Headlines News :
.
Home » , » Teori Kenabian (Nur Asiyah FAI Unisfat Demak)

Teori Kenabian (Nur Asiyah FAI Unisfat Demak)

Written By Unknown on Selasa, 12 November 2013 | 18.32

http://www.akhmadrowi.blogspot.com MAKALAH TEORI KENABIAN MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA MATA KULIAH FILSAFAT ISLAM Dosen Pengampu : Drs. H. AKHMAD ROWI, M.H DISUSUN OLEH : NUR ASIYAH FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK 2013 BAB I PENDAHULUAN Setiap agama langit, secara primer atau secara esensial, tentu mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama samawi lahir, dan karena kemukjizatan wahyu dan ilhamlah ia menang, bahkan berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendinya berdiri tegak. Seorang nabi tidak lain hanyalah manusia biasa yang diberi kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengekspresikan kehendak-Nya. Agama Islam seperti halnya dengan agama-agama semit lainnya, mengambil ajaran-ajarannya dari langit dan sumber-sumbernya yang utama adalah al-Qurȃn sebagai wahyu yang langsung dan al-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Sebagaimana firman Allȃh: وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(النجم: 3-5) “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'ȃn) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat,” (QS. An-Najm: 3-5).   BAB II PEMBAHASAN A. Ibn al-Rowandi dan Penolakannya terhadap Kenabian Ibn al-Rowandi adalah pribadi yang amat asing, tidak bisa diketahui secara tepat sejarah kelahiran dan kematiaanya. Sudah berlaku anggapan bahwa ia wafat di tahun-tahun terakhir abad ke-3 H, ia adalah keturunan Yahudi yang lahir di Rowan dekat Asfahan. Beliau mendekati kaum ateis dan berhubungan erat dengan mereka dan ia banyak menulis buku yang kesemuanya untk memerangi Islam dan tokoh-tokohnya, antara lain buku Fadlhiyyah al-Muʻtazilah (keburukan muktazilah) dalam rangka menolak buku Fadȋlah al-Muʻtazilah (keutamaan muktazilah) yang dikarang oleh al-Jȃhidh pada masa sebelumnya; buku al-Dȃmigh (argumen yang tak dapat dielakkan) yang dipergunakan untuk menentang al-Qurȃn, buku al-Farand dan buku al-Zumrodah dalam rangka menolak nabi dan membatalkan risalah mereka.[1] Ibn al-Rowandi terpengaruh pemikiran Hindu dalam keraguaanya terhadap kenabian, tetapi dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Mengingkari kenabian secara umum dan nabi Muhammad secara khusus b. Menolak sebagian ajaran dan ibadah Islam c. Menolak dengan cara mengejek terhadap mukjizat secara total d. Tidak butuh kepada rasul karena Allȃh telah memberikan akal kepada makhluknya yang bisa mereka pergunakan untuk membedakan antara yang baik dan buruk, oleh karenanya di bawah bimbingan akal sama sekali tidak dibutuhkan risalah. B. Al-fȃrȃbȋ Menurut al-fȃrȃbȋ, manusia dapat berhubungan dengan Akal Faʻȃl (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (Ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cahaya kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. Menurutnya, bila kekuatan imajinasi pada diri seseorang kuat sekali, objek inderawi dari luar tidak dapat memengaruhinya sehingga ia dapat berhubungan dengan Akal Faʻȃl. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada halangan baginya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Faʻȃl pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian, maka ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara ketuhanan.[2] Jadi, ciri khas seorang nabi , menurut al-fȃrȃbȋ ialah mmpunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allȃh melalui Akal Faʻȃl (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-fȃrȃbȋ adalah jibril.[3] Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allȃh melalui akal perolehan (al-‘Aql al-Mustafȃd) yang telah terlatih dan kuat daya tengkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.[4] Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan, oleh Karena itu al-fȃrȃbȋ menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Faʻȃl. Demikian pula tentang mukjizat sebagai bukti kenabian, menurutnya dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini. C. Al Rȃzȋ Al Rȃzȋ dikenal sebagai seorang rasionalis murni, akal menurutnya adalah karunia Allȃh yang terbesar untuk manusia. Dengan akal, manusia dapat memeroleh manfaat sebanyak-banyaknya bahkan dapat memeroleh pengetahuan tentang Allȃh. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.[5] Dalam hal ini, Badawi menerangkan alasan-alasan Al Rȃzȋ dalam menolak kenbian sebagai berikut: a. Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal, manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. b. Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap orang lahir dengan kecerdasan yang sama, perbedaanya bukanlah pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan. c. Para nabi saling bertentangan, pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Tuhan. Kemudian Al Rȃzȋ juga mengritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi yahudi, Kristen, Mani, dan Majusi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allȃh mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudlaratan karena perselisihan tentang satu Tuhan. Ia juga mengritik secara sistematis kitab-kitab wahyu seperti al-Qurȃn dan Injȋl, ia menolak kemukjizatan al-Qurȃn baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku ilmiah daripada al-Qurȃn.[6] D. Ibn Sȋnȃ Menurut Ibn Sȋnȃ, sebagian manusia dianugerahi Tuhan akal potensial yang demikian kuat sehingga tidak perlu melalui latihan keras akal potensial yang sedemikian kuat dapat dengan mudah menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan melalui Akal Aktif. Potensi yang sedemikian besar itu disebut al-Ḥuds yaitu intuisi atau al-Quwwah al-Qudsiyyah (daya suci).[7] Ibn Sȋnȃ dalam tulisannya yang khusus untuk mengukuhkan adanya kenabian, Risȃlah fȋ Itsbȃt al-Nubuwwah, berupaya menunjukkan adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, dan pada akhirnya menegaskan bahwa para nabi, yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara langsung lebih unggul dari para filosof yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara tidak langsung (dengan perantara latihan). Menurutnya ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri dan yang pertama lebih unggul dari yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam materi dan ada pula yang berada dalam materi dan yang pertama lebih unggul dari yang kedua. Selanjutnya, ada pula bentuk bersama materi yang bersifat tumbuh (organik) dan ada pula yang tidak tumbuh (benda-benda mati) dan yang pertama lebih unggul dari yang kedua. Selanjutnya ada binatang yang rasional (manusia) dan sebaliknya (hewan) maka yang pertama lebih unggul,[8] manusia ada yang memiliki akal bi al-Malakah dan ada pula yang tidak maka yang pertama lebih unggul. Ada pula manusia yang akal bi al-Malakah-nya menjadi akal aktual dan ada pula yang tidak meningkat, maka yang pertama lebih unggul. Selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung dan tidak langsung, yang pertama yakni para nabi, lebih unggul daripada yang kedua yakni para filosof.[9] Para nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan-lingkungan makhluk material, dan karena yang lebih unggul harus memimpin yang diungguli maka nabi harus memimpin seluruh rakyatnya yang mana yang terakhir adalah teori politik Ibn Sȋnȃ yang menganjurkan nabi sebagai pemimpin negara, jika tidak ada diganti oleh filosof. E. Ibn Miskawaih Sebagaimana al-fȃrȃbȋ, Ibn Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini juga dapat memperkecil antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara wahyu dan akal. Menurut Ibn Miskawaih, nabi adalah seorang Muslim yang memeroleh hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh filosof, perbedaanya hanya terletak pada teknik memerolehnya. Filosof mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah ke atas, yakni dari daya inderawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke daya berpikir yang dapat behubungan dan dapat menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari Akal Aktif. Sementara itu, nabi mendapatkan kebenran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allȃh. Dari itu, sumber kebenaran yang diperoleh nabi dan filosof adalah sama, yaitu Akal Aktif (Akal Faʻȃl), pemikiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan al-fȃrȃbȋ sebelumnya.[10] Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibn Miskawaih berusaha merekonsiliasi antara agama dan filsafat dan keduanya mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama. Justru itulah filosof adalah orang paling cepat menerima dan memercayai apa yang dibawa oleh nabi karena nabi membawa ajaran yang tidak bisa ditolak oleh akal. Namun demkiian, tidak berarti manusia tidak memerlukan nabi karena dengan perantaraan nabi dan wahyulah manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat diketahui manusia kecuali oleh para filosof, dengan kata lain, sangat sedikit kuantitas manusia yang dapat mencapainya, hal ini desebabkan filsafat tidak dapat ditangkap semua lapisan masyarakat. F. Al-Ghazȃlȋ Penjelasan al- Ghazȃlȋ tentang kenabian dalam Maʻȃrif al-Quds terbagi dalam dua bagian yang cukup berbeda: Di bagian pertama, dia mengemukakan argumen-argumen untuk mengukuhkan kenabian, sedangkan di bagian kedua, dia mengemukakan kerja kenabian pada tiga level: imajinasi, akal, dan kekuatan pencipta mukjizat.[11] Bagian pertama ditandai oleh upaya untuk mengompromikan ajaran naturalisme dari filsafat dengan supranaturalisme dari teologi dogmatik. Sedangkan di bagian kedua, dia meminjam seluruhnya dan hampir-hampir secara harfiah dari penjelasan Ibn Sȋnȃ. Al- Ghazȃlȋ menawarkan tiga argumen bagi kenabian: Pertama, dia berupaya menempatkan kelas nabi-nabi sebagai spesies berbeda yang berada di atas derajat manusia. Dia mengemukakan, “sebagaimana halnya spesies manusia dibedakan dari binatang-binatang lain dengan jiwa rasionalnya, demikian juga jiwa para nabi dibedakan dari jiwa manusia biasa oleh akal yang membimbing dan terbimbing yang berada di atas semua akal yang memerintahdan mengaturnya melalui keutamaaan Ilahi”. Kedua, argumen yang bertolak dari manusia ada dua, yang pertama secara ketat bersifat moral dan yang kedua didasarkan pada moralitas “utilitarian” atau “konvensional”. Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan manusia meliputi tindakan yang baik dan buruk. Oleh karena itu, sebagian tindakan harus dilakukan sementara sebagian yang lain harus dihindari. Ketiga, garis pemikiran ini membawa al- Ghazȃlȋ kepada argumen yang berupaya memperlihatkan Tuhan sebagai pemberi perintah yang Pertama dan satu-satunya Pemberi perintah. Segala sesuatu yang bergerak memiliki penggerak; perbedaan-perbedaan dalam gerak “alamiah” berarti bahwa si Penggerak memiliki kehendak, dan akhirnya, jika gerakan-gerakan tersebut demi kebaikan, si Penggerak adalah seorang Pemberi perintah.[12] Mengenai karya yang bersifat eksoteris, yaitu Mi’rȃj al-Sȃlikȋn, ia mewakili sikap resmi dan umum al- Ghazȃlȋ. Dalam bagian kelima, yang secara khusus membahas kenabian, al- Ghazȃlȋ mengemukakan bahwa di antara mereka yang mengukuhkan kenabian, terdapat satu kelompok yang menegaskan bahwa ia adalah sesuatu yang wajib lahir, sehingga dengan kekuatan jiwanya dapat melahirkan perubahan-perubahan dan memberikan watak dan prilaku yang utama. Al- Ghazȃlȋ selanjutnya menjelaskan kenabian sesuai dengan kalam resmi, tetapi mengingkari bahwa manajemen politik-hukum (Siyȃsah)adalah bagian dari kenabian. Sekalipun demikian, berkaitan dengan upaya membuktikan misi kenabian Muhammad, pada bagian yang sama, dia menunjuk pada manajemen politik orang banyak (Siyȃsah al-Khalq) melalui hukum syariat. G. Ibn Bȃjjah Filosof, menurut Ibn Bȃjjah adalah manusia yang tinggi dan bersifat Ilahi dengan syarat ia memilih pada setiap perbuatannya sesuatu yang paling tinggi dan ia bergaul dengan setiap lapisan manusia untuk mewujudkan sifat-sifat yang lebih tinggi dari apa yang sudah dimiliki oleh lapisam masyarakat tersebut dan juga dengan syarat bahwa ia berbeda dari mereka karena ia memiliki perbuatan-perbuatan yang lebih tinggi dan mulia nilainya. Ibn Bȃjjah berbicara tentang aksiden-aksiden rohani yang dapat muncul pada seorang manusia, yaitu: a. Aksiden macam pertama muncul karena adanya daya indera, b. Aksiden macam kedua yang muncul karena adanya tabiat, seperti rasa haus dan munculnya dorongan untuk mencari air, c. Aksiden macam ketiga yang muncul karena aktivitas pemikiran, d. Aksiden macam keempat yakni aksiden rohani karena pengaruh Akal Aktif, tanpa bantuan pemikiran ; wahyu yang diterima nabi dan Ruʻyah Shȃdiqah (mimpi yang benar) termasuk kepada aksieden macam keempat ini. H. Ibn Rusyd Ibn Rusyd telah memaparkan dalam kitab Tahȃfut al-Tahȃfut untuk membuktikan kesalahan terhadap serangan-serangan al Ghazȃlȋ dan membela baik filosof klasik maupun modern.[14] Ibn Rusyd berpendapat bahwa teori ini walaupun semata-mata merupakan karya filosof-filosof islam sendiri, adalah bisa diterima secara global sehingga al- Ghazȃlȋ tidak berhak memrotesnya. Selama kita menerima bahwa kesempurnaan spiritual tidak bisa sempurna kecuali jika hamba berhubungan dengan Tuhannya, maka tidak mengherankan jika kenabian ditafsirkan dalam bentuk ini. Hanya saja penafsiran-penafsiran ilmiah ini harus tetap menjadi pengetahuan para filosof dan ulama, karena manusia pada umumnya tidak bisa mempersepsi esensi dan hakikatnya. Jadi, kita harus mengajak bicara manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka dan kita harus megajukan bahan yang sesuai dengan masing-masing kelompok.[15] BAB III KESIMPULAN Sebagai penutup pembahasan ini, baik kiranya diutarakan dua hal pokok yang dianggap perlu: Pertama, Al-Farabi sebagai seorang filosof Muslim ternama tidak kehilangan kesempatan untuk berdakwah dalam rangka menjelaskan bahasa langit dan menerangkan bagaimana hal itu bisa sampai kepada penduduk bumi. Ia berikhtiar untuk melandasi doktrin kenabian dengan landasan rasional dan menginterpretasikannya secara sistematis (bisa juga dikatakan secara ilmiah). Dalam hal Teori Kenabiannya ini, Al-Farabi ingin membuktikan bahwa persoalan kenabian bukan hanya persoalan iman semata tetapi dapat juga dibenarkan secara akal, dan pada gilirannya agama dan falsafat bukan persoalan-persoalan yang harus dipertentangkan karena keduanya, sebagaimana diketahui sebelumnya, merupakan pancaran Ilahi melalui imajinasi atau studi analisa. Kedua, Teori Kenabian yang telah dikonstruksikan oleh Farabi, ternyata kemudian, mempunyai pengaruh yang sangat kuat, tidak hanya di abad klasik dan pertengahan tetapi juga abad moderen, bukan hanya di belahan Timur tapi juga di belahan Barat. Sebagai contoh, Ibnu Sina mengikuti sepenuhnya teori Al-Farabi ini walaupun ada pengkayaan-pengkayaan menurut Fazlur Rahman. Ibn Rusyd dalam bukunya yang monumental, Tahafut al-Tahafut--sebagai counter atas buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah--, mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik Al-Ghazali, karena teori ini jelas memperkuat ajaran agama dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh hanya melalui hubungan manusia dengan Tuhan. Maimonides seorang filosof Yahudi dalam bukunya Le Guide Des Egares, mengambil teori ini dan menunjukkan minat yang sangat besar. Bahkan dalam Tractatus Theologico Politicus-nya, Spinoza sangat kentara pengaruh Maimonides dalam menerangkan suatu teori tentang kenabian yang bersumberkan teori Al-Farabi. Selanjutnya, Teori Kenabian Al-Farabi ini pun digunakan oleh para pemikir Muslim kontemporer, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.22 DAFTAR PUSTAKA Dahlan, Abdul aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003. Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakhir, Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1993. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2010. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 2011. Rahman, Fazlur, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan, 2003. Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: RajaGafindoPersada, 2012.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok