PEMIKIRAN PSIKOLOGI
ISLAM
I. PENDAHULUAN
Dilatarbelakangi oleh kejatuhan dunia Islam dalam
cengkeraman penjajahan Eropa dan Barat dan selanjutnya berada di bawah pengaruh
budaya sekuler Eropa dan Barat sehingga banyak Ilmuwan Muslim yang tergila-gila
terhadap segala aspek peradaban Eropa dan Barat termasuk teori-teori Psikologi.
Akibatnya adalah keterputusan rantai antara ahli psikologi Muslim modern dengan
warisan psikologi kelasik Islam. Ini dapat dilihat dari kenyataan – yang sangat
patut disayangkan – bahwa para ahli psikologi Muslim yang mendalami psikologi dari
Barat umumnya memulai kajian psikologi pada kaum pemikir Yunani, terutama Plato
dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung membahas pemikiran kejiwaan para
pemikir Eropa abad pertengahan dan Masa Kebangkitan (Renaisance) Eropa Modern. Mereka
benar-benar melupakan andil para ilmuwan Muslim yang di antaranya banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi pendapat para
pemikir Eropa abad pertengahan hingga awal masa renaisans Eropa Modern sendiri.
Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para sejarahwan psikologi dari Barat
tersebut justru diikuti oleh para pakar psikologi Muslim kontemporer. Mereka
yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah psikologi di banyak universitas
sama sekali tidak melirik peranan para ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap
andil mereka justru datang dari para sejarahwan filsafat Islam, baik yang berasal
dari bangsa Arab sendiri maupun non Arab. Mereka menginformasikan kepada kita
sejumlah ikhtisar yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan Muslim
terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun
ikhtisar tersebut tidak cukup menarik minat para psikolog Muslim kontemporer
untuk mendalami pandangan kejiwaan yang dibangun oleh para pendahulunya.
Makalah ini membahas tentang pemikiran psikologi dalam
perkembangan pemikiran Islam dengan memfokuskan pembahasan pada latar belakang
kemunculan pemikiran psikologi dalam khazanah pemikiran Islam yang kemudian
dilanjutkan dengan perkembangan diskursus paradigma psikologi dalam Islam guna
memberikan gambaran pada pembaca tentang apa yang berlangsung saat ini dalam
pemikiran Islam dalam bidang psikologi ini. Pada bagian tokoh psikologi
dipaparkan sebagian tokoh-tokoh ilmuwan Muslim masa kelasik beserta sekilas
teorinya yang memberikan kontribusi penting dalam perkembangan bidang psikologi.
Bagian ini kemudian mengetengahkan tokoh psikologi dan pecinta psikologi Islam
kontemporer beserta karya-karyanya guna memberikan optimisme pada pembaca akan
kemungkinan tumbuh dan berkembangnya kembali bangunan-bangunan bidang psikologi
yang Islami. Pembahasan kemudian diikuti dengan implikasi pemikiran psikologi
dalam dunia Islam untuk memberikan gambaran terkini pada pemikiran psikologi
dalam dunia Islam. Bagian penutup merupakan bagian yang mengingatkan kepada
semua umat Islam untuk tetap optimis dan membangun kerjasama dalam mewujudkan
kembali psikologi Islam.
Akhirnya, makalah ini diharapkan dapat menjadi rujukan
ringan dalam menyemai, memupuk, menumbuhkan dan memetik hasil kerja dalam
bidang psikologi Islam yang dinanti-nantikan produksinya bukan saja oleh
kalangan Muslim, namun oleh semua manusia yang ingin jati diri kemanusiaanya
sempurna pertumbuhan dan perkembangannya.
II. LATAR BELAKANG
PEMIKIRAN PSIKOLOGI DALAM ISLAM
Menapak-tilasi latar belakang kajian psikologi dalam
Islam dilakukan pertama sekali dengan menelusuri ayat-ayat Alqur’an dan
Hadis yang memotivasi manusia untuk mengkaji dirinya sendiri yang antara lain
adalah:
وَفِي
الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنفُسِكُمْ
أَفَلَا تُبْصِرُونَ ﴿٢١﴾
Artinya:
Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin 8 Dan (juga) pada
dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan? (QS. 51/Al-Dzariat:
20-21)
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya:
Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan
pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu
adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41/Fuşilat: 53)
Termasuk dalam
hal ini mengkaji sisi psikologis manusia.
إِنَّ
الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً ﴿١٩﴾
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ
الْخَيْرُ مَنُوعاً ﴿٢١﴾
Artinya:
Sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir 8 Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah 8 dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. 70/Al-Ma’ârij: 19-21)
وَنَفْسٍ
وَمَا سَوَّاهَا ﴿٧﴾
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا ﴿٨﴾ قَدْ أَفْلَحَ مَن
زَكَّاهَا ﴿٩﴾
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴿١٠﴾
Artinya:
Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya) 8 Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya 8 Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu 8 Dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91/Al-Syams: 7-10)
Demikian juga hadis-hadis Rasulullah saw. banyak bermuatan tentang
kejiwaan manusia yang antara lain adalah:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ وَأَخْبَرَنَا
سُلَيْمَانُ التَّيْمِىُّ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ».[1]
Artinya:
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Dengan demikian jelas bahwa sumber utama ajaran Islam
yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia secara fisikal,
psikologikal, spiritual, dan sosial turut berperan dalam memicu lahirnya kajian
psikologi dalam Islam.
Kedua, dilatarbelakangi
oleh kajian tentang akhlak dan tasawuf dan berbagai kajian yang berkaitan
dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, membuat para ilmuwan Islam
kelasik melakukan kajian mendalam tentang jiwa dengan fokus antara lain pada nafs,
qalb, rûh, dan ‘aql. Kajian ini juga menyertakan
para filusuf Muslim yang membahas rûh dan nafs dengan
mengadopsi kajian roh dari filsafat Yunani. Selama lebih kurang tujuh abad
psikologi dibahas dalam kajian filsafat dan tasawuf.[2]
Hasilnya adalah, pada masa keemasan Islam psikologi
ditekuni dan dikembangkan oleh dua kalangan: filusuf dan sufi, yang melahirkan
psikologi-falsafi dan psikolog-sufistik. Mereka telah melahirkan konsep tentang
jiwa secara menyeluruh dengan melakukan kajian terhadap nas-nas naqliyah
dan melakukannya dengan metode empiris (perenungan, observasi dan praktek)
secara sistematis, spekulatif, universal, dan radikal.[3]
III. DISKURSUS PARADIGMA PSIKOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Menurut Freidrichs Robert paradigma adalah “suatu
pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok
persoalannya.”[4] Dengan demikian paradigma psikologi secara
umum adalah prilaku manusia dan faktor-faktor yang memicu prilaku tersebut. Di
dalam Islam, manusia diciptakan dengan fungsi yang tidak hanya terbatas untuk
menata kehidupan manusia, ia juga memiliki fungsi sebagai hamba Allah dan juga
khalifah Allah. Sebagaimana terdapat dalam Firman Allah berikut ini:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.
51/al-Dzariyat: 56)
Sebagai hamba manusia harus menjalin hubungan dengan Allah dan
menujukan semua aktifitas jasmani dan rohaninya hanya pada Allah.
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS.
2/al-Baqarah: 30)
Sebagai khalifah di bumi manusia harus menata kehidupannya dengan
sesama manusia dan semua makhluk Allah yang lain termasuk alam raya.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ
مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَآؤُوا
بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ
ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ
Artinya:
Mereka diliputi
kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali
(agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat
kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena
mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang
benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS.
3/Ali Imran: 112)
Kedua fungsi di atas harus dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah
yang telah Ia tetapkan dalam alam dunia ini. Oleh sebab itu mengkaji
hukum-hukum Allah tersebut merupakan kemutlakan jika manusia ingin berhasil
menata kehidupannya dan kehidupan alam semesta.
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:
Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30/al-Rûm: 41)
Dengan demikian yang menjadi pokok persoalan psikologi dalam
padangan Islam adalah keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama
manusia, dan alam raya.
Paradigma psikologi
dalam perspektif Islam tidak dapat dipisahkan dari cara manusia mengkaji
psikologi itu sendiri. Dari perspektif Islam, manusia dianugerahi tiga alat
dalam mencari ilmu pengetahuan: panca indera, akal (‘aql, lub),
dan hati (qalb, fu’ad).
ثُمَّ
سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ
Artinya:
Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur. (QS. 32/al-Sajadah: 9)
Tiga alat ini memiliki metode sendiri dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan. Panca indera mengharuskan penggunaan alat-alat indera untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan dengan metode observasi, penelitian dan eksperimen
empiris dan bergantung pada pengalaman aktual yang tujuannya adalah menemukan
pengetahuan di balik fenomena alam (al-ayât al-kauniyah). Diantara ayat yang memotivasi manusia
untuk menggunakan penginderaan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan adalah:
أَفَلَا
يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾
وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ
كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ
كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾
Artinya:
Maka apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan 8 Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan? 8 Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 8 Dan bumi bagaimana
ia dihamparkan? (QS. 88/al-Ghâsyiyah: 17-20)
Karena alat-alat indera hanya mampu menangkap hal-hal yang empirik
maka hasil pengetahuan yang diperoleh juga terbatas pada hal-hal yang empirik.
Itulah sebabnya kajian psikologi pada tingkat ini hanya dapat dilakukan dengan
mengkaji prilaku-prilaku manusia sebagai perwujudan dari gejala-gejala jiwanya.
Akal digunakan dalam proses penalaran untuk memilih,
mengklasifikasi, memutuskan dan melakukan penalaran serta menangkap realitas
dan supra-realitas melalui nalar dengan kemampuan argumentasi logisnya yang kemudian
menghasilkan serangkaian hukum dan prinsip yang menjadi bangunan ilmu
pengetahuan. Diantara ayat yang menganjurkan hal ini adalah:
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي
الْأَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعاً مُّخْتَلِفاً أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ
فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَجْعَلُهُ حُطَاماً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى
لِأُوْلِي الْأَلْبَابِ
Artinya:
Apakah kamu tidak
memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air
itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu
kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur
berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. 39/al-Zumar: 21)
Proses penemuan akan supra-realitas ini dilakukan “secara
silogistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui (the
unknown) dari hal-hal yang diketahui (the known)”.[5]
Hati dengan metode
intuitif (‘irfân) melalui pengalaman spiritual-transendental dan potensi
batin serta keimanan mampu menangkap hal-hal yang metafisik.[6]
Meskipun akal dan hati mampu menangkap hal-hal yang metafisik keduanya memiliki
metode yang berbeda dalam melakukannya. “akal menangkapnya secara inferensial,
hati menangkap objek-objek tersebut secara langsung (perensial), sehingga mampu
melintasi jurang yang menganga lebar antara subjek dan objek”.[7]
Pengetauan yang diperoleh hati wujud dan kebenarannya bersifat spiritual
transendental (‘ilmu ladunni, ‘ilmu
hudhuri) yang sangat bergantung pada keridhaan dan bimbingan Ilâhiah,
baik dalam bentuk instink, intuisi, inspirasi, ilham, dan wahyu dalam kasus
para Nabi dan Rasul. Ilmu-ilmu yang lahir dari proses ketiga ini disebut
sebagai perennial knowledge yang lahir sebagai proses unlearning.
Dari berbagai
karya-karya psikologi Islam Muhammad Izuddin Taufiq mengklasifikasikan kajian
kejiwaan kelasik Islam dalam dua kategori. Pertama, paradigma yang
mengkaji defenisi dan teori kejiwaan dalam Alqur’an dan Hadis dengan berbagai
topik dan terminologinya. Salah satu produk dalam kategori ini adalah Al-Qur’ân wa ‘Ilm al-Nafs dan Al-Hadîts wa ‘Ilm al-Nafs karya Utsman Najati. Kedua,
paradigma yang mengkaji defenisi dan teori kejiwaan dalam kitab-kitab kelasik
Islam dengan berbagai topik dan terminologinya. Salah satu produk kategori ini
adalah Dalil
al-Bahitsin Ilâ Mafâhim Nafsiyah fî al-Turats (Petunjuk Bagi Para Peneliti
Bagi Memahami Masalah Kejiwaan Dalam Kitab-Kitab Kelasik) hasil kerja sama
antara Lajnah ‘Ilmiah dengan al-Ma‘had al-‘Alamiy lî al-Fikr al-Islamiy. [8]
IV. TOKOH, TEORI DAN KARYANYA
Dalam bidang psikologi pengobatan, ilmuwan-ilmuwan Islam
kelasik menekankan keharusan bagi individu untuk memahami kesehatan mental
mereka. Rumah sakit yang menangani pasien-pasien dengan keluhan psikhiatri
pertama kali dibangun oleh kalangan Muslim di Baghdad pada tahun 705 M, di Fes
di awal abad ke 8, di Kairo pada tahun 800 M, di Damaskus dan Aleppo pada tahun
1270 M.[9] Para
ilmuwan psikologi pada masa kelasik dan pertengahan Islam mendasarkan teori
mereka pada psikhiatri klinis dan observasi klinis. Mereka telah membuat
kemajuan yang berarti dalam psikhiatri dan merupakan kalangan yang pertama
mengaplikasikan psikhoterapi dan penyembuhan moral bagi pasien yang menderita
penyakit mental disamping bentuk terapi lainnya seperti mendi, penggunaan
obat-obatan, terapi musik.[10]
Konsep kesehatan mental dan kesegaran mental
dikenalkan oleh seorang dokter, Ahmad ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M)
dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa al-Anfus [11]
(Keseimbangan Raga dan Jiwa) – yang manuskripnya disimpan di Ayasofya Library,
Istanbul dengan nomor 3741 – dengan sukses menjabarkan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan jiwa dan raga (psikhosomatis) yang ia istilahkan dengan Tibb
al-Qalb dan al-Tibb al-Ruhani untuk menjabarkan penyakit-penyakit
kejiwaan dan penyakit-penyakit yang berhubungan kehidupan spiritual. Ia
mengkritik para dokter di masanya yang hanya memfokuskan pada penyakit-penyakit
fisik dan menafikan kontribusi psikologis pada penyakit-penyakit fisik. Ia
mendasarkan teorinya pada Alqur’an dan Hadis yang banyak menyatakan akan
kesehatan jiwa dan penyakit-penyakit jiwa. Ia menyatakan bahwa karena manusia terdiri
dari jiwa dan raga maka keduanya akan saling mempengaruhi yang dengan demikian
manusia tidak akan mencapai kesehatan sempurna jika tidak tercapai keseimbangan
jiwa dan raga (istilah yang digunakannnya untuk ini adalah isytibak) tidak
tercapai. Jika raga sakit maka jiwa akan kehilangan banyak energi kognitif dan
kemampuan berpikir komprehensifnya yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan
untuk menikmati kebahagiaan yang diinginkannya di dalam hidupnya. Demikian juga
raga tidak akan mampu menikmati kebahagiaan jika jiwa sedang sakit yang
kemudian akan mengakibatnya penyakit fisik. Dengan pendapat-pendapatnya
tersebut al-Bakhi kemudian dikenal sebagai pencetus psikologi kognitif dan psikologi
pengobatan. Ia yang pertama membedakan neurosis dengan psikhosis. Ia
mengklasifikasikan neurosis dalam empat kategori penyimpangan emosional: takut,
marah dan agresi, depresi dan kesedihan, obsesi.
Berikut ini adalah penjabaran umum
teori psikologi yang dikemukakan oleh dua ahli psikologi masa kelasik Islam,
yakni Ibnu Sina dan al-Ghazali.
Ibnu Sina[12] mendefenisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal[13]
yang dengannya spesies menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Ia
membagi jiwa manusia dalam tiga bagian, yaitu jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa
rasional.
1)
Jiwa
nabati.
Jiwa ini mengandung tiga daya, yaitu:
a.
Daya
nutrisi yang berfungsi untuk mengolah
makanan menjadi bentuk tubuh.
b.
Daya
pertumbuhan yang berfungsi untuk
pengolahan makanan yang telah diserap tubuh agar mencapai kesempurnaan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
c.
Daya
generatif yang merupakan daya untuk pengolahan secara harmonis unsur-unsur
makanan yang ada dalam tubuh sehingga menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan
tubuh yang sempurna.
2)
Jiwa
hewani.
Jiwa ini terdiri dari dua daya: daya penggerak dan daya
persepsi.
a.
Daya
pengerak yang terbagi atas daya hasrat dan daya motorik.
Daya hasrat yaitu daya
yang berfungsi untuk mendorong perealisasian berbagai bentuk khayalan tentang
hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan. Daya ini terdiri dari dua bagian:
-
Syahwat,
merupakan dorongan untuk mencapai sesuatu yang menimbulkan kenikmatan.
-
Emosi,
yang merupakan dorongan untuk melawan sesuatu yang membahayakan, merusak dan
menggagalkan pencapaian tujuan, atau dengan kata lain dorongan untuk mencapai
kemenangan. Dalam hal emosi Ibnu Sina menyatakan bahwa situasi emosional
mempengaruhi kondisi jiwa yang kemudian akan mempengaruhi kondisi fisik, baik
secara spontan maupun bertahap. Sedangkan tentang urutan pengaruh emosi dan
perubahan fisik itu ia menyatakan terdapat dua kemungkinan: fisik berubah lalu
melahirkan perubahan emosi atau emosi merubah kondisi fisik.
Daya motorik berfungsi
melaksanakan hasrat yang muncul dalam bentuk motorik untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
b.
Daya
persepsi yang terdiri dari dua bagian, yakni
-
Indera
internal yang terdiri dari:
·
Indera
kolektif, yang merupakan akumulasi semua hasil penginderaan eksternal yang
menghasilkan pemrosesan secara global.
·
Konsepsi,
yang berfungsi untuk menyimpan gambaran hasil indera kolektif dan
mempertahankannya walaupun stimulus inderawinya sudah tidak ada.
·
Fantasi,
berfungsi untuk mengolah data daya konsepsi, mengklasifikasikannya dan
men-diferensiasikannya. Daya fantasi berperan penting dalam mengingat dengan
mengolah data parsial menjadi gambaran untuk dikirim ke daya waham. Daya
fantasi juga berperan peting dalam berfikir dengan mengolah data parsial
menjadi gambaran untuk dikirim ke akal. Tidak kalah pentingnya, daya fantasi
juga berperan penting dalam mimpi dengan melakukan peniruan berbagai prilaku
untuk memuaskan berbagai dorongan dan hasrat, khusunya yang tidak terrealisir.
·
Waham,
berfungsi untuk mempersepsikan berbagai makna parsial non inderawi yang ada
pada stimulus inderawi. Dalam hal ini, waham melihat makna parsial dari
berbagai bentuk. Misalnya, pemulung melihat puntung rokok sebagai sumber uang.
Waham juga merupakan wahana terbentuknya ilham.
·
Memori,
berfungsi untuk menyimpan semua data yang dihasilkan dalam waham. Dengan
demikian, proses mengingat merupakan hasil kerjasama antara daya waham dan
fantasi.
-
Indera
eksternal yang terdiri dari:
·
Indera
penglihatan.
·
Indera
pendengaran
·
Indera
penciuman
·
Indera
perabaan
·
Indera
pengecapan
3)
Jiwa
rasional
Jiwa rasional merpakan daya khusus yang dimiliki manusia
yang fungsinya berhubungan dengan akal. Dari satu sisi jiwa rasional
melaksanakan berbagai prilaku berdasarkan hasil kerja pikiran dan kesimpulan
ide. Dari sisi lain ia mempersepsi semua persoalan secara universal. Jiwa
rasional terdiri dari dua bagian: akal teoritis dan akal praksis.
a.
Akal
teoritis, yang berfungsi untuk mempersepsi gambaran-gambaran universal yang
bebas dari materi.
Akal teoritis terdiri dari lima tingkatan:
-
Akal
potensial (materi), memiliki potensi untuk menangkap hal-hal yang rasional.
-
Akal
bakat, berfungsi dalam pembenaran premis-premis tanpa melakukan usaha dalam
pembenaran itu.
-
Akal
aktual, berfungsi untuk mempersepsi hal-hal rasional, dan ini terjadi kapan
saja.
-
Akal mustafâd, berfungsi untuk mengolah data akal aktual
untuk dimanfaatkan.
-
Akal
kudus, yang berfungsi untuk memproses hal-hal yang ada dalam akal aktual secara otomatis (tanpa
usaha manusia itu sendiri). Tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi yang
umumnya hanya dimiliki oleh para nabi.
b.
Akal
praksis, yang berfungsi untuk memproses semua data dari akal teoritis untuk
memutuskan pengambilan tindakan.
Al-Ghazaly[14] sangat mementingkan ilmu jiwa dan memandangnya sebagai jalan untuk
mengenal Allah. Teori-teori al-Ghazaly tentang jiwa senada dengan teori Ibnu
Sina dan al-Farabi. Ia membagi ilmu jiwa menjadi dua bagian. Pertama,
ilmu jiwa yang mengkaji tentang daya hewan, daya jiwa manusia, daya penggerak,
dan daya jiwa sensorik. Kedua, ilmu jiwa yang mengkaji tentang
pengolahan jiwa, terapi dan perbaikan akhlak.
Berdasarkan kekuatan emosi dan syahwat yang menguasai
manusia Al-Ghazaly membagi sifat manusia menjadi empat. Keempat sifat ini
merupakan potensi yang dimiliki manusia secara alami (instink) dan dapat
dikembangkan dan dikendalikan melalui proses belajar.
·
Sifat
hewan buas (as-sab’iyyah) akan muncul dari diri manusia yang dikuasai
emosi, dan perwujudannya berupa prilaku permusuhan, kebencian, penyerangan
terhadap manusia lain baik melalui perkataan maupun perbuatan.
·
Sifat
hewan liar (al-bahîmiyah) akan menjelma jika manusia dikuasai syahwat
dengan perwujudannya adalah tingkah laku kejahatan, ketamakan dan seksual.
·
Sifat
setan (asy-syaithâniyah) muncul dari perpaduan kekuasaan syahwat dan
emosi serta kemampuan membedakan. Wujudnya berupa prilaku kejahatan dan
memperlihatkan kejahatan dalam bentuk kebaikan.
·
Sifat
ketuhanan (ar-rabbâniyah), yang bila menguasai manusia akan melahirkan
pribadi yang bertindak seperti Tuhan, seperti: sangat cinta kekuasaan,
kebesaran, kekhususan, kediktatoran, lepas dari peribadatan, sombong, mengakui
dirinya berilmu sangat luas.
Tentang daya fantasi al-Ghazaly menyatakan bahwa
manusia berbeda dalam kadar dan kesiapannya. Kualitas daya fantasi ini akan
mempengaruhi hubungannya dengan Akal Aktif. Sebagian orang memiliki daya
fantasi sangat kuat, sehingga proses pengolahan data ke jiwa rasional tidak
bergantung pada input dari daya indera.
Dalam upaya perolehan pengetahuan manusia
menempuh dua cara. Pertama, melalui proses belajar yang bersifat manusiawi
dengan menggunakan indera dan akal. Hasilnya adalah perolehan ilmu dan keahlian
inderawi. Pengetahuan jenis ini adalah pengetahuan yang terbatas dan tidak
memiliki keterkaitan dengan alam ghaib, apalagi dengan Allah. Kedua,
melalui belajar secara rabbâni atau belajar ladunnî yang hasilnya
adalah pengungkapan pengetahuan hati secara langsung melalui ilham dan wahyu.
Jenis pengetahuan rabbâni ini merupakan tingkat tertinggi pengetahuan.
Untuk memperoleh pengetahuan jenis ini diperlukan ibadah, kejuhudan, pendekatan
diri kepada Allah (mujâhadah), pengolahan batin (riyâdah
an-nafs) menuju akhlak mulia. Orang yang telah berhasil menguasai
pengetahuan secara rabbâni akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan
kenikmatan pengetahuan sejati.
Demikian juga Najab al-Dîn Muhammad
(abad 10) memaparkan berbagai penyakit mental secara rinci berdasarkan
pengamatan yang teliti terhadap pasien-pasien yang mengidap penyakit mental.
Hasil pengamatannya ini kemudian dikompilasikannya dengan mengklasifikasikan
berbagai penyakit mental sehingga kompilasinya tersebut merupakan
pengklasifikasian terlengkap hingga saat itu dan digunakan hingga saat ini.[15]
Tokoh lainnya adalah Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes), seorang bangsa Persia
dan penganut agama Zoroaster dengan karyanya al-Mansuri dan al-Hawi
yang diterbitkan pada aban ke 10 dan memuat antara lain defenisi penyakit jiwa,
simpomnya, dan penyembuhannya. Ia juga mengepalai rumah sakit jiwa di Baghdad sesuatu yang tidak
dimiliki oleh bangsa-bangsa Eropah.[16]
Di bagian lain kawasan Islam, yakni di Andalusia
dikenal Abu al-Qasim (Abulcasis) yang dikenal sebagai bapak ilmu bedah, juga
Ibn Zuhr (Avenzoar) yang pertama kali memberikan deskripsi yang akurat tentang
penyimpangan neorologis.[17]
Ibn al-Haytham dikenal sebagai penemu psikologi
eksperimental dan pskhofisik dalam kitabnya Kitab al-‘Ain.[18]
Demikian juga al-Kindi yang dikenal sebagai perintis psikologi eksperimental
yang secara empiris memperkenalkan waktu reaksi antara organ-organ sensoris,
stimulasi organ dan kesadaran persepsi dalam pengobatan.[19]
Ibn Sina dikenal sebagai perintis psykhofisiologi dan pengobatan psikhosomatis
yang memperkenalkan antara lain halusinasi, insomnia, mania, mimpi buruk,
melankolis, epilepsi, paralisis, stroke, vertigo dan tremor.[20]
Pada masa kontemporer dalam bidang
teoritis beberapa pakar Psikologi maupun pencinta Psikologi Islam telah
melahirkan karya-karya dalam bidang ini, yang antara lain:
1)
Adnan
Syarif. Menurut Adnan Syarif banyak di kalangan masyarakat dan bahkan di
kalangan pemerhati Psikologi masih mencampuradukkan antara jasad, nafs
dan ruh, serta lebih khusus lagi antara jiwa dengan ruh. Ia berpendapat bahwa nafs
adalah darah yang merupakan sumber segala gejala yang dimunculkan oleh anggota
tubuh dan jiwa.[21] Ruh
merupakan substansi yang menjadi pengerak pertama bagi segala kehidupan. Ruh
berpusat di dalam dada dan hati yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui
darah. Qalb yang ditempati ruh dan mengandung berbagai rahasia Ilahi
berfungsi sebagai stasiun transmisi, sedangkan otak berfungsi sebagai layar
penerima yang kemudian meneruskannya ke seluruh tubuh. Itulah sebabnya jika qalb
rusak maka entitas lain juga akan mengalami kerusakan. Pemeliharaan qalb
merupakan keharusan, sebab jika qalb terpelihara akan menghasilkan ruh
yang bersih, jiwa yang tenang, emosi dan semua yang direfleksikannya akan
menjadi lurus, suci, dan terhindar dari berbagai penyakit. Siklus ini harus
disadari oleh setiap ahli Psikologi, sebab tanpa penetahuan akan siklus ini
maka terapi psikologis tidak akan berhasil secara sempurna. Salah satu karyanya
adalah Min ‘Ilm an-Nafs al-Qurânî yang diterbitkan
di Beirut oleh
Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn pada tahun 1987.
2)
Mohammad
Shafii. Muhammad Shafii adalah seorang profesor psikhiater dan psikhiater anak
di Universitas Louisville
School of Medicine. Ia mendapatka gelar M.D dari Universitas Tehran Medical
School, kemudian menerima pelatihan tingkat lanjut dalam bidang psikhiater dan
psikhiater anak di Neuropsychiatric Institute dan Children’s Psychiatric
Hospital di Universitas Michigan Medical Center. Selama lebih dari empat puluh
tahun ia mendalami dan meneliti dan mengkaji studi komparasi psikhoterapi dan perkembangan
manusia dari perspektif Barat dan Timur. Karya-karyanya terfokus dalam bidang
psikhoanalisa, psikhodinamis, dan signifikansi psikhoterapi dengan tehnik
meditasi termasuk sufisme. Salah satu karyanya adalah , Freedom from the Self: Sufism, Meditation and Psychotherapy, yang
diterbitkan di New York
oleh Human Science Press pada tahun 1988.
3)
Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Jakarta :
Rajawali, 2001.
4)
Dadang
Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kesehatan Jiwa, Jakarta :
Dhana Bhakti Prima Yasa, 1996.
5)
Fuad
Nashori (ed.), Membangun Paradigma
Psikologi Islam, Yogyakarta : Sipress,
1994.
6)
Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
dengan Islam: Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1997.
7)
M. Thoyini
dan M. Ngemron (ed)., Psikologi Islam,
Surakarta :
Muhammadiyah University Press, 1996.
8)
Malik B.
Badri, The Dilemma of Muslim
Psichologists, terj. Siti Zainab Luxfiati, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996.
9)
M. Yasir
Nasution, Manusia Menurut al-Ghazaly,
Jakarta : Rajawali,
1988.
10)
Rendra K.
(ed), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
11)
Sukanto
dan A. Dardiri Hasyim, Nafsiologi, Surabaya : Risalah Gusti,
1996.
12)
Sukanto
dan A. Dardiri Hasyim, Nafsiologi, Surabaya : Risalah Gusti,
1996.
13)
Yahya
Jaya, SpritualisasiIslam Dalam
Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental, Jakarta : Ruhama, 1994.
14)
Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu
Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta :
Pustaka Al-Husna, 1986.
IV. IMPLIKASI BAGI
DUNIA ISLAM
Kesuksesan
ilmuwan-ilmuwan Muslim kelasik dan abad pertengahan memadukan ajaran-ajaran dan
nilai-nilai Islam dalam berbagai bidang, termasuk psikologi, tidak mampu
diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer. Entah apa sebabnya, tiba-tiba
ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer terputus dari khazanah keilmuwan kelasik dan
lebih parah lagi tercabut dari akar keislamannya.
Praktek-praktek
terapi dan pembangunan mental dan psikologi yang mengakar pada kultur Islam
dalam dunia Islam kontemporer lebih banyak diambil alih oleh tasawuf. Sehingga
praktek tasawuf kemudian berkembang bahkan sampai pada belahan dunia yang maju
dan non Islam seperti Amerika. Fenomena ini kemudian melahirkan kajian-kajian
psikologis dalam dunia tasawuf. Salah satu tokoh yang sangat mengemuka dalam
hal ini adalah Inayat Khan dengan salah satu karyanya Spiritual Dimension of
Psychology.
Kondisi ini kemudian disadari pada beberapa dekade
belakangan ini sehingga menimbulkan geraka islamisasi sains dan tehnologi.
Dalam bidang psikologi tentu saja islamisasi ini tidak terelakkan, sebab konsep psikologi yang saat ini ada gagal
membicarakan manusia secara totalitas. Kegagalan ini berupa pengkajian terfokus
pada manifestasi gejala jiwa (tingkah laku) dan bukan jiwa itu sendiri,
penafian unsur-unsur spiritual manusia, dan dibangun atas dasar penafsiran
fakta ilmiah sedangkan fakta ilmiah tidak selalu sesuai dengan teori dan selalu
dipengaruhi bias kepribadian dan budaya pembangunnya. Para ahli psikologi
Muslim dan para pencinta psikologi Islam akhirnya aktif memunculkan Psikologi
Islam dalam dunia psikologi.
Untuk mewujudkan Psikologi Islam ini setidaknya
ada empat tahap yang harus ditempuh: Pertama, melakukan reskonstruksi
sistematis terhadap Psikologi agar dapat melahirkan konsep yang
mengintegrasikan ketauhidan dengan seluruh aspek kehidupan manusia yakni:
sejarah, pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, ummah, keluarga, tata
politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika. Proses islamisasi Psikologi ini tentu saja sama
dengan proses islamisasi sains
dan tehnologi lainnya. Dalam hal ini Ismail Raji al-Faruqi menetapkan lima
prinsip pokok dan lima sasaran rencana islamisasi.[22]
Kedua, mensosialisasikan hasil-hasil
rekonstruksi Psikologi Islam kemudian dikembangkan, diperkaya, dilipat gandakan
dan yang tidak kalah pentingnya juga harus ditingkatkan dengan memperluas
fungsinya sampai kepada dimensi masyarakat secara global.
Ketiga, mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga
keilmuan Islam dalam usaha pencapaian pengembangan Psikologi Islam. Termasuk didalamnya mengembangkan budaya ilmiah.[23]
Keempat, membentuk dan
menyebarluaskan Psikologi Islam sebagai satu bentuk kebudayaan dan peradaban
Islam. Ini merupakan titik akhir dari perjuangan umat Islam terhadap kebudayaan
dan peradaban manusia. Tahap ini sangat penting, sebab kebudayaan dan peradaban
yang sekarang ini terbangun dari gagasan-gagasan yang didasarkan pada asumsi,
meredupkan aqidah. Ditambah lagi, penetrasi ideologi-ideologi yang
berseberangan dengan Islam yang kemudian ke lahan-lahan intelektualitas Islam,
khususnya yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan non Islam, membentuk
keyakinan-keyakinan baru yang menyesatkan dan mengaburkan wawasan dan pandangan
manusia tentang dirinya, alam semesta dan Allah. Dengan demikian, bangunan
peradaban yang berdasarkan konsep Ilahiah perlu dikembangkan agar dapat
mengembalikan manusia ke dalam bangunan intelektual keimanan yang hidup atas,
dengan dan untuk Allah.[24]
Kegagalan dalam usaha ini akan mengakibatkan kegagalan penyebaran Psikologi
Islam dan berarti pula kegagalan menunaikan missi utama Rasulullah Muhammad
saw. yang menjadi inti kehidupan manusia, yakni penyempurnaan akhlaq manusia.[25]
V. PENUTUP
Teori psikologi yang sudah mapan ternyata memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan itu meliputi dua hal yang mendasar,
yaitu objek studinya dan pendekatan ilmiah yang digunakan. Dari sisi objek,
manusia dan bagian-bagiannya hanya dimaknai secara material empiris.[26]
Contohnya dalam berpikir psikologi non Islam hanya menitik beratkan pada fungsi
otak dengan mengabaikan fungsi-fungsi non fisik seperti qalb dan ‘aql.
Ini berarti bahwa psikologi non Islam telah melakukan reduksi dan simplifikasi
keutuhan realitas eksistensi manusia. Dari sisi metode, psikologi non Islam
menggunakan metode introspeksi dan metode ilmu-ilmu alam untuk mengkaji entitas
jiwa sehingga lahirlah aliran strukturalis dan aliran behavioris serta
psikoanalisis. Kalangan strukturalis mengkaji jiwa melalui introspeksi dan
menganalisis kesadaran hingga ke unsur terkecilnya sedangkan kalangan
behavioris lebih memfokuskan pada prilaku. Kalangan psikoanalisis menggunakan
metode tersendiri yakni asosiasi bebas dalam terapi perilaku. Ketiga aliran ini
secara ensensi menggunakan pendekatan yang sama, yakni metode ilmiah yang ketat
sebagaimana yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Hasilnya adalah, psikologi
menghadapi kesulitan dalam menjelaskan fakta-fakta yang berkaitan dengan
keutuhan eksistensi manusia, terutama yang berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman spiritual.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut menghalangi para ahli
psikologi untuk mengungkap realitas eksistensi manusia secara utuh. Oleh sebab
itu diperlukan pendekatan alternatif untuk keluar dari kungkungan keilmiahan
konvensional dengan mengambil pendekatan yang lebih luas yang mampu
mengungkapkan pengalaman-pengalaman fisikal, psikologikal, sosial dan spiritual
manusia secara integral. Dan psikologi Islam tampaknya merupakan satu-satunya
pilihan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan
menelusuri karya-karya kelasik Islam jelas diketahui bahwa para ilmuwan Muslim
terdahulu telah membangun dasar-dasar dan pengembangan Psikologi yang dengan
itu tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya mereka memiliki andil yang sangat
besar dalam mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, berbeda dengan
bidang filsafat, kedokteran dan sains, peranan mereka dalam memajukan dan
mengembangkan psikologi tersebut idak mendapatkan perhatian yang layak dari para
pakar sejarah psikologi modern, khususnya dari kalangan Muslim, sepanjang
sejarah.
Menyadari keunggulan perkembangan pemikiran dan praktek
psikologis pada masa Islam kelasik dan pertengahan yang menyatu dalam filsafat,
tasawuf dan akhlaq, maka merupakan hal urgen bagi umat Islam, khususnya
tokoh-tokoh dan pecinta psikologi untuk kembali membangun teori dan aplikasi psikologi
Islam yang mandiri. Pada saat ini dari sisi praksis, therapy psikologis
holistik islami telah dilakukan oleh berbagai kalangan, misalnya therapy
psikologis melalui ibadah (antara lain dengan zikir). Maka optimisme muncul
untuk dapat membaku praktek-praktek tersebut dalam bangunan keilmuwan psikologi
yang mandiri.
Perkembagan pemikiran psikologi
dalam dunia Islam kontemporer dilatar belakangi oleh gerakan islamisasi sains
dan teknologi. Gelombang ini melanda seluruh wilayah Muslim termasuk Indonesia .
Khusus di Indonesia, beberapa dekade terakhir ini di kalangan psikolog Muslim
Indonesia muncul diskursus tentang psikologi Islam. Kemunculan diskursus
psikologi Islam ini dapat dipandang dari dua sisi. Di satu sisi, ini merupakan indikasi
pengaruh gelombang dan semangat Islamisasi sains dan teknologi yang telah mulai
merebak sejak tahun 1980-an. Di sisi lain, ini merupakan refleksi dari
kesadaran sebagian psikolog Muslim Indonesia yang mulai memahami keterbatasan-keterbatasan
psikologi dalam menjelaskan realitas eksistensi manusia secara paripurna.
Antusiasme terhadap kemunculan Psikologi Islam mendorong terselenggaranya berbagai
simposium, seminar, dan penerbitan buku tentang psikologi Islam. Namun
gerakan-gerakan ini masih bersifat periferial, walaupun perlu diakui bahwa
diskursus-diskursus ini telah mengarah kepada persoalan-persoalan mendasar,
atau dengan kata lain, sebagian psikolog Muslim Indonesia mulai menyadari
secara sungguh-sungguh keterbatasan teori-teori psikologi yang sudah mapan
dalam mengungkapkan eksistensi manusia sesungguhnya. Dengan demikian perlu
melakukan kajian alternatif dalam membahas tentang manusia.
Untuk mewujudkan hal ini tentu
saja bukanlah hal yang mustahil walaupun bukan berarti tanpa kendala. Beberapa faktor penghambatnya yang paling
utama adalah sikap psikolog Muslim yang tidak seragam,
yakni : apatis, fanatis,
sekularis, antagonis dan idealis.[27]
Faktor penghambat lainnya adalah keterpesonaan sebagian psikolog Muslim dengan
teori-teori yang telah mapan dan berkembang yang tidak berasal dari Islam.
Selain hambatan di atas, ada sejumlah problem yang
dihadapi dalam pengembangan Psikologi Islam, antara lain:
1)
Belum ada
teori Psikologi Islam yang mapan, atau setidak-tidaknya belum tergali konsep-konsep mendetail yang dapat
dijadikan landasan teoritis untuk menjelaskan berbagai fenomena kemanusiaan
secara islami.
2)
Para ilmuwan Islam, khususnya
yang mendalami bidang Psikologi, kurang atau tidak menguasai bahasa arab dan
bahasa-bahasa dunia Islam yang berkaitan dengan karya-karya kelasik Islam.
3)
Para ilmuwan Islam kurang atau
tidak memiliki akses sama sekali dalam merujuk karya-karya Islam kelasik.
4)
Kekurangan
atau ketiadaan penelitian Psikologi Islam yang mandiri.
5)
Kelangkaan
jaringan dan wadah bagi psikolog Muslim.
Segala hambatan dan tantangan dalam pembangunan kembali
dan pengembangan Psikologi Islam memerlukan kesatuan dan kebersamaan semua
lapisan umat Islam untuk saling bahu-membahu dalam mewujudkan psikologi Islam.
Kemudian umat Islam harus memperlakukan semua kesulitan dalam mewujudkan dan
mengembangkan Psikologi Islam bukan sebagai hambatan melainkan sebagai tantangan
yang perlu ditaklukkan.
L I T E R A T U R
“Ahmed ibn Sahl al-Balkhi” http://en.wikipedia.org/wiki/Ahmed_ibn_Sahl_al-Balkhi.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
“Medicine in medieval Islam” http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_medicine.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
al-Balkhi, Ahmad ibn Sahl,
Masalih al-Abdan wa al-Anfus,
Kuwait :
Dar al-Da`wah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990.
al-Faaruqi, Isma’il Raji, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, terj. Rahmani Astuti,
Bandung :
Pustaka, 1988.
an-Nisâbûrî, Abu al-Husain
Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî, Şahîh Muslim,
Beirut: Dâr al-Jîl, tt.
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Deuraseh, Nurdeen, “Physical Medicine and Spiritual
Medicine in Islam: An Interweaving” dalam The Yale Journal for Humanities in
Medicine di http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/essays/ndeuraseh3.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
Ibn Khaldun, Muqaddimah,
terj. Ahmadie Thoha, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000.
Kartanegara, Mulyadhi, Mengislamkan Nalar: Sebuah
Respon Terhadap Modernitas, Jakarta :
Erlanga, 2007.
Khaleefa, Omar. "Who Is the Founder of Psychophysics
and Experimental Psychology?" dalam American Journal of Islamic Social
Sciences, Summer 1999, 16 (2).
Martin-Araguz, A.; Bustamante-Martinez, C.;
Fernandez-Armayor, Ajo V.; Moreno-Martinez, J. M.. "Neuroscience in
al-Andalus and its influence on medieval scholastic medicine", dalam Revista
de neurología, 2002, 34 (9).
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2000.
Mudhafir, Ali, Kamus Istilah Filsafat,
Yogyakarta: Liberty ,
1992.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta : Rajawali, 2001.
Nadvi, Syed Habibul Haq, The Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat, Bandung : Risalah, 1982.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, Bandung : Pustaka Hidayah,
2002.
Syed, Ibrahim B., “Islamic Medicine: 1000 years ahead
of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002, (2),
h. 2-9.
Thoyibi, M. dan M. Ngemron ed., Psikologi Islam, Surakarta :
Muhammadiyah University Press, 1996.
Youssef, Hanafy A. dan Fatma A. Youssef,
"Evidence for the existence of schizophrenia in medieval Islamic
society", dalam History of Psychiatry, 1996, 7 (25).
MAKALAH
PEMIKIRAN PSIKOLOGI ISLAM
Di
gunakan untuk memenuhi tugas mata kuliyah Filsafat Islam
Dosen
pengampu Drs. H. Akhmad Rowi, M.H
Disusun
oleh :
Maskhuroh
NIM : C.1.4.11.0065
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH DEMAK
(
UNISFAT DEMAK )
2012
[1] Abu al-Husain
Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî an-Nisâbûrî, Şahîh
Muslim, Jilid 8, باب التَّعَوُّذِ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَغَيْرِهِ , nomor 7048, (Beirut: Dâr
al-Jîl, tt.), h. 75
[2] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2000), h. 261.
[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, (Jakarta :
Rajawali, 2001), h. xiv.
[4] Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty,
1992), h. 114 dikutip oleh Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), 341.
[5] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap
Modernitas, (Jakarta :
Erlanga, 2007), h. 8.
[6] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan, h. 8.
[7] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan, h. 8.
[8] Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan, h. 611.
[9] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its
times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9,
h. 7-8.
[10] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its
times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9,
h. 7.
[11] Ahmad ibn Sahl al-Balkhi, Masalih al-Abdan wa al-Anfus,
(Kuwait: Dar al-Da`wah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990).
[12] Nama lengkapnya adalah Abu ‘Alî bin ‘Abdullah bin Hasan bin
‘Alî bin Sina ( 80 – 1037 M). Bagian ini dirangkum dari Muhammad Utsman Najati,
Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
terj. Gazi Saloom, (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2002).
[13] Kesempurnaan awal maksudnya tubuh merupakan prasyarat dan mediasi
bagi jiwa yang berfungsi untuk mengaktualisasikan berbagai prilaku atau fungsi
psikologis.
[14] Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly
(1058 – 1111 M). Bagian ini dirangkum dari Muhammad Utsman Najati, Jiwa
dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj.
Gazi Saloom, (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2002).
[15] Hanafy A. Youssef and Fatma A. Youssef (1996), "Evidence for
the existence of schizophrenia in medieval Islamic society", dalam History
of Psychiatry 7 (25): h. 55-62.
[16] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its
times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9,
h. 7.
[17] Martin-Araguz, A.; Bustamante-Martinez, C.; Fernandez-Armayor, Ajo
V.; Moreno-Martinez, J. M.. "Neuroscience in al-Andalus and its influence
on medieval scholastic medicine", dalam Revista de neurología, 2002,
34 (9), h. 877-892
[18] Omar Khaleefa. "Who Is the Founder of Psychophysics and
Experimental Psychology?", American Journal of Islamic Social Sciences,
Summer 1999, 16 (2). Juga
[19] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam,
dikutip oleh Deuraseh, Nurdeen, “Physical Medicine and Spiritual Medicine in
Islam: An Interweaving” dalam The Yale Journal for Humanities in Medicine
di http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/essays/ndeuraseh3.htm
diakses tanggal 20 Nopember 2008.
[20] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its
times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9,
h. 7.
[21] Adnan Syarif, Min ‘Ilm an-Nafs al-Qurânî, (Beirut: Dâr
al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1987) edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh
Muhammad Ali Mighwar, Psikologi Qurani, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002), 57.
[22] Prinsip-prinsip
pokok itu meliputi : 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan alam semesta, 3) Kesatuan
kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) Kesatuan hidup, 5) Kesatuan umat
manusia. Dengan lima sasarannya adalah: 1) mengetahui disiplin-disiplin ilmu
modern, 2) engetahui khazanah Islam, 3) menentukan relevansi Islam yang
spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, 4) mencari cara-cara untuk
melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan
modern, 5) mengarahkan pemikiran Islam kearah lintasan-lintasan yang mengarah
pada pemenuhan pola rancangan Allah. Lebih lanjut baca
Isma’il Raji al-Faaruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life,
terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988).
[23] Antara lain dilakukan dengan: 1) menumbuh-suburkan semangat Iqra’,
2) merumuskan dan membangun
konsep manusia menurut Islam dan konsep-konsep Psikologi yang lebih rinci yang
bisa dijadikan landasan teoritis, 3) mengembangkan metode-metode baru, 4)
membangun pendekatan-pendekatan bagi upaya penigkatan sumber daya manusia dan
menangani permasalahan manusia, 5) menggali dan mengkaji khazanah keilmuwan
Islam yang berkaitan dengan Psikologi sejak zaman kelasik sampai kontemporer,
6) memperdalam bahasa Arab, khususnya bagi para
psikolog Muslim, 7) melakukan riset dasar (basic
research), riset konseptual (conceptual
research), dan riset aplikatif (applied
research).
[24] Syed Habibul Haq Nadvi, The
Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Risalah, 1982), 194-200.
[25] Lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah,
terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), 541-43.
[26] M. Thoyibi dan M. Ngemron (ed)., Psikologi Islam, (Surakarta :
Muhammadiyah University Press, 1996), h. v
[27] Apatis yaitu acuh tak acuh dan tidak ada minat membicarakan hubungan antara agama
dan Psikologi, terlebih terhadap gagasan islamisasi Psikologi. Fanatis maksudnya berpendapat bahwa agama telah mencukupi segala hal dalam
kehidupan manusia. Gagasan
islamisasi sains dan islmisasi Psikologi tidak perlu dilakukan karena pada
dasarnya “sudah Islam”. Sekularistik maksudnya menganggap tidak
ada hubungan asasi antara sains dan agama sehingga keduanya harus dipisah dan
dibedakan dengan tegas. Psikologi yang objektif- ilmiah harus bebas nilai,
tidak boleh “dicemari” oleh hal-hal yang tidak ilmiah (cq. agama). Antagonis maksudnya
meyakini agama dan juga menganut aliran Psikologi tertentu secara fanatik.
Dalam menerapkan Psikologi pantang membawa-bawa agama dan sebaliknya ilmu (dan
Psikologi) tidak diperlukan dalam mengamalkan agama. Idealis maksudnya bersikap positif terhadap gagasan dan upaya
islamisasi sains pada umumnya dan islamisasi Psikologi pada khususnya, serta
mendambakan terwujudnya Psikologi yang bercorak islami. Lihat Hanna Djumhana
Bastaman, Integrasi Psikologi dengan
Islam: Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 40 –
42.
Jika anda ingin memperdalam pengetahuan tentang psikologi khususnya psikologi dalam Islam, anda perlu membaca artikel tersebut. semoga bermanfaat dan anda bertambah ilmu.
BalasHapusJika anda ingin memperdalam pengetahuan tentang psikologi khususnya psikologi dalam Islam, anda perlu membaca artikel tersebut. semoga bermanfaat dan anda bertambah ilmu.
BalasHapus