Pengaruh Peradaban Islam terhadap
Pengembangan Pendidikan sejak Abad Pertama hingga Abad Modern
Di susun oleh :
Nama : Suhadi
NIM : C.1.4.12.0052
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembaruan dalam
Islam yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa
umat Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan.
Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan
juga kemunduran. Bab ini akan menguraikan perkembangan Islam pada bidang
pendidikan. Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah
dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi.
Proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman
pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Qur`an dan terjabar dalam
Sunnah Rasul bermula sejak Nabi Muhmmad SAW menyampaikan ajaran tersebut pada
umatnya.
Masa sebelum
kedatangan Islam yang disebut dengan Masa Jahiliyah, misalnya, merupakan
argumentasi penting bahwa Islam datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan
meminimalisir kebodohan. Predikat “jahiliyah” bukan berarti bangsa Arab sebelum
Islam datang tidak memiliki peradaban dan mengenal peradaban-peradaban lainnya.
Beberapa abad sebelum Islam muncul, daerah Arab telah mengenal peradaban lembah
Nil, peradaban lembah Daljah dan Furat, peradaban Syam, peradaban Yaman,
peradaban Tunis, peradaban Bahrain, peradaban Yunani, peradaban India dan
peradaban Persia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini,
yaitu:
Bagaimana pengaruh peradaban Islam
terhadap pendidikan sejak abad pertama hingga abad modern?
BAB
II
PEMBAHASAN
Harun
Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah Islam bisa
dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250
M, 2) masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun
1800 M sampai sekarang.
1. Abad Pertama /Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah
daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui
Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan
Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di
Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini
dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang
kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan dikembangkan
era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah
penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup
relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran
merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.
Kehadiran Nabi
membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi
yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan
yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang
dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Muhammad
dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi
reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya
berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun
tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Qurasiy.
Selain
itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah
ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan
peradaban. Periode Mekkah merupakan periode yang menyakitkan bagi Nabi dan
pengikutnya sehingga Nabi melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M
untuk menyusun kekuatan baru setelah Mekkah dianggap tidak kondusif untuk
penyebaran dakwah Islam. Di Madinah, Nabi menyusun kekuatan sosial-politik dan
ekonomi untuk menyatakan perang ekonomi kepada pedagang Quraiys. Secara
sosiologis, hijrah merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan kekerabatan
dengan kaum Quraisy Mekkah. Namun demikian, hijrah tidak hanya merupakan
perpindahan Nabi dan umat Islam untuk menghindari tekanan-tekanan dan
perlawanan dari kaum kafir Quraisy. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan
kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan
pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai
hadisnya.
Pada era klasik
ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat.
Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak
kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para
ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu
pengetahuan secara mengagumkan.
Peran para
khalifah tidak bisa dinegasikan dari kemajuan yang dicapai oleh periode ini,
terutama pada masa Bani Abbas. Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid
(785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat
didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait
Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan
tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran,
matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping
filsafat.
Maka kemudian
muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam
seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
Astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan
sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah
pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali
Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat
bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah
yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat
benda yang bersangkutan.
Dalam bidang
Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar
Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru
dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi.
Di zaman ini pula
lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan
Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi,
pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam,
dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan
Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan
Ibnu Miskawih dalam filsafat.
Ringkasnya,
periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh pada
tercapainya peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini,
menurut Christopher Dawson, bersamaan dengan abad kegelapan di Eropa. Memang
sebagaimana dijelaskan oleh Mc. Neill, kebudayaan Kristen di Eropa antara
600-1000 M. sedang mengalami masa surut yang rendah. Di Abad XI, Eropa mulai
sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol,
Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit dibawa ke Eropa.
2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa
pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari
intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam,
sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu,
dunia dengan akhirat. Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi
bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam
tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang
persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di
Istanbul di abad ke-16.
Pada periode
pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan
besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia,
dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan
II dalam sejarah peradaban Islam. Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah
mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam
bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua
pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan
Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana,
masjid-masjid, benteng-benteng dan sebagainya.
Di India, bahasa
Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia
yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis
besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18).
Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali
dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih
ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.
Tahun 1700-1800 M
disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi
kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga
terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu
pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh
suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis,
sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu
Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar,
ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di
tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang
terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam
akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul
peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.
3. Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
Periode Modern
merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan
Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai
memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam
kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat
Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam
berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang
melimpah. Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur
dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan
dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik,
kekuasaan dan militer.
Setelah umat Islam
menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya dekonstruksi oleh para
pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam. Etika politik
kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi teologi.
Upaya-upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting
paradigm (loncatan paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan ajaran-ajaran
dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan
progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur Islam
tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat. Dari sini,
bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan),
revivalisme (puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan
bahkan muncul juga sekularisme yang kontroversial.
Pada periode
ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan
dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam
konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami
dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan
kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia
Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India
dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga
mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular.
Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya
dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin
Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal
Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan
sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu
seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin
al-Afghani, dan lain-lain.Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh
pembaharuan yang cukup popular,dapat disebutkan diantaranya : Harun Nasution,
Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali,Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis
besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam
empat model gerakan sebagai berikut:
a. Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin
Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Gerakan-gerakan ini muncul
bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam
(Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang,
seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta
kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini
berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya
(asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad
ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits.
Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka
dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup,
bahkan harus tetap dibuka;
Dalam
pandangan Amien Rais, gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu
revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu
radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran
reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan
duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah.
b. Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini
dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian
diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh
muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di
Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme
Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan
Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan
umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam
masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu,
kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini
bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan
sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya
disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah
di berbagai tempat dan waktu.
Ide-ide atau
pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber
dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu
ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumberajaran
Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangandan
kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat
untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi
sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya
kepada hukum alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan
Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang
berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah
dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai
dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih
di masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam
harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu
pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak
(free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.
c. Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham
ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham ini mengajak umat
Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang
berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu
pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini
dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas
Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya
sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh
Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India
mengalami kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam
pernah mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik,
tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan
adalah Barat.
Oleh karena itu
menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya
mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat
(Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus
mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan
yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan
mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.
d. Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan
berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah Daulah
Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah MustafaKemal Attaturk (1881-1938).
Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat.
Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena
itu, menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk
disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama
rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional
itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi.
Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari
kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah
orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan
masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara
harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi. Dengan
pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah
menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup,
digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat,
khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan.
Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah.
Nama-nama orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat
tentang perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak
cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti
hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari
hukum-hukum Barat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara garis
besar, pengaruh peradaban Islam terhadap pendidikan dibagi
menjadi tiga fase :
1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan
temuan-temuan sains yang belum pernah ada sebelumnya.
2) Periode Pertengahan (1250-1800 M), gairah
intelektual umat Islam terkikis dan sangat merosot. Tidak ada lagi buah karya
atau penemuan sains yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim. Perhatian terhadap ilmu
pengetahuan sangat menurun.
3) Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat
Islam mulai menyadari keterpurukan dan ketertinggalannya utamanya dalam bidang
sains dan teknologi. Spirit ini melahirkan beberapa model gerakan pembaharuan
dalam interpretasi dan implementasi terhadap ajaran Islam. Secara umum, ada
empat model gerakan pembaharuan yang muncul; Wahabiyah,
Modernisme, Westernisme dan Sekularisme.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !