Headlines News :
.
Home » , » TEORI AKAL (Siti Munawaroh)

TEORI AKAL (Siti Munawaroh)

Written By Unknown on Kamis, 03 Oktober 2013 | 08.48


MAKALAH

TEORI AKAL


Disusun Untuk Melengkapi Tugas Akademik
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi,M.H













Disusun Oleh :
Siti Munawaroh
NIM : C.1.4.11.0084




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATTAH 
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan  dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui  akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986: 1).
Di  zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya.  Karena itu,  masalah hubungan  akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua ribu tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.

B.  Rumusan Masalah
1.         Apakah pengertian akal  ?
2.         Bagaimana fungsi dan kedudukan akal  ?
3.         Bagaimanakah akal   dalam pemikiran Islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Akal  
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
 Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut  kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql  mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani  yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql  sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8). 
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat  dalam pendapat mereka  tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti  Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan  daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti  pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang  membuat  seseorang dapat  membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas  moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat  dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.

B.  Fungsi Dan Kedudukan Akal
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
1.   Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2.   Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3.    Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4.    Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.

Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
1)      Alloh subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2)      Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3)      Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Alloh subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4)      Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5)      Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 )
6)      Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Alloh, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Alloh petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18)
7)      Alloh subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)


C.    Akal Dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1.      Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
2.      Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3.      Falsafat
Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat.
4.      Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi  pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan  teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan:
1.      Akal merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi sebagai alat untuk mencari kebenaran, akal mampu merumuskan yang bersifat kognitif dan manajerial.
2.      Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri.

B.     Saran
Kami mengharapkan para pembaca bisa mengambil pelajaran dari makalah kami ini, dan member kritikan dari setiap kesalahan yang ada karena kami manusia biasa yang dhaif, dan jika ada benarnya itu semata-mata dari Allah swt.







DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta: LPID UMS
Asy’arie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok