditemukan di antara masyarakat Muslim di berbagai negara seperti, Pakistan,
Yordania, Azerbaijan, Indonesia, Bangladesh dan Turki. Terdapat pula perbedaan
di antara umat Islam yang radikal atau moderat, tradisional atau modern,
konservatif atau liberal, garis keras atau revisionis.
Peristiwa 11 September 2001, menurut mereka disebabkan oleh
keyakinan-keyakinan ideologis ekstrem yang diyakini oleh kelompok-kelompok
al-Qaeda dan kalangan fundamentalis Taliban, bukan opini publik Muslim pada
umumnya. Seperti halnya merupakan kesalahan jika memahami pengeboman Kota
Oklahoma 1995 sebagai serangan kolektif terhadap pemerintah federal yang
dilakukan oleh kaum fundamentalis Kristen, bukan ulah dari individu-individu.
2.
Hubungan Dunia
Muslim dan Barat
Maxime Rodinson, seorang cendikiawan
Perancis menyatakan bahwa umat Kristen di Barat mempersepsi dunia Muslim
sebagai bahaya, jauh sebelum Islam dilihat sebagai masalah nyata. Sejahrawan
Inggris Albert Haourani senada dengan pernyataan Rodinson. Dia mengatakan bahwa
kemunculan Islam merupakan maslah bagi Eropa-Kristen. Bangsa Kristen tdak
menerima kenabian Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya, Allah bukanlah
Tuhan dan Islam hanya karangan orang-orang yang berwatak dan berniat buruk dan
didukung oleh kekuatan pedang.
Hubungan antara kaum Muslim dan Non
Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh dengan ketegangan, yang
dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang menimbulkan kerugian
Kristen dengan kulminasinya berupa pembebasan konstatinopel, kemudian Perang
Salib, lalu berbalik, berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat
imperalis-kolonialis atas Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan.
Interaksi berabad-abad telah menoreh
catatan buruk antara Islam dan Barat yang beragama Kristen. mereka sama-sama
mengklaim sebuah misi dan pesan universal dan mewarisi budaya Yahudi-Kristen
dan Yunani-Romawi. Bandul hubungan Barat dan Muslim telah berayun di antara
rivalitas, konfrontasi dan kolaborasi, walaupun konflik yang timbul dari
faktor-faktor budaya, religius dan ideologis ini telah menjadi norma, politik
riil dan kepentingan antar negara juga membentuk hubungan antar kedua
peradaban.
Secara historis, kekuatan-kekuatan
Barat merasa nyaman bersekutu dengan Muslim melawan sesama kekuatan Kristen.
Sepanjang abad ke-19, Perancis, Inggris dan Jerman bersatu dengan bangsa Muslim
Ottoman melawan musuh-musuh Eropa mereka. Lain halnya dengan Amerika, yang tak
terlibat dalam hubungan panjang dan berdarah dengan negara-negara maupun
masyarakat Muslim. Amerika tidak pernah secara langsung menguasai tanah Arab
dan Muslim ataupun membentuk sistem rumit penjajahan yang dulakukan Eropa.
Bahkan pada awal abad ke-20, Amerika membuka hubungan yang santun dan dinamis
dengan dunia Arab dan Muslim.
Setelah menjadi negara adikuasa,
Amerika lebih terhambat oleh faktor-faktor kolonial, historis dan budaya
dibanding dengan negara-negara Eropa. Kontrol politik dan ekonomi lebih
mendorong washington untuk mengambil kebijakan lebih dekat dengan Timur dekat.
Ameria tidak terganggu dengan munculnya komunitas imigran di negara mereka,
walaupun tantangan religius dan intelektual Islam terus mewarnai imajinasi
banyak warga amerika, lebih disebabkabkan dampak dari pertahanan dan keamanan
serta strategi dari politik massa islam, bukan isu religius dan intelektual.
Kebanyakan kaum Muslimin yang menetap
di negara-negara Barat dewasa ini merupakan keturunan orang-orang Arab-Islam
yang hijrah ke sana setelah berakhirnya Perang Dunia ke dua, yang kemudian
memutuskan untuk terus tinggal di negara tersebut. Jumlah mereka bertambah seiring
dengan banyaknya peduduk pribumi (Barat) yang memutuskan memeluk agama Islam.
Pada mulanya negara-negara Barat tak
pernah memikirkan kemungkinan keberadaan Islam di Barat. Setelah berakhirnya
perang dunia kedua, negara-negara tersebut membutuhkan tenaga-tenaga kerja
untuk melakukan pembangunan kembali puing-puing yang diakibatkan oleh perang,
seperti negaraInggris, Perancis dan Jerman. Namun ketika para urban ini semakin
memperoleh posisi yang layak dinegara-negara Barat, maka terjadilah gesekan
antara masyarakat Barat dengan warga urban Muslim.
Pada saat ini, kebebasan Barat
memungkinkan para pemuka agama, intelektual dan aktivis Islam menjadi suara
utama demi perubahan religius, sosial dan politik. Tulisan dan khutbah banyak
yang memuat tentang pentingnya penafsiran ulang dan pembaruan, dengan memberi
penghargaan terhadap hak dan peran kaum perempuan, pluralisme dan toleransi
beragama, walaupun sebagian ulama menurut Ingrid Mattson belum bisa memberi
solusi terhadap semua perubahan.
Sebuah survey yang dilakukan Pew
Research Institute yang di-release belum lama ini, melibatkan 14.030 orang
(Muslim dan Non Muslim) dilaksanakan di 15 negara; Amerika Serikat, China,
Inggris, India, Indonesia, Jepang, Jerman, Mesir, Nigeria, Pakistan, Perancis,
Rusia, Spanyol, Turki dan Yordania, menghasilkan beberapa temuan yang
menggambarkan bahwa hubungan antara Muslim dan Barat belum menunjukkan
perbaikan yang berarti, yang ditandai dengan mispersepsi, prasangka timbal
balik. Hubungan kedua belah pihak tetap ‘buruk’ (bad) tetapi jelas tidak kian
‘memburuk’ (worse), karena tidak ada peristiwa internasional luar biasa dalam
setahun terakhir yang menyebabkan terjadinya peningkatan permusuhan di antara
kedua belah pihak.
Pada level pertama, survey tersebut
menyimpulkan, orang-orang Barat dan Muslim umumnya memiliki pandangan yang
bertolak belakang tentang peristowa-peristiwa besar pada tingkat internasional.
Kedua belah pihak umumnya menganggap satu sama lain suka pada kekerasan, tidak
toleran dan kurang menghargai perempuan.
Kaum Muslim di Timur Tengah dan Asia
menganggap orang-orang Barat sebagai immoral dan mementingkan diri sendiri
(selfish), sementara orang-orang Barat menganggap kaum Muslim fanatik. Beberapa
temuan poko lain adalah; pertama, sentimen
anti-yahudi tetap tinggi di negara-negara Muslim dan di kalangan kaum Muslim di
Jerman, Inggris dan Spanyol. Tetapi 71% kaum Muslim Perancis memiliki pandangan
positif terhadap Yahudi. Kedua, mayoritas
Muslim menyatakan, kemengan Hamas di Palestina membantu penyelesaian yang adil
antara Israel dan Palestina.
Pendapat ini secara solid ditolak orang-orang
Barat. Ketiga, mayoritas Muslim dalam
kasus kontroversi kartun Nabi Muhammad belum lama ini memandang Barat tidak
menghargai Islam. Sedangkan pihak Barat menganggap hal itu sebagai bukti sikap
tidak toleran kaum Muslim. Keempat, orang-orang
Spanyol dan Jerman, memiliki sikap antagonis lebih besar terhadap kaum Muslim.
Sebaliknya mayoritas orang Inggris dan Perancis memiliki pandangan lebih
positif terhadap kaum Muslim. Kelima, kaum
Muslim Eropa lebih cenderung memiliki pandangan positif terhadap orang-orang
Eropa dan mereka juga cenderung melihat bahwa ketegangan antara Dunia Muslim
dan Barat bukanlah ‘benturan peradaban’ (clash of civilizations).[1]
3.
Muslim di Era
Globalisasi
Globalisasi bagi sebagian umat Islam
dianggap sebagai faktor yang dapat menghancurkan nilai-nilai luhur agama dan
identitas umat Islam dari pengaruh negatif berbagai pemikiran dan aliran baru,
baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun
dari Barat. Kedua kelompok tersebut sering terlibat dalam debat dan
perselisihan panjang yang kadang menghabiskan waktu dan energi. Seperti,
perdebatan mengenai sikap terhadap peradaban Barat atau sikap orientalisme di
Barat, globalisasi saat ini dan isu kontemporer lainnya.
Dalam bidang ekonomi, ajaran Islam
menekankan penting pemenuhan terhadap kebutuhan materil guna meningkatkan
kesejahteraan hidupnya sehingga dapat menjalankan agamanya secara kaffah. Meskipun dunia Muslim memiliki
manifestasinya sendiri tentang materialisme dan hedonisme, namun konsep manusia
ekonomi rasional dalam pengertian sosial-Darwinis, utilitarian dan materialis
dalam kaitannya dengan pemenuhan kepentingan diri sendiri dan maksimalisasi
kekayaan dan pemenuhan kebutuhan tidak mendapatkan perhatian intelektual sama
sekali. Sekalipun keseimbangan antara aspek materiil dan spritual pada umumnya
dapat dipertahankan dalam inti pemikiran Islam, namun terdapat juga
penyimpangan-penyimpangan. Kaum sufi menekankan kepuasan spritual dan
mengabaikan kemakmuran materiil karena memandang bahwa kekayaan memiliki
kecenderungan mendorong arogansi dan berbuat salah.
Dalam bidang politik, umat Islam
dihadapkan dengan isu-isu penting, seperti demokrasi, hak asasi manusia dan
pluralisme politik. Sistem demokrasi adalah sistem yang memungkinkan masyarakat
untuk menuntut diterapkannya prinsip-prinsip keadilan. Fungsi normatif utama
dari tatanan politik yang demokratis adalah menjamin dan melindungi wilayah
kebebasan individu, yakni menjamin hak individu untuk menjalani hak individu
untuk menjalani kehidupan menurut pilihannya masing-masing.
Samuel P. Hutington, salah seorang Guru
Besar ilmu politik di Harvard University menganggap bahwa demokrasi adalah
peradaban Barat dan meragukan jika konsolidasi demokrasi bisa terjadi di
peradaban non-Barat. secara khusus ia menyebut kriteria sikap, kepercayaan pada
aturan hukum dan komitmen terhadap individualisme, di samping pemisahan antara
gereja dan negara, pengalaman dengan lembaga representatif dan pluralisme
sosial. Kriteria budaya demokrasi tersebut diyakini hanya dapat dihasilkan oleh
peradaban Barat dan tidak oleh yang lain.
Hutington juga meragukan demokrasi
dalam Islam karena menurutnya ketidakmungkinan demokrasi dalam masyarakat
Muslim berakar sangat kuat dalam budaya dan tradisi politik Islam. Islam
memiliki sistem politik komprehensif yang sudah teruji dalam sejarah panjang
masyarakat Muslim. Menurut Bernard Lewis, sistem ini bukanlah demokrasi dan
didalamnya tidak ditemukan unsur demokrasi yang signifikan. Keyakinan terhadap syariah, sistem hukum yang mengatur
semua aspek kehidupan kaum Muslim, boleh jadi merupakan inti sistem politik
Islam yang membedakan dengan sistem politik lain seperti demokrasi.
Antara Hutington dan Lewis memiliki
pemahaman yang baik tentang watak dan tradisi politik Islam, hingga tradisi itu
mendominasi dunia Islam hingga saat ini. Pendapat mereka tentang sekulerisme di
satu sisi ada benarnya karena di beberapa negara Islam, sistem yang mereka anut
ternyata gagal dalam pelaksanaannya. seperti rezim Imam Komeini pada saat
memimpin Republik Islam Iran, Taliban di Afganistan. Kelompok-kelompok
“Islamis” yang aktif saat ini, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’ati
Islami di Pakistan, FIS di Aljazair, Hizb at-Tahrir di Palestina, Darul Islam
dan Majelis Mujahidin di Indonesia juga memperkuat pandangan mereka.
Namun di sisi lain, argumen mengenai
sikap politik kaum Muslim diatas, tidak dapat di generalisasi empiris seperti
tesisnya Hutington dan Lewis terhadap sikap kaum Muslim di seluruh dunia. Untuk
menemukan jawaban terhadap masalah tersebut, dibutuhkan observasi sistematis
tentang relegiusitas kaum Muslim, orientasi politik dan orientasi kaum Muslim
terhadap budaya demokrasi.
Barat menganggap ajaran Islam tidak
menghormati hak asasi manusia, seperti hukum potong tangan bagi pencuri, cambuk
atau rajam bagi pelaku zina dan lainnya. Dr. Muhammad ’Abid Jabiri berpendapat
bahwa potong tangan bagi pelaku pencurian bukannya tidak menghormati hak asasi
manusia, namun lebih disebabkan karena maqa>sid
syari>ah (tujuan umum syariat) dan landasan kemaslahatan (kebaikan) yang
merupakan tujuan final dari syariat dan itu adalah “dasar dari segala dasar”.
Salah satu norma yang pelanggarannya dapat dijatuhi hukuman rajam dalam hukum
pidana Islam adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah (zina
muhsan) atau adultery. Sedangkan bagi
pezina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) atau fornication tidak dijatuhi hukuman rajam, melainkan dengan hukuman jilid (cambuk) sebanyak seratus kali.
Diluar zina muhsan tadi tidak ada
hukuman rajam. Menurut Muhammad Iqbal Siddiqi, kritik-kritik Barat yang
dilancarkan terhadap hukuman perzinaan bukan semata-mata karena tidak suka
terhadap ide hukuman fisik, tetapi lebih pada perasaan moral (moral sense)
mereka belum terbangun seutuhnya.
Bagi Maududi, seorang pemikir Islam,
berpendapat bahwa dalam pandangan Islam, manusia memiliki hak-hak dasar yang
melekat dalam dirinya, misalnya hak untuk hidup, hak atas keselamatan hidup,
hak untuk memperoleh kehormatan kesuciannya bagi kaum perempuan, hak untuk
memperoleh kebutuhan hidup pokok, hak individu atas kebebasan, hak atas
keadilan, kesamaan yang paling utama diantara hak-hak dasar adalah hak untuk
hidup.
Umat Islam pada skala global tidak
punya sikap dan bahasa yang sama menghadapi isu demokrasi dan hak-hak asasi
manusia. Menurut Khaled Abou el Fadl, ada dua kelompok yang menyikapi persoalan
demokrasi, yaitu puritan dan moderat. Kelompok puritan bersikap anti terhadap
semua sistem Barat, khususnya demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi menikmati
hasil teknologinya.
Di antara doktrin yang mengikat mereka
adalah doktrin taat kepada pemimpin, hampir tanpa reserve. Karena itu, ada yang menggolongkan mereka sebagai faksi
totalitarian dengan payung syariah. Pada kutub lain, kelompok moderat juga
mengatakan berpedoman kepada kitab suci (al-Qura>n), namun tidak merisaukan
apakah gagasan demokrasi dan hak asasi manusia itu berasal dari Baratatau
Timur, bagi kelompok ini selama demokrasi dan hak asasi manusia dapat menjamin
tegaknya keadilan, perdamaian, moralitas dan hubungan baik sesama manusia,
tidak ada alasan untuk menolaknya. Kelompok moderat berupaya menafsirkan
kembali konsep konsensus (ijma) untuk
mendukung gagasan demokrasi berdasarkan keinginan mayoritas rakyat.[2]
4.
Konsep
Nurcholish Madjid tentang Moderasi Islam Indonesia dan Tantangan Globalisasi
Revolusi Amerika dan perancis
menyediakan landasan institusional politik modernitas berupa; demokrasi
konstitusional, kekuasaan berdasarkan hukum dan prinsip kedaulatan
negara-bangsa. Revolusi industri Inggris menyediakan landasan ekonomi berupa
produksi industri oleh tenaga kerja bebas di kawasan urban, yang menyebabkan
industrialisme dan urbanisme menjadi gaya hidup dan kapitalisme menjadi bentuk
distribusi baru.
Menurut Kumar, modernitas memiliki
ciri-ciri sebagai berikut; pertama,
individualisme. Individu terbebas dari posisitergantikan, bebas dari
tekanan ikatan kelompok, bebas berpindah ke kelompok yang di inginkannya, bebas
memilih keanggotaan kesatuan sosial yang d
inginkannya, bebas menentukan dan bertanggungjawab sendiri atas
kesuksesan maupun kegagalan tindakannya sendiri. Kedua, diferensiasi. Dengan muncul sejumlah besar spesialisasi,
penyempitan definisi pekerjaan dan profesi, akan memerlukan keragaman
keterampilan, kecakapan dan latihan. Ketiga,
rasionalitas. Berfungsinya institusi
dan organisasi tidak tergantung pada seseorang. Keempat, ekonomisme. Seluruh aspek kehidupan sosial di dominasi
oleh aktifitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi dan prestasi ekonomi
dan kelima, perkembangan. Modernitas
cenderung memperluas jangkauannya terutama ruangnya dan inilah yang dimaksud
proses globalisasi, seperti yang dikatakan Giddens: “Modernitas adalah Globalisasi”.
Bagi masyarakat Islam, modernitas dan
modernisasi bukan saja membawa pengaruh bagi posisi kesejarahan selanjutnya di
Indonesia, tetapi juga menentukan relevansinya bagi menjadi Indonesia di masa
depan. Munculnya gerakan-gerakan reformasi Islam, tak lain adalah salah satu
ekspansi kesadaran akan ketertinggalan umat di dunia yang sedang berubah.
Masyarakat Islam di Indonesia
menghadapi dua permasalahan pokok pada saat modernisasi mulai dicanangkan.
Persoalan pertama adalah masih belum berhasilnya komunitas Islam dan
pimpinannya mengatasi persoalan-persoalan internal sehingga mampu berkosentrasi
penuh menghadapi perubahan. Persoalan kedua, penetrasi yang kuat dari luar,
terutama negara yang semakin dominan, yang gilirannya mempengaruhi keterlibatan
Islam di dalam modernisasi yang sedang berlangsung. Akibatnya, muncul kesan
seolah-olah Islam dan modernisasi merupakan dua hal yang berlawanan atau incompatible.
Sosiologi biasanya menunjukkan sejumlah
fenomena baru yang muncul dalam masyarakat modern. Fenomena yang muncul dalam
bidang kultur salah satunya adalah “Sekulerisasi”. Merosotnya arti penting keyakinan
agama, kekuatan gaib, nilai dan norma dan digantikan oleh gagasan dan aturan
yang disahkan oleh argumen dan pertimbangan “duniawi”.
Menurut Nurcholish Madjid, sekulerisasi
mempunyai kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur
pembebasan. Sekulerisasi berarti terlepasnya dunia dari pengertian religius dan
desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legitimasi
sakral. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan harus melahirkan
“desakralisasi” pandangan terhadap semua
selain Tuhan, sebab sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan hakikatnya
adalah syirik.
Pemahaman kaum Muslim atas
prinsip-prinsip ajaran yang terkandung dalam al-Quran senantiasa berkembang
akibat perkembangan zaman yang selalu memberikan masukan baru kepada alam
pikiran manusia dan pemahaman yang berkembang itu tidak seluruhnya benar dan
tepat, bahkan terkesan vulgar, kasar, sehingga justru mendangkalkan penegrtian
agama itu sendiri. Paham-paham apologetis yang muncul di kalangan umat untuk
membela Islam dalam menghadapi invasi peradaban modern Barat, sebagai contoh
pendangkalan. Sikap apologi atau apologetis, kerap menunjukkan gejala rasa
rendah diri. Karena itu, menurutnya setiap pikiran apologetis pada dasarnya
tidak mengandung kreativitas yang orisinal.
Kritik Nurcholish tentang kecenderungan
apologetis ini ditujukan terutama kepada mereka yang justru mengecap kenikmatan
peradaban modern. Ia menyebut gejala ini sebagai ironi, betapa Muslim itu tidak
memiliki kemantapan sebagai seorang Muslim tatkala menikmati perdaban modern.
Pembaruan harus dimulai dengan dua
tindakan yang saling berhubungan, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi kedepan. Proses tersebut
bisa dicapai dengan cara liberalisasi. Beberapa langkah liberalisasi yang harus
dilakukan oleh umat Islam untuk mencapai modernitas adalah sekulerisasi,
kebebasan berpikir dan sikap terbuka (idea of progress).
Akar persoalan yang dihadapi komunitas
Islam adalah hilangnya “daya gerak psikologis” (psychological striking force). Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan
umat Islam yang diwakili oleh para pemimpinnya, untuk membedakan antara
nilai-nilai yang transedental dan temporal. Umat Islam harus membebaskan
dirinya dari kecenderungan untuk menempatkan hal-hal yang semestinya duniawi
sebagai duniawi (dalam hal ini yang berkaitan dengan muamalah, seperti
persoalan ekonomi, politik dan sosial) dan hal-hal yang semestinya ukhrawi
sebagai ukrawi (ibadah), gagasan inilah yang disebut dengan “sekulerisasi”.
Sekulerisasi dipahami dalam konteks sosiologis berarti suatu paham yang
mendorong bahwa kehidupan bernegara dan ranah politik hendaknya didekati secara
rasional dengan teori-teori politik modern, dimana agama berada pada tataran
moral, Proses teknispolitisnya melewati mekanisme demokrasi, kedaulatan rakyat
di tangan rakyat, dan maslah-maslah sosial politik di dekati dengan ilmu dan
teknologi.
Proses liberalisasi kedua adalah intellectual freedom atau kebebasan
berpikir. Pandagannya tersebut diperkuat dengan mengutip hadist Nabi Muhammad
SAW yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat merupakan rahmat.
Dalam nomenklatur modern, perbedaan pendapat harus dipandang sebagai bagian
dari transaksi ide-ide di pasar bebas. Pandanganini berakar tunjang pada mazhab
berhaluan liberal produk masa Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung)
di Eropa yang telah berlangsung sejak abad ke-18. Gejala-gejala lain yang
menghinggapi kesadaran kaum Muslim seperti kcaunya hierarki anatar nilai-nilai
yang bersifat duniawi dan ukhrawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal
diliputi oleh tabu dan a priori,
akibat dari hilangnya kebebasan berpikir.
Proses liberalisasi yang ketiga adalah idea of progress (sikap terbuka), yaitu
kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi), asalkan mengandung
kebenaran. Idea of progress melekat
secara inheren dalam Islam, karena konsep tersebut bertitik tolak dari konsepsi
atau doktrin bahwa manusia pada adasrnya adalah baik, suci dan cinta pada
kebenaran atau kemajuan.
Umat Islam senantiasa berani melakukan
ijtihad, termasuk merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer dan tidak
phobia terhadap fenomena modernisasi yang implikasinya adalah penerimaan atas
sekularisasi. [3]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Perdebatan antara Islam dan Barat
mengenai isu-isu besar di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, masih
menjadi perdebatan yang menarik untuk dikaji hingga saat ini. Saling klaim atas
keberhasilan dan kegagalan masing-masing pihak menjadi diskursus yang panjang
dan melelahkan, sehingga rentetan peristiwa yang terjadi didalam Dunia Islam
dan Barat merupakan indikasi dari belum membaiknya hubungan antara Barat dan
Islam.
Selain sebagai agama yang mayoritas
dianut oleh masyarakat Indonesia, negara Indonesia juga sebagai negara yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta tersebut seharusnya dapat
memberikan sahamnya secara lebih riil karena sebagaimana diungkapkan oleh Weber
bahwa agama memiliki kekuatan untuk membantu menyingkap makna dunia. Oleh karena
itu, dalam konteks Islam, diperlukan pemikiran dan pergerakan yang dimotori
oleh para intelektual aktivis Islam untuk meletakkan basis-basis kesadaran baru
bagi masyarakat agar mampu menjawab tantangan modernitas dan globalisasi.
Globalisasi seakan menjadi momok yang
menakutkan sehingga memaksa umat Islam mencari solusi alternatif untuk
mempertahankan ideologinya. Modernisasi tak dapat di elakkan dan umat Islam
Indonesia sebagai bagian dari peradaban dunia, harus mencari metode yang
solutif dalam menghadapi arus globalisasi.
Islamophobia yang dialami Muslim di
beberapa negara pasca 9/11, merupakan moment yang tepat bagi Muslim Indonesia
untuk meletakkan dasar pemahaman keagamaan yang modern, demi mengangkat kembali
citra negatif terhadap Islam dan berbagai isu besar yang kerap di justifikasi
oleh Barat terhadap Islam, seperti isu demokrasi, hak asasi manusia, ekonomi
Islam dan lainnya. Konsep “sekulerisasi” yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid
merupakan salah satu ide cemerlang, dalam membangun kemajuan Islam di masa
depan.
DAFTAR PUSTAKA
http://adesmedia.blogspot.com/2013/03/tokoh-pembaharuan-islam-nurcholis-majid.html
www.akhmadrowi.blogspot.com.
[1]
http://historyisthebest.wordpress.com/2011/03/09/komparasi-peradaban-islam-dan-peradaban-barat/
[2]http://globalisasi-1992.blogspot.com/2011/11/islam-dan-globalisasi.html
[3]http://adesmedia.blogspot.com/2013/03/tokoh-pembaharuan-islam-nurcholis-majid.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !