RESPON
NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP
PERADABAN
ISLAM
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Peradaban Islam
Dosen Pengampu
: Drs. H. Ahmad Rowi, M.H
Disusun Oleh :
Umi
Khoiriyah
PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH DEMAK
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cara pandang
orang barat sebagai mana yang terungkap dalam buku Dr. Morey terhadap perilaku
umat Islam, hukumhukum Islam dan peribadatan dalam Islam adalah reaksi spontan
terhadap keadaaan umat Islam di negara-negara Islam tanpa memperhatikan apa
sesungguhnya ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh melainkan
-sepenggal-sepenggal sesuai dengan kebutuhan mereka dalam me maknai Islam.
Sebagaimana telah kita bahas beberapa penyebabnya -yang juga membuat kita tidak
heran dengan adanya pandangan negatif barat kepada Islam itu – namun juga tidak
dapat disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut seringkali disebabkan oleh
salah paham, atau malah oleh rasa permusuhan. Apalagi dengan adanya tulisan
Samuel Huntington yang mengemukakan tentang kemunglcinan terjadinya perbenturan
budaya (clash of civilizations) dengan Islam sebagai pola budaya yang paling
potensial “membentur budaya modern Barat, maka rasa permusuhan yang laten
kepada Islam itu semakin memperoleh bahan pembenaran.
Untunglah bahwa
di kalangan orang Barat sendiri selalu tampil orang-orang yang jujur dan sadar.
Dalam kejujuran dan kesadaran itu mereka tampil -sungguh menarik- sebagai
pembela-pembela Islam yang tangguh. Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan
pandangan penuh nafsu namun salah dan Zalim dari kalangan orang Barat tentang
Islam dan kaum Muslim. Contohnya ialah Robert Hughes, seorang yang lama bekerja
sebagai kritikus seni majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya dengan
baik sekali mewakili dan mencoba bersikap adil dan benar, maka ada baiknya
penulis terkenal ini kita kutip sebuah pernyataannya secara panjang lebar.
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Culture of Complaint- sebuah bestseller koran
New York Times- Hughes mengatakan pandangan hidup aneka budaya (multicultural)
demikian:53
“Maka jika pandangan aneka budaya ialah belajar melihat tembus batas-batas,
saya sangat setuju. Orang Amerika sungguh punya masalah dalam memahami dunia
lain. Mereka tidaklah satu-satunya -kebanyakan sesuatu memang terasa asing bagi
kebanyakan orangtetapi melihat aneka ragam asal kebangsaan yang diwakili dalam
masyarakat mereka (Amerika) yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya
merima stereotip masih dapat membuat orang asing heran, bahkan (berkenaan
dengan diri saya) sesudah tinggal di A.S. duapuluh tahun. Misalnya: Jika orang
Amerika putih masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana dengan
orang Arab? Sama dengan setiap orang, saya menonton Perang Teluk di televisi,
membaca beritanya di Koran dan melihat bagaimana perang itu membuat klimaks
buruk kepada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada orang Amerika, berupa
ketidak pedulian yang penuh permusuhan kepada dunia Arab, dahulu dan sekarang.
Jarang didapat petunjuk dari media, apalagi dari kaum politisi, bahwa kenyataan
tentang budaya Islam (baik dahulu maupun kini) bukanlah tidak lain dari sejarah
kefanatikan. Sebaliknya, orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum
bahwa orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak agama yang berubah-ubah,
pengambil sandra, penghuni semak berduri dan padang pasir yang sepanjang zaman
menghalangi mereka untuk kenal dengan negeri-negeri yang lebih beradab.
Fundamentalisme Islam di zaman modern memenuhi layar telebisi dengan
mulut-mulut yang berteriak dan tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam
masa lalu -apalagi sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap senofobia dan
militerisme fundamentalissangat sedikit terdengar. Seolah-olah orang Amerika
selalu dicekoki dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan Isabella
pada abad 15, yang dibesar-besarkan dan disesuaikan dengan zaman. Inti pesannya
ialah bahwa orang Arab adalah tidak hanya tidak berbudaya, tetapi tidak dapat
dibuat berbudaya. Dalam caranya yang jahat, pandangan itu melambangkan suatu
kemenangan bagi para mulla dan saddam Husein -di mata orang Amerika, apa saja
di dunia arab yang tidak cocok dengan kejahatan dan maniak eskatologis ditutup
rapat, sehingga mereka (orang Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang
(segala kebaikan) itu.
Tetapi memperlakukan budaya dan
sejarah Islam sebagai tidak lebih daripada mukadimah kefanatikan sekaran gini
tidak membawa faedah apa-apa. Itu sama dengan memandang katedral Gotik dalam
kerangka orang Kristen zaman modern seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson
(dua penginjil televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak terhormat
karena skandal-skandal -NM). Menurut sejarah, Islam sang Perusak adalah
dongeng. Tanpa para sarjana Arab, matematika kita tidak akan ada dan hanya
sebagian kecil warisan ilmiah Yunani akan sampai ke kita. Roma abad tengah
adalah kampung tumpukan sampah dibanding dengan Baghdad abad tengah. Tanpa
invasi Arab ke Spanyol selatan atau al Andalus pada abad 8, yang merupakan
ekspansi terjauh ke barat dari imperium Islam yang diperintah dinasti Abasiah
dari Baghdad (Sic., yang benar ialah Spanyol Islam berdiri di bawah dinasti
Umawiah, tanpa pernah menjadi bagian wilayah dinasti Abasiah di Baghdad-NM),
kebudayaan Eropa selatan akan sangat jauh lebih miskin. Andalusia Spanyol-Arab,
antara abad 12-15, adalah peradaban “multicultural” yang brilian, dibangun atas
puing-puing (dan mencakup motif-motif yang hampir punah) dari koloni Romawi
kuna, menyatukan bentuk-bentuk Barat dengan Timur Tengah, megah dalam ciptaan
iramanya dan toleransinya yang pandai menyesuaikan diri. Atsitektur mana yang
dapat mengungguli Alhambra di Granada, atau Masjid Agung Kordoba? Mestizaje es
grandeza: perbauran adalah keagamaan.
Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan diatas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam.
Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan diatas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam.
Mari kita lihat
bagaimana Dr. Robert Morey menunjukkan kebenciaanya pada umat Islam
seperti pernyataannya berikut ini:
“Orang Barat mengalami kesulitan memahami Islam karena
mereka tidak mengerti bahwa Islam merupakan suafu bentuk dari imperalisme
budaya di mana agama dan budaya Arab abad ke – 7 ditingkafkan statusnya menjadi
hukum Ilahi”.
Kesimpulan yang impulsive yang mereka buat tentang segisegi negatif
masyarakat Islam karena melihat kejadian-kejadian itu barangkali memang dapat
dipahami. Tetapi orang Barat, termasuk kebanyakan kaum cendikiawan mereka,
apalagi politisi mereka, melupakan dua sejarah dari dua masyarakat masa lalu
yang sangat kontras: mereka lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis
dan tidak beradab, sampai dengan saatnya mereka berkenalan dengan peradaban
Islam; kemudian mereka lupa, atau semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang
membawa rahmat bagi semua bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua
masyarakat, dan membangun peradaban yang benarbenar kosmopolit. Sampai-sampai
para sarjana Yahudi (yang di masa lalu terkenal sengit kepada Islam dan Kristen
itu), seperti Schweitzer, Halkin, dan Dimont, memuji masyarakat Islam klasik
sebagai paling baik memperlakukan para penganut agama lain, termasuk kaum
Yahudi, yang sampai sekarang pun belum tertandingi.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian di atas dapat di rumuskan hal- hal sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah Sejarah Studi Islam Di Barat ?
2.
Bagaimanakah Islam Dalam Pandangan Barat ?
3.
Apakah Respon Beberapa Cendekiawan Non Arab
Terhadap Peradaban Islam ?
4.
Bagaimanakah Interaksi Islam Dengan Peradaban
Dunia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah Studi Islam di Barat
Interaksi pertama kali antara Islam dan Barat terjadi ketika umat Islam berhasil menguasai Andalusia (Spanyol) sekitar tahun 711 M. Saat itu peradaban Islam sedang berada di puncak kejayaannya, sehingga tidak heran kalau orang-orang Barat banyak belajar kepada umat Islam. Karena saat itu Barat merasa dikuasai oleh umat Islam, maka dalam pandangan Barat Islam adalah penjajah dan mereka harus berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan tersebut. Sehingga ketika Barat kembali berhasil mengalahkan umat Islam di Andalusia mereka memperlakukan orang Islam layaknya musuh yang harus dimusnahkan.
Selanjutnya interaksi Islam dan Barat berlanjut saat terjadinya perang Salib, sebuah peperangan besar antara pasukan kaum muslimin dan laskar kristen selama 300 tahun, guna memperebutkan Yerussalem. Saat itu tentu saja hubungan Islam dan Barat masih berupa permusuhan. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, sekitar tahun 1141-1142 ada sekelompok intelektual Barat (Kristen) yang berusaha mempelajari Islam dengan serius. Mereka dipimpin oleh Petrus Venerabilis. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menerjemahkan al-quran ke dalam bahasa Latin. Sekalipun terjemahan al-quran tersebut mengandung banyak kekeliruan, namun terjemahan itu tetap menjadi rujuakan Barat dalam memandang Islam selama kurang lebih 600 tahun kemudian. Pada fase ini, intinya Barat memandang ”Islam sebagai Kristen yang Sesat” (Islam as Christian Heresy). Maka tak heran kalau mereka banyak menuduh Islam dengan kata-kata kasar dan vulgar. Misalnya mereka mengatakan bahwa al-quran adalah kitab setan, nabi Muhammad adalah pesuruh setan dan Islam adalah sekte terkutuk, terlaknat sekaligus berbahaya.
Pandangan Barat mengenai Islam seperti itu terus berlangsung hingga abad 16. Munculah stigma Islam itu bagi Kristen merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Bagi orang Eropa Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “orang kristen ingin agar timur dan Barat Eropa bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of christianity). Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya”.
Memasuki abad 17-18 Barat masih tetap memandang Islam dengan pandangan negatif dan penuh api perseteruan. Tahun 1653 misalnya, Alexander Ross menerbitkan buku yang banyak menghujat Islam, ia menulis buku berjudul The Prophrt of Turk and Author of the Al- Coran. Isinya sering menggunakan kata-kata kasar seperi the great Arabian imposter, the little horn in denial, Arabian swine untuk menyebut nabi Muhammad dan para pengikutnya. Terhadap al-quran ia menyebut corrupted puddle of Mahomet’s invention dan Mis-shapen issue of Mahomet’s brain.
Abad ke 19 Barat menguasai mayoritas wilayah Islam. Mereka banyak mendirikan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran untuk mempelajari Islam secara lebih serius. Hasilnya cara pandang Barat terhadap Islam mengalami pergeseran yang cukup besar, dari fase kebencian dan caci maki menjadi serangan sistimatis dan ilmiyah. Walaupun tetap mengandung banyak kesalahan dan pandangan negative.
Setelah perang dunia II, pandangan Barat mengenai Islam kembali mengalami pergeseran dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Mereka tidak lagi mengumbar kata-kata kasar dan vulgar sebagai cerminan kebencian mereka terhadap Islam, tapi banyak mengkritisi ajaran-ajaran Islam, seperti mengkritisi konsep wahyu dan cara menafsirkannya. Walaupun demikian Edward Said menyimpulkan pandangan Barat tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris. Sebab tulisnya, Barat memandang Timur (Islam) dengan rasa superioritas yang tinggi. Jadi walau bagaimanapun, Barat tetap memandang Islam berdasarkan ”kaca mata” dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris, hingga kini.
Itulah gambaran mengenai studi Barat mengenai Islam sepanjang sejarah. Di dalamnya penuh dengan kebencian dan amarah yang luar biasa, sehingga mereka sering menuduh Islam dan umatnya dengan tuduhan negatif, seperti teroris belakangan ini. Yang jelas, sampai kapanpun Barat karena mayoritas penduduknya Kristen tidak akan pernah ridho terhadap umat Islam kecuali jika kita sudah mengikuti millah mereka, sebagaimana yang dijelaskan Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 120:
” Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
B . Islam Dalam Pandangan Barat
Banyak orang Barat belum pernah menapakkan kaki di negeri Arab atau dunia
Islam, tetapi mereka mendapat kesan tentang Islam dan Muslim melalui media masa
saja atau melalui hubungan langsung dengan berbagai macam kelompok pendatang
Muslim yang tinggal di negeri mereka. Sebagai contoh, kelompok pendatang Muslim
Maroko di Belanda, pendatang Muslim Aljazair di Prancis, pendatang Muslim
Pakistan dan India di Inggris, serta pendatang Muslim Turki di Jerman. Mereka
juga mendapatkan pengetahuan tentang Islam melalui kejadian-kejadian ekstrem,
seperti serangan teroris pada 11 September di Amerika Serikat atau
kejadian-kejadian di tempat lain. Pengalaman dan kesan dari kejadian-kejadian
tersebut sering mengarah pada negatif dibanding positif. Sering kali, bukanlah
Islam yang dipahami, tetapi lebih pada perilaku Muslim yang dibiaskan sebagai
gambaran Islam karena mereka bertindak 'atas nama Islam', tetapi sesungguhnya
mereka sama sekali tidak mewakili mayoritas Muslim.
Pandangan Islam di kalangan masyarakat umum di Eropa atau Barat pada umumnya, sekarang ini, lebih sering dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di dekat rumah atau tetangga dibanding dengan perkembangan negara-negara Muslim yang nun jauh di sana. Di Eropa, pandangan terhadap Muslim dan Islam pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh pemikiran lekat yang disarikan dari konflik para penguasa Kristen dan Islam di abad pertengahan. Namun, situasi hari ini di Barat telah berkembang jauh dan sangat berbeda. Meskipun beberapa pemikiran-pemikiran tradisional yang kaku dan bias masih timbul, banyak elemen-elemen baru yang bermain di dalamnya. Konflik baru telah banyak bermunculan. Walaupun mereka tidak ada hubungannya dengan Islam, pantulan kuatnya mengacu ke hubungan Barat serta dunia Islam dan Muslim secara umum.
Tentu, penjajahan negara-negara Barat terhadap Timur Tengah dan wilayah negara lain telah meninggalkan jejak di antara masyarakat bangsa bekas penjajahannya. Sejauh keprihatinan usai periode penjajahan, konflik Arab-Israel adalah faktor yang teramat penting yang memengaruhi hubungan. Pada awalnya, konflik ini hanyalah semacam nasionalisme tentang perselisihan tanah Palestina. Namun, dalam perkembangan waktu, hal ini mendapatkan dimensi-dimensi lain secara gamblang, yakni konflik antara Yahudi dan Muslim, bukan sebaliknya hanya antara Arab dan Yahudi Israel. Pendudukan Israel dan aneksasi Jerusalem telah menambah dimensi agama masuk ke dalam konflik juga. Dukungan kuat Barat secara terus-menerus terhadap Israel, kemudian sikap Barat yang sering dilihat Arab dan Muslim sebagai kebijakan standar ganda terhadap Timur Tengah telah mengakibatkan permusuhan di dunia Islam dan Arab terhadap Barat. Masalah ini, aslinya, adalah permusuhan nasionalisme, namun kemudian ditambah oleh dimensi lain yang meluas menjadi permusuhan Muslim melawan Barat, yang akhirnya memunculkan banyaknya operasi teroris dan kekerasan lainnya oleh organisasi, seperti Alqaidah, Taliban, dan sebagainya. Campur tangan Barat di negara-negara Islam, seperti Irak dan Afghanistan, kemudian kehadiran Barat di jantung wilayah Muslim semenanjung Arab menambah peran dalam memunculkan kebencian dan konflik ini.
Sekarang ini, terdapat elemen baru, yaitu kuatnya keberadaan imigran Muslim di Eropa dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Keberadaan mereka amat sangat memengaruhi pendapat orang Eropa terhadap Islam dan Muslim pada umumnya. Banyak imigran ini datang dari pelosok desa miskin atau bahkan termiskin di negara mereka sehingga mereka hanya berpendidikan rendah daripada negara di mana mereka berimigrasi. Sering mereka juga tidak mempunyai posisi bersaing dalam hal ekonomi. Meskipun perlu dicatat bahwa ada beberapa pengusaha yang berhasil di antara anak keturunan mereka. Di Belanda, rata-rata pengangguran imigran Maroko sangat tinggi dibanding dengan kelompok imigran lainnya dan ini sebanding lurus dengan tingkat kriminalitas mereka. Karena alasan tersebut, mereka memicu perilaku negatif dalam sektor kehidupan tertentu yang dicap oleh penduduk asli Belanda dan secara tidak langsung juga terhadap Islam.
Di tahun-tahun terakhir ini, Islam secara meningkat telah menjadi subjek perdebatan di Eropa: serangan teroris Muslim pada target-target di Amerika Serikat, London, dan Spanyol; tekanan kepada remaja putri untuk memakai jilbab, penggalangan pemuda untuk jihad internasional; penemuan buku-buku pelarangan homoseksual di masjid-masjid tertentu; kesetaraan pria dan wanita; pembiaran terselubung kekerasan rumah tangga; dan kriminalitas yang diatasnamakan ajaran agama Islam.
Pada tahun 2004, sutradara film Belanda Theo van Gogh dibunuh. Ekstremis pembunuh Muslim meninggalkan sebuah catatan yang menyebutkan dialah yang membunuhnya karena van Gogh secara terbuka mengkritik Islam. Hal ini membawa perubahan di Belanda: para politikus dan para pengikut lainnya dalam debat umum diancam dan bahkan secara sporadis muncul kejadian-kejadian, seperti serangan ke masjid, gereja, dan sekolah-sekolah. Fenomena ini lalu menimbulkan pertanyaan, apakah Islam dalam bentuknya seperti sekarang ini adalah selaras dengan nilai-nilai inti demokrasi dan praktik kehidupan di Belanda. Digabungkan dengan keprihatinan masalah integrasi, seperti penguasaan bahasa Belanda yang tetap rendah, pernikahan antaretnis yang rendah di mana lebih dari 70 persen pemuda Turki dan Maroko menikah dengan pasangan asli dari negara mereka, angka putus sekolah yang tinggi, dan buruknya lulusan sekolah di antara populasi Muslim, semua masalah ini telah memantik panasnya kehidupan sosial dan diskusi di parlemen.
Meskipun Pemerintah Belanda dan organisasi masyarakat sipil berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menerapkan kebijakan integrasi, satu hal masih tetap problematis, yaitu ancaman pemisahan antara Muslim dan non-Muslim. Ancaman ini semakin dibakar oleh fundamentalis Muslim yang mengambil keuntungan dari ketidakpuasan di antara imigran generasi kedua dan ketiga yang sangat lamban berintegrasi. Para fundamentalis Muslim tidak ingin menjadi bagian dari bentuk masyarakat seperti sekarang ini, tetapi lebih menempatkan diri mereka di luar dari itu dan bahkan menolak standar demokrasi dan aturan hukum Belanda yang berlaku. Namun, beruntungnya, kelompok semacam ini hanyalah pinggiran dan kebanyakan Belanda Maroko atau Maroko Belanda dan orang dari kelompok etnis yang lain tentu menerima nilai-nilai Belanda. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa individu dan kelompok pinggiran dapat menyebabkan banyak kerusakan
Pandangan Islam di kalangan masyarakat umum di Eropa atau Barat pada umumnya, sekarang ini, lebih sering dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di dekat rumah atau tetangga dibanding dengan perkembangan negara-negara Muslim yang nun jauh di sana. Di Eropa, pandangan terhadap Muslim dan Islam pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh pemikiran lekat yang disarikan dari konflik para penguasa Kristen dan Islam di abad pertengahan. Namun, situasi hari ini di Barat telah berkembang jauh dan sangat berbeda. Meskipun beberapa pemikiran-pemikiran tradisional yang kaku dan bias masih timbul, banyak elemen-elemen baru yang bermain di dalamnya. Konflik baru telah banyak bermunculan. Walaupun mereka tidak ada hubungannya dengan Islam, pantulan kuatnya mengacu ke hubungan Barat serta dunia Islam dan Muslim secara umum.
Tentu, penjajahan negara-negara Barat terhadap Timur Tengah dan wilayah negara lain telah meninggalkan jejak di antara masyarakat bangsa bekas penjajahannya. Sejauh keprihatinan usai periode penjajahan, konflik Arab-Israel adalah faktor yang teramat penting yang memengaruhi hubungan. Pada awalnya, konflik ini hanyalah semacam nasionalisme tentang perselisihan tanah Palestina. Namun, dalam perkembangan waktu, hal ini mendapatkan dimensi-dimensi lain secara gamblang, yakni konflik antara Yahudi dan Muslim, bukan sebaliknya hanya antara Arab dan Yahudi Israel. Pendudukan Israel dan aneksasi Jerusalem telah menambah dimensi agama masuk ke dalam konflik juga. Dukungan kuat Barat secara terus-menerus terhadap Israel, kemudian sikap Barat yang sering dilihat Arab dan Muslim sebagai kebijakan standar ganda terhadap Timur Tengah telah mengakibatkan permusuhan di dunia Islam dan Arab terhadap Barat. Masalah ini, aslinya, adalah permusuhan nasionalisme, namun kemudian ditambah oleh dimensi lain yang meluas menjadi permusuhan Muslim melawan Barat, yang akhirnya memunculkan banyaknya operasi teroris dan kekerasan lainnya oleh organisasi, seperti Alqaidah, Taliban, dan sebagainya. Campur tangan Barat di negara-negara Islam, seperti Irak dan Afghanistan, kemudian kehadiran Barat di jantung wilayah Muslim semenanjung Arab menambah peran dalam memunculkan kebencian dan konflik ini.
Sekarang ini, terdapat elemen baru, yaitu kuatnya keberadaan imigran Muslim di Eropa dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Keberadaan mereka amat sangat memengaruhi pendapat orang Eropa terhadap Islam dan Muslim pada umumnya. Banyak imigran ini datang dari pelosok desa miskin atau bahkan termiskin di negara mereka sehingga mereka hanya berpendidikan rendah daripada negara di mana mereka berimigrasi. Sering mereka juga tidak mempunyai posisi bersaing dalam hal ekonomi. Meskipun perlu dicatat bahwa ada beberapa pengusaha yang berhasil di antara anak keturunan mereka. Di Belanda, rata-rata pengangguran imigran Maroko sangat tinggi dibanding dengan kelompok imigran lainnya dan ini sebanding lurus dengan tingkat kriminalitas mereka. Karena alasan tersebut, mereka memicu perilaku negatif dalam sektor kehidupan tertentu yang dicap oleh penduduk asli Belanda dan secara tidak langsung juga terhadap Islam.
Di tahun-tahun terakhir ini, Islam secara meningkat telah menjadi subjek perdebatan di Eropa: serangan teroris Muslim pada target-target di Amerika Serikat, London, dan Spanyol; tekanan kepada remaja putri untuk memakai jilbab, penggalangan pemuda untuk jihad internasional; penemuan buku-buku pelarangan homoseksual di masjid-masjid tertentu; kesetaraan pria dan wanita; pembiaran terselubung kekerasan rumah tangga; dan kriminalitas yang diatasnamakan ajaran agama Islam.
Pada tahun 2004, sutradara film Belanda Theo van Gogh dibunuh. Ekstremis pembunuh Muslim meninggalkan sebuah catatan yang menyebutkan dialah yang membunuhnya karena van Gogh secara terbuka mengkritik Islam. Hal ini membawa perubahan di Belanda: para politikus dan para pengikut lainnya dalam debat umum diancam dan bahkan secara sporadis muncul kejadian-kejadian, seperti serangan ke masjid, gereja, dan sekolah-sekolah. Fenomena ini lalu menimbulkan pertanyaan, apakah Islam dalam bentuknya seperti sekarang ini adalah selaras dengan nilai-nilai inti demokrasi dan praktik kehidupan di Belanda. Digabungkan dengan keprihatinan masalah integrasi, seperti penguasaan bahasa Belanda yang tetap rendah, pernikahan antaretnis yang rendah di mana lebih dari 70 persen pemuda Turki dan Maroko menikah dengan pasangan asli dari negara mereka, angka putus sekolah yang tinggi, dan buruknya lulusan sekolah di antara populasi Muslim, semua masalah ini telah memantik panasnya kehidupan sosial dan diskusi di parlemen.
Meskipun Pemerintah Belanda dan organisasi masyarakat sipil berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menerapkan kebijakan integrasi, satu hal masih tetap problematis, yaitu ancaman pemisahan antara Muslim dan non-Muslim. Ancaman ini semakin dibakar oleh fundamentalis Muslim yang mengambil keuntungan dari ketidakpuasan di antara imigran generasi kedua dan ketiga yang sangat lamban berintegrasi. Para fundamentalis Muslim tidak ingin menjadi bagian dari bentuk masyarakat seperti sekarang ini, tetapi lebih menempatkan diri mereka di luar dari itu dan bahkan menolak standar demokrasi dan aturan hukum Belanda yang berlaku. Namun, beruntungnya, kelompok semacam ini hanyalah pinggiran dan kebanyakan Belanda Maroko atau Maroko Belanda dan orang dari kelompok etnis yang lain tentu menerima nilai-nilai Belanda. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa individu dan kelompok pinggiran dapat menyebabkan banyak kerusakan
Pandangan Lain
Disamping pandangan negatif Barat terhadap Islam di atas, ada beberapa intelektual Barat yang memandang Islam dengan pandangan lain. Yang paling terkenal tentu saja pandangan Michael T. Hart yang dalam bukunya ”100 tokoh paling berpengaruh di dunia” menempatkan nabi Muhammad sebagai tokoh nomor satu dengan berbagai komentar positifnya. Atau pandangan Harry Gaylord Dorman dalam buku "Towards Understanding lslam" misalnya, ia menulis: "Kitab Qur'an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini, untuk membuktikan kebenarannya dan kebenaran Muhammad". Prof. H. A. R. Gibb dalam buku "Mohammadanism" menulis: "Nah, jika memang Qur'an itu hasil karyanya sendiri (Muhammad), maka orang lain dapat menandinginya. Cobalah mereka mengarang sebuah ungkapan seperti itu. Kalau sampai mereka tidak sanggup dan boleh dikatakan mereka pasti tidak mampu, maka sewajarnyalah mereka menerima qur'an sebagai bukti yang kuat tentang mukjizat.
Sementara itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi terutama internet, pandangan masyarakat Barat secara umum terhadap Islam juga sudah mulai berubah. Jika dulu mereka memandang Islam dengan pandangan negatif karena merujuk pada pendapat para intelektual mereka, maka kini banyak masyarakat Barat yang sudah mendapatkan penjelasan mengenai Islam langsung dari umat Islam sendiri. Sehingga banyak diantara mereka yang memahami Islam sebagaimana adanya, bahkan tak sedikit yang kemudian tertarik dengan Islam hingga akhirnya bersyahadat. Inikah tanda kembalinya kejayaan Islam di Barat?
Disamping pandangan negatif Barat terhadap Islam di atas, ada beberapa intelektual Barat yang memandang Islam dengan pandangan lain. Yang paling terkenal tentu saja pandangan Michael T. Hart yang dalam bukunya ”100 tokoh paling berpengaruh di dunia” menempatkan nabi Muhammad sebagai tokoh nomor satu dengan berbagai komentar positifnya. Atau pandangan Harry Gaylord Dorman dalam buku "Towards Understanding lslam" misalnya, ia menulis: "Kitab Qur'an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini, untuk membuktikan kebenarannya dan kebenaran Muhammad". Prof. H. A. R. Gibb dalam buku "Mohammadanism" menulis: "Nah, jika memang Qur'an itu hasil karyanya sendiri (Muhammad), maka orang lain dapat menandinginya. Cobalah mereka mengarang sebuah ungkapan seperti itu. Kalau sampai mereka tidak sanggup dan boleh dikatakan mereka pasti tidak mampu, maka sewajarnyalah mereka menerima qur'an sebagai bukti yang kuat tentang mukjizat.
Sementara itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi terutama internet, pandangan masyarakat Barat secara umum terhadap Islam juga sudah mulai berubah. Jika dulu mereka memandang Islam dengan pandangan negatif karena merujuk pada pendapat para intelektual mereka, maka kini banyak masyarakat Barat yang sudah mendapatkan penjelasan mengenai Islam langsung dari umat Islam sendiri. Sehingga banyak diantara mereka yang memahami Islam sebagaimana adanya, bahkan tak sedikit yang kemudian tertarik dengan Islam hingga akhirnya bersyahadat. Inikah tanda kembalinya kejayaan Islam di Barat?
C . RESPON BEBERAPA CENDEKIAWAN NON ARAB TERHADAP PERADABAN ISLAM
Pendapat
Cendekiawan Barat Tentang Islam
Ratusan atau bahkan mungkin ribuan cendekiawan Barat yang mengagumi ajaran
Islam sekaligus mengakuinya sebagaiajaran yang rasional. Sebagian di antara
mereka, setelah mempelajari
Islam (Al-Qur'an dan Hadits) dan membanding-bandingkannya
dengan agama yang lain, menyatakan diri memeluk agama Islam. Benarlah firman
Allah SWT. "Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli kitab) berpendapat
bahwa (wahyu) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itulah yang
benar dan memberi petunjuk (bagi manusia) kepada jalan (Allah) Yang Maha
Perkasa, Maha Terpuji." (QS. 34/Saba': 6).
Lalu apa pendapat mereka tentang Islam? Berikut kami cuplikan pendapat
beberapa cendekiawan Barat tentang Islam, antara lain:
1. Vera Micheles Dean mengatakan dalam bukunya, The Nature of the non Western World, bahwa Islam itu meliputi empat unsur:
a.
Islam is religion (Islam adalah agama);
b.
Islam is political system (Islam adalah sistim politik);
c.
Islam is way of live (Islam adalah falsafah hidup); dan
d.
Islam is interpretation of history (Islam adalah interprestasi sejarah).
2. Gustav Libon mengatakan dengan jujur peranan Islam dalam memajukan pola berpikir manusia, antara lain ia katakan, "Sesungguhnya filsuf Arab dan kaum Muslimin adalah yang pertama-tama mengajarkan, bagaimana kemerdekaan berpikir sesuai dengan kelurusan beragama." Ia juga tidak segan-segan mengakui. "Pengaruh peradaban kaum muslimin di Barat kuat sekali, terutama dibidang ilmu, sastra, dan budi pekerti. Para sejarawan ilmu modern Eropa mengakui sendiri hal ini, bahwa kalau tidak Karena Islam, sudah tentu kemajuan Eropa modern akan mundur beberapa tahun lamanya, hanya Allah sajalah yang tahu."
3. De Slane Mac Gokein (1810-1879), penyusun indeks program ketimuran yang disimpan di Perpustakaan Nasional Paris, berkomentar dalam terjemahan Mukddimah Ibnu kholdun berbahasa Perancis. "Sesungguhnya bangsa Arab merupakan suatu umat yang memiliki keistimewaan dalam banyak sifat. Ia mempunyai agama Islam yang lengkap dan paripurna."
4. George Starton, seorang dosen Universitas Hardvard berkomentar. "Sesungguhnya Islam merupakan tatanan agama yang paling tepat dan paling indah. Dan kalau kita melihat Islam dari perbuatan kaum Muslimin sudah tentu kita tidak akan melihat ajaran agama itu dengan jelas dan gamblang."
5. Prof. Dr. Wilfred Canthwell mengatakan dalam bukunya, Islam in modern history, bahwa, "That Islam as a religion is relevant to all aspect of live and society (Sebagai suatu agama, Islam cocok untuk semua aspek kehidupan dan masyarakat)".
6. Monsieur siffter de sasie (1750-1838), pakar ketimuran yang mendirikan Persatuan Asia-Perancis menulis dalam bukunya, Al-Hayat, antara lain, "Saya tidak dapat melukiskan dengan kata-kata yang lebih tepat selain menyatakan bahwa agama Islam itu sesuatu yang paripurna dan berpenangkal."
7. Dr. Ritten, orientalis dan sejarawan besar berkebangsaan Spanyol, berkomentar tentang Islam, antara lain ia katakan: "Agama Muhammad sudah meyakinkan sejak saat-saat kelahirannya dan dalam kehidupan Nabi itu juga, bahwa ajarannya bersifat universal. Jadi sesuai dengan segala bangsa dan dengan sendirinya dapat dicerna oleh semua akal di semua iklim dan cuaca.
8. Prof. Dr. H.A.R. Gibb mengatakan bahwa, "Islam is indeed much more than a systemof theology;it ia a complete civilization (Islam itu sesungguhnya lebih dari suatu sistim agama saja, melainkan juga suatu peradaban yang lengkap)"
9. Mister Eric Bintam, seorang orientalis kelahiran Granada (1815-1887), menulis dalam bukunya, Al-Hayat, antara lain: "Sebenarnya perselisihan pokok antara Islam, karena tidak sudi Rob (Tuhan)nya dipersekutukan dengan siapa pun, dan Islam itu adalah agama lemah-lembut, permusyawaratan, jujur, dan amanat. Semua yang dibawanya tidak ditolak oleh selera yang sehat dan akal yang matang. Karena itulah jika kita bersikap adil terhadap diri sendiri, tentulah kita akan mempersatukan barisan dengan kaum Muslimin, dan akan membuang watak fanatik buta yang diciptakan oleh oknum-oknum kelompok vested yang dipaksakan karena dorongan hawa nafsu.
10. Lusin Juva, seorang orientalis terkenal berpendapat, "Islam sesuai benar dengan kemajuan zaman kita sekarang ini. Bahwa kemajuan yang terlihat di negara-negara Islam sejak abad yang lalu membuktikan, bahwa Islam berjalan seiring dengan kemajuan dan akan senantiasa ada untuk selama-lamanya."
11. Leodourch, seorang orientalis Barat berkebangsaan Jerman berkomentar: "Sesungguhnya Islam itu agama kemanusiaan alami, ekonomis dan sekaligus moralis. Tidak pernah saya menyebut sesuatu dari positif law, melainkan sayamengemukakan undang-undang tentang hal itu di dalamnya. Saya juga menemukan di dalamnya dua "obat penawar" yang sedang dicari-cari dunia:
a.
Terdapat dalam kitab Al-Qur'an, yakni kalimat: Sesungguhnya orang-orang
Mukmin itu bersaudara. (QS. 49/A/ Hujurot: 10).
b.
Kewajiban mengeluarkan zakat oleh mereka yang mampu untuk diberikan kepada orang-orang
miskin, sebagai suatu hak yang bisa diambil dengan paksa, kalau si kaya tidak
mau mengeluarkannya dengan ikhlas. Ini bisa menyelesaikan anarsisme.
12. Stanley Lanepool, seorang cendekiawan Inggris menulis dalam bukunya, "Salahudin dan sejarah pemerintahan Yerusalem" antara lain "Bagi orang yang mempelajari sejarah Perang Salib, tidak perlu lagi belajar tentang keutamaan peradaban. Kiranya keberanian, kebesaran jiwa, kemuliaan ahlak, toleransi, kemurahan hati yang hakiki dan pendidikan yang sehat, semuanya itu pada waktu berkecamuknya perang ada di pihaknya kaum Muslimin. Para sejarawan ketika berbicara kemurahan hati menisbahkan kepada jasa kaum Muslimin serta memperkenalkan dan mengajarkannya dalam bentuk peraturan di Eropa dan Cicilia. Mereka meningkatkannya dan meluaskan ufuknya."
TERHADAP BARAT :
1. Bersamaan dengan perkembangan zaman, kekhalifahan dinasti , semakin lama semakin surut dan terpecah-pecah, kemudian mengalami kemunduran. Eropa mulai menunjukkan kebangkitannya pada abad ke-15 yang dikenal dengan Renaissance.
2. Pada abad ke-17 Barat memasuki zaman baru yang lazim disebut abad modern. Inilah awal supremasi rasionalisme, empirisme, dan positifismedari dogmatis agama. Hal ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai adanya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara empirisme, rasionalisme, dan positifisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang disebut dengan Motode Ilmiah.
3. Dengan metode ilmiah, kebenaran sesuatu hanya mereka perhitungkan dari sudut lahiriah yang bersifat profanik (keduniawian). Sehingga segala pengetahuan yang berada di luar jangkauan indra, rasio, dan pengujian ilmiah ditolaknya, termasuk di dalamnya pengetahuan yang bersumber dari agama.
4. Abad modern di Barat adalam zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan segala persoalan hidupnya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas dari alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan dari tatanan Ilahiyah (Theo Morphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan antroposentrisme yaitu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia.
Dari fenomena ini, di kemudian hari bermunculan gerakan-gerakan responsif alternatif sebagai respon balik terhadap perilaku masyarakat yang tidak lagi mengenal dunia metafisik.
5. Proses modernisasi Barat diikuti negara-negara lain, ternyata tidak selalu berhasil memenuhi janjinya: mengangkat harkat kemanusiaan dan memberi makna bagi kehidupan. Modernisme justru membawa dampak kerancuan dan penyimpangan nilai-nilai seperti:
a. Rasa cemas dan tak bermaknaan dalam kehidupan.
b. Kehilangan visi keilahiyahan/transendental, sehingga mudah dihinggapi kehampaan spiritual. Sebagai akibatnya, manusia modern menderita keter- asingan baik bagi dirinya, lingkungan sosialnya, maupun dari Tuhannya.
6. Abad ke-20 memiliki makna khusus bagi dunia Islam. Karena dianggap sebagai perlambang kebangkitan dunia Islam. Secara historis, semangat kebangkitan Islam diawali adanya kontak langsung dengan Barat lewat kolonialismenya. Hal ini menyadar- kan sebagian kaum muslimin bahwa identitas mereka berada pada titik kritis. Sepanjang abad ke-19 Barat Kristen mendesak dunia Islam hampir segala aspek: militer, ekonomi, maupun politik.
7. Menurut John L. Esposito ada beberapa sebab adanya semangat kebangkitan Islam:
a. Adanya krisis identitas, akibat ketidakberdayaan, kekecewaan, dan kehilangan rasa harga diri.
b. Kekecewaan dengan Barat dan kegagalan pemerintah untuk bereaksi secara cukup akan kebutuhan politik, sosial ekonomi masyarakat.
c. Tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan kekuatan sendiri baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun politik.
8. Dalam menghadapi Barat dan upaya mencari potret diri muslim, sikap dan respon muslim sangat beragam. Misalnya pandangan:
a. Modernisme/Reformisme:
1. Bersamaan dengan perkembangan zaman, kekhalifahan dinasti , semakin lama semakin surut dan terpecah-pecah, kemudian mengalami kemunduran. Eropa mulai menunjukkan kebangkitannya pada abad ke-15 yang dikenal dengan Renaissance.
2. Pada abad ke-17 Barat memasuki zaman baru yang lazim disebut abad modern. Inilah awal supremasi rasionalisme, empirisme, dan positifismedari dogmatis agama. Hal ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai adanya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan antara empirisme, rasionalisme, dan positifisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang disebut dengan Motode Ilmiah.
3. Dengan metode ilmiah, kebenaran sesuatu hanya mereka perhitungkan dari sudut lahiriah yang bersifat profanik (keduniawian). Sehingga segala pengetahuan yang berada di luar jangkauan indra, rasio, dan pengujian ilmiah ditolaknya, termasuk di dalamnya pengetahuan yang bersumber dari agama.
4. Abad modern di Barat adalam zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan segala persoalan hidupnya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas dari alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan dari tatanan Ilahiyah (Theo Morphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan antroposentrisme yaitu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia.
Dari fenomena ini, di kemudian hari bermunculan gerakan-gerakan responsif alternatif sebagai respon balik terhadap perilaku masyarakat yang tidak lagi mengenal dunia metafisik.
5. Proses modernisasi Barat diikuti negara-negara lain, ternyata tidak selalu berhasil memenuhi janjinya: mengangkat harkat kemanusiaan dan memberi makna bagi kehidupan. Modernisme justru membawa dampak kerancuan dan penyimpangan nilai-nilai seperti:
a. Rasa cemas dan tak bermaknaan dalam kehidupan.
b. Kehilangan visi keilahiyahan/transendental, sehingga mudah dihinggapi kehampaan spiritual. Sebagai akibatnya, manusia modern menderita keter- asingan baik bagi dirinya, lingkungan sosialnya, maupun dari Tuhannya.
6. Abad ke-20 memiliki makna khusus bagi dunia Islam. Karena dianggap sebagai perlambang kebangkitan dunia Islam. Secara historis, semangat kebangkitan Islam diawali adanya kontak langsung dengan Barat lewat kolonialismenya. Hal ini menyadar- kan sebagian kaum muslimin bahwa identitas mereka berada pada titik kritis. Sepanjang abad ke-19 Barat Kristen mendesak dunia Islam hampir segala aspek: militer, ekonomi, maupun politik.
7. Menurut John L. Esposito ada beberapa sebab adanya semangat kebangkitan Islam:
a. Adanya krisis identitas, akibat ketidakberdayaan, kekecewaan, dan kehilangan rasa harga diri.
b. Kekecewaan dengan Barat dan kegagalan pemerintah untuk bereaksi secara cukup akan kebutuhan politik, sosial ekonomi masyarakat.
c. Tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan kekuatan sendiri baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun politik.
8. Dalam menghadapi Barat dan upaya mencari potret diri muslim, sikap dan respon muslim sangat beragam. Misalnya pandangan:
a. Modernisme/Reformisme:
Barat merupakan salah satu pendorong bagi upaya
pembaruan di kalangan muslim. Maka untuk mengangkat kaum
muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan dalam segi-segi
tertentu, perlu dilakukan adopsi
pemikiran dan kelembagaan Barat.
b. Kelompok ekstrim dan radikal :
1) Barat adalah penyebab keterbelakangan kaum muslimin.
2) Barat itu penjajah wilayah kaum muslimin
3) Barat telah merusak sistem nilai, budaya, ekonomi, intelektual Islam, dan lembag-lembaga Islam.
4) Barat itu dipenuhi kebobrokan, dari segi nilai dan keimanan. Maka Barat itu harus dilawan.
c. Kiri Islam atau Transformisme:
Mereka kritis terhadap ekspansi kapitalisme dunia. Sehingga mereka mengumandangkan transformasi global, menciptakan tata dunia baru yang nonkapitalis. Tipe pembaruannya ke arah: humanistik-rasionalistik dan liberalistik. Tokoh-tokohnya: Ali Syari’ati – Hasan Hanafi – Ashghar Ali Engineer – Chandra Muzhaffar.
d. Neo Tradisionalisme:
Manusia modern sudah menjadi aspek materi dan sejarah sehingga semakin jauh dari asal atau tradisinya, yakni kemenyatuan dengan Tuhan, Realitas asali dan Abadi. Yang diperlukan manusia modern agar tidak mengalami kehancu adalah menanamkan pada dirinya pengalaman transendental, metafisika, atau hikmah seperti yang dipraktikkan dalam tasawuf. Tokoh-tokohnya: Sayyed Husein Nasr – Naquib al-Atas – Roger Garaudy.
e. Neo Revivalisme:
Muncul sebagai reaksi terhadap modernisme klasik yang dipandang telah terbaratkan (Westernized). Menurut kelompok ini: Islam merupaka ideologi yang dari situ seluruh tatanan kehidupan diturunkan secara utuh.
Maka umat Islam dalam mencapai kemajuannya tidak perlu meminjam sistem apapun dari Barat. Umat Islam harus membangun sendiri peradabannya, berdasarkan Islam sendiri, sebab al-Qur’an telah mencakup petunjuk yang dibutuhkan dalam membangun peradaban. Tokoh-tokohnya: Hasan al-Banna (Mesir) – al-Maududi (Pakistan).
f. Neo Modernisme:
Muncul sebagai reaksi atas gerakan NEO Revivalis, dan menyempurnakan hal-hal mendasar yang belum terumuskan kaum Modernisme Klasik. Yaitu sistem yang dapat menyatukan secara organik antara wahyu – tradisi – dan realitas kontemporer umat. Dalam menangkap pesan moral al-Qur’an yang merupakan pesan etika sosial al-Qur’an dapat dilakukan dengan menelaah konte sosio historis dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Tokoh: Fazlurrahman.
g. Revivalisme:
Gerakan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan keagamaan intern umat Islam. Praktik-praktik keagamaan yang banyak berlaku dalam masyarakat tradisional yang dianggap tidak memiliki dasarnya dipandang suatu bid’ah.
Muhammadiyah dengan gerakan anti TBC (takhayul-bid’ah-dakhurafat), bisa diletakkan dalam kelompok ini. Gerakan ini menekankan perlunya ijtihad dan berusaha mengembalikan paham dan praktek keagamaan pada posisi yang moderat.
h. Kelompok lain-lain:
1) Kelompok terorganisir dan berpolitik: al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Jama’at Islam di Pakistan.
2) Kelompok terorganisir, tidak berpolitik: Jama’ah Tabligh.
3) Kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi.
4) Kelompok yang tidak terorganisasi d
b. Kelompok ekstrim dan radikal :
1) Barat adalah penyebab keterbelakangan kaum muslimin.
2) Barat itu penjajah wilayah kaum muslimin
3) Barat telah merusak sistem nilai, budaya, ekonomi, intelektual Islam, dan lembag-lembaga Islam.
4) Barat itu dipenuhi kebobrokan, dari segi nilai dan keimanan. Maka Barat itu harus dilawan.
c. Kiri Islam atau Transformisme:
Mereka kritis terhadap ekspansi kapitalisme dunia. Sehingga mereka mengumandangkan transformasi global, menciptakan tata dunia baru yang nonkapitalis. Tipe pembaruannya ke arah: humanistik-rasionalistik dan liberalistik. Tokoh-tokohnya: Ali Syari’ati – Hasan Hanafi – Ashghar Ali Engineer – Chandra Muzhaffar.
d. Neo Tradisionalisme:
Manusia modern sudah menjadi aspek materi dan sejarah sehingga semakin jauh dari asal atau tradisinya, yakni kemenyatuan dengan Tuhan, Realitas asali dan Abadi. Yang diperlukan manusia modern agar tidak mengalami kehancu adalah menanamkan pada dirinya pengalaman transendental, metafisika, atau hikmah seperti yang dipraktikkan dalam tasawuf. Tokoh-tokohnya: Sayyed Husein Nasr – Naquib al-Atas – Roger Garaudy.
e. Neo Revivalisme:
Muncul sebagai reaksi terhadap modernisme klasik yang dipandang telah terbaratkan (Westernized). Menurut kelompok ini: Islam merupaka ideologi yang dari situ seluruh tatanan kehidupan diturunkan secara utuh.
Maka umat Islam dalam mencapai kemajuannya tidak perlu meminjam sistem apapun dari Barat. Umat Islam harus membangun sendiri peradabannya, berdasarkan Islam sendiri, sebab al-Qur’an telah mencakup petunjuk yang dibutuhkan dalam membangun peradaban. Tokoh-tokohnya: Hasan al-Banna (Mesir) – al-Maududi (Pakistan).
f. Neo Modernisme:
Muncul sebagai reaksi atas gerakan NEO Revivalis, dan menyempurnakan hal-hal mendasar yang belum terumuskan kaum Modernisme Klasik. Yaitu sistem yang dapat menyatukan secara organik antara wahyu – tradisi – dan realitas kontemporer umat. Dalam menangkap pesan moral al-Qur’an yang merupakan pesan etika sosial al-Qur’an dapat dilakukan dengan menelaah konte sosio historis dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Tokoh: Fazlurrahman.
g. Revivalisme:
Gerakan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan keagamaan intern umat Islam. Praktik-praktik keagamaan yang banyak berlaku dalam masyarakat tradisional yang dianggap tidak memiliki dasarnya dipandang suatu bid’ah.
Muhammadiyah dengan gerakan anti TBC (takhayul-bid’ah-dakhurafat), bisa diletakkan dalam kelompok ini. Gerakan ini menekankan perlunya ijtihad dan berusaha mengembalikan paham dan praktek keagamaan pada posisi yang moderat.
h. Kelompok lain-lain:
1) Kelompok terorganisir dan berpolitik: al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Jama’at Islam di Pakistan.
2) Kelompok terorganisir, tidak berpolitik: Jama’ah Tabligh.
3) Kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi.
4) Kelompok yang tidak terorganisasi d
D.. INTERAKSI ISLAM
DENGAN PERADABAN DUNIA
Islam adalah agama dinamis mampu menerima unsur-unsur lain dari luar. Seperti Islam pernah mengalami kejayaan karena sifatnya yang dinamis dan terbuka terhadap peradaban dunia seperti Arab – Yunani – Persia.
1. Islam – Arab
a. Wahyu membawa 3 misi reformatif: teologis – ritual – sosial. Teologis: menegaskan iman yang benar: tauhid. Ritual: mewujudkan iman secara benar dalam penyembahan yang benar. Sosial: mengembalikan kehidupan manusia kepada hakikat kemanusiaan_____ agar berlaku adil – jujur – menghargai orang lain – amanah. Kedzaliman dan penipuan tidak dibenarkan.
b. Masyarakat Arab menjelang lahirnya Islam (politik – ekonomi – sistem sosial – agama).
1). Politik
a) dominasi 2 kerajaan besar: Persia dan Bizantium. Tetapi Hijaz tidak dijajah
karena secara geografis sulit dijangkau.
b) Sikap penguasa menjalankan politik nonblok. Mereka hanya berpikir
tentang peningkatan ekonomi dengan dasar perdagangan dan mereka diberi
jaminan keamanan dalam lalu lintas perdagangan di laut Merah. Sikap ini
tetap dipertahankan pada awal-awal lahirnya Islam.
2). Ekonomi: pertanian dan perdagangan
3). Sosial:
a) tradisi penguburan anak perempuan hidup-hidup (bani Tamim – As’ad).
b) tradisi perkawinan: istibdla’ – badal – maqthu’ – poligami – poliandri – mut’ah.
c) tidak menghargai wanita
4). Agama: agama pagan (berhala) – menyembah batu – pohon – hewan.
Peran Islam: mengarahkan kepada prinsip tauhid.
2. Islam - Persia
a. Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw pada tahun 632 M, secara berturut-turut umat Islam dipimpin al-Khulafa’ ar-Rasyidun – Daulah Umayyah – dan Daulah Abbasiyah.
b. Al-Khulafa’ ar-Rasyidun
1) model pemilihan: pemilihan person terbaik dari kabilah yang ada.
2) Model pemerintahan: teokrasi
3) Wilayah kekuasaan pada masa Umar bin al-Khattab meliputi Persia, Irak, Syria, Mesir, sebagian pantai Afrika utara.
4) Setelah wafatnya Usman bin Affan, umat Islam dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib (656- 661 M). Masa itu adalah akhir dari kekhalifahan al-Khulafa’ ar-Rasyidun, kemudian dilanjutkan oleh Banu Umayyah.
c. Daulah Bani Umayyah (661 – 750 M)
1) model pemilihan: Monarchi/asas keturunan
2) model pemerintahan: otokrasi
3) wilayah kekuasaan: utara: Suriah dan Mesir. Timur: Bukhara, Punjab. Barat: Afrika dan Spanyol.
4) Banyaknya penaklukan, berimbas pada sikap politik bani Umayyah terhadap kaum Mawali sebagai kaum muslim non Arab (kebanyakan dari Persia) dipandang sebagai masyarakat muslim kelas dua.
5) Sikap tersebut berimbas pada dialektika yang cenderung close minded terhadap bahasa, budaya, dan peradaban bangsa lain. Sehingga yang muncul adalah pemikiran-pemikiran keagamaan yang didominasi oleh satu sumber yaitu Arab.
6) Pada tahun 750 M Daulah bani Umayyah jatuh disebabkan pertentangan intern dan ekstern, dan segera digantikan oleh Abbasiyah.
3. Islam – Yunani
a. Interaksi Islam dengan peradaban Yunani sebenarnya sudah terjadi sejak masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Buktinya adalah: penaklukan Iskandariyah – Mesir – Syria – Irak (Pusat-pusat Hellenisme) telah membawa bangsa Arab Islam bersentuhan dengan peradaban Yunani dan peradaban Timur Tengah seperti: Mesir – Persia – Yahudi – dan Nasrani. Interaksi dengan tradisi Hellenisme mempengaruhi cara dan gaya berpikir.
b. Interaksi denaagan peradaban Yunani semakin kuat dan jelas ketika Bani Abbas berkuasa.
c. Interaksi itu berwujud langsung dan tidak langsung yaitu dengan penduduk lokal yang sudah terbiasa dengan budaya Hellenisme. Faktor yang berpengaruh kedalam budaya Islam adalah booming terjemahan + abad ke-8M.
d. Terjemahan karya filsafat pertama berasal dari sastrawan terkemuka: Abdullah ibn al-Muqaffa yang mencakup:
1) Categories – Hermeneutica – Analytica Apriora= karya Aristoteles. Hal ini terjadi pada masa Ja’far al-Mansur (754-773M).
2) Timaeus = karya Plato. De Anima – Analytica Priora = karya Aristoteles. Diterjemahkan oleh: Yahya bin Bitriq, terjadi pada masa Harun ar-Rasyid.
3) Analytica Posteriora – Generation and Corruption= Aristoteles begitu juga Sophis – Politicus – Republic and Law. Diterjemahkan oleh team: Hunain bin Ishaq – Hubaisy – Isa bin Yahya, terjadi pada masa al-Ma’mun.
e. Pasca booming penterjemahan ilmu-ilmu Yunani ke Arab, maka filsafat Yunani tidak asing di kalangan akademisi muslim, sebagai contoh:
1) para teolog muslim mengambil sebagian tradisi filsafat Yunani yaitu filsafat ketuhanan dan logika Aristoteles, sebagi dasar argumen teologi dan alat berdebat.
2) Para filosof seperti al-Kindi – ar-Razi – al-Farabi – Ibnu Sina – Ibn Rusyd dll mengambil tradisi Yunani yang dimodifikasi dengan ajaran Islam.
3) Para sufi: al-Ghazali – al-Hallaj, juga tidak terlepas dari paham-paham Yunani.
4) Para ahli ushul fiqh: seperti asy-Syafi’i.
f. Adanya pengaruh peradaban Yunani – Romawi terhadap peradaban Arab Islam meskipun debatable, tetapi secara historis – sosiologis mungkin sekali terjadi saling keterpengaruhan antara kedua peradaban. Seperti unsur-unsur hukum yang tidak terdapat secara tegas di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi didapatkan dalam unsur Yunani dan tidak bertentangan dengan semangat Islam. Seperti semangat rasionalisme, konsep qiyas, adat dst.
g. Dari kebudayaan Yunani, umat Islam mengambil dan mengembangkan logika – filsafat – ilmu kedokteran – dsb. Pemikiran filsafat yang diambil memberikan bentuk pemikiran Islam dalam waktu yang sangat panjang dalam perkembangan dialektis dengan pemikiran yang dikembangkan dalam tradisi Arab dan tradisi bangsa-bangsa yang memeluk Islam.
4. Islam Barat
a. Interaksi Islam dengan dunia Barat diawali dengan pendudukan kaum muslim atas Spanyol dan Sisilia pada tahun 711 M.
b. Tahun 756 Spanyol berada dalam kekuasaan daulah Bani Umayyah yang pada saat kejatuhan Umayyah berhasil melarikan diri ke Spanyol dari kejaran tentara Abbasiyah.
c. Meskipun Umayyah Spanyol tidak mengakui kakhalifahan Abbasiyah di Bagdad, namun secara kultural tetap menjalin hubungan dengan dunia Timur. Penduduk Spanyol tidak sulit untuk berkunjung ke pusat-pusat intelektual, seperti Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Setelah menjadi sarjana yang menguasai bidang-bidang ilmu pengetahuan, mereka kembali ke Spanyol, dan mengajarkannya pada orang-orang Spanyol.
d. Dengan demikian, jelas bahwa kekuasaan Arab Islam di Barat dan Timur, secara langsung/tidak langsung memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat.
e. Peradaban Islam yang memberikan pengaruh kepada dunia Barat misalnya di bidang perdagangan, teknologi, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
Islam adalah agama dinamis mampu menerima unsur-unsur lain dari luar. Seperti Islam pernah mengalami kejayaan karena sifatnya yang dinamis dan terbuka terhadap peradaban dunia seperti Arab – Yunani – Persia.
1. Islam – Arab
a. Wahyu membawa 3 misi reformatif: teologis – ritual – sosial. Teologis: menegaskan iman yang benar: tauhid. Ritual: mewujudkan iman secara benar dalam penyembahan yang benar. Sosial: mengembalikan kehidupan manusia kepada hakikat kemanusiaan_____ agar berlaku adil – jujur – menghargai orang lain – amanah. Kedzaliman dan penipuan tidak dibenarkan.
b. Masyarakat Arab menjelang lahirnya Islam (politik – ekonomi – sistem sosial – agama).
1). Politik
a) dominasi 2 kerajaan besar: Persia dan Bizantium. Tetapi Hijaz tidak dijajah
karena secara geografis sulit dijangkau.
b) Sikap penguasa menjalankan politik nonblok. Mereka hanya berpikir
tentang peningkatan ekonomi dengan dasar perdagangan dan mereka diberi
jaminan keamanan dalam lalu lintas perdagangan di laut Merah. Sikap ini
tetap dipertahankan pada awal-awal lahirnya Islam.
2). Ekonomi: pertanian dan perdagangan
3). Sosial:
a) tradisi penguburan anak perempuan hidup-hidup (bani Tamim – As’ad).
b) tradisi perkawinan: istibdla’ – badal – maqthu’ – poligami – poliandri – mut’ah.
c) tidak menghargai wanita
4). Agama: agama pagan (berhala) – menyembah batu – pohon – hewan.
Peran Islam: mengarahkan kepada prinsip tauhid.
2. Islam - Persia
a. Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw pada tahun 632 M, secara berturut-turut umat Islam dipimpin al-Khulafa’ ar-Rasyidun – Daulah Umayyah – dan Daulah Abbasiyah.
b. Al-Khulafa’ ar-Rasyidun
1) model pemilihan: pemilihan person terbaik dari kabilah yang ada.
2) Model pemerintahan: teokrasi
3) Wilayah kekuasaan pada masa Umar bin al-Khattab meliputi Persia, Irak, Syria, Mesir, sebagian pantai Afrika utara.
4) Setelah wafatnya Usman bin Affan, umat Islam dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib (656- 661 M). Masa itu adalah akhir dari kekhalifahan al-Khulafa’ ar-Rasyidun, kemudian dilanjutkan oleh Banu Umayyah.
c. Daulah Bani Umayyah (661 – 750 M)
1) model pemilihan: Monarchi/asas keturunan
2) model pemerintahan: otokrasi
3) wilayah kekuasaan: utara: Suriah dan Mesir. Timur: Bukhara, Punjab. Barat: Afrika dan Spanyol.
4) Banyaknya penaklukan, berimbas pada sikap politik bani Umayyah terhadap kaum Mawali sebagai kaum muslim non Arab (kebanyakan dari Persia) dipandang sebagai masyarakat muslim kelas dua.
5) Sikap tersebut berimbas pada dialektika yang cenderung close minded terhadap bahasa, budaya, dan peradaban bangsa lain. Sehingga yang muncul adalah pemikiran-pemikiran keagamaan yang didominasi oleh satu sumber yaitu Arab.
6) Pada tahun 750 M Daulah bani Umayyah jatuh disebabkan pertentangan intern dan ekstern, dan segera digantikan oleh Abbasiyah.
3. Islam – Yunani
a. Interaksi Islam dengan peradaban Yunani sebenarnya sudah terjadi sejak masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Buktinya adalah: penaklukan Iskandariyah – Mesir – Syria – Irak (Pusat-pusat Hellenisme) telah membawa bangsa Arab Islam bersentuhan dengan peradaban Yunani dan peradaban Timur Tengah seperti: Mesir – Persia – Yahudi – dan Nasrani. Interaksi dengan tradisi Hellenisme mempengaruhi cara dan gaya berpikir.
b. Interaksi denaagan peradaban Yunani semakin kuat dan jelas ketika Bani Abbas berkuasa.
c. Interaksi itu berwujud langsung dan tidak langsung yaitu dengan penduduk lokal yang sudah terbiasa dengan budaya Hellenisme. Faktor yang berpengaruh kedalam budaya Islam adalah booming terjemahan + abad ke-8M.
d. Terjemahan karya filsafat pertama berasal dari sastrawan terkemuka: Abdullah ibn al-Muqaffa yang mencakup:
1) Categories – Hermeneutica – Analytica Apriora= karya Aristoteles. Hal ini terjadi pada masa Ja’far al-Mansur (754-773M).
2) Timaeus = karya Plato. De Anima – Analytica Priora = karya Aristoteles. Diterjemahkan oleh: Yahya bin Bitriq, terjadi pada masa Harun ar-Rasyid.
3) Analytica Posteriora – Generation and Corruption= Aristoteles begitu juga Sophis – Politicus – Republic and Law. Diterjemahkan oleh team: Hunain bin Ishaq – Hubaisy – Isa bin Yahya, terjadi pada masa al-Ma’mun.
e. Pasca booming penterjemahan ilmu-ilmu Yunani ke Arab, maka filsafat Yunani tidak asing di kalangan akademisi muslim, sebagai contoh:
1) para teolog muslim mengambil sebagian tradisi filsafat Yunani yaitu filsafat ketuhanan dan logika Aristoteles, sebagi dasar argumen teologi dan alat berdebat.
2) Para filosof seperti al-Kindi – ar-Razi – al-Farabi – Ibnu Sina – Ibn Rusyd dll mengambil tradisi Yunani yang dimodifikasi dengan ajaran Islam.
3) Para sufi: al-Ghazali – al-Hallaj, juga tidak terlepas dari paham-paham Yunani.
4) Para ahli ushul fiqh: seperti asy-Syafi’i.
f. Adanya pengaruh peradaban Yunani – Romawi terhadap peradaban Arab Islam meskipun debatable, tetapi secara historis – sosiologis mungkin sekali terjadi saling keterpengaruhan antara kedua peradaban. Seperti unsur-unsur hukum yang tidak terdapat secara tegas di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi didapatkan dalam unsur Yunani dan tidak bertentangan dengan semangat Islam. Seperti semangat rasionalisme, konsep qiyas, adat dst.
g. Dari kebudayaan Yunani, umat Islam mengambil dan mengembangkan logika – filsafat – ilmu kedokteran – dsb. Pemikiran filsafat yang diambil memberikan bentuk pemikiran Islam dalam waktu yang sangat panjang dalam perkembangan dialektis dengan pemikiran yang dikembangkan dalam tradisi Arab dan tradisi bangsa-bangsa yang memeluk Islam.
4. Islam Barat
a. Interaksi Islam dengan dunia Barat diawali dengan pendudukan kaum muslim atas Spanyol dan Sisilia pada tahun 711 M.
b. Tahun 756 Spanyol berada dalam kekuasaan daulah Bani Umayyah yang pada saat kejatuhan Umayyah berhasil melarikan diri ke Spanyol dari kejaran tentara Abbasiyah.
c. Meskipun Umayyah Spanyol tidak mengakui kakhalifahan Abbasiyah di Bagdad, namun secara kultural tetap menjalin hubungan dengan dunia Timur. Penduduk Spanyol tidak sulit untuk berkunjung ke pusat-pusat intelektual, seperti Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Setelah menjadi sarjana yang menguasai bidang-bidang ilmu pengetahuan, mereka kembali ke Spanyol, dan mengajarkannya pada orang-orang Spanyol.
d. Dengan demikian, jelas bahwa kekuasaan Arab Islam di Barat dan Timur, secara langsung/tidak langsung memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat.
e. Peradaban Islam yang memberikan pengaruh kepada dunia Barat misalnya di bidang perdagangan, teknologi, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasang-surutnya
hubungan Islam dan Barat bila dianalisis setidaknya karena dua alasan. Pertama,
sikap saling khawatir dan takut antar Islam dan Barat akibat dari
ketidaktahuan. Akibatnya, Barat selalu memandang Islam dengan perspektif yang
negatif. Montgomery Watt, misalnya, mengatakan bahwa Barat telah lama menjadi
ahli waris prasangka masa lalunya. Citra negatif Islam itu di Barat masih saja
membekas dan terus menerus mendominasi pemikiran Barat. Sampai kini pengetahuan
Barat terhadap Islam masih bersifat parsial dan bias.
Sebaliknya, mayoritas muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan dan perdamaian. Lalu, muncul pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan segala proyek islamisasinya.
Sebaliknya, mayoritas muslim juga punya pandangan tersendiri tentang peradaban Barat. Barat selamanya ditempatkan bukan sebagai mitra dialog antar budaya, tapi sebagai musuh yang selalu menjajah. Barat juga dinilai telah mengalami krisis spiritual dan mestinya harus kembali kepada semangat Islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dianggap tidak lagi membawa kesejahteraan dan perdamaian. Lalu, muncul pula arogansi Islam yang terlalu percaya diri mendeklarasikan sains Islam dan segala proyek islamisasinya.
B.
Saran
Demikian
makalah tentang Respon Negara-negara Non Arab Terhadap Peradaban
Islam, tentu saja masih banyak sekali kekurangannya. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini.Semoga kita
sebagai warga Negara dan bangsa
Indonesia yang baik dapat menjaga dan membangun Negara ini menjadi
semakin lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin,
Islam dari Masa ke Masa, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991.
A. Latif Osam,
Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta, Widjaya, 1976.
Agussalim
Sitompul, Perang Salib, Beberapa Aspek Negatif dan Positif (Makalah),
Yogyakarta, 2006.
Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Bernads Lewis,
Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
Donald Eugene
Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985.
Imam Munawwir,
Kebangkitan Islam dan Tantangan-tantangan yang Dihadapi dari Masa ke Masa,
Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1984.
Hamka, Sejarah
Umat Islam II, Jakarta, Bulan Bintang, 1981.
Lothrop
Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World of Islam), 1996.
G.H. Jansen,
Islam Militan, Bandung, Pustaka, 1980.
www.akhmadrowi,blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !