Headlines News :
.
Home » , » Filsafat Politik Dalam Islam (Athi Arifatuz Zahro FAI Unisfat)

Filsafat Politik Dalam Islam (Athi Arifatuz Zahro FAI Unisfat)

Written By Unknown on Selasa, 12 November 2013 | 18.57

MAKALAH “Filsafat Politik Dalam Islam” Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH. , Disusun oleh : Athi Arifatuz Zahro’ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS SULTAN FATAH (UNISFAT) DEMAK DAFTAR ISI Halaman Judul i Daftar Isi ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 BAB II PEMBAHASAN 3 A. Pengertian Politik Islam 3 B. Dalil berpolitik Dalam Islam 4 C. Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ualama’ 4 D. Sejarah Pemikiran Politik Islam 6 E. Kedudukan Politik dalam Islam 6 F. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam 7 G. Tujuan Poltik Islam 8 BAB III PENUTUP 9 A. Kesimpulan 9 DAFTAR PUSTAKA 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’at dan pemikirnya dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk dibicarakan.Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-kontra dikalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu tema keterlibatan para ulama dan cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai eksekutif, legislatif ataupun yudikatif selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram halalnya “profesi politis” tersebut, namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu. Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal: Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut. Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’) secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalifah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan sangat disayangkan bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalifah itu. Alasannya tentu sangat jelas rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan. Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar. Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari.Interaksi kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak melewati batas individu saja kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak sama satu dengan yang lain. Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada.   BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Politik Islam Guna melengkapi dan memudahkan pemahaman pembaca, sebelum memasuki pembahasan tentang pengertian poltik dalam perspektif Islam, terlebih dahulu akan disuguhkan pengertian politik dalam terminologi yang berkembang saat ini. Secara umum telah banyak sekali pengertian tentang politik yang diberikan para sarjana politik. Diantara pengertian-pengertian politik tersebut adalah sebagai berikut. 1. Menurut Asad (1954), politik adalah menghimpun kekuatan; meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan kekuatan; dan menggunakan kekuatan, untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya. 2. Dalam pandangan Abdulgani, perjuangan politik bukan selalu “de kunst het mogelijke” tapi seringkali malahan "de kunst van onmogelijke" (Politik adalah seni tentang yang mungkin dan tidak mungkin). Sering pula politik diartikan "machtsvorming en machtsaanwending" (Politik adalah pembentukan dan penggunaan kekuatan). 3. Bluntschli (1935) memandang politik sebagai "Politik is more an art a science and to do with the practical conduct or guidance of the state" (Politik lebih merupakan seni daripada ilmu tentang pelaksanaan tindakan dan pimpinan (praktis negara). Alsiyasah juga berarti mengatur, mengendalikan,mengurus,atau membuat keputusan,mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya. Secara tersirat dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain, yaitu: 1. “Tujuan” yang hendak di capai melalui proses pengendalian, 2. “Cara” pengendalian menuju tujuan tersebut Secera istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’. Pengertian siyasah lainya oleh Ibn A’qil, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qayyim, politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipunRasullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT tidak menentukanya.Pandangan politik menurut syara’, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat.Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral.Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka.Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”. B. Dalil Berpolitik Dalam Islam Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim) Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda : "Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani) C. Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, hal 168 menjelaskan: “Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.” Lebih jauh Ibnu Taimiyyah mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.” Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kekuasaan penguasa merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus mengurusi rakyatnya seperti yang dilakukan pengembala yang dilakukan kepada gembalaanya. Penguasa disewa rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan meraka, kewajiban timbal balik kepada kedua belah pihak menjadikan perjanjian dalam bentuk kemitraan. Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”. Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai: “Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).” Al- Farabi mengemukakan syarat-syarat pemimpin Islam yang baik dan dipandang patut dijadikan contoh, yaitu : 1. Ia haruslah seorang hakim 2. Harus berpengetahuan luas dan mampu memelihara undang-undang, adad istiadat, kebiasaan,tradisi, dan etika 3. Harus mampu menaarik kesimpulan baru untuk konsep yang bukan dan belum diciptakan oleh para pendahulunya 4. Harus memiliki pertimbangan baik dalam menyimpulkan undang-undang baru dan berupaya menigkatkan kesejahteraan Negara 5. Ia harus mampu menjadi panutan bagi masyarakat yang ia pimpin. Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan Islam setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni: 1. Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan Syariah Islam (Hukum Islam). 2. Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah. 3. Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan. Imam al-Ghazali menulis dalam kitab Ihya' Ulumuddin:Politik ataupun siasah dalam mengislahkanMakhluk Allah dan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat terdiri daripada 4 martabat: Martabat Pertama yaitu martabat tertinggi adalah adalah siasah para Nabi dan hukum mereka ke atas golongan khas dan awam zahir dan batin.Dan merkalah para Nabi ahli siasah yang paling afdal. Martabat Kedua:Siasah para Khalifah,raja dan sultandan hukum mereka ke atas golongan khas dan awam sekalian tetapi dalam hukum zahir sahaja bukannya batin. Martabat Ketiga:Siasah Ulama' BILLAH yang merupakan pewaris Nabi.(Ulama Tasauf yang menghimpunkan antara hakikat dan syariat..Hukum mereka ke atas batin golongan khas sahaja kerana golongan awam tidak mampu untuk mengambil faedah daripada mereka. Martabat Keempat:Siasah Fuqaha' dan hukum mereka ke atas batin golongan awam. Siasah yang paling mulia selepas nubuwwah ialah menyebarkan limu yang bermanfaat dan memperelokkan jiwa manusia daripada akhlak mazmumah yang membinasakan dan memberi petunjuk kepada manusia untuk berakhlak mahmudah yang akan membahagiakan mereka di akhirat kelak. D. Sejarah Pemikiran Politik Islam Dalam ajaran islam, masalah politik termasuk dalam kajian fiqih siyasah. Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya, dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam. Al Quran tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik itu muncul, tetapi menegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh.Ini berarti kekuasanan politik terkait dengan kedua faktor tersebut. Pada sisi lain politik juga terkait dengan ruang dan waktu. Ini berarti ia adalah budaya manusia sehingga keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. E. Kedudukan Politik Dalam Islam Terdapat tiga pendapat di kalangan pemikir muslim tentang kedudukan politik dalam syariatislam, yaitu : Pertama,kelompok yang menyatakan bahwa Islamadalah suatu agama yang serbah lengkap didalamnya terdapat pula antara lainsistem ketatanegaraan atau politik. Kemudian lahir sebuah istilah yang disebutdengan fikih siasah (sistem ketatanegaraan dalam islam) merupakan bagianintegral dari ajaran islam. Lebih jauhkelompok ini berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan yang harus diteladaniadalah sistem yang telah dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW dan oleh parakhulafa al-rasyidin yaitu sitem khilafah. Kedua,kelompok yangberpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agamatidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi Muhammadhanyalah seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain bertugas menyampaikanrisalah tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk mendirikan danmemimpin suatu Negara. Aliran Ketiga menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segala sistemketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pandanaganbarat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran iniberpendirian bahwa dalam islam tidak teredapat sistem ketatanegaraan, tetapiterdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. F. Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam 1. Musyawarah Asas musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan orang-orang yang akan menjawab tugas-tugas utama dalam pentadbiran ummah. Asas musyawarah yang kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan undang-undang yang telah dimaktubkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan-jalan bagi menentukan perkara-perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad. 2. Keadilan Prinsip ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam. Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan merangkumi segala jenis perhubungan yang berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan di antara rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang bersebgketa di hadapan pihak pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan anak-anaknya.kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah di antara asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan utama sistem politik Islam untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama kerana dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia dalam segala aspeknya.   3. Kebebasan Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang makruf dan kebajikanyang sesuai dengan Al–Qur’an dan Hadist.Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenarnya adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara Islam. 4. Persamaan Persamaan di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak, persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut peringkat-peringkat yang ditetapkan oleh undang-undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuat kuasa undang-undang. 5. Diwajibkan untuk memperkuat tali silaturahmi Dikalangan kaum muslimin di dunia dan untuk mencegah semua kecenderungan sesat yang didasarkan pada perbedaan ras, bahasa, ras, wilayah ataupun semua pertimbangan materealistis lainya serta untuk melestarikan dan memperkuat kesatuan Millah Al-Islamiyyah G. Tujuan Politik Islam Tujuan sistem politik Islam adalahuntuk membangunkan sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak di atasdasar untuk melaksanakan seluruh hukum syariat Islam. Tujuanutamanyaialahmenegakkansebuah negara Islam atauDarul Islam. Para fuqahak Islam telahmenggariskan7 perkarapentingsebagaitujuankepadasistempolitik dan pemerintahan Islam: 1. Memeliharakeimananmenurutprinsip-prinsip yang telahdisepakatiolehulamaksalafdaripadakalanganumat Islam 2. Melaksanakanproses pengadilan dikalangan rakyat dan menyelesaikan masalah dikalanganorang-orang yang berselisih. 3. Menjagakeamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan aman dandamai 4. Melaksanakanhukuman-hukuman yang telah ditetapkan syarak demi melindungi hak-hak manusia 5. Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataanbagi menghadapi kemungkinan serangan daripada pihak luar 6. Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam 7. Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat, dan sedekahsebagaimana yang ditetapkansyarak   BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hokum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasipengertianpolitik islam denganpolitikmenghalalkansegala cara merupakanduahal yang sangatbertentangan. Islam menolakdengantegasmengenaipolitik yang menghalalkansegala cara. Pemerintahan yang otoriteradalahpemerintahan yang menekan dan memaksakankehendaknyakepadarakyat. Setiappemerintahanharusdapatmelindungi, mengayomimasyarakat.Sedangkanpenyimpangan yang terjadiadalahpemerintahan yang tidakmengabdi pada rakyatnya; menekanrakyatnya. Sehinggapemerintahan yang terjadiadalahotoriter. Yaitubentukpemerintahan yang menyimpangdariprinsip-prinsip islam.Tujuanpolitik islam pada hakikatnyamenujukemaslahatan dan kesejahteraanseluruhumat.   DAFTAR KEPUSTAKAAN Abd. Mu’inSalim, 2002, FiqihSiyasah:KonsepsiKekuasaanPolitikdalam Al Quran, Jakarta: Raja GrafindoPersada, Abul A’la Al-Maududi, 1995, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, Djazuli, 2007, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Rambu-rambu Syariah, Jakarta:Prenada Media Grup, Rahmat Tohir, dkk. 2001, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insan Press. Syarifuddin Jurdi, 2008, Pemikiran Politik Islam Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Belajar Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok