MAKALAH
“RESPON NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP
PERADABAN ISLAM”
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam
Pengampu
: Drs. H. Akhmad Rowi., MH
Di susun oleh
:
Ranto amir nuha
Fakultas agama
islam semeseter VI
UNVERSITAS
SULTAN FATTAH
DEMAK 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Asyh hadu anlaa ilaa ha illallooh muhammadanrosuululloh, allohumma
sholli’ala sayyidinaa muhammadin wa’alaa aalisayyidina Muhammad.
Dengan mengucapkan
puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang diberi judul “respon
Negara-negara non arab terhadap perdaban islam”. Untuk memenuhi tugas mata kuliah
sejarah perdaban islam ini yang diampu oleh Drs. H.Akhmad Rowi. MH.
Salawat serta salam kita haturkan kepadaNya baginda Rosul SAW dan
Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan rekan dan semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, sehingga menjadi lebih
baik dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa yang terkandung
dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan kami dengan
senang hati menerima koreksi dan teguran dari pembaca untuk kelengkapan dan
perbaikan makalah ini. sehingga dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya kinerja kami yang
akan mendatang.
Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan
informasi yang bermanfaat bagi semua pihak khususnya saya pribadi.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Cover….…………………………………….……..……………………………………. i
Respon Negara-negara non Arab terhadap perhadapan islam...……….………..………
ii
Daftar Isi …………………………………………………………..……………....….... iii
Kata Pengantar ………………………………………………………….........…………. 1
I Pendahuluan ………………………………………………………...…..........…..……. 2
I.I. Latar Belakang …………………..……………………………….......…...……3
I.II. Rumusan Masalah ………………………..……………………………...……4
I.III. Tujuan Pembahasan …………………………………….…………………… 5
II. Isi ……………………………………………………………………….........……… 7
II.I transplantasi ………...…………………………….………………………….. 7
III. Kesimpulan …………………………………………….......…………………….… 42
Saran ………………………………………….…………….........…………………..… 45
Penutup ………………………………….……………........…………………………... 46
Daftar Pustaka …………………………….…………........…………………………… 48
Daftar Gambar ……………………………..…………….........………………..……… 51
Daftar Tabel ………………………………..………………..........................………….53
Lampiran ………………………………..……………….....………………………….. 54
II pembahasan
1.1.Latar belakang
Dengan semakin besarnya pemeluk islam pada era demi era
bagaimana semakin majunya perdaban isalam. Kekuatan islam yang menakutkan bagi
Negara nagara non islam dan kenapa
Negara-negara non arab ingin menguasai daerah yang di huni muslim
1.2. Rumusan maslah
a.
Bagaiman yang mendasari penjajahan barat
terhadap islam
b.
Dari mana sumber permusuhan perdaban
c.
Benturan yanga terjadi anatara barat dan islam
1.3. Tujuan pembahasan
Yanag jelas adalah sedikit banayaknya pemberian informasi dan
bagaimana menyikapi tentang pembahasan yang suadah ada.
“RESPON NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP
PERADABAN ISLAM”
1. Bentuk-Bentuk
Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam (Termasuk Indonesia)
Negara-negara Barat
seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Rusia dan lain-lain memang
mempunyai teknologi militer dan industri perang yang lebih canggih dibandingkan
dengan negara Islam, sehingga mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan
mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam.
Dari awal penjajahan
Barat yaitu perang salib umat Islam telah kehilangan berbagai daerah yang
semula telah dikuasai Islam, yang kemudian jatuh ke tangan orang Kristen, yang
sukar untuk dikembalikan kembali. Jadi pada perang salib ini telah terjadi
penaklukan dan penyerangan yang dilakukan oleh negara Barat untuk merebut wilayah-wilayah
kekuasaan Islam. Tidak terhingga kerugian yang diakibatkan oleh penjajahan
tersebut, baik kerugian hasil budaya dan peradaban manusia maupun kerugian
material maupun korban jiwa. Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat
antara lain adalah:
a. 1820 Oman dan Qatar
berada di bawah protektorat Inggris.
b. 1830-1857 Penaklukan
Aljazair oleh Perancis 1839.
c. 1881-1883 Tunisia
diserbu Perancis.
d. 1882 Mesir diduduki
Inggris.
e. 1898 Sudan ditaklukkan
Inggris.
f. 1900 Chad diserbu
Perancis.
Pada abad ke20 M
Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan
wilayah-wilayah di Afrika :
a. 1960 Kesultanan muslim
di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris.
b. 1912-1913 Kesultanan Tripoli
dan Cyrenaica diserbu Italia.
c. 1912 Marokko diserbu
Perancis dan Spanyol.
d. 1914
Kuwait di bawah protektorat Inggris.
e. 1919-1921 Sisilia
wilayah Turki diduduki Perancis.
f. 1920
Irak menjadi protektorat Inggris.
g. 1920
Syria dan Libanon di bawah mandat Perancis.
h. 1926-1927 Perebutan
seluruh Somalia oleh Italia.
Sementara itu, Rusia
menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia
berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano
dan Perjanjian Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan
Rusia, seperti tergambar dalam daftar berikut:
a. 1834-1859 Pencaplokan
Kaukasia oleh Rusia.
b. 1853-1865 Serbuan
pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent.
c. 1866-1872
Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia.
d. 1941-1946 Pendudukan
Anglo Rusia di Iran.
2. Sumber
permusuhan Islam dan Barat
Apa yang menjadi
sumber permusuhan barat terhadap Islam dewasa ini sehingga mereka mengerahkan
segala upaya dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim. Pada
garis besarnya ada dua sebab:
a. Dendam historis
Selama berabad-abad
barat takluk di bawah hegemoni khilafah Islam. Kebencian kaum Kristen barat
pernah meledak dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam, yaitu
dengan terjadinya perang salib (1096-1291M) yang brtujuan utam penghancuran
islam. Akan tetapi melalui peperangan tersebut umat Islam gagal dilumpuhkan,
bahkan kemenangan lebih banyak diraih oleh pasukan Islam. Trauma perang tesebut
berdampak pada tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di kedua belah
pihak.
Perang salib membentuk
fondasi pertama dan esensi untuk menerapkan sikap Eropa (barat) terhadap Islam.
Dendam perang salib tersebut belum padam . kebencian dan permusuhan barat
terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan setalah Perang Dingin berakhir.
b.
Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat
umumnya melakukan kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu terjadi karena
masyarakat Barat umumnya memepelajari dan memahami Islam dari buku-buku para
orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan tujuan utnuk
menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk
mengetahui rahasia kekuatan Islam yang tidak lepasa dari ambisi imperialis
Barat untuk mengetahui dunia Islam. Umumnya ketika berbicara mengenai Islam
pandangan dan analisis para orientalis tidak objektif
dan tidak fair sudah bercampur dengan subjektivisme dan
kepentingan tertentu. Karenanya pandangan mereka biaseddan berat
sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat. Citra
Islam yang tampak di dunia Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme,
kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah
dengan sajian media massa mereka yang menampilkan Islam tidak secara utuh.
Bahkan Islam yang mereka kenalkan bukan Islam kebanyakan (Sunni), melainkan
Islam Syi’ah (Iran) yang hanya dianut oleh 10% kaum Muslim dunia. Kekeliruan
Barat dalam memahami Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan perilaku
individu umat Islam yang melakukan kekerasan, cap “teroris” pun dilekatkan pada
Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya,
populerlah istilah “Terorisme Islam”.
Kesalahpahaman
tersebut diperparah lagi dengan gencarnya serangan propaganda Barat
melalui berbagai media massanya untuk
memojokkan agama dan umat Islam (demonologi
Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat
Islam kerap mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”,
“ekstremisme”, “radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk
mendiskreditkan Islam.
Fobi
Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah produk utama propaganda
media massa Barat (demonoloogi Islam). Parahnya lagi fobi tersebut tidak hanya
melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian besar umat Islam. Mereka merasa
ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame yang ada
dikepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina , hukum cambuk bagi pemabuk,
hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh. Isu-isu hukum
Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menjauhkan umat Islam dari
ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.
Revolusi
Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika kekuatan Islam naik ke
puncak kekuasaan di suatu Negara, pemerintahan Negara itu akan menerapkan
syari’at Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Adapun kepentingan Barat
di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi barat yang terbentang dari Maroko
sampai Merauke letak geografisnya sangat strategis bagi kepentingan politik dan
militer. Kekayaan
alamnya, khususnya minyaknya, merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri
barat. Bisa dikatakan bahwa roda-roda perekonomian Negara-negara barat sangat
bergantung pada minyak yang ada di sebagian Negara-negara Islam. Timur tengah
sebagai tempat kelahiran dan “pusat Islam” merupakan pemasok terbesar kebutuhan
minyak dunia. Itulah salah satu alasan mengapa barat merasa “wajib” menaklukkan
dunia Islam.
BENTROKAN PERADABAN SEBAGAI KONFLIK UTAMA
Samuel P. Huntington dalam artikelnya yang berjudul “The coming
Clash of Civilizations Or, the West Against the Rest” berargumen bahwa politik
dunia telah memasuki fase baru, dimana sumber utama sebuah konflik bukanlah
ideologi ataupun ekonomi, melainkan kebudayaan. Benturan peradaban akan
mendominasi politik dunia. Peradaban adalah kebudayaan tertinggi sekelompok
orang, dan identitas kebudayaan terluas.
Identitas peradaban akan semakin penting dan dunia akan terbentuk dalam ukuran
besar oleh interaksi antara tujuh dari delapan peradaban besar. Konflik penting
dan berdarah akan terjadi di sepanjang perbatasan yang memisahkan budaya ini.
Garis buruk antar peradaban akan menjadi garis pertempuran masa depan.
Huntington mengemukakan alasannya mengapa akan terjadi bentrokan peradaban
sebagai berikut. Pertama, perbedaan antar peradaban yang mendasar, meliputi
sejarah, bahasa, budaya, dan yang paling penting, agama. Perbedaan ini adalah
hasil dari berabad-abad dan tidak mudah hilang. Kedua, dunia yang semakin
mengecil. Interaksi antar individu dengan peradaban berbeda meningkat. Dimana
kesadaran akan perbedaan dan persamaan akan meningkat. Ketiga, perubahan
ekonomi dan sosial memisahkan orang-orang dari identitas lokal lama. Agama menjadi
penutup kesenjangan ini, dan sering kali dalam bentuk gerakan berlabel
fundamentalis. Keempat, pertumbuhan kesadaran peradaban ditingkatkan oleh fakta
bahwa barat berada dipuncak kekuatannya. Lebih penting lagi, upaya barat dalam
mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan liberalisme sebagai nilai-nilai
universal, mempertahankan dominasi militer dan untuk memajukan kepentingan
perusahaan ekonomi, menimbulkan tanggapan perlawanan dari peradaban lain. Dalam
artikelnya Huntington memberi contoh yakni, kerjasama anti-barat antara
Konfusian dan negara-negara islam yang menentang kekuasaan dan nilai-nilai
barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya tidak mudah berubah dan
karenanya kurang mudah dikompromikan dan diselesaikan dibanding politik dan
ekonomi.
Saat pembagian ideologi Eropa menghilang, pembagian kebudayaan Eropa antara
Kristiani Barat dan Islam kembali muncul. Konflik antara Kristiani Barat dan
peradaban Islam telah terjadi selama1.300 tahun. Secara historis, interaksi
antagonistik peradaban Islam Arab telah terjadi dengan pagan, animis dan
sekarang, umat Kristiani orang hitam. Bentrokan bersejarah antara Muslim dan
hindu di sub-benua memanifeskan dirinya tidak hanya dalam persaingan antara
Pakistan dan India tetapi juga dalam mengintensifkan perselisihan agama di
India antara kelompok Hindu militan dan minoritas Islam yang besar. Grup atau
negara milik suatu peradaban yang terlibat dalam perang dengan orang dari
peradaban yang berbeda akan secara alami mencari dukungan dan membentuk koalisi
pada peradaban mereka sendiri. Dalam tahun-tahun yang akan datang, konflik
lokal yang paling mungkin akan meningkat ke perang besar ialah di sepanjang
garis patahan antar peradaban. Perang dunia berikutnya, jika ada, akan menjadi
perang antar peradaban.
Jika hipotesis ini masuk akal, jika perlu mempertimbangkan implikasinya bagi
kebijakan barat. Implikasi ini harus dibagi antara keuntungan jangka pendek dan
akomodasi jangka panjang. Dalam jangka pendek, itu jelas dalam kepentingan
barat untuk mempromosikan kerjasama yang lebih besar dan kesatuan dalam
peradaban sendiri. Dalam jangka panjang, artikel huntington mengatakan bahwa
Barat akan semakin harus mengakomodasi peradaban modern yang non-Barat. Dimana
peradaban non-Barat telah berusaha untuk menjadi modern tanpa menjadi Barat.
Huntington menunjukkan di masa depan poros tengah politik dunia cenderung
menjadi konflik antara peradaban Barat dan non-Barat. Dia menawarkan tiga
bentuk tindakan umum yang bisa diambil oleh peradaban non-Barat untuk
menanggapi negara Barat :
1.
Negara-negara
non-Barat dapat mencoba untuk melakukan isolasi dalam rangka melestarikan
nilai-nilai mereka sendiri dan melindungi diri dari invasi Barat. Namun,
Huntington berpendapat bahwa biaya dari tindakan ini tinggi dan hanya beberapa
negara yang dapat melakukan itu.
2.
Menurut
teori “Band-Wagoning”, negara-negara non-Barat dapat bergabung dan menerima
nilai-nilai Barat.
3.
Negara-negara
non-Barat dapat melakukan upaya untuk menyeimbangkan kekuatan Barat melalui
modernisasi. Mereka dapat mengembangkan, kekuatan militer ekonomi dan
bekerja sama dengan negara lain non-Barat terhadap Barat sambil tetap
mempertahankan nilai-nilai dan institusi mereka sendiri. Huntington
percaya bahwa kekuatan meningkatnya peradaban non-Barat dalam masyarakat internasional
akan membuat Barat mulai mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang
dasar-dasar budaya yang mendasari peradaban lain. Oleh karena itu,
peradaban Barat akan berhenti dianggap sebagai “universal” tetapi peradaban
yang berbeda akan belajar untuk hidup berdampingan dan bergabung untuk
membentuk masa depan dunia.
Kesimpulannya, pendapat yang dikemukakan Huntington cenderung
kurang tepat. Bahkan bagi beberapa orang artikelnya cenderung mengundang
hal-hal yang bersifat rasis. Huntington cenderung bersifat stereotype dalam mengemukakan
pendapatnya yang tertulis dalam artikelnya.
Benturan Peradaban atau Kompatibilitas
Ideologi dalam Revivalisme Islam Studi Kasus: The Rise of Hamas sebagai
Pergerakan Islam
Islam merupakan salah satu
peradaban dunia yang memiliki sejarah cukup panjang dan gemilang, hal tersebut
dapat terlihat dari keberadaan salah satu imperium besar dunia yang dikuasai
oleh bangsa Muslim yakni Turki Ottoman. Namun paska deklinasi kekuasaan Turki
Ottoman sebagai imperium besar dunia, maka muncul kekuatan peradaban baru yang
cukup masif hingga saat ini yakni Barat. Kondisi tersebut tidak membuat bangsa
Muslim hanya tidak diam, melainkan berupaya untuk mengembalikan kejayaan
peradaban dengan menstimulus lahirnya Pergerakan Islam atau yang biasa disebut
dengan Islamic renaissance atau an-nahda al-islamiyyapada abad ke-19. Kebangkitan Islam melalui
pergerakan tersebut ditandai dengan tiga fase yakni formulasi ideologikal,
formasi struktural dan ekspansi ideologi (Jufri, 1991: vi dalam Muttaqien,
2013: 3).
Fase yang pertama adalah
formulasi ideologikal, dimana beberpa filosofer berupaya menyuguhkan ide
tentang Islamic renaissancesebagai sebuah respon terhadap deklinisasi
peran Islam sebagai peradaban besar dunia dalam tataran internasional. Nadwi
mengilustrasikan peran Islam sejak lahir di Mekkah sebagai peradaban dunia
melalui kejayaan Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah hingga era Turki Ottoman yang
mampu melindungi dan bahkan memukul mundur serangan Tentara Barat melalui kekuatan
militer yang besar sebagai spiritual safeguard (Nadwi, 1980: 104-105 dalam Muttaqien,
2013: 3). Namun pada abad ke-19, keruntuhan Turki Ottoman terjadi karena faktor
disloyalitas dan persoalan korupsi dari segi internal serta maraknya pergerakan
dekolonisasi dari negara-negara subordinat setelah adanya pengaruh nilai
kebebasan Barat (Nadwi, 1980: 113 dalam Muttaqien, 2013: 4). Dalam merespon
kejatuhan Turki Ottoman ini, beberapa pemikir kemudian menyajikan ide
kebangkitan Islam melalui beberapa strategi seperti Jamal al-Din al-Afghani
yang ingin mereformasi Islam melalui struktur ekonomi, politik dan sosial.
Strategi tersebut berupaya menguatkan ikatan sosial masyarakat Islam dari dalam
untuk menampik kekuatan Barat terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan
teknologi yang dahulu dikuasai oleh peradaban Islam. Dengan doktrin bahwa Islam
merupakan jalur yang komprehensif mengurusi kehidupan manusia, maka reformasi
tersebut menyebar hingga Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tengah (Esposito,
1991: 126-127 dalam Muttaqien, 2013: 4). Kemudian juga ada Muhammad Abduh dan
Rashid Rida yang mencoba menyajikan ide mengenai kebangkitan Islam. Muhammad
Abduh menekankan kepada gerakan masif mengembalikan nilai-ilai dunia pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan dan
bahwa agama serta rasionalitas merupakan dua hal yang bersifat komplementer.
Kemudian mempertahankan prinsip imutasi yakni akidah dan ibadah, sedangkan
prinsip mutasi adalah muamalah. Sedangkan Rashid Rida menjadikan salafiyya
sebagai rujukan dan diaktualisasikan dalam pergerakan Wahabi dalam mahzab
Maliki, Hambali ataupun Ibn Taymiyya (Esposito, 1991: 129-132 dalam Muttaqien,
2013: 6).
Fase yang kedua yakni
formasi struktural, dimana sistem kekhalifahan atau melalui bentuk negara Islam
merupakan sistem pemerintahan yang menjadi penting dalam kebangkitan Islam
sebagai eksistensi politik internasional. Jika dilihat, bentuk institusi
kekhalifahan yang mampu menjaga kekuasaan Turki Ottoman melalui peran politik
dalam sistem umma dengan ideologi Pan-Islamisme. Tantangan terbesar formasi
struktur pemerintahan tersebut adalah berkembangnya paham sekuler, yang hal
tersebut juga terjadi pada Turki di era Mustofa Kemal Pasya pada tahun 1924.
Akibatnya, lahirlah aktivis Muslim yang mencoba memformulasikan idealisme
sebagai pergerakan (harakat) melalui penyelenggaraan organisasi (tandzim) atau
partai (hizb) atau komunitas Islam (jamaah), yang kesemua faktor tersebut
dilaksanakan dengan sebuah pegangan kepemimpinan dari khalifah (Muttaqien,
2013: 6). Pergerakan Islam yang kemudian muncul dan mencoba merealisasikan
idealisme di atas adalah Al-Ikhwanul Muslimin oleh Hasan Al-Banna di Mesir
tahun 1928 dan Jammah Islami oleh Maulana Abul A’la al Mawdudi di Pakistan pada
tahun 1941. Keduanya bergerak masif karena terdapat semangat dekolonisasi yang
tinggi serta keanggotaan yang diversifikasif, namun Jamaah Islami lebih
bersifat elitis dan intelektualis (Esposito, 1991: 149 dalam Muttaqien, 2013:
7).
Dan fase yang terakhir
adalah ekspansi ideologi kebangkitan Islam yang berkembang secara pesat di
Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tenggara dan bahkan di Eropa, utama jika
dilihat melalui organisasi Al-Ikhwanul Muslimin (Vidino, 2005 dalam Muttaqien,
2013: 7). Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: yang pertama
kemampuan untuk mengirimkan anggota menyebarkan ideologinya ke negara-negara
lain sehingga disebut pergerakan ideologi, misalnya Abd al-Rahman Al-Banna yang
dikirim berjuang di Jerusalem; yang kedua adalah pengaruh ideologi pergerakan
soal revivalisme Islam yang diterima oleh banyak pelajar internasional yang
belajar di Timur Tengah, utamanya Universitas Al-Azhar di Kairo yang kemudian
ditransfer ke negara-negara asal mereka (Machmudi, 2005: 61-68 dalam Muttaqien,
2013: 8); yang ketiga yakni kemampuan literasi yang baik dengan mempublikasi
dan mentranslasi buku-buku Al-Ikhwan (Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Karim
Zaidan, Yusuf Al-Qaradawy dan lainnya) dalam banyak bahasa dunia tentu
menguatkan proses internasionalisasi organisasi; dan yang keempat adalah
kondisi rezim represif yang terjadi di negara-negara Islam yang justru
mendorong migrasi para aktivis keluar negaranya dan mengirimkan ideologi Islam
modern ke seluruh dunia seperti kiprah Yusuf Qaradawy di Universitas Qatar,
Hasan Al-Banna membentuk komunitas muslim di Jerman dan Tariq Ramadhan di
Switzerland hingga Amerika Serikat (Ajami, 2004 dalam Muttaqien, 2013: 9).
Ideologi Al-Ikhwan menjadi kuat dengan menekankan pada sistem komprehensif pada
seluruh aspek kehidupan, dengan mott0 “Allah is our goal, the Prophet is our model, teh Qur’an is our
constitution, Jihad is our path, and death for the sake of Allah is our most
coveted desire”.
Demokrasi (bottom-up system) merupakan ciri moderat dari Al-Ikhwan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !