Headlines News :
.
Home » , , , » IDENTITAS PERADABAN ISLAM DI INDONESIA (Zaenul Arifin-FAI Unisfat 2015)

IDENTITAS PERADABAN ISLAM DI INDONESIA (Zaenul Arifin-FAI Unisfat 2015)

Written By Unknown on Kamis, 30 April 2015 | 19.15

www.akhmadrowi.blogspot.com
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. H. AKHMAD ROWI, M.H



FAI Unisfat






Up Ribbon: Di Susun Oleh :
 



                                NAMA           : ZAENUL ARIFIN
                                NIM                : C.1.4.12.0054


JENJANG STUDI STRATA SATU (S1)
PRODI PAI FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2015



Bottom of Form


BAB I
PENDAHULUAN

Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas dari sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23, Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di jazirah Arabia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat, pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke wilayah Nusantara.
Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang masuknya Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori tersebut, proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada abad ke-7 melalui proses perdagangan , kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai tumbuh dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, maupun di NTB.  
Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam mengembangkan khazanah peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih spesifik dari uraian tersebut yaitu mengenai proses masuknya islam di Sumatera.



BAB  II
PEMBAHASAN
A.    Kondisi Masyarakat Sebelum Masuknya Islam di Sumatera
Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.



B.     Proses masuknya Islam di Sumatera

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka, sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, buah pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing.
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India sudah sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke- 7M (abad 1 H). Menurut J.C Van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur Barus terkenal. Dari berita Cina, diketahui bahwa di masa Dinasti Tang (abad ke 9-10). Orang-orang Ta-shin sudah ada dikanton (Kan-fu) dan Sumatera. Ta-shin adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia , yang ketika itu jelas sudah mejadi muslim.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat Internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebakan oleh kerajaan Islam. Akan tetapi belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama Islam. Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini, tentu bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Sumber sejarahya Shahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dipertanggung jawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komonitas Islam“ berubah menjadi kekuasaan. Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan itu.
Dari data-data ilmiyah dari berbagai sumber tersebut tentang masuknya Islam ke Indonesia dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu :
Fase pertama,  Singgahnya pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, termasuk di Sumatera, sumbernya    adalah   berita    luar  Negeri terutama Cina.
Fase keduaAdanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia sumbernya di samping berita-berita asing,  juga makam-makam Islam.
Fase ketigaBerdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
C.    Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
1.      Kerajaan Perlak

     Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 H (9 M).[1] Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nakhoda khalifah. Kerajaan Perlak didirrikan oleh Sayid Abdul Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada akhir abad ke 12, di pantai timur Sumatera terdapat negara Islam bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di wilayah itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. Dari perkawinan tersebut  ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, bernama Alaudin Syah. Demikian ia dikenal sebagai sultan Alaidin Syah dari negeri Perlak.
     Angkatan dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan keluarga istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab Perlak pada tahun 225 H.[2]
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
2.      Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh  dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa  kemunculannya sebagai kerajaan Islam  diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya.[3]  Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai.[4] Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.[5]
Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita China dan pendapat Ibn Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai pada pertengahan abad ke 14 M (tahun 746 H/1345 M). Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Zhahir tidak pernah bersikap sombong. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.[6]
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.[7] Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
3.      Kerajaan Aceh

Kurang diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, sebagaimana yang dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[8]
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.[9]
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.
4.      Kerajaan Minangkabau

Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.[10]
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya.[11]
D.    Bukti-Bukti Masuknya Islam di Sumatera
1.      Makam Sultan Malik Al-Saleh

Makam Sultan Malik Al-Saleh yang berangka tahun 1297 merupakan bukti bahwa Islam telah masuk dan berkembang di daerah Aceh pada abad XIII. Mengingat Malik Al-Salaeh adalah seorang sultan, maka dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke daerah Aceh jauh sebelum Malik Al-Saleh mendirikan Kesultanan Samudera Pasai.

2.  Cerita Marco Polo 
Pada tahun 1092, Marco Polo seorang musafir dari Venesia (Italia) singgah di Perlak dan beberap tempat di Aceh bagian Utara. Marco Polo sedang melakukan perjalanan dari Venetia ke negeri Cina. Ia menceritakan bahwa pada abad XI, Islam telah berkembang di Sumatera bagian Utara. Ia juga menceriterakan bahwa Islam telah berkembang sangat pesat diJawa.
3.      Cerita Ibnu Battuta
Pada tahun 1345, Ibn Battuta mengunjungi Samudera Pasai. Ia menceriterakan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat baik terhadap ulama dan rakyatnya. Di samping itu, ia menceriterakan bahwa Samudera Pasai merupakan kesultanan dagang yang sangat maju. Di sana, Ibn Battuta bertemu dengan para pedagang dari India, Cina, dan para pedagang dari Jawa.
4.      Pendapat lain
Beberapa waktu terakhir ini berkembang pendapat baru bahwa Islam sebenarnya telah datang dan berkembang di kawasan Nusantara pada abad VII-VIII atau abad I tahun hijrah. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa-bangsa India, Cina, dan Arab (khususnya Persia). Bahkan kalau ditelusur pada awal abad Masehi orang-orang Yunani telah mengenal Nusantara. Tercatat dalam peta yang disusun oleh Ptolomeus, nama-nama seperti Tabih, Argue, Posi Lam Wuli, Rommi, dan Lameri.[12]





        



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masuknya Islam ke wilayah Nusantara, khususnya ke Sumatera telah memberikan sebuah warna baru dalam peradaban diwilayah tersebut. Islam tidak hanya dianggap sebagai sebuah agama saja, akan tetapi lebih jauh daripada itu, telah mampu memasuki aspek-aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam bidang budaya. Hal ini menyebabkan akulturasi antara peradaban dengan Islam, dan salah satu hasilnya adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada tahap selanjutnya, kerajaan-kerajaan inilah yang berperan penting dalam pembentukan budaya Islam. 





DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami, penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10
Amin, Samsul Munir , Drs., M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika, 2009)
http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-melampaui-sekat-sekat kewilayahan & catid =34: artikel & Itemid= 59…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
Syamsu As, Muhammad , Drg., H., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1996).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011), cet. 23.
www.akhmadrowi.blogspot.com
[1] Drg. H. Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1996, hlm. 9.
[2] Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika, 2009)
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2010), cet. 22, h. 205


[5] Badri Yatim, Op.Cit., hlm. 205.
[6] Ibid., hlm. 206-207
[7] Ibid, hlm. 207
[8] Ibid, hlm. 208-209
[9] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami, penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10, h. 449.

[10]http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-melampaui-sekat-sekat-kewilayahan&catid=34:artikel&Itemid=59…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.




Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok