Headlines News :
.
Home » , » Ruang, Waktu & Empiri (Evianasari FAI Unisfat Demak)

Ruang, Waktu & Empiri (Evianasari FAI Unisfat Demak)

Written By Unknown on Jumat, 15 November 2013 | 23.41

RUANG, WAKTU DAN EMPIRI Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH Disusun Oleh: Evi Yanasari FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS SULTAN FATAH TAHUN 2013 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga saya telah menyelesaikan makalah salah satu tugas mata kuliah Filsafat Islam. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelasaian makalah ini. Atas segala bantuan dari segala pihak semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca. Kudus, 13 November 2013 Penulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembicaraan tentang filsafat islam tidak bisa terlepas dari pembicaran filsafat secara umum. Akan tetapi, berfikir filsafat dalam arti berfikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof yunani. B. Rumusan Masalah 1. Jelaskan arti dari hakekat ruang dan waktu? 2. Jelaskan pengertian dari aliran empirisme? 3. Sebutkan dan jelaskan kritikan Hume terhadap agama? 4. Bagaimana pendapat Jhon Locke dan David Hume tentang aliran Empirisme? BAB II PEMBAHASAN 1. HAKEKAT RUANG DAN WAKTU Dalam memahami alam fisik dari quark – atom – unsur – molekul organik/anorganik sampai jagad raya ini, kita tidak dapat meninggalkan pengertian mengenai ruang dan waktu. Pengertian ruang dan waktu menurut para ahli seperti yang dikemukakan dalam Kattsoff (1996)(4) adalah sebagai berikut : Menurut ajaran Newton ruang dan waktu adalah objektif, mutlak dan bersifat universal. Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas-bawah, depan belakang, kiri kanan. Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang. Di dalam ruang kita dapat pergi ke setiap arah; di dalam waktu kita hanya dapat pergi ke depan. Untuk dapat menjelaskan bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak, maka Newton mengemukakan hukum gerakan yang hakiki dari fisika kuno sebagai berikut :”Suatu benda terus berada dalam keadaan diam atau bergerak, kecuali apabila mendapat pengaruh dari suatu keadaan yang terdapat di luar dirinya. Jika sesuatu benda dalam keadaan bergerak, maka ia akan tetap bergerak, kecuali jika ada sesuatu – sesuatu kekuatan – yang mengubah gerakan tersebut. Gerakan merupakan akibat suatu kekuatan yang mempengaruhi massa”. Jadi di sini gerakan bersifat mutlak yang terjadi di dalam ruang dan waktu; dengan demikian ruang dan waktu juga bersifat mutlak. Gagasan-gagasan mengenai ruang dan waktu yang bersifat mutlak di atas ternyata menemui kesukara-kesukaran karena timbulnya paradoks-paradoks maupun setelah ditemukannya hukum relatifitas oleh Einstein serta kesukaran-kesukaran dalam pengamatan. Paradoks yang terkenal dikemukakan oleh Zeno (kira-kira 490 – 430 S.M.), ia menyatakan bahwa banyak keganjilan akan terjadi jika orang mengatakan bahwa gerakan merupakan suatu kenyataan. Salah satu paradoks dikemukakan di sini yaitu “anak panah yang melayang” (Jika kita memiliki anak panah ukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter, kemudian anak panah itu kita lepaskan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut tetap berukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter. Sedangkan kita mengatakan bahwa berukuran sepanjang 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut berada dalam keadaan diam. Maka dalam hal ini terdapat suatu contradictio in terminis). Kesukaran berkenan dengan pengamatan, misalnya apakah benar sesuatu yang terlihat antara dua obyek adalah suatu ruang ?. Gambaran pengamatan pada bola mata kita bermatra dua, dan jarak (ruang) yang kita alami berasal dari tangkapan indrawi dalam otot mata. Ini berarti bahwa yang kita tangkap itu bukanlah ruang sebagai kenyataan, melainkan sekedar jarak-jarak yang memisahkan obyek-obyek, karena seandainya tidak terdapat obyek di situ, maka tidak ada sesuatupun yang kita lihat. Jika demikian, maka gerakan , waktu dan ruang mengacu pada suatu obyek tertentu. Jadi jika tidak ada obyek, maka tidak mungkin kita dapat menangkap ruang, waktu dan gerakan yang mutlak dalam kenyataannya. Menurut ajaran Einstein, ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnyapun akan berbeda. Waktu juga bersifat relatif karena hasil pengukuran terhadap hubungan-hubungan yang menyangkut waktu tergantung pada pengertian keserampakan (simultaneity); karena apabila sesuatu terjadi, misalnya ledakan, maka kuatnya bunyi ledakan akan berbeda di berbagai tempat. Selanjutnya H.A. Lorentz membuat suatu teori “ persamaan transformasi” yang melukiskan hubungan antara cara-cara pengukuran jarak – juga cara-cara pengukuran waktu – yang menyangkut dua pengamat yang mempunyai kerangka acuan yang berbeda dan berada dalam keadaan bergerak secara lurus, yang saling mendekati. Di sini didapatkan sebenarnya jarak merupakan sekedar ukuran untuk menentukan ruang; demikianpun dengan transformasi dengan waktu dan hubungannya dengan ruang; Kita tidak akan pernah mengetahui waktu secara tepat apabila tidak memperhitungkan koordinat ruang dan sebaliknya kita tidak akan mengetahui ruang dari suatu obyek bila tidak memperhitungkan koordinat waktu. Sesungguhnya tidak ada waktu yang bersifat mandiri / mutlak, tidak ada ruang yang terpisah dari waktu atau waktu yang terpisah dari ruang yang ada hanyalah ruang-waktu. Akhirnya mulai saat ini kita harus memandang ruang dan waktu secara kontinuum, jalin-menjalin secara tidak terpisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lainnya; keduanya merupakan satu kesatuan yang menyebabkan timbulnya segenap kenyataan. Dengan demikian waktu, ruang merupakan sekedar matra dari ruang-waktu. Menurut Alexander, jika kita berusaha memehami ruang dan waktu dalam keadaan apa adanya, maka yang terjadi ialah bahwa kita berusaha memahami benda-benda serta kejadian-kejadian dalam keadaannya yang paling sederhana serta paling mendasar dalam ruang (extension) serta bertahan dalam waktu (enduring), dengan segenap sifat-sifat yang dipunyai oleh kedua macam ciri tersebut. Baik ruang maupun waktu tidak berada sendiri-sendiri secara terpisah, dan kedua-duanya tampil di depan kita secara empiris. Jika tidak ada waktu, maka tidak mungkin ada bagian dari ruang, bahkan yang ada hanyalah kehampaan belaka; dan demikian pula halnya dengan ruang, dalam hubungannya dengan waktu. Selanjutnya, sehubungan dengan itu tidak mungkin ada titik-titik yang menyusun ruang, tanpa sekelumit waktu yang dapat menimbulkan gagasan kejadian-kejadian murni (pure events) sehingga dapatlah dikatakan bahwa ruang – waktu merupakan keadaan yang nyata yang paling dalam dan merupakan tempat persemaian bagi apa saja yang ada di alam ini. Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang menjadi sumber bagi adanya segala sesuatu, sedangkan kejadian-kejadian yang murni merupakan penyusun terdalam dari apa saja yang bereksistensi. Apabila kejadian-kejadian murni tersebut membentuk suatu pola tertentu, maka munculah kualitas-kualitas fisik tertentu, misalnya sebuah elektron dengan ciri-cirinya. Jadi materi merupakan sesuatu yang pertama-tama muncul dari ruang – waktu. Sebagai contoh kita perhatikan partikel subatom, seperti sebuah electron. Bagaimana kita menggambarkan partikel tersebut ? Tidak seorangpun dapat melihat suatu partikel subatom; partikel ini mungkin berupa sejenis perubahan dalam ruang pada suatu waktu tertentu; artinya suatu kejadian yang murni yang hanya dapat disimak melalui kejadian-kejadian tertentu yang dicatat oleh “ pointer-reading”, misalnya oleh instrumen mikroskop elektron. Hasil-hasil penggabungan kejadian-kejadian murni menimbulkan materi yang lebih rumit dan mempunyai sifat-sifat tertentu pula. 2. PENGERTIAN ALIRAN EMPIRISME Aliran empirisme berasal dari kata yunani empeiria yang berarti “pengalaman inderawi”. Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan dan yang di maksudkan degannya baik pengalaman lahiria yang menyangkut dunia maupun pengalaman batinia yang menyangkut prribadi manusia saja.[1] Tidak mengherankan bila rasionalisme dan emperisme masing-masing mempunyai pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi. Rasionlisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Seperti kita lihat pada rasionalisme di daratan Eropa, pada empirisme Inggrispun masalah subtansi ramai di bicarakan. Paham ini di plopori oleh Francois Bacon. Bacon telah memberi pandangan baru yang cukup berarti bagi dunia ilmu dan kehidupan manusia. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah mengusahakan penemuan-penemuan yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang enak. Hingga kini penemuan-penemuan yang ada terjadi karena kebetulan saja. Mulai sekarang penemuan-penemuan harus di lakukan karena tugas dan secara metodis. Agar supaya tugas itu dapat di laksanakan, perlukan: a. Bahwa alam di wawancarai b. Bahwa orang bekerja menurut suatu metode yang benar c. Bahwa orang bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang di sajikan alam Artinya, orang harus menghindarkan diri dari mengemukakan prasangka-prasangka terlebih dahulu. Hal ini di pandang perlu guna mencegahtimbulnya gambaran-gambaran yang keliru[2]. David Hume adalah tokoh filsafat barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke dan Berkley secara konsekuen. Menurut David Hume, Manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengatamatan. David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih member keyakinan di banding kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat [3]. 3. KRITIKAN HUME TERHADAP AGAMA kritik hume terhadap agama tampaknya tidak seluruhnya dapat di pertanggung jawabkan. Hume terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang teologi. Di antara kritikan hume yang tidak relevan itu adalah: pertama, hume cenderung mempertentangkan dua bentuk-bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua polar, yaitu mistisme dan antropomorpisme. Dalam mistisme, Tuhan berada dalam konsepsi yang negative dan sempurna, sedangkan antropomorpisme, Tuhan berada dalam konsepsi positif, tetapi tidak sempurna.tuhan adalah sempurna, abadi, dan wajib ada. Kedua, hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadian yang sekarang dan bahkan meramalkan sesuatu untuk yang akan datang. Akal merupakan salah satu anugra Allah Swt. Yang paling istemewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termaksud dirinya sendiri.[4] Akal yang demikian mampu mencapai wujud yang tidak bermateri, yaitu, Tuhan. Jadi, tuhan secara priori mampu dijelaskan oleh kekuatan akal. Dengan demikian, kesimpulan Hume tentang daya dan kemampuan akal terkesan sangat dangkal dan tergesa-gesa. Ketiga, Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris, sehingga dia terjerumus pada determinisme empiris. Realitas alam menjadi sempit dan kecil, serta mutlak dan tidak perna berubah. Padahal realitas sangat luas dan di luar alam empiris masih terdapat wujud lain.[5] 4. PENDAPAT JOHN LOCKE, DAVID HUME DAN THOMAS HOBBES A. John Locke Locke menyatakan bahwa semua pemikiran dan gagasan kita berasal dari sesuatu yang telah kita dapatkan melalui indra. Sebelum kita merasakan sesuatu, pemikiran kita merupakan “tabularasa” atau kertas kosong. Ia sama kosongnya seperti ruangan yang belum dilengkapi perabot. Namun, kemudian kita merasakan sesuatu. Kita melihat dunia di sekililing kita, mencium, mengecap, merasa, dan mendengar.dan tidak ada yang melakukan semua ini secara lebih bersemangat disbanding bayi. Dengan cara ini, muncullah apa yang di sebut Locke gagasan-gagasan indra sederhana.[6] Akan tetapi, pikiran tidak hanya bersikap pasif menerima informasi dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung di dalam pikiran pula. Gagasan-gagasan dari indra itu diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai, dan meragukan. Dengan demikian, menimbulkan apa yang dinamakannya perenungan. Jadi, dia membedakan antara pengindraan dari’perenungan’. Akan tetapi, analisis akhir, semua bahan bagi pengetahuan kita tentang dunia kita dapatkan melalui pengindraan. Oleh karena itu, pengetahuan yang tidak dapat dilacak kembali pada pengindraan sederhana adalah pengetahuan yang keliru sehingga harus kita tolak. Demikianlah, pernyataan diatas menjawab pertanyaan tentang dari mana kita mendapatkan gagasan-gagasan kita. Locke juga mengakui apa yang dinamakannya pengetahuan intuitif, atau demontratif. Misalnya, dia berpendapat bahwa prinsip-prinsip etika tertentu berlaku untuk semua orang. Locke juga percaya, sama dengan rasionalistik bahwa akal manusia mampu mengetahui bahwa Tuhan itu ada.[7] B. David Hume Menurut Hume dalam budi kata tidak ada suatu ide yang tidak sesuai dengan empression yang dikarenakan “hsl” di luar kita. Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya di sebabkan oleh pengalaman./”Hal” nya sendiri tidak dapat di kenal, hanya mendapat impression itu. Adapun yang bersangkutan dengan indera kita itu sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut.[8] Alat indera kita menyampaikan kepada kita tentang warna, ukuran, kandungan, tetapi baik indera maupun akal tidak memberitahukan kepada kita tentang sifat-sifat itu mengenai caranya menjadikan kita kenyang dan badan menjadi kuat. Jadi, tidak ada yang kita ketahui mengenai hubungan antara sifat-sifat objek itu dengan akibat yang ditimbulkannya. Jiwa tidak mempunyai pedoman untuk membentuk konklusi mengenai hubungan yang konsisten dan teratur, yang sebelumnya yang disangka bahwa jiwa dituntun oleh sifat-sifat objek dalam memahami dam memprediksi sebab-akibat. Sama halnya dengan pengalaman masa lalu, ia hanya dapat memberi arah dan informasi mengenai objek pada saat dialami, tetapi bagaimana pengalaman itu itu dikenakkan pada masa depan atau pada objek lain, yang antara keduanya mempunyai kemiripan lahiriah, kita tidak tahu. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa filsafat empirisme membuka jalan menuju skeptic seluas-luasnya. Di sana-sini, hal itu dirasakan benar sehingga derajat ilmupun mungkin merosot. Sebab, bagaimana ilmu itu mendasarkan pengetahuan atas pengalaman, ia selalu mempergunakan putusan-putusan yang berlaku umum dengan memakai pengertian-pengertian yang umum pula.[9] C. Thomas Hobbes Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.[10] Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian. Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi. Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang. Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena mrupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain. BAB III KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa rasionalisme dan emperisme masing-masing mempunyai pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi Rasionlisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.   DAFTAR PUSTAKA Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999 Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1993 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1975 Moh. Ma’mun, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2007 Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004 Sudarsono, Ilmu Filsafat, Jakarata: Renika Cipta, 2008 [1] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius, 1975) 50 [2] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) 316-317 [3]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999) 108 [4]Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004) 1 [5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999) 112-113 [6] Moh. Ma’mun, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 161 [7] Ibid., 163 [8] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarata: Renika Cipta, 2008) 321 [9] Moh. Ma’mun, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 167 [10] Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta: Kanisius, 1993) 32
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok