Headlines News :
.
Home » , » Teori Kenabian (Nawalin Najah FAI Unisfat Demak)

Teori Kenabian (Nawalin Najah FAI Unisfat Demak)

Written By Unknown on Sabtu, 16 November 2013 | 16.52

MAKALAH TEORI KENABIAN Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam Dosen Pengampu: Drs. H. Akhmad Rowi, M.H. Disusun oleh: NAWALIN NAJAH C.1.4.12.0047 FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK TAHUN 2013 PENDAHULUAN Islam adalah risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang nilai –nilai dan norma – norma dasarnya terkandung dalam Al Quran dan Alsunnah sangat menghargai ilmu, sebab Allah hendak meningkatkan derajat orang yang beriman dan berilmu (QS. Al Mujadalah, ayat 11). Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim sejak turun dari buaian sampai keliang lahat(HR. Baihaqi). Imu yang disuruh mencari adalah ilmu yang bermanfaat, meskipun dari negeri asing, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “ Carilah Ilmu walau sampai ke negeri China (HR. Baihaqi). Disamping itu islam sangat menghormati akal, menyuruh umat islam menggunakan ratio untuk meneliti dan mengkaji alam semesta, menyingkap rahasia ilahi(ayat kauniyah) serta berzdikir, agar manusia seimbang dalam dimensi fikir dan dzikir (QS. Ali Imron ayat 190-191). Al Quran juga menantang manusia untuk membuat spekulasi(penelitian, teori) terhadap sunnah Allah yang telah diterapkan alam ciptaanNya(QS. Al Qhasiyah ayat 17-20), disamping islam juga menghimbau pemeluknya untuk meneliti dan mengkaji kebenaran dari manapun dan dari siapapun datangya (QS. Az Zumar ayat 17-18). Maka bagi kita tidak pada tempatnya untuk malu mengakui kebenaran dan mencernakannya , dari sumber manapun ia datang kepada kita. Bagi mereka yang menghargai kebenaran tak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri , tak akan pernah meremehkan dan merendahkan martabat mereka yang mencarinya Atas dasar dorongan ajaran islam untuk menuntut ilmu, berfikir, mengadakan penelitian terhadap hukum alam , mencari kebenaran dan memeriksanya disamping dzikir, telah menyadarkan pemeluknyasepanjanng sejarah untuk menerima kehadiran ilmu pengetahuan dan filsafat dari manapun datangnya, meskipun melalui seleksi dan mengalami pasang surut. Fakta sejarah menunjukkan , bahwa umta islam tidak hanya mampu mentransfer (alih ilmu dan pemikiran ) ilmu dan filsafat dari asing, khususnya Yunani dan Romawi , tetapi bahkan mampu mengembangkan ,dan akhirnya mampu menyusun teori – teori baru yang secara orisinil merupakan penemuan umat islam. Oleh sebab itu zaman dinasti Abbasiyah di Baghdad dan dinasti Umayyah di Spanyol lahirlah para ilmuan dan filosof muslim yang berbobot. Sebanarnya minat umat islam terhadap studi ialam yang pada zaman klasik merupakan satu kesatuan dengan studi ilmu pengetauan , telah nampak rintisannya pada zaman dinasti Umayyah Damaskus, meskipun dalam taraf pengenalan. Gelombang helenisme sudah mulai nampak dengan kegiatan penerjemahan karya – karya yunani kuno kedalam bahasa Arab. Yang menurut suatu informasidirintis oleh Khalid bin Yazid al- Umawi (wafat 84 H/ 704 M), seorang putera kholifah yang telah mencurahkan perhatiaannya kepada pengkajian filsafat. Disisi lain pada masa Bani Umayyah luas kekuasaan sudah jauh keluar dari jazirah Arab, seperti Persia, Mesir, Afrika Utara, bahkan sampai di Andalusia(Spanyol). Daerah –daerah tersebut sebagian merupakan pusat berkembangnya pemikiran hellenistis menjelang datangnya agama islam, misalnya kota Harran dan Jundaisabur di Persia dan Iskandariyah di Mesir, maka logis sekali jika umat islam telah berkenalan dengan pemikiran helenisme pada zaman bani umayyah yang berkuasa selama sembilan dasawarsa (91 tahun), katena tejadinya akulturasi kebudayaan dengan daerah – daerah kependudukan . Kita akan melihat bagaimana filsafat kenabian memikul tugas mengemukakan dan menyelesaikan masalah yang muncul dari peran Muhammad Saw., sebagai Nabi dan rasul. Untuk itu, penulis berusaha membahasnya sekuat tenaga guna mencari pengetahuan tentang kenabian. PEMBAHASAN Peristiwa kenabian merupakan salah satu fase yang membentuk fakta al-Qur’an, dan memperluas kategori wahyu Yahudi-Kristen yang fundamental ke dalam dunia Arab. Dua lobang harus dihindari dalam usaha menangkap fungsi operatif dan fungsi direktif kenabian. Sikap positivis cenderung meminimalisir makna penting pengalaman keagamaan dan sikap orang fanatik yang tidak menggunakan pengalaman keagamaan karena sejarah dan secara bersemangat cenderung kepada figure simbolik yang disucikan. Jadi para ahli sejarah barat hampir tidak pernah memanfaatkan hagiographa dengan tujuan untuk mamahami proses-proses dan tingkat-tingkat transfigurasi tokoh-tokoh sejarah, sehingga memasukkan ke dalam mekanisme mental yang mengembangkan pemikiran dan memotivasi tindakan. Orang-orang yang beragama secara fanatik, dipihak mereka sendiri, telah menyingkirkan Nabi dari lingkungan kehidupan nyata, di mana Nabi menata energi kreatif dan kekuatan mobilisasinya, disamping menyebarkan pengaruhnya terhadap umat manusia dan peristiwa-peristiwa. Esensi fungsi kenabian, menurut al-Qur’an dan kehidupan Muhammad terletak pada penyeimbangan sempurna antara pengalaman keagamaan dan aksi sejarah. Setiap aksi konkret Nabi membuka harapan baru bagi manusia. Apakah itu perang melawan musuh Allah, keputusan politik atau hukum, maupun transformasi pemujaan lama atau hubungan social, selalu dikukuhkan oleh apa yang terletak diluar ruang dan waktu, di mana peristiwa itu terjadi dan muatan-muatan langsung dari semangat yang memahami dan melaksanakan tindakan. Itulah pengertian wahyu yang “diturunkan” kepada Muhammad, setiap kali ia melakukan takdir spiritual umat dengan cara mengambil suatu keputusan. Orang-orang yang ironisnya mengamati bahwa Tuhan kadang-kadang campur tangan dalam saat keberhasilan untuk membangun kembali autoritas Nabi-Nya telah kehilangan pijakan mendasar ini: “Homogenitas” sempurna “antara kata dan aksi”, yang merupakan ciri utama kenabian. Baik mendahului atau mengikuti peristiwa kehidupan nyata, maka kata-kata yang diucapkan selalu mentransendensi dan memberi makna universal kepada aksi tertentu. Kata-kata Nabi ada dua kemungkinan : mengambil bentuk aforistik dan lebih mengusulkan daripada menentukan, lebih membuka prespektif daripada melacak jalur tunggal atau memberi untuk dipahami atau dibayangkan ketimbang menetapkan secara eksplisit; atau kata-kata Nabi menghapuskan situasi-situasi khusus disini daripada sekarang untuk menetapkan norma dalam skala referensi ruang dan waktu yang disebutkan di atas. Salah satu dari contoh yang paling signifikan dalam hal ini diberikan oleh ayat-ayat yang melarang riba, tempat (Madinah) dan situasi (penolakan orang-orang Yahudi untuk menyerahkan sumbangan keuangan yang ditawarkan oleh Muhammad) telah dihapuskan; yang ada hanyalah pernyataan tak berwaktu yanbg mengkontraskan perilaku orang-orang yang secara entusias mengumpulkan kekayaan yang tidak akan ada artinya bagi mereka dihari keadilan dengan orang-orang yang mendermakan kekayaannya yang “akan digandakan oleh Allah” (lihat 2:275-276; 3: 127-128) Dengan demikian, Nabi menjawab kebutuhan akan kesaksian khas dalam sejarah yang langsung: ia merupakan saksi Ilahi dihadapan manusia dan saksi manusia dihadapan Tuhan. Ia secara tetap ditampilkan dalam Qur’an sebagai “orang yang membawa berita gembira”, “orang yang memperingatkan“, “penuntun”, “perantara” , teman”, yang terpilih”, “utusan firman Tuhan”….oleh karena itu, Nabi memiliki ciri sifat trinitas wahyu Yahudi-Kristen: Tuhan yang transenden menampilkan diri sebagai firman melalui perantaraan utusan-saksi. Muhammad memiliki sifat keutamaan menjadi utusan dan Nabi sekaligus. Utusan memiliki hubungan yang lebih akrab dengan Tuhan daripada Nabi: adalah fugsi langsungnya untuk menyampaikan firman yang bentuk dan maknanya diartikulasikan oleh Tuhan sendiri dan pengembangannya ditumpukan pada Nabi dan penggantinya yang absyah . Pertimbangan-pertimbangan ini harus dicamkan jika orang bermaksud memahami ruang lingkup psikologi dan keagamaan teori imamah syi’ah. Penegasan bahwa pengganti Nabi-rasul haruslah “keturunan spiritual”-nya persis sama dengan pelanggengan, dalam sejarah langsung, kebutuhan akan kesaksian spesifik, di mana Muhammad merupakan pemegangnya. Ini juga sama tegasnya dengan membedakan fakta Qur’an dari fakta Islam, yaitu dari lembga-lembaga keagamaan muslim, budaya muslim dan kitab etiko-hukum yang telah memberikan ekspresi kepadanya. Sebenarnya pengingkaran wahyu dari agama Islam sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad. Orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengakui bahwa Nabi Muhammad mendapat wahyu dan dapat berhubungan dengan alam ketuhanan, sebab ia adalah manusia biasa yang makan, minum serta pergi ke pasar, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur'an’an: Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,(QS. Al-Furqan: 7) Akan tetapi, mukjizat-mukjizat Nabi menyilaukan mereka dan kefasikannya telah membungkam mereka, padahal mereka adalah ahli retorika, ahli bahasa dan kesusastraan, oleh karena itu, mereka mulai menuduhnya sebagai tukang sihir dan tukang sulap. Darisini kemudian menjawab dengan mengatakan: Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110) Muhammad tidak mendatangkan sesuatu dari dirinya sendiri, tidak mengada-ada, tetapi ia hanya menyampaikan risalah Allah, sebagaimana firman Tuhan: Ajaran Islam tentang wahyu mudah dan jelas, di mana malaikat Jibril yang dapat mengambil berbagai macam bentuk, seperti Malaikat-Malaikat lain juga bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan Nabi-Nabi-Nya, dan dari Jibril-lah Muhammad menerima perintah agamanya, kecuali pada malam Isra’ Mi’raj saja, di mana ia dapat berhubungan dengan tuhan, karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik ke alam malakut dan di sana ia melihat rahasia-rahasia alam ghaib. Nabi Muhammad sendiri sebelum memulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan di mulainya tugas-tugas yang disatu surat dalam al-Qur’an di mana seluruh pembicaraanya berkisar tentang impian, yaitu surat Yusuf Nabi juga mengatakan tentang impian: impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian KONSEP KENABIAN AL-FĀRĀBĪ Al-Fārābī, yang dikenal di dunia barat dengan nama alpharabius adalah orang pertama yang mengemukakan dan menngeluarkan statemen kenabian, teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofisnya, teorinya berlandaskan pada sendi-sendi jiwa dan metafisika bahkan amat berhubungan dengan politik dan moral . Ia mencoba untuk mendamaikan dan merujukkan antara agama dengan filsafat melalui jalan teori kenabiannya . Jadi, dari konsep kenabian mencoba dan berusaha untuk merujukkan antara rasional dengan tradisional . Menurutnya ciri seorang Nabi adalah orang yang mempunyai daya imajinasi yang sangat tinggi Sehingga ia mampu berkomunikasi dengan aql fa’al, intelegensi agent atau akal kesepuluh dalam teori emanasinya atau Malaikat Jibril dalam penjelasan selanjutnya. Dari kemampuan ini patutlah seorang Nabi berhak mendapat penghormatan dari para failosof khususnya filosof Islam. Degan demikian dapat dikatakan bahwa tidaklah sejajar seorang Nabi dan filsuf tingkatannya, karena Nabi itu sudah tentu seorang filsuf namun filsuf belum tentu seorang Nabi. Filsafat Al-Fārābīpun banyak yang berhubungan dengan teori kenabiannya contoh dalam politiknya ia menginginkan seorang pemimpin itu mampu sampai ke derajat aql fa’al yakni derajat para Nabi yang mampu menerima pesan dari intelegensi agent atau aql fa’al tersebut. Filsafat kenabian Al-Fārābī terkait erat dengan hirarki daya-daya jiwa manusia, menurutnya manusia mempunyai kemampuan pengindraan dan kemampuan pengindraan manusia ini terbagi dalam lima tahap, yakni pertumbuhan, pengindraan, bernafsu, berkhayal dan berfikir. Dan manusia memperoleh sebuah pengatahuan diperoleh dari daya pengindraan, berkhayal, dan berfikir. Daya pengindraan merujuk pada daya internal dan berkhayal dan berfikir merujuk dari daya eksternal. Menurut Al-Fārābī manusia dapat mencapai derajat aql fa’al melalui dua cara yakni dengan penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi ( wahyu) . Cara yang pertama dapat di lakukan oleh pribadi-pribadi yang mampu berfikir dan menembus alam materi, sedangkan cara yang kedua hanya bisa dilakukan oleh Nabi. Tentunya tidak semua jiwa mampu melakukan hubungan ini, tetapi yang mampu naik kepadanya hanyalah jiwa-jiwa suci yang mampu menembus tabir-tabir ghaib dan mampu mepersepsikan alam cahaya . Sama dengan yang dikutip oleh Ibrahim Madkour dalam buku Al-Fārābī Al-Tsamroh al-Mardliyyah. “jiwa yang suci tidak disibukkan oleh oleh arah bawah dari arah atas, indra luar tidak akan menenggelamkan indra batinnya. Pengaruhnya bisa menjalar dari tubuhnya sampai benda-benda alam dan apa yang ada didalamnya, serta ia menerima berbagai pengetahuan dari Ruh dan Malaikat dengan tanpa melalui pendidikan dari manusia”. Dari keterangan diatas juga bisa disimpulkan bahwa pegetahuan seorang Nabi tidak lagi melalui pendidikan dari manusia melainkan langsung dari Malaikat dengan Aql Fa’alnya. Dan ciri seorang Nabi dan sifat utama Nabi ialah ia memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi, yang melalui kemampuan ini Nabi bisa berhubungan langsung dengan para malaikat dikala tidur maupun terjaga. Adapun wahyu hanyalah sebagai hasil dari pancaran tuhan yang dibawa oleh malaikat dan di sampaikan pada Nabi . Agama yang dimaksud Al-Fārābī adalah agama samawi atau agama langit, yakni agama yang membutuhkan seorang Nabi sebagai pembawa misi dari Tuhan untuk menyampaikan dan diajarkan kepada manusia di muka bumi, menurutnya banyak orang yang mempunyai imajinasi kuat tapi bukan seorang nabi, karena dia hanya bisa melakukannya disaat ia tidur, ia pun tidak bisa menangkap apa maksud dari mimpinya dan tidak bisa berhubungan dengan aql fa’al. Sedangkan orang yang tidak bisa menerima di saat ia tidur maupun terjaga maka ia termasuk orang yang mempunyai daya imajinasi lemah atau rendah . Akibat teori kenabian ini pada abad ke 3 H dan 4 H/ abad ke 9 dan 10 M terjadi gelombang skeptisme pada orang-orang yang tidak percaya pada kenabian. Dan orang yang keras menolak kenabian terutama menolak setiap upaya untuk merujukkan agama dan filsafat adalah Muḥammad bin Zakariā Al-Razī, menurutnya fislafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi kita dan masyarakat. Sedangkan agama hanyalah menjadi sumber konflik dan perselisihan . Dari sinilah Al-Fārābī mencoba untuk menarangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah. Ia menerangkan nya dengan dasar Aristoteles yang di pekernalkan kepada dunia Arab. Walaupun Arsitoteles sendiripun menolak bahwa mimpi itu berasal dari Tuhan dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para Nabi dari mimpi-mipi tersebut. Jika itu terjadi banyak orang akan mengakui bahwa dirinya bisa melihat masa depan melalui sebuah mimpi . Al-Fārābī pertama berpendapat bahwa imajinasi jika telah terlepas dari perbuatan-perbuatan diwaktu terjaga maka saat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsial yang telah ada sebelum dalam berbagai bentuk, dengan cara meneruskan dan terpengaruh oleh sebagian pencerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi adalah salah satu potensi kreatif yang mampu mencipta, mewujudkan serta mengilustrasikan dan membentuk, mempunyai kemampuan besar untuk menirukan dan berimitasi, di samping ia mengandung kesiapan besar bagi emosi dan daya untuk mempengaruhi . Jika potensi imajinasi ada pada seseorang maka akan menjadi kekuatan yang benar-benar sempurna. Jika kemampuan imajinasi sudah mencapai kesempurnaan maka tidak bisa dihalanggi bahwa pada waktu terjaga ia bisa menerima detalitas-detalitas masa sekarang dan masa yang akan datang dari aql fa’al atau menirukannya melalui fakta-fakta empirik serta menerima imitasi akal yang tidak ada pada benda dan wujud-wujud mulia yang lain bahkan melihatnnya, sehingga bagaimana objek pemikiran (kategori) yang diterimanya menjadi kenabian paling sempurna yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan merupakan tingkatan paling sempurna yang bisa dicapai oleh manusia melalui potensi imajinasi . Teori kenabian Al-Fārābī juga mempunyai pengaruh pada dunia barat dan timur. Pada abad pertengahan pun banyak yang mengikuti teorinya contoh Ibnu Sina dan Ibn Rusd. Dan ketika teori ini dikenalkan pada pemikir-pemikir Yahudi. Maimonides mengambilnya dan menunjukan keminatannya pada teori kenabian Al-Fārābī. Dan di gunakan pula oleh filosof Muslim modern seperti Jamal Al-din Afghani dan Muḥammad Abduh. Perlu diketahui perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah untuk hubungan dengan aql fa’al, Nabi menggunkan imajinasi tinggi sedangkan filosof menggunakan analisa dan study. DAFTAR PUSTAKA Mufid Fatul, Pembentukan dan Tema-tema Sentral Filsafat Islam, ( Semarang : Universitas Negeri Semarang Press, 2008) A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) Ahmad Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: bulan Bintang, 1975) Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997) Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86 Otto Horrasowitz, Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj. M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VII, h. 73 Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok