Headlines News :
.
Home » , » Filsafat Moral (M.Alamul Huda FAI Unisfat Demak)

Filsafat Moral (M.Alamul Huda FAI Unisfat Demak)

Written By Unknown on Rabu, 20 November 2013 | 03.55

FILSAFAT MORAL Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam Dosen : Drs. H. Akhmad Rowi, MH
Disusun oleh : NAMA : M. ‘Alamul Huda SEMESTER : III UNIVERSITAS SULTAN FATAH (UNISFAT) DEMAK 2013 BAB I PENDAHULUAN Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya norma-norma yang sering disebut dengan Moral atau Etika di masyarakat kita. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Etika (Filsafat Moral) Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika. Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral. Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah. Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu). B. Macam-macam Etika/Moral a. Etika deskriptif Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat. b. Etika normatif Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan. c. Metaetika Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat. Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought). Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948. C. Hubungan Moral dan Agama Agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Motivasi terpenting dan terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Jika dibandingkan berbagai agama, ajaran moralnya barangkali sedikit berbeda, tetapi secara menyeluruh perbedaannya tidak terlalu besar. Atau dengan kata lain, ada nilai-nilai universal yang relatif sama. Mengapa ajaran moral dalam suatu agama dianggap begitu penting? Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Ajaran moral itu diterima karena alasan keimanan. Namun demikian, nilai dan norma moral tidak secara eksklusif diterima karena alasan-alasan keagamaan. Ada juga alasan-alasan lebih umum untuk menerima aturan-aturan moral, yaitu alasan-alasan rasional. Dalam etika filosofis atau filsafat moral justru diusahakan untuk menggali alasan-alasan rasional untuk nilai-nilai dan norma-norma yang dipakai sebagai pegangan bagi perilaku moral. Berbeda dengan agama, filsafat memilih titik tolaknya dalam rasio dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya pada rasio. Filsafat hanya menerima argumen dan alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui oleh semua orang. Ia menghindari setiap unsur nonrasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio. Agama berangkat dari keimanan; kebenarannya tidak dibuktikan, tetapi dipercaya. Kebenaranya tidak diterima karena dimengerti, melainkan karena terjamin oleh wahyu. Bila agama bicara topik etis, ia berusaha memotivasi dan menginspirasi supaya umatnya mematuhi nilai dan norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman. Bila filsafat bicara topik etis, ia berargumentasi; ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan allasan-alasan rasional. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa; orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan, karena melanggar perintah-Nya. Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi. Kesalahan moral adalah inkonsistensi rasional. D. Hubungan Moral dan Hukum Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu harus diukur dengan norma moral. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, seperti terjadi dengan hukum. Walaupun ada hubungan erat antara moral dan hukum, namun perlu dipertahankan juga bahwa moral dan hukum tidak sama. Tidak mustahil adanya undang-undang immoral, undang-undang yang harus ditolak dan ditentang atas pertimbangan etis. Dalam kasus seperti itu terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. *Perbedaan antara hukum dan moral: 1. Hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas. Oleh karena itu, ia mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif. Norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak „diganggu“ oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis atau tidak etis. 2. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. 3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum dapat dipaksakan. Orang yang melanggar hukum akan terkena hukumannya, tapi norma etis tidak dapat dipaksakan. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. 4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Moralitas didasarkan atas norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis orang bisa mengubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah norma moral. BAB III Penutup Kesimpulan Etika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan nilai dan moral yang menentukan perilaku seseorang/manusia dalam hidupnya. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia baik sebagai pribadi mapun sebagai kelompok. Sebagai makhluk budaya manusia perlu disadari bahwa yang benar, yang indah dan yang baik itu menyenangkan, membahagiakan, menenteramkan dan memuaskan manusia. Sebaliknya yang salah, yang jelek dan yang buruk itu menyengsarakan, menyusahkan, menggelisahkan dan membosankan manusia. Dari dua sisi yang bertolak belakang ini, manusia adalah sumber penentu yang menimbang, menilai, memutuskan untuk memilih yang paling menguntungkan (nilai moral). Dengan demikian pada kenyataanya manusia lebih cenderung menghendaki nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai keindahan dikarenakan sangat berguna bagi kehidupannya daripada sebaliknya. Daftar Pustaka http://mumuhmz.wordpress.com/tag/filsafat-moral/ http://punyahari.blogspot.com/2009/12/filsafat-moral-etika-etika-filsafat.html http://10menit.wordpress.com/tugas-kuliah/pengertian-etika/ http://www.akhmadrowi.blogspot.com
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok