PENGARUH PERADABAN
ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEJAK ABAD PERTAMA HINGGA ABAD MODEREN
Guna Memenuhi
Tugas : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Drs. H.AKHMAD ROWI,MH
Disusun
Oleh :
ATIK
MUKAROMAH
UNIVERSITAS SULTAN
FATAH DEMAK
2013/2014
Kata
Pengantar
Puji syukur
penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipt alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat
limpahan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan tema “ Pengaruh Peradaban Islam Terhadap
Perkembangan Pendidikan Sejak Abad Pertama Hingga Abad Modern” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak
kurang dari pada waktunya. Maksud dan
tujuan dari penulis makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata kuliah Filsafah ilmu serta merupakan bentuk langsung
tangung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan
ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Drs. H.AKHMAD ROWI,MH Selaku dosen
mata kuliah
Demikian
pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dn kekurangan,
sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan
dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik saran
yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis
hanya bias berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan
makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan
hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa- mahasiswi Universitas
Sultan Fatah. Amin ya Rabbal ‘alamin
Wassalam....
Penulis
Atik Mukaromah
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Setiap enam abad terjadi
reformasi pemikiran yang sangat signifikan di dalam perkembangan peradaban
manusia. Prof. L.W.H. Hull dalam History & Philosophy of Science,
sebagaimana dikutip A.M.Saifuddin, membagi perkembangan sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat ke dalam lima periode, yaitu: Pertama, periode
Filsafat Yunani (Abad 6 SM - 0 M).
Periode ini ditandai
dengan penggunaan pendekatan induktif dan pendekatan deduktif dalam memecahkan
problematika keilmuan. Dalam hal ini, Athena menjadi sentra para intelektual
yang menganut pendekatan induktif dan Alexandria menjadi pusat penganut
pendekatan deduktif. Kedua, periode Kelahiran Nabi Isa (Abad 0 - 6 M) yang
ditandai dengan perseteruan antara Kristen dan filsafat. Kala itu, Raja dan
Gereja adalah pemegang hak veto kebenaran yang pada gilirannya membekukan
kebebasan berfikir.[1]
Ketiga, periode ini
sangat penting bagi kita karena disebutnya dengan kebangkitan Islam (Abad 6 –
13 M) yang disebut sebagai Abad Pertengahan. Dalam periode ini, usaha untuk
mensintesiskan antara iman, intelektual, filsafat, empirik, dan sufisme.
Sejumlah ilmuan muncul di masa ini, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali, Ibnu
Rusyd, Ibnu Khaldun, dan sebagainya. Keempat, periode Kebangkitan Eropa (Abad
14 – 20 M) yang sering disebut Abad Pemikiran. Pada masa ini, pemikiran
keilmuan didominasi oleh filsafat materialisme yang bermuara pada krisis teori
dan kehidupan karena nilai etika telah tercerabut dari akarnya. Kondisi
demikian memicu Muhammad Abduh dan Muhammad bin Abdul Wahhab untuk membentuk
langkah solutif menghadapi kekalutan yang sedang terjadi.[2]
Kelima, Periode
Kebangkitan Islam Kedua (Abad 20 - ....) yang ditandai oleh adanya kesadaran
akan keterbatasan potensi akal dan filsafat materialisme dalam menyelesaikan
problematika keilmuan. Untuk itulah, tokoh-tokoh sekaliber Sayyed Hossein Nasr,
Ismail Faruqi, Naquib al-Attas tampil merumuskan suatu konsep ilmu yang
all-comprehensive dan teruji dengan tolak ukur sistem nilai yang islami.
B. RUMUSAN MASALAH
Darirumusan masalah
diatas terdapat permasalahan yang dapat dikaji dalam makalah ini antara lain:
1. Berapa A M Saifuddin membagi
perkembangan sejarah ?
2. Apa Faktor – Faktor pemikiran kemajuan
islam?
3. Bagaiana pemikiran dalam islam pada saat itu?
4. Bagaimana tradisi islam pada saat itu?
5. Bagaiman perkembangan islam pada saat
itu
BAB II
PEMBAHASAN
Reintegrasi &
Reorientasi Ilmu Pengetahuan Perkembangan awal ilmu pengetahuan masih sangat
sederhana, belum tersistematisasi, dan masih lebih merupakan pengetahuan
intuitif. Perkembangan berikutnya menjadi pengetahuan analitis dan logika serta
mulai ada spesialisasi meskipun masih bersifat generik. Selanjutnya ilmu
perkembangan ilmu pengetahuan sudah mulai memasuki wilayah penjurusan dan
spesifikasi. Perkembangan selanjutnya ilmu pengetahuan melulai dihubungkan
dengan persoalan moral, karena mulai disadari bahwa perkembangan ilmu tanpa
dibarengi dengan kendari moral justru akan mengancam eksistensi martabat
kemanusiaan
Perkembangan terakhir
mulai disadari bahwa cakupan ilmu pengetahuan bukan hanya pada dimensi kognitif
dan logika tetapi juga pada wilaya spiritual, maka tidak heran kalau
akhir-akhir ini muncul istilah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual di
samping kecerdasan intelektual, terutama setelah terbitnya buku Emotional
Intelligence karya Daniel Goleman dan Spiritual Intelligence: The Ultimate
Intelligence, karya Danah Zohar & Ian Marshal. Aspek seni, keindahan, dan
rasa mulai terintegrasi di dalam ontologi dan epistimologi keilmuan.
Dahulu kala ilmu
pengetahuan masih terpisah-pisah, bahkan pernah terjadi ketegangan antara
dimensi intelektual dan logika di satu sisi dengan dimensi emosional dan
spiritual di lain sisi. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada zaman
positifisme. Di masa ini seolah-olah agama tidak punya ruang di dalam
wacana ilmu pengetahuan. Untungnya zaman positifisme tidak berlangsung terlalu
lama. Periode berikutnya muncul modernisme, disusul dengan posmodernisme,
kemudian terakhir diklaim dengan era new age yang memberi wilayah dan apresiasi
lebih positif kepada dimensi emosional-spiritual. Bahkan perkembangan yang
paling terakhir menurut pengamat perkembangan ilmu pengetahuan, kita sekarang
sudah memasuki apa yang distilahkan dengan era post new age, yang lebih
menekankan pada aspek spiritual. Makanya itu fenomene sufisme, meditasi, dan
mystical music, semakin berkembang di dalam masyarakat akademik dan di dalam
masyarakat perkotaan.
A. Lahirnya pemikiran
islam
Reintegrasi ilmu
pengetahuan sesungguhnya berawal ketika lahirnya Islam. Ayat Al-Qur’an yang
pertama diturunkan ialah Iqra’ bi ism Rabbik al-ladzi khalaq. Khalaq al-insan
min ‘alaq. Iqra’ wa Rabbuk al-Akram. Al-Ladzi ’alama bi al-qalam. ’Allam
al-insan ma lam ya’lam. (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) manusia dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya).
Ayat pertama tadi memberikan bukti bahwa dalam Islam, perintah membaca sebagai
simbol dari urgensi ilmu pengetahuan harus diintegrasikan dengan wawasan
ketuhanan.[3]
Rasulullah Saw
menjabarkan perintah ini dengan memperkenalkan konsep integralisme keilmuan
sejati, dengan pemaduan secara harmonis antara unsur rasionalitas, unsur
moralitas dan seni ke dalam tiga landasan ilmu, yaitu ontology epistimologi,
dan aksiologi. Puncak peradaban manusia paling menakjubkan memang terjadi di
masa Rasulullah Saw. Ia berhasil membangun landasan keilmuan yang integratif
antara ilmu-ilmu rasional-analitis dan ilmu-ilmu moral-spiritual. Sayangnya
perkembangan selanjutnya kembali mengalami keterpecahan, terutama setelah
bangkitnya kembali dunia Barat yang biasa dikenal dengan abad filsafat Yunani
ke II yang melakukan pemisahan antara ilmu-ilmu rasional-analitik dengan
ilmu-ilmu keagamaan.
B .Perkembangan
Pemikiran dalam Islam
Tradisi pemikiran dan
keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya aktivitas
penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini
Dar al-Hikmah yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya, yang
sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam
tradisi Islam. Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi,
al-Farabi, al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang
mereka peroleh dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya literatur-literatur
Yunani.[4] Terlebih lagi Dar
al-Hikmah juga melengkapi diri dengan fasilitas laboratorium dan
peralatan-peralatan penelitian yang sangat canggih di zamannya untuk menguji
dan mengembangkan teori-teori saintifik Yunani.
Aktivitas keilmuan ini
kian marak dengan dibangunnya pusat pengajian terkenal di Baghdad, Basrah,
Kufah dan Andalus. Begitu juga perkembangan perpustakaan yang menjadi pusat
penyelidikan para ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat penyebaran
ilmu sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas).
Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang sangat
penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih
lanjut dari masjid yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan
ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzab. Dari sudut
politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh
ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili
gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya yang
bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.
C. Factor-faktor
kemajuan pemikiran islam
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi
keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu salah satunya adalah keinginan
pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan, toko-toko buku dan perpustakaan
berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan penuh keikhlasan serta
kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesatAda beberapa faktor yang
menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu salah satunya
adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan, toko-toko buku
dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan penuh
keikhlasan serta kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesat .[5]
Dalam tradisi keilmuan
Islam, kita temukan tiga jenis perpustakaan yaitu perpustakaan umum,
perpustakaan khas (khusus) dan perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum yaitu
perpustakaan yang dibuka untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-masjid
Perpustakaan ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan.
Diantaranya adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di Baghdad
saja terdapat 38 buah perpustakaan umum dan di Cordova terdapat 70 buah
perpustakaan.
Perpustakaan khas
(khusus) ialah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para pembesar dan ulama,
seperti perpustakaan Fatah bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn Khasyab
(567 M). Perpustakaan umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para
ulama, sarjana dan pelajar. Diantaranya Perpustakaan Baitul Hikmah yang
didirikan oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar al-Hikmah yang
didirikan oleh Hakam Amrillah pada tahun 395 H di Kaherah dan Perpustakaan
Cordova.
Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga
dengan dirinya karena menjadi salah seorang yang memiliki perpustakaan terbaik.
Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi ketua penanggung jawabnya, kemudian ia
menolak pegawai kerajaan karena harus membutuhkan 400 ekor onta untuk
mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota, katalog perpustakaan pribadinya
terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun Dawlah (wafat 982)[6]
Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan)
yang didirikan pada tahun 998, oleh Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996).
Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang lebih sebanyak 600.000 jilid buku,
termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak disimpan di ruang
terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh puluh perpustakaan muslim
Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (wafat
976) di Cordova, berisi sekitar 600.000 volume yang secara hati-hati diseleksi
oleh para penyalur buku masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam.
. Perpustakaan Abdul
Mutrif, seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi buku-buku langka,
masterpiece-masterpiece kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang
bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini terjual dalam lelang sebesar 40.000 dinar
setelah ia wafat tahun 1011. Perpustakaan Sabor di Baghdad yang didirikan oleh
Sabor bin Ardashir seorang menteri Ibn Buwaih pada tahun 383 H. Perpustakaan
ini juga berisi seribu al-Qur’an tulisan tangan dan 10,400 buah buku dalam
pelbagai bidang.[7]
Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan
Islam pada masa itu. Semua orang berlomba memperkaya diri dengan ilmu.
Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa masih berada dalam masa kegelapan.
Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan perpustakaan. Dalam abad ke-9
Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington hanya menyimpan 356 buah buku
saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96 buah buku saja. Ini menunjukkan
umat Islam saat itu sangat unggul dalam kecintaan dan penghargaannya terhadap
buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa kala itu menjadikan peradaban Islam sebagai
acuan gaya hidupnya sebagaimana sekarang bangsa Timur menjadikan Barat sebagai
ukuran kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin semua salinan-salinan
manuskrip terutama al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq Nadim telah
menulis buku yang berjudul al-Fihrist (Katalog) yang membicarakan buku-buku
serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku ini merupakan karya bibliografi
dan katalog yang paling lengkap tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau
diterjemahkan oleh sarjana muslim.[8] Walaupun begitu, banyak
buku-buku tersebut telah hilang akibat peperangan dan pemusnahan perpustakaan.
Kegigihan Imam al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh.
Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan mendapat gelar hujjat al-Islam
tetapi ia masih berguru dalam bidang hadis pada detik-detik terakhir
kehidupannya
Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi
keilmuan Islam berkembang pesat pada zaman tersebut bersama dengan kegemilangan
peradaban Islam
D. Tradisi Pemikiran
Islam
Peradaban Islam pernah
memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana kaum Muslim dengan
sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa
prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang
sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada
ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi
sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di
bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia
Islamlah yang pertama kali melakukan internationalization of knowledge di mana
karya-karya ilmuwannya dibaca oleh ilmuwan lain dari berbagai negara. Sebelum
munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-nasionalistik.
Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu yang
terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-lain.[9]
Pada abad pertengahan
Islam, penemuan perhitungan differensial dan integral, geometri analitik, yaitu
transformasi dari geometri menjadi aljabar di dalam matematika, atau bahkan
arabesque di dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan
yang berada pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai sistem
keyakinan. Industri jam dan astronomi disebabkan analisis waktu sebagai
“tempat” untuk tindakan dan kejadian seperti yang ditentukan dalam Al-Qur’an.
Penemuan alat-alat optik berhubungan dengan konsep cahaya yang disingkap oleh
para mistik, yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengalaman spiritual.
Teori atom merupakan perkembangan dari salah satu bukti keberadaan Tuhan,
didasarkan atas pembagian monad sampai monad yang tak terbagi. Contoh-contoh
lain dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika dan lainnya.
Kemajuan pemikiran yang
demikian pesat dan mengagumkan ini seiring dengan kebebasan mengeksplorasi
pemikiran yang secara spesifik banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani.
Sampai akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi sufistik yang
dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan pemikiran
filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami kemandekan pemikiran filsafat
yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menghidupkan
kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam pasca kejayaan pemikiran
Islam.[10]
Salah satu upaya
menghidupkan kembali tradisi filsafat dilakukan kurang dari satu abad setelah
kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa ‘Abd al-Raziq (1885-1946)
--kakak kandung ‘Ali ‘Abd al-Raziq-- dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali
tradisi filsafat Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang sebagian besar
hidupnya dicurahkan untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam masyarakat
Arab. Lewat kedua tokoh ini tradisi filsafat perlahan berkembang dan hidup
kembali meskipun tidak secemerlang era kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap
positif dan akomodatif terhadap tradisi filsafat (filsafat Islam khususnya),
baik dari individu masyarakat atau penguasa-penguasa Arab, didorong oleh
beberapa faktor, diantaranya, adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan
kembali tradisi dan nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana pencapaian filsafat
merupakan elemen penting dalam budaya tersebut
Disamping itu, sejalan
dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek
rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari
contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai
dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi harmonis
baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. Masyarakat
Arab saat ini selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan mereka
dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani.
Usaha-usaha menghidupkan
kembali tradisi filsafat dalam masyarakat Arab kontemporer dilakukan dengan
berbagai cara, beberapa diantaranya adalah pertama, melakukan penyuntingan
buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim klasik. Kemudian
sedikit memberi kajian dan memperdalam pembahasannya. Termasuk sebagian
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing untuk disebarluaskan dan menjadi
kajian masyarakat internasional, Kedua, menerjemahkan karya-karya filosof barat
ke dalam bahasa Arab untuk diperkenalkan kepada masyarakat Arab khususnya serta
melakukan kajian mendalam terhadap karya-karya tersebut. Ketiga, menciptakan
isyu-isyu filsafat sendiri dan menulisnya, khususnya isyu-isyu berkaitan dengan
realitas kekinian ataupun sebagai reaksi dari isyu-isyu filsafat yang telah ada
lebih dulu.
Di dalam sejarah
pemikiran Islam di Indonesia, ada perdebatan kecil antara para ilmuwan yang
pernah mengenyam studi di Barat dan ilmuwan yang pernah studi di Timur Tengah.
Meskipun polarisasi yang terjadi tidak sedahsyat yang dibayangkan, tetapi tetap
ada perbedaan atau semacam garis pemisah di antara mereka. Termasuk adanya
asumsi bahwa orang yang belajar Islam di Barat dianggap tidak valid dan layak
dicurigai ketulusan dan keobyektivannya dalam melakukan kajian keislaman.
Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena
diajar oleh kaum orientalis yang memiliki misi-misi khusus, atau paling tidak,
mereka bukan muslim practicing. Sebaliknya, mereka yang belajar ke Timur Tengah
merasa unggul karena merasa telah belajar langsung di pusat pengetahuan Islam
yang lebih murni yang kecil kemungkinan melakukan penyimpangan atas ajaran
ataupun sejarah Islam. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau
tak mau harus memecahkan secara strategis persoalan-persoalan sikap Umat Islam
terhadap syari’ah dan keyakinan-keyakinan keagamaan normatif yang selama ini
diyakininya.
Kembali pada persoalan
umum yang kini sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang mayoritas berpenduduk
Islam adalah ketertinggalan dari negara-negara maju dalam memproduksi naskah
dan mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan. Bahkan
negara-negara berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi konsumen dari
produk-produk keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju. Ironisnya lagi, ritme
keilmuan yang berkembangpun mengikuti irama yang dikendalikan oleh
negara-negara maju tersebut. Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi
kelimuan yang dulu pernah berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat
mengimbangi produktivitas negara-negara maju dalam memproduksi berbagai
kebutuhan keilmuan dan teknologi sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka.
Untuk
mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja
keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar
seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu
digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi
disertai dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut
perpustakaan
E. Intergrasi Keilmuan
Ilmuwan Prancis Bruno
‘Abdul Haqq’ Guiderdoni mengatakan ada persamaan epistemologi antara sains dan
agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran yang terbuka. Di antara
keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang harus dicarikan
jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun, kebenaran akan
lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja sama. Meskipun
berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru keduanya bisa
bersatu dalam mencari kesempurnaan yang esensial.
Ilmu fisika, matematika,
biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti
kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama
ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri
tanpa pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi
sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan
Al-Qur’an, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun
dalam ilmu tauhid.
Persoalannya apakah umat
Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam
yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara
teologis. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu
adalah Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan
humaniora. Al-Qur’an berisi berbagai hal yang berkaitan dengan semua yang ada
di alam ini, agama, sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan alam, kedokteran
dan sebagainya. Hanya saja al-Qur’an tidak memuat hal-hal rigid yang berkaitan
dengan bidang-bidang tersebut. Ini artinya bahwa pada dasarnya tidak ada
dikotomi ilmu islam dan ilmu umum, karena semua tercakup dalam al-Qur’an.
Penyebutan madrasah sebagai
sekolah umum berciri khusus agama, oleh karenanya, bisa dijadikan dasar untuk
mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternative
Ilmu umum, baru meluas
dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945 meskipun
prosentasenya masih sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah
perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan
madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan
keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989
yang diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993 tentang MI, MTs, dan
MA wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP dan
SMU dan ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum
yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama.
Ilmu umum, baru meluas
dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945 meskipun prosentasenya
masih sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah perkembangan
kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan madrasah setara
dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan keluarnya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang diikuti
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993 tentang MI, MTs, dan MA
wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMU
dan ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang
berciri khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama.
BAB
III
PENUTUP
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban. Dalam Islam, ilmu pengetahuan
mendapatkan perhatian seriussebagaimana
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi.Pemaknaan dan pemahaman terhadap kedua sumber itu yang menyebabkan perbedaan generasi umat Islam dari
awal hingga sekarang. Interptreasi itu pulalah yang
menyebabkan gairah inteletual dalam lembaran sejarah peradaban Islammengalami fluktuasi.
Secara
garis besar,perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradabanIslam
dibagi menjadi tiga fase: 1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu pengetahuan
mengalami kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan temuan-temuan sains yang belum pernah ada sebelumnya.
2) PeriodePertengahan (1250-1800 M),
gairah intelektual umat Islam terkikis dan sangatmerosot. Tidak ada lagi buah
karya atau penemuan sains yang dihasilkan olehilmuwan muslim. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat menurun. 3)Periode
Modern (1800 M – Sekarang), umat Islam mulai menyadari keterpurukandan ketertinggalannya utamanya dalam bidang sains
dan teknologi. Spirit inimelahirkan
beberapa model gerakan pembaharuan dalam interpretasi danimplementasi terhadap ajaran Islam. Secara umum,
ada empat model gerakan pembaharuan yang muncul; Wahabiyah,
Modernisme,Westernisme
danSekularisme.
KESIMPULAN
Kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6
M) di tandai dengan perseteruan antara
Kristen dan filsafat, Kala iti Raja dan Gereja adalah Hak Veto kebenaran yang
pada gilirannya membelakukan kebebasan
berfikir
Daftar Pustaka
Falsafah dan Mistisisme dalam Islam
Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa
Depan.
TerjemahanBustani A. Gani dan Johar
Bahry dengan judul “Dasar-Dasar PendidikanIslam”. Jakarta: Bulan
Bintang.Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. 1994
http://www.akhmadrowi.blogspot.com
[6] Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, hal, 33-48]. [2] Musa Asy’arie, 1999, Filsafat Islam Tentang
Kebudayaan, LESFI, Yogyakarta, 74-83
[9] Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, 1984, 5 Windu UII, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia Yogyakarta 1945-1984,
Liberty Offsit,
[10] Badri Yatim, 1999, Sejarah
Peradaban Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !