Headlines News :
.
Home » » TEORI AKAL (Nurul Hikmah)

TEORI AKAL (Nurul Hikmah)

Written By Unknown on Kamis, 03 Oktober 2013 | 08.32


MAKALAH

FILSAFAT TEORI TENTANG AKAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Drs.H.Akhmad Rowi,M.H






Disusun Oleh :
NURUL HIKMAH
C.1.4.11.0077

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2012

BAB l
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Telah berkembang banyak teori tentang akal sejak bertahun-tahun. Teori-teori tersebut dapat digolong-golongkan menurut sistem sederhana yang dipakai oleh para filosof yang berkecimpung dalam menyelidiki berbagai teori tentang akal yang kemudian di definisikan sebagai berikut :
  • akal adalah substansi non-material,
  • akal adalah prinsip penataan,
  • akal adalah kumpulan dari pengalaman dan
  • akal adalah sebagai bentuk perilaku.




































BAB II
PEMBAHASAN
1.       Akal sebagai Substansi menurut Plato dan Descartes 
Menurut Plato
Plato membagi watak manusia ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian rasional, tempatnya adalah dalam otak. Unsur rasional manusia adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari badan di mana akal itu terpenjara. Yang kedua adalah bagian yang merasa, tempatnya di dada. Yang ketiga, unsur yang ingin atau selera, tempatnya di perut. Unsur keinginan tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, karena itu harus berada di bawah kontrol akal. Akal dan badan mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi menurut Plato perbedaan antara dua hal tersebut adalah nyata. Jiwa yang tak dapat dibagi-bagi berasal dari alam misal atau form yang tinggi dan abadi, jauh di atas dunia pengalaman yang selalu berubah dan lewat. Jiwa tercemar karena berhubungan dengan benda, pada suatu waktu jiwa akan meninggalkan badan dan kembali kepada tempatnya yang abadi.
Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran Plato meresap pada pemikiran modern
Menurut Descartes
Descartes, seorang filosof besar pada abad ke-17, menguatkan teori bahwa akal adalah substansi. Karena sangat sangsi terhadap kebenaran pengetahuan pada zamannya, dan kebenaran segala pengetahuan, ia memutuskan untuk mempersoalkan segala-galanya dan memulai suatu cara untuk sangsi yang sistematik, dan berusaha mendapatkan apa yang mustahil dapat disangsikan.
Karena metoda tersebut, aku gambarkan segala sesuatu yang aku lihat itu tidak sungguh; aku percaya bahwa tak ada obyek yang dikemukakan oleh ingatan saya yang palsu itu ada. Aku merasa bahwa aku tak mempunyai rasa (indra); aku percaya bahwa badan, angka, keluasan, gerak dan tempat, semuanya hanya merupakan khayalan akal saya. Kalau begitu apakah yang dapat dianggap benar. Barangkali hanya ini, yaitu sama sekali tak ada benda yang nyata.
Dari posisi keragu-raguan metodologis, Descartes keluar dengan suatu keyakinan yang kuat bahwa aku itulah yang ada. Perkataannya dalam bahasa Latin adalah “cogito ergo sum”, “aku berpikir, karena itu aku ada”. Descartes menemukan bahwa adanya sedikitnya satu akal, yakni akalnya sendiri, tak dapat disangsikan. “Inilah hal yang tak dapat dipisahkan dariku, aku ada, ini sudah tentu, tetapi berapa kali? Ya, selama aku berpikir, karena barangkali akan terjadi bahwa aku berhenti berpikir, dan berbarengan dengan itu aku tidak lagi ada. Dari sini ia meyakinkan adanya akal lain, adanya Tuhan serta adanya alam materi. Dunia luar menunjukkan adanya, melalui indra, dan ia tidak percaya bahwa ia dapat ditipu.
Bagi Descartes terdapat dua substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya. Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk kepada aturan-aturannya.
Penjelasan Descartes tentang akal sebagai suatu substansi yang berdiri sendiri adalah permulaan perkembangan yang panjang dalam filsafat modern dan pemikiran ilmiah yang kadang-kadang dinamakan bifurkasi alam (bifurcation of nature). Dualisme Descartes tentang akal dan badan atau materi memungkinkan kita untuk mengadakan interpretasi tentang alam di luar diri kita dengan cara-cara mekanik dan kuantitatif, serta memungkinkan menempatkan aspek kehidupan yang lain dalam bidang akal atau jiwa. Pemisahan antara akal dan materi adalah teori yang tetap dianut oleh beberapa filosof dalam segala perioda sejarah.

2.      Akal adalah Prinsip Penataan: Aristoteles dan Immanuel Kant
Menurut Aristoteles
Aristoteles murid Plato, walaupun pada dasarnya menyetujui beberapa aspek dari teori akal sebagai substansi, mengambil arah baru yang akan kita bicarakan sekarang. Bagi Plato, ide-ide adalah bentuk-bentuk yang abadi yang wujudnya adalah dalam alam lain; ide kita tentang dunia ini hanya merupakan copy dari bermacam-macam derajat kebenaran, dari ide yang abadi. Bagi Aristoteles, bentuk itu ada dalam benda, dalam alam ini. Form itu memberi bentuk, mengatur prinsip-prinsip dinamis yang memerintah dan mengarahkan materi. Dari pandangan ini, jiwa (soul, psyche) adalah prinsip kehidupan, kumpulan dari proses kehidupan, prinsip yang aktif untuk mengatur proses-proses ini. Akal atau fikiran adalah kekuatan atau fungsi tertinggi dari jiwa (psyche) manusia. Dalam usaha untuk mempersatukan akal dan badan, Aristoteles menyimpang dari pendirian Plato dan mendekati pendirian bahwa akal itu adalah proses dan fungsi. Jika bagi Plato alam Ide atau bentuk yang abadi ada di luar dunia rasa indrawi, bagi Aristoteles form (bentuk) itu ada di dalam benda sebagai prinsip yang aktif untuk pengaturan.

Menurut Immanuel Kant pada akhir abad ke-18 mengeritik pandangan tradisional yang mengatakan bahwa akal itu substansi; pandangan tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat menjadikan “aku”-nya dan “akal”-nya menjadi obyek langsung untuk diketahui. Bagi Kant, akal itu aktif. Akal itu mengumpulkan bahan-bahan yang disajikan oleh bermacam-macam indra dalam suatu pengolah pengetahuan. Zaman dan ruang merupakan “forms” dari pengalaman-pengalaman indrawi kita, yang dengan memakai pertimbangan (judgment) dikumpulkan menjadi pengalaman yang teratur dan terpadu. Akal bukannya suatu substansi mental yang berdiri sendiri. Akal adalah penataan dan kesatuan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia.
Menurut Kant, yang kita ketahui secara pasti adalah pengalaman-pengalaman kita. Di mana saya ada pengetahuan terdapat juga perpaduan; dan pengetahuan memerlukan seorang yang mengetahui. Jika ada daya ingatan, tentu ada sesuatu yang melakukan ingatan tersebut. pengaturan pengalaman menjadi mungkin karena ada akal dan pemahaman yang berlaku sebagai prinsip penataan. Terdapat kesatuan organik atau pribadi yang mengatasi (transcend) dan yang bertanggung jawab untuk adanya kontinuitas di antara pengalaman-pengalaman yang terpisah. Kesatuan itu adalah aku (self). Aku kadang-kadang dikatakan sebagai tempat bentuk pengetahuan. Kadang-kadang, aku dan akal dianggap sebagai satu. Walaupun begitu, bersama Kant, kita harus tidak lupa bahwa aku adalah suatu subyek moral dan subyek yang mengetahui.



3.       Akal adalah Kumpulan dari Pengalaman menurut David Hume
Pada abad ke-18, David Hume merupakan kritikus yang tajam terhadap pandangan tradisional tentang akal sebagai substansi yang terpisah. Sebelum zamannya Kant, Hume sudah menyerang dualisme Plato dan Descartes. Tetapi Hume tidak berpendapat bahwa terdapat kesatuan pribadi atau aku. Hume membawakan empirisme kepada akibat-akibat logikanya dan menyerang ide tentang substansi dan rasionalisme pada zamannya. Semua pengetahuan datang melalui pengalaman dan satu-satunya isi dari akal manusia adalah kesan-kesan dan ide-ide. Kesan adalah pengalaman yang sederhana dan elementer. Kesan-kesan itu jelas dan terang. Ide hanya merupakan copy-copy kesan. Jika kita melakukan introspeksi, kita hanya menemukan pengalaman yang lewat dan ide-ide yang selalu berubah. Tak ada bukti tentang substansi atau aku yang permanen.
Apakah akal itu menurut Hume? Bagi Hume, akal dan kekuatan atau daya-dayanya serta sifat-sifat kehidupan mental tidak lain adalah asosiasi ide-ide dan pengalaman. Akal (mind) adalah istilah untuk sejumlah pengalaman, ide dan keinginan yang menempati perhatian dan kehidupan seseorang. Ia merupakan suatu kemasan pengalaman atau kumpulan rasa indrawi. Sikap umum Hume adalah skeptikisme; ia adalah seorang empirisis yang sepenuhnya. Ia segan menerima apa saja selain pengalaman sehari-hari. Para penyanggah Hume menunjukkan bahwa ia selalu memakai istilah “I” dan “myself” yang mengandung ari suatu pusat kesatuan pribadi yang selalu ada. Walaupun aku sukar untuk menjadi subyek dan obyek pada waktu yang sama, para penyanggah berpendirian bahwa melakukan pengingkaran berarti menegaskan adanya aku yang terus-menerus. Para pengikut Hume, sebaliknya, mengatakan bahwa dalam pernyataan seperti “Aku mengingkari adanya aku, subyek dan predikat mempunyai arti yang berbeda”. Hume mengatakan bahwa “kumpulan pengalaman” yang ia namakan I atau me, mengingkari adanya substansi yang immaterial atau suatu pusat identitas pribadi yang permanen. Dengan begitu maka Hume memungkiri konsep-konsep tradisional tentang “Aku”.


4.       Akal sebagai Bentuk Tingkah Laku: Psikologikal Behaviorisme
Bagi sekelompok psikolog, akal adalah suatu bentuk tingkah laku. Bagi mereka, beberapa macam tertentu tentang tingkah laku, mendorong kita untuk mempercayai adanya akal; mereka bertanya “Mengapa kita tidak hanya mempelajari tingkah laku saja dan tidak usah merepotkan diri dengan kesatuan-kesatuan yang abstrak dan tak dapat diamati seperti akal?” Bahkan ada psikolog yang mengingkari bahwa istilah seperti: “mind” dan “consciousness” mempunyai isi atau nilai; mereka lebih suka membicarakan tentang kejadian-kejadian mental atau aktivitas neuromuscular (otot dan syaraf) dari sesuatu organisme.
Dalam suatu diskusi yang menarik tentang “Behaviorism at Fifty (Perilaku manusia pada usia 50 tahun), B. F. Skinner menyajikan apa yang ia namakan: pernyataan ulangan tentang radical behaviorism. Sebagian dari pernyataan ulangan tersebut mengandung sejarah bagaimana aliran behaviorisme itu timbul sebagai suatu reaksi terhadap para psikolog yang menyelidiki akal. Ada juga orang-orang yang karena pertimbangan-pertimbangan praktis, lebih suka membicarakan perilaku daripada aktivitas mental yang bersifat kurang dapat dilayani walaupun mereka mengakui adanya. Penyelidikan mereka adalah rintisan dari behaviorisme. Menurut Skinner, yang mula-mula menjauhkan diri dari akal sebagai penafsiran perilaku adalah Darwin dan kesibukannya dengan kontinuitas jenis. Untuk menunjang teori evolusi, adalah penting bagi Darwin untuk menunjukkan bahwa manusia secara esensial tidak berbeda dari binatang yang lebih rendah, dan bahwa setiap sifat manusia, termasuk di dalamnya kesadaran dan kekuatan berpikir, dapat ditemukan dalam jenis-jenis lain. Langkah berikutnya tak dapat dihindari yaitu jika bukti-bukti kesadaran dan berpikir dapat dijelaskan dalam binatang-binatang lain.
Mengapa tak dapat dijelaskan dalam manusia? Dan jika keadaannya memang begitu, apakah yang akan terjadi pada prikologi sebagai sains kehidupan mental? Jawabnya: psikologi tersebut tak ada lagi. “Behaviorisme bukannya penyelidikan ilmiah tentang perilaku akan tetapi adalah filsafat ilmu yang mempelajari subyek dan metoda psikologi. Jika psikologi sebagai sains dari kehidupan mental, dari akal, dari pengalaman yang sadar, ia harus mengembangkan dan mempertahankan suatu metodologi yang khusus yang sampai sekarang belum dimiliki secara memuaskan. Tetapi jika behaviorisme itu merupakan sains dari perilaku organisme, baik mengenai manusia atau lainnya, maka ia menjadi bagian dari biologi, suatu sains tentang alam yang banyak diselidiki oleh metoda-metoda yang sudah dicoba dan sangat berhasil. Itulah kedudukan psikologikal behaviorisme.



































BAB III

KESIMPULAN

Dari sedikit pembahasan di atas telah di uraikan berbagai teori teori akal menurut para tokoh filsafat dunia , bahwa teori akal di definisikan menjadi empat definisi yg berbeda tetapi juga semua berdasar. Menurut Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran Plato meresap pada pemikiran modern. Bagi Descartes terdapat dua substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya. Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk kepada aturan-aturannya.


 http://www.akhmadrowi.blogspot.com/




Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok