Headlines News :
.
Home » , , , » RESPON NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP PERADABAN ISLAM (Ranto Amir Nuha-FAI Unisfat 2015)

RESPON NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP PERADABAN ISLAM (Ranto Amir Nuha-FAI Unisfat 2015)

Written By Unknown on Kamis, 30 April 2015 | 18.14

www.akhmadrowi.blogspot.com
MAKALAH
“RESPON NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP PERADABAN ISLAM”
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam
Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi., MH

https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcT5A09Rv2tQQAHvXugeeQo-xKAf021Wn_Lgpo1ZtABGhnBZnAkVmA


Di  susun  oleh :
Ranto amir nuha



Fakultas agama islam semeseter VI
UNVERSITAS SULTAN FATTAH
DEMAK 2015


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Asyh hadu anlaa ilaa ha illallooh muhammadanrosuululloh, allohumma sholli’ala sayyidinaa muhammadin wa’alaa aalisayyidina Muhammad.
            Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang diberi judul “respon Negara-negara non arab terhadap perdaban islam”. Untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah perdaban islam ini yang diampu oleh Drs. H.Akhmad Rowi. MH.
Salawat serta salam kita haturkan kepadaNya baginda Rosul SAW dan Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, sehingga menjadi lebih baik dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa yang terkandung dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan kami dengan senang hati menerima koreksi dan teguran dari pembaca untuk kelengkapan dan perbaikan makalah ini. sehingga dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya kinerja kami yang akan mendatang.
Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi semua pihak khususnya saya pribadi.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb




Cover….…………………………………….……..……………………………………. i
Respon Negara-negara non Arab terhadap perhadapan islam...……….………..……… ii
Daftar Isi …………………………………………………………..……………....….... iii
Kata Pengantar ………………………………………………………….........…………. 1
I Pendahuluan ………………………………………………………...…..........…..……. 2
I.I. Latar Belakang …………………..……………………………….......…...……3
I.II. Rumusan Masalah ………………………..……………………………...……4
I.III. Tujuan Pembahasan …………………………………….…………………… 5
II. Isi ……………………………………………………………………….........……… 7
II.I transplantasi ………...…………………………….………………………….. 7
III. Kesimpulan …………………………………………….......…………………….… 42
Saran ………………………………………….…………….........…………………..… 45
Penutup ………………………………….……………........…………………………... 46
Daftar Pustaka …………………………….…………........…………………………… 48
Daftar Gambar ……………………………..…………….........………………..……… 51
Daftar Tabel ………………………………..………………..........................………….53
Lampiran ………………………………..……………….....………………………….. 54





II pembahasan
1.1.Latar belakang
Dengan semakin besarnya pemeluk islam pada era demi era bagaimana semakin majunya perdaban isalam. Kekuatan islam yang menakutkan bagi Negara nagara non islam  dan kenapa Negara-negara non arab ingin menguasai daerah yang di huni muslim
1.2. Rumusan maslah
a.       Bagaiman yang mendasari penjajahan barat terhadap islam
b.      Dari mana sumber permusuhan perdaban
c.       Benturan yanga terjadi anatara barat dan islam
1.3. Tujuan pembahasan
Yanag jelas adalah sedikit banayaknya pemberian informasi dan bagaimana menyikapi tentang pembahasan yang suadah ada.

“RESPON NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP PERADABAN ISLAM”

1.     Bentuk-Bentuk Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam (Termasuk Indonesia)
Negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Rusia dan lain-lain memang mempunyai teknologi militer dan industri perang yang lebih canggih dibandingkan dengan negara Islam, sehingga mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam.
Dari awal penjajahan Barat yaitu perang salib umat Islam telah kehilangan berbagai daerah yang semula telah dikuasai Islam, yang kemudian jatuh ke tangan orang Kristen, yang sukar untuk dikembalikan kembali. Jadi pada perang salib ini telah terjadi penaklukan dan penyerangan yang dilakukan oleh negara Barat untuk merebut wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Tidak terhingga kerugian yang diakibatkan oleh penjajahan tersebut, baik kerugian hasil budaya dan peradaban manusia maupun kerugian material maupun korban jiwa. Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat antara lain adalah:
a.       1820 Oman dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris.
b.      1830-1857 Penaklukan Aljazair oleh Perancis 1839.
c.       1881-1883 Tunisia diserbu Perancis.
d.      1882 Mesir diduduki Inggris.
e.       1898 Sudan ditaklukkan Inggris.
f.       1900 Chad diserbu Perancis.
Pada abad ke20 M Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika :
a.       1960 Kesultanan muslim di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris.
b.      1912-1913 Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia.
c.       1912 Marokko diserbu Perancis dan Spanyol.
d.      1914 Kuwait di bawah protektorat Inggris.
e.       1919-1921 Sisilia wilayah Turki diduduki Perancis.
f.       1920 Irak menjadi protektorat Inggris.
g.      1920 Syria dan Libanon di bawah mandat Perancis.
h.      1926-1927 Perebutan seluruh Somalia oleh Italia.
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti tergambar dalam daftar berikut:
a.       1834-1859 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia.
b.      1853-1865 Serbuan pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent.
c.       1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia.
d.      1941-1946 Pendudukan Anglo Rusia di Iran.

2.     Sumber permusuhan Islam dan Barat
Apa yang menjadi sumber permusuhan barat terhadap Islam dewasa ini sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim. Pada garis besarnya ada dua sebab:

a.      Dendam historis
Selama berabad-abad barat takluk di bawah hegemoni khilafah Islam. Kebencian kaum Kristen barat pernah meledak dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya perang salib (1096-1291M) yang brtujuan utam penghancuran islam. Akan tetapi melalui peperangan tersebut umat Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih banyak diraih oleh pasukan Islam. Trauma perang tesebut berdampak pada tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di kedua belah pihak.
Perang salib membentuk fondasi pertama dan esensi untuk menerapkan sikap Eropa (barat) terhadap Islam. Dendam perang salib tersebut belum padam . kebencian dan permusuhan barat terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan setalah Perang Dingin berakhir.
      

b.      Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat umumnya melakukan kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya memepelajari dan memahami Islam dari buku-buku para orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan tujuan utnuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan Islam yang tidak lepasa dari ambisi imperialis Barat untuk mengetahui dunia Islam. Umumnya ketika berbicara mengenai Islam pandangan dan analisis      para orientalis tidak objektif dan tidak fair sudah bercampur dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu. Karenanya pandangan mereka biaseddan berat sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat. Citra Islam yang tampak di dunia Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme, kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah dengan sajian media massa mereka yang menampilkan Islam tidak secara utuh. Bahkan Islam yang mereka kenalkan bukan Islam kebanyakan (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran) yang hanya dianut oleh 10% kaum Muslim dunia. Kekeliruan Barat dalam memahami Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan perilaku individu umat Islam yang melakukan kekerasan, cap “teroris” pun dilekatkan pada Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya, populerlah istilah “Terorisme Islam”.
Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi dengan gencarnya serangan propaganda Barat
melalui berbagai media massanya untuk memojokkan agama dan umat Islam (demonologi
Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat Islam kerap mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”, “ekstremisme”, “radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk mendiskreditkan Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah produk utama propaganda media massa Barat (demonoloogi Islam). Parahnya lagi fobi tersebut tidak hanya melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian besar umat Islam. Mereka merasa ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame yang ada dikepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina , hukum cambuk bagi pemabuk, hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh. Isu-isu hukum Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam. 
Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika kekuatan Islam naik ke puncak kekuasaan di suatu Negara, pemerintahan Negara itu akan menerapkan syari’at Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Adapun kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi barat yang terbentang dari Maroko sampai Merauke letak geografisnya sangat strategis bagi kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya minyaknya, merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri barat. Bisa dikatakan bahwa roda-roda perekonomian Negara-negara barat sangat bergantung pada minyak yang ada di sebagian Negara-negara Islam. Timur tengah sebagai tempat kelahiran dan “pusat Islam” merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia. Itulah salah satu alasan mengapa barat merasa “wajib” menaklukkan dunia Islam.

BENTROKAN PERADABAN SEBAGAI KONFLIK UTAMA
Samuel P. Huntington dalam artikelnya yang berjudul “The coming Clash of Civilizations Or, the West Against the Rest” berargumen bahwa politik dunia telah memasuki fase baru, dimana sumber utama sebuah konflik bukanlah ideologi ataupun ekonomi, melainkan kebudayaan. Benturan peradaban akan mendominasi politik dunia. Peradaban adalah kebudayaan tertinggi sekelompok orang, dan identitas kebudayaan terluas.
            Identitas peradaban akan semakin penting dan dunia akan terbentuk dalam ukuran besar oleh interaksi antara tujuh dari delapan peradaban besar. Konflik penting dan berdarah akan terjadi di sepanjang perbatasan yang memisahkan budaya ini. Garis buruk antar peradaban akan menjadi garis pertempuran masa depan.
            Huntington mengemukakan alasannya mengapa akan terjadi bentrokan peradaban sebagai berikut. Pertama, perbedaan antar peradaban yang mendasar, meliputi sejarah, bahasa, budaya, dan yang paling penting, agama. Perbedaan ini adalah hasil dari berabad-abad dan tidak mudah hilang. Kedua, dunia yang semakin mengecil. Interaksi antar individu dengan peradaban berbeda meningkat. Dimana kesadaran akan perbedaan dan persamaan akan meningkat. Ketiga, perubahan ekonomi dan sosial memisahkan orang-orang dari identitas lokal lama. Agama menjadi penutup kesenjangan ini, dan sering kali dalam bentuk gerakan berlabel fundamentalis. Keempat, pertumbuhan kesadaran peradaban ditingkatkan oleh fakta bahwa barat berada dipuncak kekuatannya. Lebih penting lagi, upaya barat dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan liberalisme sebagai nilai-nilai universal, mempertahankan dominasi militer dan untuk memajukan kepentingan perusahaan ekonomi, menimbulkan tanggapan perlawanan dari peradaban lain. Dalam artikelnya Huntington memberi contoh yakni, kerjasama anti-barat antara Konfusian dan negara-negara islam yang menentang kekuasaan dan nilai-nilai barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya tidak mudah berubah dan karenanya kurang mudah dikompromikan dan diselesaikan dibanding politik dan ekonomi.
            Saat pembagian ideologi Eropa menghilang, pembagian kebudayaan Eropa antara Kristiani Barat dan Islam kembali muncul. Konflik antara Kristiani Barat dan peradaban Islam telah terjadi selama1.300 tahun. Secara historis, interaksi antagonistik peradaban Islam Arab telah terjadi dengan pagan, animis dan sekarang, umat Kristiani orang hitam. Bentrokan bersejarah antara Muslim dan hindu di sub-benua memanifeskan dirinya tidak hanya dalam persaingan antara Pakistan dan India tetapi juga dalam mengintensifkan perselisihan agama di India antara kelompok Hindu militan dan minoritas Islam yang besar. Grup atau negara milik suatu peradaban yang terlibat dalam perang dengan orang dari peradaban yang berbeda akan secara alami mencari dukungan dan membentuk koalisi pada peradaban mereka sendiri. Dalam tahun-tahun yang akan datang, konflik lokal yang paling mungkin akan meningkat ke perang besar ialah di sepanjang garis patahan antar peradaban. Perang dunia berikutnya, jika ada, akan menjadi perang antar peradaban.
            Jika hipotesis ini masuk akal, jika perlu mempertimbangkan implikasinya bagi kebijakan barat. Implikasi ini harus dibagi antara keuntungan jangka pendek dan akomodasi jangka panjang. Dalam jangka pendek, itu jelas dalam kepentingan barat untuk mempromosikan kerjasama yang lebih besar dan kesatuan dalam peradaban sendiri. Dalam jangka panjang, artikel huntington mengatakan bahwa Barat akan semakin harus mengakomodasi peradaban modern yang non-Barat. Dimana peradaban non-Barat telah berusaha untuk menjadi modern tanpa menjadi Barat.
            Huntington menunjukkan di masa depan poros tengah politik dunia cenderung menjadi konflik antara peradaban Barat dan non-Barat. Dia menawarkan tiga bentuk tindakan umum yang bisa diambil oleh peradaban non-Barat untuk menanggapi negara Barat :
1.       Negara-negara non-Barat dapat mencoba untuk melakukan isolasi dalam rangka melestarikan nilai-nilai mereka sendiri dan melindungi diri dari invasi Barat. Namun, Huntington berpendapat bahwa biaya dari tindakan ini tinggi dan hanya beberapa negara yang dapat melakukan itu.
2.      Menurut teori “Band-Wagoning”, negara-negara non-Barat dapat bergabung dan menerima nilai-nilai Barat.
3.      Negara-negara non-Barat dapat melakukan upaya untuk menyeimbangkan kekuatan Barat melalui modernisasi. Mereka dapat mengembangkan, kekuatan militer ekonomi dan bekerja sama dengan negara lain non-Barat terhadap Barat sambil tetap mempertahankan nilai-nilai dan institusi mereka sendiri. Huntington percaya bahwa kekuatan meningkatnya peradaban non-Barat dalam masyarakat internasional akan membuat Barat mulai mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang dasar-dasar budaya yang mendasari peradaban lain. Oleh karena itu, peradaban Barat akan berhenti dianggap sebagai “universal” tetapi peradaban yang berbeda akan belajar untuk hidup berdampingan dan bergabung untuk membentuk masa depan dunia.
Kesimpulannya, pendapat yang dikemukakan Huntington cenderung kurang tepat. Bahkan bagi beberapa orang artikelnya cenderung mengundang hal-hal yang bersifat rasis. Huntington cenderung bersifat stereotype dalam mengemukakan pendapatnya yang tertulis dalam artikelnya.

Benturan Peradaban atau Kompatibilitas Ideologi dalam Revivalisme Islam Studi Kasus: The Rise of Hamas sebagai Pergerakan Islam


Islam merupakan salah satu peradaban dunia yang memiliki sejarah cukup panjang dan gemilang, hal tersebut dapat terlihat dari keberadaan salah satu imperium besar dunia yang dikuasai oleh bangsa Muslim yakni Turki Ottoman. Namun paska deklinasi kekuasaan Turki Ottoman sebagai imperium besar dunia, maka muncul kekuatan peradaban baru yang cukup masif hingga saat ini yakni Barat. Kondisi tersebut tidak membuat bangsa Muslim hanya tidak diam, melainkan berupaya untuk mengembalikan kejayaan peradaban dengan menstimulus lahirnya Pergerakan Islam atau yang biasa disebut dengan Islamic renaissance atau an-nahda al-islamiyyapada abad ke-19. Kebangkitan Islam melalui pergerakan tersebut ditandai dengan tiga fase yakni formulasi ideologikal, formasi struktural dan ekspansi ideologi (Jufri, 1991: vi dalam Muttaqien, 2013: 3).
Fase yang pertama adalah formulasi ideologikal, dimana beberpa filosofer berupaya menyuguhkan ide tentang  Islamic renaissancesebagai sebuah respon terhadap deklinisasi peran Islam sebagai peradaban besar dunia dalam tataran internasional. Nadwi mengilustrasikan peran Islam sejak lahir di Mekkah sebagai peradaban dunia melalui kejayaan Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah hingga era Turki Ottoman yang mampu melindungi dan bahkan memukul mundur serangan Tentara Barat melalui kekuatan militer yang besar sebagai spiritual safeguard (Nadwi, 1980: 104-105 dalam Muttaqien, 2013: 3). Namun pada abad ke-19, keruntuhan Turki Ottoman terjadi karena faktor disloyalitas dan persoalan korupsi dari segi internal serta maraknya pergerakan dekolonisasi dari negara-negara subordinat setelah adanya pengaruh nilai kebebasan Barat (Nadwi, 1980: 113 dalam Muttaqien, 2013: 4). Dalam merespon kejatuhan Turki Ottoman ini, beberapa pemikir kemudian menyajikan ide kebangkitan Islam melalui beberapa strategi seperti Jamal al-Din al-Afghani yang ingin mereformasi Islam melalui struktur ekonomi, politik dan sosial. Strategi tersebut berupaya menguatkan ikatan sosial masyarakat Islam dari dalam untuk menampik kekuatan Barat terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan teknologi yang dahulu dikuasai oleh peradaban Islam. Dengan doktrin bahwa Islam merupakan jalur yang komprehensif mengurusi kehidupan manusia, maka reformasi tersebut menyebar hingga Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tengah (Esposito, 1991: 126-127 dalam Muttaqien, 2013: 4). Kemudian juga ada Muhammad Abduh dan Rashid Rida yang mencoba menyajikan ide mengenai kebangkitan Islam. Muhammad Abduh menekankan kepada gerakan masif mengembalikan nilai-ilai dunia pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan dan bahwa agama serta rasionalitas merupakan dua hal yang bersifat komplementer. Kemudian mempertahankan prinsip imutasi yakni akidah dan ibadah, sedangkan prinsip mutasi adalah muamalah. Sedangkan Rashid Rida menjadikan salafiyya sebagai rujukan dan diaktualisasikan dalam pergerakan Wahabi dalam mahzab Maliki, Hambali ataupun Ibn Taymiyya (Esposito, 1991: 129-132 dalam Muttaqien, 2013: 6).
Fase yang kedua yakni formasi struktural, dimana sistem kekhalifahan atau melalui bentuk negara Islam merupakan sistem pemerintahan yang menjadi penting dalam kebangkitan Islam sebagai eksistensi politik internasional. Jika dilihat, bentuk institusi kekhalifahan yang mampu menjaga kekuasaan Turki Ottoman melalui peran politik dalam sistem umma dengan ideologi Pan-Islamisme. Tantangan terbesar formasi struktur pemerintahan tersebut adalah berkembangnya paham sekuler, yang hal tersebut juga terjadi pada Turki di era Mustofa Kemal Pasya pada tahun 1924. Akibatnya, lahirlah aktivis Muslim yang mencoba memformulasikan idealisme sebagai pergerakan (harakat) melalui penyelenggaraan organisasi (tandzim) atau partai (hizb) atau komunitas Islam (jamaah), yang kesemua faktor tersebut dilaksanakan dengan sebuah pegangan kepemimpinan dari khalifah (Muttaqien, 2013: 6). Pergerakan Islam yang kemudian muncul dan mencoba merealisasikan idealisme di atas adalah Al-Ikhwanul Muslimin oleh Hasan Al-Banna di Mesir tahun 1928 dan Jammah Islami oleh Maulana Abul A’la al Mawdudi di Pakistan pada tahun 1941. Keduanya bergerak masif karena terdapat semangat dekolonisasi yang tinggi serta keanggotaan yang diversifikasif, namun Jamaah Islami lebih bersifat elitis dan intelektualis (Esposito, 1991: 149 dalam Muttaqien, 2013: 7).
Dan fase yang terakhir adalah ekspansi ideologi kebangkitan Islam yang berkembang secara pesat di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tenggara dan bahkan di Eropa, utama jika dilihat melalui organisasi Al-Ikhwanul Muslimin (Vidino, 2005 dalam Muttaqien, 2013: 7). Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: yang pertama kemampuan untuk mengirimkan anggota menyebarkan ideologinya ke negara-negara lain sehingga disebut pergerakan ideologi, misalnya Abd al-Rahman Al-Banna yang dikirim berjuang di Jerusalem; yang kedua adalah pengaruh ideologi pergerakan soal revivalisme Islam yang diterima oleh banyak pelajar internasional yang belajar di Timur Tengah, utamanya Universitas Al-Azhar di Kairo yang kemudian ditransfer ke negara-negara asal mereka (Machmudi, 2005: 61-68 dalam Muttaqien, 2013: 8); yang ketiga yakni kemampuan literasi yang baik dengan mempublikasi dan mentranslasi buku-buku Al-Ikhwan (Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdul Karim Zaidan, Yusuf Al-Qaradawy dan lainnya) dalam banyak bahasa dunia tentu menguatkan proses internasionalisasi organisasi; dan yang keempat adalah kondisi rezim represif yang terjadi di negara-negara Islam yang justru mendorong migrasi para aktivis keluar negaranya dan mengirimkan ideologi Islam modern ke seluruh dunia seperti kiprah Yusuf Qaradawy di Universitas Qatar, Hasan Al-Banna membentuk komunitas muslim di Jerman dan Tariq Ramadhan di Switzerland hingga Amerika Serikat (Ajami, 2004 dalam Muttaqien, 2013: 9). Ideologi Al-Ikhwan menjadi kuat dengan menekankan pada sistem komprehensif pada seluruh aspek kehidupan, dengan mott0 “Allah is our goal, the Prophet is our model, teh Qur’an is our constitution, Jihad is our path, and death for the sake of Allah is our most coveted desire”. Demokrasi (bottom-up system) merupakan ciri moderat dari Al-Ikhwan.






Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok