Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah filsafat islam
Dosen pengampu : Drs. H. Akhmad
Rowi, MH
Penyusun :
Siti Zulaikhah
SEMESTER III
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahilladzi arsala rosulahu bil huda wadienil haq
liyudhirohu alaa dieni kullihi walau karihal musyrikun. Asyhadu alla
ilaahaillahu wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rosuluh amma ba’du.
Segala puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat
Allah yang telah memberikan kepada kita semua ni’mat iman dan ni’mat islam,
sehingga pada saat kali ini kita masih dapat menjalankan aktivitas semata-mata
untuk mengharapkan ridho Allah.
Dan semoga sholawat dan salam tetap tercurah limpahkan
kepada jujungan kita nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita jurang-jurang
kehancuran dan dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang
yakni agama islam.
Semoga atas tersusunya makalah ini menjadi pembelajaran bagi
kita semua dari segala hal yang terjadi di sekililing kita. Mudah-mudahan
makalah ini bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya, dapat mengambil
sedikit pembelajaran bagi kita semua. Disamping itu penulis juga
menyadari makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan, oleh
karnanya segala bentuk keritikan sangat penulis harapkan untuk selangkah lebih
maju pada kesempatan selanjutnya.
Demak, November 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Sumber pengetahuan dalam diri manusia itu banyak
sekali. Salah satu paham yang memaparkan tentang sumber pengetahuan adalah
paham empirisme. Empirisme adalah merupakan paham yang mencoba memaparkan dan
menjelaskan bahwa, sumber pengetahuan manusia itu adalah pengalaman. Paham ini
dikemukakan oleh beberapa pakar filsafat diantaranya John Locke, David Home dan
George Berkeley. Mereka adalah pakar filsafat yang berasal dari Inggris.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah filsafat islam adalah sebagai
berikut :
1.
Apakah
definisi dari ruang, waktu dan empiris
itu ?
2.
Apakah
hakekat ruang dan waktu ?
3. Apakah ajaran-ajaran
pokok Empirisme ?
4. Ada beberapakah Jenis Emperisme ?
5.
Siapakah tokoh-tokoh Empirisme ?
C.
Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah filsafat
islam adalah :
1.
Mengetahui definisi ruang, waktu dan empiris
2.
Mengetahui hakekat
ruang dan waktu
3.
Mengetahui ajaran-ajaran pokok Empirisme
4.
Mengetahui Jenis Emperisme
5.
Mengetahui tokoh-tokoh Empirisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ruang, waktu dan empiris
·
Ruang
Secara ilmiah,
ruang adalah tempat di mana benda-benda berada. Terikat oleh
panjang,lebar,tinggi dan luas. Kalau Anda berada di kamar tidur, maka kamar
tidur itulah ruang. Kalau Anda di dalam gerbong kereta api, maka gerbong itulah
ruang. Kalau Anda jadi astronout, maka angkasa adalah ruang
·
Waktu
Kalau
anda berangkat dari rumah pukul 07:00 WIB dan sampai di kantor pukul 09:00 WIB,
maka Anda menempuh waktu 2 jam. Itulah waktu, yaitu perpindahaan saat ke saat
yang lain.
·
Empiris
Beberapa
pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah
pengalaman.
Di antara pemahaman tersebut antara lain:
Empirisme adalah suatu
aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris
dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme
secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience.
Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria)
yang berarti pengalaman Sementara menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya
Empirisme adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan
secara keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan
indera.
Para penganut
aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran
rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme
yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut
pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a
priori tetapi posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang
datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Bagi penganut
empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud
dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan
pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya
berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang
diperoleh melalui pengalaman.
B.
Hakekat ruang dan waktu
Dalam
memahami alam fisik dari quark – atom – unsur – molekul organik/anorganik –
sampai jagad raya ini, kita tidak dapat meninggalkan pengertian mengenai ruang
dan waktu. Pengertian ruang dan waktu menurut para ahli seperti yang
dikemukakan dalam Kattsoff (1996)(4) adalah sebagai berikut :
Menurut
ajaran Newton ruang dan waktu adalah objektif, mutlak dan bersifat universal.
Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas-bawah, depan belakang, kiri kanan.
Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang. Di dalam ruang kita dapat pergi
ke setiap arah; di dalam waktu kita hanya dapat pergi ke depan. Untuk dapat
menjelaskan bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak, maka Newton mengemukakan
hukum gerakan yang hakiki dari fisika kuno sebagai berikut :”Suatu benda terus
berada dalam keadaan diam atau bergerak, kecuali apabila mendapat pengaruh dari
suatu keadaan yang terdapat di luar dirinya. Jika sesuatu benda dalam keadaan
bergerak, maka ia akan tetap bergerak, kecuali jika ada sesuatu – sesuatu
kekuatan – yang mengubah gerakan tersebut. Gerakan merupakan akibat suatu
kekuatan yang mempengaruhi massa”. Jadi di sini gerakan bersifat mutlak yang
terjadi di dalam ruang dan waktu; dengan demikian ruang dan waktu juga bersifat
mutlak.
Gagasan-gagasan
mengenai ruang dan waktu yang bersifat mutlak di atas ternyata menemui
kesukara-kesukaran karena timbulnya paradoks-paradoks maupun setelah
ditemukannya hukum relatifitas oleh Einstein serta kesukaran-kesukaran dalam
pengamatan.
Paradoks
yang terkenal dikemukakan oleh Zeno (kira-kira 490 – 430 S.M.), ia menyatakan
bahwa banyak keganjilan akan terjadi jika orang mengatakan bahwa gerakan
merupakan suatu kenyataan. Salah satu paradoks dikemukakan di sini yaitu “anak
panah yang melayang” (Jika kita memiliki anak panah ukuran 3 meter berarti
menempati ruang sepanjang 3 meter, kemudian anak panah itu kita lepaskan dan
bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan
melayang anak panah tersebut tetap berukuran 3 meter berarti menempati ruang
sepanjang 3 meter. Sedangkan kita mengatakan bahwa berukuran sepanjang 3 meter
berarti menempati ruang sepanjang 3 meter dan berhubung dengan itu, maka setiap
saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut berada dalam keadaan diam. Maka
dalam hal ini terdapat suatu contradictio in terminis).
Kesukaran
berkenan dengan pengamatan, misalnya apakah benar sesuatu yang terlihat antara
dua obyek adalah suatu ruang ?. Gambaran pengamatan pada bola mata kita
bermatra dua, dan jarak (ruang) yang kita alami berasal dari tangkapan indrawi
dalam otot mata. Ini berarti bahwa yang kita tangkap itu bukanlah ruang sebagai
kenyataan, melainkan sekedar jarak-jarak yang memisahkan obyek-obyek, karena
seandainya tidak terdapat obyek di situ, maka tidak ada sesuatupun yang kita
lihat. Jika demikian, maka gerakan , waktu dan ruang mengacu pada suatu obyek
tertentu. Jadi jika tidak ada obyek, maka tidak mungkin kita dapat menangkap
ruang, waktu dan gerakan yang mutlak dalam kenyataannya.
Menurut
ajaran Einstein, ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya.
Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan
cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara
yang berbeda, maka hasilnyapun akan berbeda. Waktu juga bersifat relatif karena
hasil pengukuran terhadap hubungan-hubungan yang menyangkut waktu tergantung
pada pengertian keserampakan (simultaneity); karena apabila sesuatu terjadi,
misalnya ledakan, maka kuatnya bunyi ledakan akan berbeda di berbagai tempat.
Selanjutnya H.A. Lorentz membuat suatu teori “ persamaan transformasi” yang
melukiskan hubungan antara cara-cara pengukuran jarak – juga cara-cara
pengukuran waktu – yang menyangkut dua pengamat yang mempunyai kerangka acuan
yang berbeda dan berada dalam keadaan bergerak secara lurus, yang saling
mendekati.
Di
sini didapatkan sebenarnya jarak merupakan sekedar ukuran untuk menentukan
ruang; demikianpun dengan transformasi dengan waktu dan hubungannya dengan
ruang; Kita tidak akan pernah mengetahui waktu secara tepat apabila tidak
memperhitungkan koordinat ruang dan sebaliknya kita tidak akan mengetahui ruang
dari suatu obyek bila tidak memperhitungkan koordinat waktu. Sesungguhnya tidak
ada waktu yang bersifat mandiri / mutlak, tidak ada ruang yang terpisah dari
waktu atau waktu yang terpisah dari ruang yang ada hanyalah ruang-waktu.
Akhirnya mulai saat ini kita harus memandang ruang dan waktu secara kontinuum,
jalin-menjalin secara tidak terpisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang
lainnya; keduanya merupakan satu kesatuan yang menyebabkan timbulnya segenap
kenyataan. Dengan demikian waktu, ruang merupakan sekedar matra dari
ruang-waktu.
Menurut
Alexander, jika kita berusaha memehami ruang dan waktu dalam keadaan apa
adanya, maka yang terjadi ialah bahwa kita berusaha memahami benda-benda serta
kejadian-kejadian dalam keadaannya yang paling sederhana serta paling mendasar
dalam ruang (extension) serta bertahan dalam waktu (enduring), dengan segenap
sifat-sifat yang dipunyai oleh kedua macam ciri tersebut. Baik ruang maupun
waktu tidak berada sendiri-sendiri secara terpisah, dan kedua-duanya tampil di
depan kita secara empiris. Jika tidak ada waktu, maka tidak mungkin ada bagian
dari ruang, bahkan yang ada hanyalah kehampaan belaka; dan demikian pula halnya
dengan ruang, dalam hubungannya dengan waktu.
Selanjutnya,
sehubungan dengan itu tidak mungkin ada titik-titik yang menyusun ruang, tanpa
sekelumit waktu yang dapat menimbulkan gagasan kejadian-kejadian murni (pure
events) sehingga dapatlah dikatakan bahwa ruang – waktu merupakan keadaan yang
nyata yang paling dalam dan merupakan tempat persemaian bagi apa saja yang ada
di alam ini. Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang menjadi sumber bagi adanya
segala sesuatu, sedangkan kejadian-kejadian yang murni merupakan penyusun
terdalam dari apa saja yang bereksistensi. Apabila kejadian-kejadian murni
tersebut membentuk suatu pola tertentu, maka munculah kualitas-kualitas fisik
tertentu, misalnya sebuah elektron dengan ciri-cirinya. Jadi materi merupakan
sesuatu yang pertama-tama muncul dari ruang – waktu.
Sebagai
contoh kita perhatikan partikel subatom, seperti sebuah electron. Bagaimana
kita menggambarkan partikel tersebut ? Tidak seorangpun dapat melihat suatu
partikel subatom; partikel ini mungkin berupa sejenis perubahan dalam ruang
pada suatu waktu tertentu; artinya suatu kejadian yang murni yang hanya dapat
disimak melalui kejadian-kejadian tertentu yang dicatat oleh “
pointer-reading”, misalnya oleh instrumen mikroskop elektron. Hasil-hasil
penggabungan kejadian-kejadian murni menimbulkan materi yang lebih rumit dan
mempunyai sifat-sifat tertentu pula.
C.
Ajaran pokok empirisme
a)
Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi
yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b)
Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan,
dan bukan akal atau rasio.
c)
Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data
inderawi.
d)
Semua pengetahuan turun secara
langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali
beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e)
Akal budi sendiri tidak dapat
memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman
inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f)
Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa
pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
D. Beberapa Jenis Emperisme
1. Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran
ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi,
keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai
gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen
netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan
sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara
sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran
ini juga anti metafisik.
2. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada
pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang
pada pandangan-pandangan berikut:
a) Ada batas-batas bagi Empirisme.
Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat
dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b) Semua proposisi yang benar dapat
dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang
kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c) Pertanyaan-pertanyaan mengenai
hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3.
Empiris
Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara
demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian
atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan
dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan
empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti
(Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat
diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut
dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita
tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku
yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang
pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda,
dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya
supaya ia lebih berkembang secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang
hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat lainnya. Perkawinan antara
Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan
langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir,
penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
E. Tokoh-tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh
Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami
sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
a.
Jonh Locke (1673-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris
dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan
kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay
concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion
terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690.
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila
rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris,
dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan
ungkapan singkat Locke :
Segala sesuatu berasal dari
pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang
masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dengan demikian dia menyamakan
pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah
(yang bersumber dari empiri).
b.
David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg
Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang
menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry
concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the
principles of moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi
dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with
out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman
saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan
pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini
lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai
dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression,
atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping
itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di
rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada
pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan
kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan.
Empirisme menganjurkan agar kita
kembali kepada kenyataan yang sebenarnya (alam) untuk mendapatkan pengetahuan,
karena kebenaran tidak ada secara apriori di benak kita melainkan harus
diperoleh dari pengalaman. Melalui pandangannya, pengetahuan yang hanya
dianggap valid adalah bentuk yang dihasilkan oleh fungsi pancaindra selain
daripadanya adalah bukan kebenaran (baca omong kosong). Dan mereka berpendapat
bahwa tidak dapat dibuat sebuah klaim (pengetahuan) atas perkara dibalik
penampakan (noumena) baik melalui pengalaman faktual maupun prinsip-prinsip
keniscayaan. Artinya dimensi pengetahuan hanya sebatas persentuhan alam dengan
pancaindra, diluar perkara-perkara pengalaman yang dapat tercerap secara fisik
adalah tidak valid dan tidak dapat diketahui dan tidak dianggap keabsahan
sumbernya.
Usaha manusia untuk mencari
pengetahuan yang bersifat, mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh
semangat dan terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman
Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan din
kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan
yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme merupakan contoh dan tradisi ini. Kaum
empiris berdalil bahwa adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak
dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang
dapat dikuasai untuk rneningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat
lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan
mengembangkan sebuah sistern pengetahuan yang rnempunyai peluang yang besar
untuk benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat
bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang
berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan
berkata “Tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka
dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita meng takan kepada
dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk
menceriterakan bagairnana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita
terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris
akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan
menerima hal tersebutjika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang
kita ajukan, denganjalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.
Dua aspek dan teori empiris terdapat
dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan
yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah
obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dan fakta atau obyek yang dapat
ditangkap oleh seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dan fakta
atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum
empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah
memenuhi persyaratan pengujian publik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Emperisme merupakan suatu doktrin filsafat yang menekankan
peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal.
Sebagai suatu doktrin empirisme merupakan lawan dari rasionalisme. Empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh
melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia.
Dengan demikian berfikir
secara induktif merupakan suatu rekayasa dari berbagai macam kasus yang unik
atau khusus yang kemudian dikembangkan menjadi suatu penalaran tunggal yang
menggabungkan kasus tersebut kedalam suatu bentuk pemahaman yang umum. Secara
singkat berfikir secara induktif berarti berfikir dari kasus menjadi
kasus umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2011. diakses dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Empirisme. tanggal 14 Maret 2011, pukul. 13.00 WIB.
2. Anonim. 2011. diakses dari: http//andre.com/empirisme. tanggal 14 Maret
2011, pukul. 13.00 WIB.
3. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, bandung;CV Pustaka Setia, 2009.
4. Anonim. 2011. diakses dari: http://
Prasetyo.com/post/detail/14925/empirisme, tanggal 14 Maret 2011, pukul. 13.00
WIB.
5. Anonim. 2011. diakses dari: http:// Indera.com /empirisme, tanggal 14 Maret
2011, pukul. 13.00 WIB.
6. Lorens bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996.
7. Van
Klinken, Gery .2004.Revolusi Fisika Dari Alam Gaib Kea Lam Nyata.Jakarta. KPG
8. Krane,Kenneth S. 2006. FISIKA MODERN. Jakarta.Penerbit UI.
9. Wardhana, Wisnu Arya. 2006. Melacak Teori Einstein dalam Alquran.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !