MAKALAH
KESATUAN FILSAFAT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, M.H
|
Disusun
Oleh : Anny Fitriyani
|
|
|
|
|
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
TAHUN AJARAN 2012
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Makalah
Filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialegtika Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir
dan logika bahasa. logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama
dipelajari dalam matematika dan
filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi
tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi,
keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan
segala hal.
Filsafat
Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah
perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski
semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani
terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran
Islam. Kedua, Islam adalah agam atauhid.
Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam
justru Tuhan ‘sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak
dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia
dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi
sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.Didalam memahami ajaran agama
Islam, setiap muslim amat tergantung pada kemampuan para ulama dalam menggali
dan menarik kesimpulah hulum-hukum Islam dari sumbernya Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Dalam perkembangannya pemikiran Islam tidak saja hanya berkisar
tentang hukum-hukum Islam, akan tetapi sudah berkembang sampai dengan Teologi,
dan Filsafat. Bahkan dewasa ini sudah berkembang sampai dengan pemikiran
Liberalis.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas muncul masalah sbb :
1.
Apakah
yang mendorong perkembangan filsafat islam
menjadi sangat pesat?
2.
Bgaimanakah
pemikiran dari beberapa tokoh tentang filosof muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam
pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat
Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman,
adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari
penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat
Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme
seperti dituduhkan Duhem.
1. Bahwa
belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami
bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan
berinteraksi.
2.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa
pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani.
Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa
kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan
filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada
masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh
orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan
Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang
pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi)
dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang
dibangun Wasil ibn Ata’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat,
bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang,
dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn
Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar
an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir
(w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh.
Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum
(istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan
lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode
istinbath dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767
M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup
sebelum kedatangan filsafat Yunani.Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal
adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang
berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian
hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah
berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat
Yunani dalam Islam. Ranah filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya
beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang. Sebut saja
tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan
Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa,
kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga
banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah
al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak
berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran
yang disebut dengan Averroisme.
Selain tokoh-tokoh tersebut, masih ada banyak
nama-nama besar dalam khazanah filsafat Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu
Maskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu Maskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al
nafs dan al akhlaq, sedangkan Ibnu Thufail terkenal dengan pemikirannya yang
salah satunya tertuang dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy bin Yaqdhan.
pemikiran beberapa tokoh filsuf muslim.
1.
Al-Gazali/
1050-1111 M (Tahafutut al-Falasifah)
Ø Pemikiran Tentang Pendidikan
Ditilik dari
Ihya Ulumiddin bab pertama, al-Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia
pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari
golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali
siapapun. Ia juga termasuk penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas
putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar.Sekalipun Ihya
Ulumiddin dianggap sebagai kitab intisari pemikiran al-Ghazali yang paling
komplit, pengertian pendidikan masih belum dirumuskan secara jelas karena
pembahasannya memang belum sampai pada tahap tersebut. Tetapi walaupun
demikian, pengertian pendidikan menurut al-Ghazali dapat ditelusuri dari
pernyataan-pernyataan yang diungkapkan melalui karyanya sebagaimana kutipan
berikut:
“Sesungguhnya
hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam,
menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat
tinggi.”
“Dan ini,
sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan
ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Pada kutipan
pertama, kata ‘hasil’ menggambarkan proses, kata ‘mendekatkan diri kepada
Allah’ menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’ menunjukkan alat. Sedangkan pada
kutipan kedua dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu melalui
pengajaran.
Mengenai
keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa batas awal
berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal
kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak ada
karena selama hayatnya manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan
sehingga menjadi insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat dipahami
sebagai satu-satunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat
dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada
sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu,
pengajaran dan pendidikan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan
dengan perkembangan psikis dan fisik anak.
Dari
berbagai hadist yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya dan juga beberapa
pernyataannya tentang pendidikan dan pengajaran, dapat dirumuskan sebuah
pengertian tentang pendidikan oleh al-Ghazali yaitu “proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana
proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju
pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna”.
2.
Ibnu
Maskawaih dan ibnu Thufail
Ibnu Maskawih
a.
Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan
akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana
yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.Jiwa tidak bersifat material,
ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima
gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain.
Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam
waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih
atau hitam saja.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas
jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan
tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa
manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang
paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
·
Al nafs al bahimiyah (nafsu
kebinatangan) yang buruk.
·
Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang
buas) yang sedang.
·
Al nafs al nathiqah (jiwa yang
cerdas) yang baik.
b.
Filsafat Akhlaq
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal
juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang
digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai
Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang
etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al
‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu
Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan
sebelumnya.
Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang
mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa
merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan
diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik.
Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia
dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik
menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara
cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami
anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai
dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu
Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail. Ia
merupakan pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari
Spanyol. Ibnu Thufail lahir pada abad VI H di kota Guadix, propinsi Granada.
Keturunannya merupakan keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai
dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, ia diangkat
sebagai sekretaris Gubernur di propinsi itu. Pada tahun 1154 M (549 H) ia
menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, penguasa Spanyol pertama
yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi serta menjadi qadhi di
pengadilan pada masa Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H – 580 H).
c.
Falsafah Hayy bin Yaqdhan
Sebagaimana umumnya para filosuf
yang tenggelam dalam kerja kontemplatif Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam
dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya.
Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang
terkenal yang diberi nama hayy bin yaqdhan (hidup anak kesadaran, yang
bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga
sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi).
Di roman
filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata
memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja. Dan kedua
wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan
khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus
filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu
mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus
wahyu keagamaan.
3.
Pemikiran
Ibnu Khaldun Tentang Filsafat Pendidikan
Menurutnya
bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri
khas jenis insani. Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan
definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara
umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
Barangsiapa
tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya
barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan
bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan
tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan
bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengajarkannya.
Dari
pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai
pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu
proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
4.
Pemikiran
Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda)
Salah satu
Pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan
mendudukkan masalah-masalah tersebut pada porsinya dari seorang
al-Ghazali.Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-Tahafut. Dalam
buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam
berfikirnya.
5.
Pemikiran
Filsafat Suhrawardi / 1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif)
Pokok
pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia berpendapat bahwa sumber
dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang
kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal, kemudian memancar lagi mejadi Nuur
kedua, dan seterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis)
memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat).Pendapatnya
yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau kebenaran adalah Allah, alam
dan Wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui
keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama
sebagai ilmu.
6.
Pemikiran
Filsafat Islam Lainnya.
1.
Al-Kindi (806-873 M)
Pemikiran
filsafatnya berikisar tentang masalah : Relevansi agama dan filsafat, fisika
dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh
(Jiwa), dan Kenabian.
2.
Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama (penolakan
terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan
materi.
3.
Al-Farabi (870-950 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat,
metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan
teori kenabian.
4.
Ibnu Shina (980-1036 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika,
filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian.
5.
Ibnu Bajjah (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori
pengetahuan, filsafat akhlaq, dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara
sendiri).
6.
Ibnu Yaufal (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : percikan filsafat, dan
kisah hay bin yaqadhan.
BAB III
PENUTUP
C.
Simpulan
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu
disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata
mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran, tapi kemudian
dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama
yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat
dibela kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi
kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd
tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab
Syi`ah.
Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam
pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik
Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya model filsafat
yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina yang Platonis dalam
konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab
serangan al-Ghazali.
Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh
sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat, bukan semata-mata
disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi lebih didasarkan atas
kenyataan bahwa -saat itu- filsafat mengandung dampak yang berbahaya bagi
aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi
(865-925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa
yang dilakukan oknum tertentu yang mengatasnamakan filsafat pada masa
al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu.
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang
ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap
sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran
bila dalam studi sejarah pemikiran lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal
Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang
pemikiran dan kebudayaan dianggap berilian seperti Plato dan Aristoteles.
Karena itu, kajian-kajian mengenai tokoh-tokoh Islam berkenaan dengan khazanah
intelektual Islam masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.,
namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh
Yunani
DAFTAR PUSTAKA
1.
A. Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1997)
2. Ali, A.
Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan
Nida, 1970.
3. Maulana,
Ihsan. (2007). Pendidikan Dalam Kacamata Al-Ghazali.
4. Soleh, Ach.
Khudori, Kegelisahan Al-Ghazali, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997
5.
Syarif, MM., Para Filosof Muslim,
Bandung, Mizan, 1996
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !