Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah filsafat islam
Dosen pengampu : Drs. H. Akhmad
Rowi, MH
Penyusun :
Anis Mifrokhati
SEMESTER III
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
KATA PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat menjalankan aktivitas
sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur kepada Nabi dan Rasul kita,
Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni Nabi Besar Muhammad SAW serta
keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita dari jurang yang penuh
kesesataan menuju sebuah kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.
Suatu rahmat
yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karena dengan
kehendaknya, taufiq dan rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam dengan judul makalah
“logika dan psikologi dalam islam”.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada rekan-rekan yang selalu memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat membangun.
Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada orang tua yang telah memberi bantuan kepada penulis, dari segi moril maupun materil.
Makalah ini
merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai manusia yang
tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Jadi saran, kritik dan koreksi
yang membangun sangat penulis harapkan dari rekan-rekan semua.
Akhirnya,
kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan memanjatkan do’a
dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridha
dan balasan serta ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha
pengasih lagi maha penyayang.
Billahittaufiq Wal Hidayah
Demak, oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................
2
DAFTAR ISI................................................................................................................................
3
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah.................................................................................................
4
B.
Rumusan
masalah..........................................................................................................
4
C.
Tujuan
penulisan
..........................................................................................................
5
BAB II
: PEMBAHASAN
A.
Pengertian
psikologi islam...........................................................................................
6
B.
Ruang lingkup psikologi islam....................................................................................
7
C.
Konsep Psikologi Islami: Paradigma Modern atau
Turats Islam Murni.....................
8
D. Latar Belakang
(Manfaat dan Tujuan) psikologi islam...............................................
9
E. Penerapan
Psikologi Islam (nafsiologi) Dalam Pendidikan.......................................
10
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Setelah tumbangnya ideologi komunis (blok timur) sebagai
lawan dari kapitalis (blok barat), Islam muncul atau dimunculkan sebagai
tandingan ideologi barat, hal ini disatu sisi meresahkan umat Islam, sebab
Islam dipaksa menanggung resiko yang tidak ringan. Islam diberbagai belahan
dunia disudutkan dengan bermacam cap, bahkan lebih celaka lagi umat Islam
sendiri mengalami Islamophobia merasakan menampakkan simbol-simbol
keIslamannya.
Dilain pihak umat Islam merasa tertantang dan bangga dengan
adanya stigma tersebut, bahkan umat Islam ada yang terjangkit penyakit uforia
sebagian Islam ada yang ingin menginginkan Islamisasi di segala bidang, bahkan
dalam bidang-bidang ilpeng yang di anggap sebagai produk sekuler, tidak
terkecuali ilmu psikologi. Semangat Islamisasi ilmu itu tergambar jelas dalam
pernyataan Prof. Muhammad Qutub, seorang pemikir ternama mesir. Ia mengatakan
bahwa kita umat Islam tidak memerlukan psikoligi modern, sebab ilmu itu dengan
cabang-cabangnya merupakan kumpulan teori dan praktek dari peradapan asing dan
kafir (ahmad mubarok, 2000;264). Usulan itu oleh DR. Malik badri di anggap
sebagai tindakan yang berlebihan, sebab hal itu seperti menyuruh membuang
barang berharga bersamaan dengan barang yang berguna, membuang berlian dengan
sampah, atau marah kepada nyamuk,kemudian membakar kelambu. (Hasan langgulung,
1986;306).
Padahal kita tau bahwa psikologi sebagai disiplin ilmu baru
muncul pada akhir abad ke-18 M. namun akar-akarnya menghunjam jauh ke dalam
kehidupan primitif umat manusia sejak saman dahulu kala. Bahkan Islampun
memberikan kepada psikologi, antara lain melalui ide-ide Ibnu sina tentang ilmu
pengobatan jiwa, ide ibnu siirin tentang tefsir mimpi, al Ghosali dan al
Muhasibi tentang kajian kepribadian yang banyak di serap psikologi modern
(barat) sehingga jika membuang ilmu psikologi modern, terbuang juga warisan Islam
di dalamnya, (Hasan Langgulung, ibid). Pada tahun lima puluhan di amerika
muncul gerakan psikologi Islam. Gerakan ini menurut langgulung, pada umumnya
hanyalah satu bagian dari suatu gerakan yang menyeluruh yang berusaha menentang
dan menunjukan alternatif lain terhadap konsepsi manusia. Namun di akui bahwa
psikologi Islam masih mengandung banyak problem yang harus di carikan
solusinya, di antaranya problem nama, konsep, sistem dll. Dari segi istilah
nama beberapa ahli ada yang menamai psikologi Islam oleh jamaluddin ancok,
psikolgi fitrah oleh fuad nasori psikologi tasawuf oleh komaruddin hidayah,
nafsiologi oleh sukanto mulyomartono.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah filsafat islam adalah sebagai
berikut :
1.
Apakah
definisi dari psikologi islam itu ?
2.
Apa
sajakah ruang lingkup psikologi islam ?
3. Apakah Konsep Psikologi Islami: Paradigma Modern atau Turats
Islam Murni ?
4.
Apakah yang melatar belakangi psikologi islam ?
5.
Bagaimana penerapan Psikologi Islam
(nafsiologi) Dalam Pendidikan?
C.
Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah filsafat
islam adalah :
1.
Mengetahui definisi psikologi islam.
2.
Mengetahui ruang lingkup psikologi islam.
3.
Mengetahui konsep psikologi islami: paradigma
modern atau islam murni.
4.
Mengetahui manfaat yang melatar belakangi
psikologi islam.
5.
Mengetahui penerapan psikologi islam dalam
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian psikologi
islam
Hanna Djumhana
Bastaman, menjelaskan bahwa Psikologi
islam adalah sebuah psikologi yang memiliki karakteristik dan identitas
yang semuanya bermuara pada nilai-nilai Islam. Selain itu, psikologi Islam
menggunakan akal dan keimanan sekaligus, yakni menggunakan secara optimal daya
nalar yang obyektif-ilmiah dengan metodologi yang tepat.
Psikologi Islam
dalam tiga pengertian.
Pertama, bahwa
psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia
memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti
Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam, dan
sebagainya. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memiliki pola pikir
sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat
membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer
pada umumnya.
Kedua, bahwa
Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia.
Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-Ruh, al-Nafs, al-Kalb, al-` Aql,
al-Damir, al-Lubb, al-Fu’ad, al-Sirr, al-Fitrah, dan sebagainya. Masing-masing
aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku
yang perlu dikaji melalui al-Qur’an, al-Sunnah, serta dari khazanah pemikiran
Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga
apa hakekat jiwa sesungguhnya.
Ketiga, bahwa
Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan
demikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang
kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam
kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai
kualitas hidup.
Sedang menurut
Baharuddin, psikologi Islam adalah sebuah aliran baru dalam dunia psikologi
yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada
Islam.
Dari beberapa
penjelasan tersebut, psikologi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari gejala
kejiwaan manusia yang normal, dewasa dan beradab, dan didasarkan pada al-Quran
sebagai sumber hukum Islam.
Psikologi Islam
sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakan
telah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih
bertaraf pseudo-ilmiah adalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui
batas-batas ilmiah. Obyektivitas suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan,
yang kriterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi
Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri. Demikian
juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin.
Pergulatan
dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang
sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak untuk konteks
Indonesia, ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Pertama, adalah mereka
yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan kemudian bersinggungan
dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping adanya ketidakpuasan
atas bahasan psikologi yang dianggap terlalu sekularistik dan menafikan kondisi
kejiwaan hakiki manusia.
Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turat
al-Islam) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Keduanya bukanlah
psikolog dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki
akses terhadap literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar
pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan
psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn
Psikologi Islam
oleh sebagian peminat dan pakarnya sering diposisikan sebagai suatu aliran atau
madzhab baru dalam kancah psikologi modern. Psikologi Islam disebut-sebut
sebagai madzhab kelima setelah mazhab psychoanalysis, mazhab
bihaviorisme, mazhab psikologi humanistik, dan madzhab psikologitranspersonal.
Setidaknya ada
sejumlah alasan untuk berharap bahwa psikologi Islam yang didasarkan pada
pandangan dunia Islam (Islamc world view) ini akan menjadi fajar baru
yang prospektif dalam dunia psikologi.
B.
Ruang lingkup psikologi islam
Jika
ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi; fisik-biologis,
kejiwaan dan sosio kultural, maka ruang lingkup psikiologi Islam disamping tiga
hal tersebut juga mencakup dimensi kerohanian, dimensi spiritual, suatu wilayah
yang tak pernah disentuh oleh psikologi barat karena perbedaan pijakan.
Psikologi Islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan, keadaan badan
manusia sebagai cerminan jiwanya, jadi ekspresi badan adalah salah satu
fenomena kaejiawaan. Dalam merumuskan siapa manusia, psikologi Islam tidak
hanya melihat dari aspek perilaku badannya saja. Psikologi Islam bermaksuk
menjelaskan manusia dengan memulai dari apa kata Tuhan tentang manusia, sebab
dalam diri manusia terdapat kompleksitas yang hanya Tuhanlah yang mampu
memahaminya.
Kajian
tentang manusia meliputi komponen-komponen yang oleh para ilmuwan Islam berbeda
pendapat tentang apa saja, kedudukan dan fungsi dari komponen-komponen
tersebut. Abdul Razak Al-Kasyani, misalnya mejelaskan bahwa komponen- komponen
yang ada dalam diri manusia meliputi ruh, jiwa, hati, dan akal. Menurut
Al-Kasyani pada awalnya adalah substansi ruh dan substansi jasad. Setelah
keduanya sulit berkomunikasi diciptakanlah jiwa yang merupakan perantara
tubuh/jasad dengan ruh. Bisa dikatakan bahwa jiwa terletak antara tubuh dan
ruh. Selanjutnya, letak dari hati adalah antara jiwa dan ruh. Selain
Al-Kasyani, banyak ahli yang memiliki pandangan tentangan struktur komponen
jiwa manusia. Amir bin Usman Al-Makky, sebagaimana diungkapkan oleh Shigeru
Kamada, membagi komponen manusia terdiri dari empat tataran, yaitu: raga (tan),
qalbu (dil), ruh (jan), dan rahasia (sir). Imam Al-Gazali menghadirkan
istilah-istilah ruh, akal, hati, nafsu syahwat, dan-Nafsu ghadhab. Hati adalah
raja, akal adalah perdana menteri, nafsu syahwat adalah tax collector pengumpul
pajak, sedangkan-Nafsu ghadhab adalah diumpamakan sebagai polisi. Ruh adalah
bagian akal yang paling tinggi. Senada dengan Al-Gazali adalah Abdul Mujib dan
Yusuf Mudzakkir membagi komponen rohani atas qalbu, akal, dan-Nafsu. (Fuad
Nasari, Potensi-Potensi Manusia; 111-112). Sedikit berbeda dengan pandangan
Al-Gazali, Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ahmad Mubarak menegaskan bahwa
subsistem jiwa terdiri atas: qalbu, ruh, akal dan basyrah. Qalbu adalah alat
untuk memahami realita dan nilai-nilai. Qalbu memiliki karakter tidak
konsisten. Akal merupakan alat potensi untuk menerima ilmu pengetahuan. Ruh
merupakan substansi dalam jiwa manusia yang memliki sifat-sifat positif secara
alamiah. Terakhir adalah basyirah, yaitu ketajaman hati atau kecerdasan dan
kemantapan dalam agama, dan keyakinan dalam hal agama dan realitas. (A.
Mubarak,Jiwa Dalam Al-Qur’an;109-112).
Menyikapi
berbagai uraian di atas, bahwa ruang lingkup psikologi Islam pada awalnya
adalah manusia yang memiliki dua substansi asal, yatu ruh dan tubuh (jasad,
jism). Ketika keduanya bertemu, maka lahirlah substansi ketiga yaitu jiwa. Jiwa
ini bukanlah alat, tetapi ia merupakan sub sistem di mana komponen-komponen
yang ada di dalam dirinya berada dalam wadaq jiwa itu. Wadaq jiwa tersebut
terdiri atas qalbu, akal, dan-Nafsu. Bagaimana kualitas jiwa sangat bergantung
kepada tingkat berfungsinya alat-alat yang bekerja dalam wadaq jiwa tersebut.
C.
Konsep Psikologi Islami: Paradigma Modern atau
Turats Islam Murni
Pergulatan
dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang
sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak –untuk kasus
Indonesia- ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Kelompok
pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan
kemudian bersenutuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping
adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu
sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut
beberapa nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman,
Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan
Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan
alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis,
namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam tentang psikologi.
Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turats
al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya, Abdul Mujib
atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki latar
belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap
literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran
cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn
Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam
dengan alasan mengambil sumber langsung dari khasanah klasik Islam dan kemudian
mengkontekstualisasikan dengan pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang
berlatar pendidikan dari kampus-kampus yang memiliki akses terhadap literatur
Arab, semacam IAIN yang memiliki kecenderungan semacam ini.
Khasanah klasik Islam sering juga disebut sebagai turats Islam. Dalam buku
At-Turats Wa at-Tajdid, Hasan Hanafie mengatakan bahwa turats dapat dinisbahkan
kepada dua hal. Pertama, turats Islam adalah kumpulan kitab-kitab dan manuskrip
yang tersimpan dalam perpustakaan, gudang, masjid-masjid maupun museum. Di
sini, turats berbentuk material yaitu turats tertulis, tersimpan dan tercetak
dalam bentuk kitab. Namun, menurutnya lagi, ada bentuk lain dari turats yang
bersifat immaterial, yaitu warisan kejiwaan dan adat-istiadat yang telah
tertanam dalam jiwa masyarakat.[1]
Secara
lebih maju, Aisyah Abdurrahman (yang terkenal dengan nama samaran Bintu
Syathi—putri pesisir), dalam bukunya Turatsuna Baina Madli wa Hadlir mengatakan
bahwa kita tidak dapat membatasi lingkup turats Islam pada zaman dan wilayah
tertentu. Karena turats Islam mencakup seluruh warisan peradaban kuno kita, di
sepanjang zaman dan tempat, maka, tentu saja warisan kebudayaan Mesir kuno yang
tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam pula.
Demikian pula halnya peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir,
Maghrib dan wilayah-wilayah lainnya. Hal itu, menurut Aisyah Abdurrhaman,
karena seluruh penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam, maka secara
otomatis masa lampau mereka menjadi milik Islam pula.[2]
Dalam kajian-kajian psikologi, turats Islam
yang berupa manuskrip tulisan dari cendekiawan muslim klasik cukup banyak, baik
yang berupa konsep yang masih potensi maupun yang manifest. Misalnya, konsep
perkembangan moral dan rasio seseorang bisa dibaca dalam karya klasik Ibn
Thufail yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Atau konsep-konsep umum mengenai nafs,
qalb, atau akal yang dikemukakan oleh tokoh semacam al-Ghazali, Ibn Miskwaih,
Ibnul Qoyyim al-Jauzi, bahkan pada konsep tentang tabir mimpi yang pernah
dibahas oleh Ibn Sirrin jauh sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang
analisis mimpi.[3]
Turats
Islam ini bisa menjadi sumber kajian psikologi dalam perspektif Islam, tinggal
bagaimana mengkonseptualisasikan dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi
saat sekarang ini. Sayangnya literatur mereka yang menggunakan bahasa Arab
belum banyak yang mengakses, justru oleh mereka kaum muslim yang belajar
psikologi, khususnya di Indonesia ini.
Dua
model pengembangan ini sebenarnya masih tetap perlu dilakukan, meskipun
kelemahan-kelemahan fundamental tetap ada. Jika terlalu memfokuskan pada
pendekatan modern kemudian melabelkannya dengan Islam, maka yang terjadi adalah
bukan muncul suatu ilmu, melainkan hanya menempel-nempelkan yang dianggap cocok
(labeling). Apabila ini yang dilakukan maka akan sangat mudah goyah karena
fondasinya tidak kuat.
Sedangkan
jika turats Islam yang belum dikonseptualisasi dan dikontekstualisasikan akan
sulit teraplikasi di zaman sekarang ini. Selain konsep-konsep yang ada adalah
konsep filosofis, juga kondisi umat manusia pada abad pertengahan tentu
memiliki karakteristik yang berbeda dengan umat manusia sekarang ini.
Lalu apakah model integralisasi model Faruqi
yang dilakukan? Memang banyak tawaran, tinggal mana yang kiranya pas dan mampu
diaplikasikan dalam kerangka teoritis akademis maupun aplikasi pragmatis.
Pemahaman dan penguasaan terhadap keilmuan modern kontemporer dari Barat bukan
suatu hal yang tidak perlu dilakukan. Namun juga tidak kemudian menerima apa
adanya (taken for granted) terhadap model-model pemikiran mereka. Langkah
kritis terhadap pemikiran mereka perlu dilakukan. Sementara penguasaan turats
Islam dijadikan sebagai fondasi pemikiran. Kemudian turats Islam tersebut
dikaji, dikritisi, dikonspetualisasi dan dikontekstualisasikan. Tak tertutup
kemungkinan melakukan sebuah studi komparasi antara pemikiran-pemikiran Barat
tentang psikologi dengan pemikiran-pemikiran yang berasal dari turats Islam.
D.
Latar Belakang (Manfaat dan Tujuan) psikologi
islam.
Paling
tidak terdapat dua latar belakang bagi perlunya kehadiran psikologi Islam yang
telah banyak disebutkan oleh para ahli psikologi, yang pertama, Islam mempunyai
sudut pandang yang fundamental terhadap diri manusia dan segala keadaannya,
berbeda dengan sudut pandang psikologi konvensional (barat) baik dari aspek
filosofi, metodologi, dan pendekatannya. Al-qur’an sebagai sumber pertama Islam
mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang manusia, melalui Al-Qur’an Allah
memberitahukan banyak tentang rahasia-rahasia manusia.
Untuk
mengetahui tentang hakikat manusia secara filosofis Al-Qur’an menjadi acuan
utama bagi pengembangan ilmu psikologi. Psikologi barat yang berkembang saat
ini mempunyai kelemahan- kelemahan yang bersifat fundamentalis, baik secara
filosofis maupun secara praktis. Psikoanalisis Sigmund Freud ,menganggap
sinting (delusi) orang yang percaya Tuhan dan aliran behavioristik tidak peduli
akan adanya Tuhan. Hal ini akan mendorong akan pentingnya adanya psikologi yang
berwawasan theosentris (berketuhanan) yaitu psikologi Islam. Alasan kedua
adalah adanya kesadaran bahwa psikologi modern menghadapi beragam krisis.
Ahli-ahli psikologi modern baik dari kalangan muslim maupun non muslim telah
melontarkan sejumlah kritik terhadap psikologi modern. Malik B. Badri seorang
ilmuwan muslim dari Sudan telah melakukan koreksi teoritis dan praktis terhadap
psikologi modern. Bahkan Gordon Westland (1978) seorang ilmuwan psikologi barat
memandang bahwa krisis psikologi modern telah berkembang sedemikian jauh hingga
dapat dikategorikan menjadi berbagai macam krisis.
Diantaranya
adalah krisis kegunaan (The usefullness crisis), krisis laboratorium
(Laboratory crisis), krisis filsafat (The philosophical crisis), krisis profesi
(The professional crisis), krisis etika (The ethical crisis), dan krisis
resolusi (The resolution crisis). (Jamaluddin Ancok dan Fuad Nasori: 1995;
139).
Tugas
psikologi Islam berbeda debgan psikologi barat, psikologi barat hanya
menerangkan (explanation) memprediksi (prediction) dan mengontrol (countroling)
terhadap prilaku manusia. Sedang psikologi Islam menerangkan, memprediksi,
mengontrol dan mengarahkan untuk memperolrh ridho Allah. Jadi misi utama
psikologi Islam adalah menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk
memenuhi kecenderungan alaminya dan fitrahnya untuk kembali kepada Allah SWT.
Psikologi Islam dibangun dengan menggunakan Al-Qur’an sebagain acuan utamanya
dan Al-qur’an diturunkan bukan semata-mata untuk umat Islam melainkan untuk
kebaikan manusia (Q.S. 14: 1) karena itu psikologi Islam dibangun dengan arah
untuk kesejahteraan manusia. Tujuan utama pengembangan psikologi Islam adalah
untuk memecahkan problem dan mengembangkan potensi individual dan komunal
manusia melalui cara yang tepat dalam memahami hidup mereka.
E.
Penerapan Psikologi Islam (nafsiologi) Dalam
Pendidikan.
Psikologi
Islam sebagai salah satu disiplin ilmu yang dibangun dan dikembangkan atas
prinsip-prinsip al-Qur’an dan as-Sunah, di samping mengemban misi untuk
menerangkan, memprediksi, mengontrol dan mengantarkan manusia dalam memenuhi
kecenderungan untuk kembali kehadiratnya, juga untuk mengarahkan mencapai
rido-Nya. Sumber psikologi Islam tidak hanya al-Qur’an dan Sunah tetapi juga
pemikiran para ulama, oleh karena itu kami akan mencoba mengungkapkan salah
satu sumber psikologi Islam yaitu “tasawuf” yang oleh barat di sebut istilah
“sufisme”. Sufisme adalah dimensi batiniah (esoterik), dalam agama Islam
sebagai sisi lain dari demensi lahiriah (eksoterik), dan banyak pihak yang
berkeyakinan bahwa tasawuf merupakan inti dari ajaran Islam. Sufisme Islam
dapat di jadikan sebagai pertimbangan dalam mengembangkan psikologi Islam,
seperti ar-ruh, an-nafsu, al-aqlu, al-qolbu, kondisi psycho mistis, penyakit
hati dan berbagai macam metode untuk meningkatkan derajat kemanusian menuju
insan kamil (Fuad Nashari, 1994; 105).
Catatan akhir :
[1] Lihat dalam artikel Abdul Hayyie al
Kattani, Rekayasa Masa Depan Islam: Dengan Revitalisasi Warisan Klasik Islam
(Turats) Sebaga Illustrasi,dalam http://www.kmnu.org/
[2] Ibid
[3] Untuk studi mendalam ada buku yang mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran mereka dengan judul ‘Ilm an-Nafs fi at-Turats al-Islami. Buku ini berupa kumpulan tulisan dari beberapa cendekiawan dan ilmuwan tentang psikologi dengan jumlah tiga jilid dan diterbitkan di Mesir oleh IIIT Mesir tahun 1996. kemudian adalagi buku dengan judul Abhats Nadwat ‘Ilm an-Nafs yang juga berupa kumpulan tulisan dan diterbitkan pula oleh IIIT Mesir tahun 1989. Buku terbaru Dr ‘Utsman Najati juga mencoba membuat kodifikasi pandangan filosof muslim terhadap jiwa manusia dengan judul Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002) yang intinya juga melakukan kajian terhadap turats Islam.
[2] Ibid
[3] Untuk studi mendalam ada buku yang mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran mereka dengan judul ‘Ilm an-Nafs fi at-Turats al-Islami. Buku ini berupa kumpulan tulisan dari beberapa cendekiawan dan ilmuwan tentang psikologi dengan jumlah tiga jilid dan diterbitkan di Mesir oleh IIIT Mesir tahun 1996. kemudian adalagi buku dengan judul Abhats Nadwat ‘Ilm an-Nafs yang juga berupa kumpulan tulisan dan diterbitkan pula oleh IIIT Mesir tahun 1989. Buku terbaru Dr ‘Utsman Najati juga mencoba membuat kodifikasi pandangan filosof muslim terhadap jiwa manusia dengan judul Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002) yang intinya juga melakukan kajian terhadap turats Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Menurut kami psikologi Islam adalah
psikologi konvensional barat yang telah di jiwai dan dijastifikasi oleh Islam.
Alasannya adalah psiko manusia sebagai obyek kajiannya telah mendapatkan kajian
dan penelitian ilmiah oleh barat secara riil, rasional, dan terbukti bermamfaat
dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat. Dan ini merupakan dari
bagian sunatullah atau hukum alam yang telah di letakkan oleh Allah di bumi,
yang telah di kaji oleh ilmuan barat mendahului umat Islam. Padahal Allah telah
menganjurkan untuk menkaji hukum alam ini, yang di antaranya psiko manusia.
Tema-tema seperti pikiran, ingatan, imajinasi, ilusi, potensi, halusinasi, dan
lain sebagainya banyak mendapatkan perhatian dalam kajiamn barat. Dalam Islam
tema-tema tersebut kurang mendapatkan kajian mendalam yang berangkat dari
nash-nash al-qur’an dan hadis yang di padikan dengan kajian impiris dan
eksperimen.
2.
Tema-tema seperti ruh, qalbu, nafsu dan aqlu adalah tema
yang mendapakan kajian dalam Islam, kajian yang berangkat dari nas-nas
al-Qur’an dan Hadis tetapi kurang dalam kajian empiris dan eksperimen, seperti
kajian imam ibn al-Qoyyim al-jauzi dalam kitabnya “ar-Ruh”, imam al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juz 3 dan Syaikh Said Hawwa dalam kitabnya
“Tarbiat ar-Ruiyah”. Mereka telah melakukan kajian yang mendalam pada empat
tema ini. Dan tema-tema ini juga banyak mendapatkan kajian dalam referensi kaum
sufi.
3.
Kajian mutakhir dari psikolog muslim tentang psikologi yang betul-betul
berangkat dari nas al-Qur’an dan al-Hadist yang dipadukan dengan kajian empris
dan eksperimen masih belum banyak ditemukan, karena itu bisa dikatakan bahwa
psikologi Islam masih dalam proses perkembangan.
4.
Kajian yang dilakukan sebagian ahli psikologi Islam berkaitan dengan potensi
ar-Ruh, an-Nafs, al-Qalb, al-Aql bisa memberikan jalan awal bagi perkembangan
kajian ini, dan juga bagi dunia pendidikan yang sekarang ini mengalami
kemerosotan mutu pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
dengan Islam Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
2.
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
3.
Abdul Hayyie al Kattani, Rekayasa Masa Depan
Islam: Dengan Revitalisasi Warisan Klasik Islam (Turats) Sebaga Illustrasi,
http://www.kmnu.org/.
4.
Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
5.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
6.
Kartanegara, Mulyadhi, Mengislamkan
Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlanga, 2007.
7.
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam
Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000.
8.
Mudhafir, Ali, Kamus Istilah
Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1992.
9.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta:
Rajawali, 2001.
10.
Nadvi, Syed Habibul Haq, The Dynamics of Islam, terj. Asep
Hikmat, Bandung: Risalah, 1982.
11.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa
dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !