Headlines News :
.
Home » » Makalah Filsafat Islam

Makalah Filsafat Islam

Written By Unknown on Selasa, 17 September 2013 | 01.43



MAKALAH
FILSAFAT ISLAM
”dasar logika dan pemikiran psikolog islam”
 


























DI SUSUN OLEH :
AHMAD ZAENUDIN AL ISHLAH
UNIVERSITAS SULTAN FATTAH DEMAK
(UNISFAT)



                                                                                                                                                   



LOGIKA DAN PSIKOLOG DALAM ISLAM

I. PENDAHULUAN
 Pengaruh Filsafat Yunani klasik terhadap pemikiran Filsafat Islam generasi awal memanglah sudah diakui keabsahannya oleh banyak pemikir dan peneliti filsafat Islam. Akan tetapi, seberapa pengaruh pemikiran tersebut terhadap Teologi Islam, masih banyak perdebatan mengenainya. Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya Filsafat Islam; Tinjauan Historis-Kritis, membagi perbedaan pandangan tentang  pengaruh ini dalam tiga pemikiran. Pada pandangan pertama, ada beberapa Islamis yang menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno, antara lain tampak pada pendapat Ernest Renan (1852) saat berbicara konteks Filsafat Islam dalam tulisannya mengenai Ibn Rusyd. Sementara pandangan kedua –diwakili pandangan revisionis- berpendapat bahwa filsafat Islam adalah murni hasil kegiatan intelektual umat Islam yang telah dipupuk –bahkan- sejak kurun pertama Islam, dan juga berasal dari kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Tokoh seperti M.M. Sharif (1966) adalah salah satu penggagas pandangan ini. Pandangan ketiga melihat filsafat Islam tidak lain muncul sebagai reaksi atas doktrin agama lain (Yahudi dan Kristiani) yang telah berkembang lebih dahulu pada waktu itu. Pandangan dan teknik argumentasi para Teolog tidak lain adalah adopsi beberapa pemikiran yang ada di tradisi filsafat Yunani. Pendapat yang terakhir ini lah digawangi salah satunya oleh Josef van Ess.
Dilatar belakangi oleh kejatuhan dunia Islam dalam cengkeraman penjajahan Eropah dan Barat dan selanjutnya berada di bawah pengaruh budaya sekular Eropah dan Barat sehingga banyak Ilmuwan Muslim yang tergila-gila terhadap segala aspek peradaban Eropah dan Barat termasuk teori-teori Psikologi. Akibatnya adalah keterputusan rantai antara ahli psikologi Muslim modern dengan warisan psikologi kelasik Islam. Ini dapat dilihat dari kenyataan – yang sangat patut disayangkan – bahwa para ahli psikologi Muslim yang mendalami psikologi dari Barat umumnya memulai kajian psikologi pada kaum pemikir Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung membahas pemikiran kejiwaan para pemikir Eropah abad pertengahan dan Masa Kebangkitan (Renaisance) Eropah Modern. Mereka benar-benar melupakan andil para ilmuwan Muslim yang di antaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi pendapat para pemikir Eropah abad pertengahan hingga awal masa renaisans Eropah Modern sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para sejarahwan psikologi dari Barat tersebut justru diikuti oleh para pakar psikologi Muslim kontemporer. Mereka yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah psikologi di banyak universitas sama sekali tidak melirik peranan para ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru datang dari para sejarahwan filsafat Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab sendiri maupun non Arab. Mereka menginformasikan kepada kita sejumlah ikhtisar yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan Muslim terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun ikhtisar tersebut tidak cukup menarik minat para psikolog Muslim kontemporer untuk mendalami pandangan kejiwaan yang dibangun oleh para pendahulunya.


















II. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN PSIKOLOGI DALAM ISLAM

Menapak-tilasi latar belakang kajian psikologi dalam Islam dilakukan pertama sekali dengan menelusuri ayat-ayat Alqur’an dan Hadits yang memotivasi manusia untuk mengkaji dirinya sendiri yang antara lain adalah:

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ ﴿٢١﴾
Artinya:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin 8 Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan? (QS. 51/Al-Dzariat: 20-21)

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41/Fuşilat: 53)

Termasuk dalam hal ini mengkaji sisi psikologis manusia.

إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً ﴿٢١﴾
Artinya:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir 8 Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah 8 dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. 70/Al-Ma’ârij: 19-21)٠

Demikian juga hadis-hadis Rasulullah saw. banyak bermuatan tentang kejiwaan manusia yang antara lain adalah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ وَأَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِىُّ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ».[1]

Artinya:
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.

Dengan demikian jelas bahwa sumber utama ajaran Islam yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia secara fisikal, psikologikal, spiritual, dan sosial turut berperan dalam memicu lahirnya kajian psikologi dalam Islam.
Kedua, dilatarbelakangi oleh kajian tentang akhlak dan tasawuf dan berbagai kajian yang berkaitan dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, membuat para ilmuwan Islam kelasik melakukan kajian mendalam tentang jiwa dengan fokus antara lain pada nafs, qalb, h, dan ‘aql. Kajian ini juga menyertakan para filusuf Muslim yang membahas h dan nafs dengan mengadopsi kajian roh dari filsafat Yunani. Selama lebih kurang tujuh abad psikologi dibahas dalam kajian filsafat dan tasawuf.[2]
Hasilnya adalah, pada masa keemasan Islam psikologi ditekuni dan dikembangkan oleh dua kalangan: filusuf dan sufi, yang melahirkan psikologi-falsafi dan psikolog-sufistik. Mereka telah melahirkan konsep tentang jiwa secara menyeluruh dengan melakukan kajian terhadap nas-nas naqliyah dan melakukannya dengan metode empiris (perenungan, observasi dan praktek) secara sistematis, spekulatif, universal, dan radikal.[3]


III. POKOK PERMASALAHAN
.Bagaimana Logika Dasar dari Teologi Islam?
.Teologi Islam; Logika Kaum Stoa atau Aristoteles?
.Refleksi
.pemikiran psikolog islam






















IV POKOK PEMBAHASAN
Logika Dasar dari Teologi Islam
Dalam tulisannya, van Ess membagi pembahasan ke dalam tiga tema bahasan yang juga sekaligus menjadi pembagi bab dari makalah ini. Bagian pertama ini dari tulisan tersebut, van Ess menelaah terminologi yang digunakan oleh Teolog Islam, seperti pengertian tentang “kalam” itu sendiri. Ada beberapa terminologi lain yang cukup penting dipahami, antara lain penyebutan kalam, sa’il-mas’ul sebagai subjek dari adab al-jadal, serta keberadaan wajhu-t-ta’alluq sebagai aspek penghubung, juga antara madlul dengan dalil dimana kebenaran itu dibangun. Menurut van Ess, istilah ‘kalām’ adalah terjemah dari ‘dialexis’, ‘diálektos’ dan ‘dialektika’ dalam bahasa Yunani kuno yang diartikan sebagai logika demonstratif tentang kebenaran dari sebuah keyakinan. Istilah ini, selanjutnyan dibedakan dari dengan struktur logika Aristotelian yang didasarkan pada silogisme (adanya premis mayor, premis minor, dan kesimpulan dan adanya middle term dari kedua premis) Teolog Islamsendiri sudah mengenal silogisme a la Aristoteles, tetapi memaknainya dengan terminologi qarina dan bukan sulujismus atau qiyas.
Beberapa di antara ahli Kalam tidak menggunakan terminologi mantiq untuk menyebut metode berfikirnya, melainkan adab al-kalam atau adab al-jadal yang dipahami sebagai seni berdialog, menggunakan metode dialektik, semacam jawab wa-su’al, dengan adanya mas’ul dan sa’il sebagai aktornya. Karakter logika seperti ini terwujud dalam tesis wa in qala qa’ilun …..qulna ….. atau wa la yuqalu inna … li-anna naqulu… Karakter dasar dari struktur logika ahli Kalam ini, kemudian memiliki beberapa konsekuensi dalam praktiknya, antara lain 1) cara penyampaian logika yang defensif. Van Ess menyebut demikian, karena masing-masing dari kedua aktor secara reaktif berusaha untuk menolak cara berfikir lawan bicaranya, sehingga bukan kebenaran asali yang ingin ditemukan, melainkan kebenaran yang muncul dari usaha merubuhkan rasionalisasi lawan bicara. Sebagaimana van Ess berkomentar;
“Many of the arguments were made for momentary success; they proved that one was right, but not always that one   had the complete truth. They were critical, but not constructive, valid, but not formally valid; Kalam means the triumph of the argumentum ad hominem
Selain itu, logika berfikir ini juga 2) bersifat apologetik  baik di dalam internal kaum muslim, ataupun ketika berhadapan dengan kaum Kristiani ataupun Yahudi. Dibalik sisi non-produktif tersebut, logika ini memiliki aspek positif, yakni fleksibilitas ahli Kalam terhadap pemikiran yang baru bagi mereka. Karenanya Pseudo-Qudama’ dalam tulisannya Kitab Naqd an-nathr membedakan antara jadal dengan bahth. Pada kasus yang pertama, dialektika, seseorang akan memunculkan argument menurut logika berfikir lawan debatnya, sedangkan pada kata yang terakhir, dengan logika burhani seseorang akan mencari kebenaran melalui bukti yang tepat.

Teologi Islam; Logika Kaum Stoa atau Aristoteles
Setelah melakukan studi atas kebenaran yang dibangun oleh logika berfikir dalam Kalam, pada bab kedua, van Ess berkesimpulan bahwa metode berfikir Kalam secara umum  dapat dikategorikan memiliki basis dari logika menurut Kaum Stoa (Stoic), walaupun  pernyataan itu bukanlah sebuah generalisasi. Baginya, pengaruh dari Plato, juga logika Aristotelian (syllogism) juga masih terlihat dalam pemikiran kaum Mutakallimun. Tetapi, yang terpenting dicatat oleh van Ess adalah adopsi ahli kalam terhadap logika ma’ani atau ma’na yang digunakan untuk menjelaskan tentang Tuhan, agaknya lebih dekat pada logika disjungtif dan hipotetik dari aliran Stoa. 
Dalam hal ini, van Ess sedang berbicara tetnang pentingnya proses istidlal di dalam qiyas, dimana sebuah opini dibangun melalui bukti tersebut. Disituterdapat beberapa terminologi kunci, misalnya proses tersebut harus melibatkan adanya dalil (bukti) dan madlul alaihi (sesuatu yang dianalogikan) serta pentingnya ta’alluq di antara keduanya. Selain ketiga aspek tersebut, terdapat mekanisme penilaian, yakni wajhu at-ta’alluq (yang dilakukan sebagai proses memenuhi konsistensi dari sebuah logika).
Keterhubungan antara dalil dan madlul melalui Ta’alluq memiliki pengertian bahwa penanda selayaknya memiliki keterhubungan/paralelitas dengan esensi dari benda yang ditandai. Misalnya, seorang anak yang melihat punggung ibunya dapat saja menyimpulkan bahwa disitulah sang ibu berada (memahami seluruh badan ibu di tempat tersebut). Tetapi pada kasus lain si anak mendengar sebuah suara (barangkali mirip dengan suara ibu), kemudian merasa dapat menyimpulkan pula bahwa itulah ibunya (yang juga bagian dari esensi ibu). Pada kasus yang kedua, ta’alluq tidak terjadi. Padahal, secara ghalibnya, ta’alluq harus memiliki karaktker lebih spesifik, dan inilah yang disebut sebagai wajh at-ta’alluq (bentuk paralelitas). Contoh nyata dari logika ini adalah sebuah ayat dari Al-Qur’an yang dipahami sebagai alasan –pasti- diturunkannya sebuah perintah kepada umatnya, sebenarnya yang terjadi adalah “proses menghubungkan” bahwa Allah adalah Maha bijaksana, yang Maha Mengetahui segala kebaikan bagi umat-Nya dan menjauhkan umat dari keburukan bagi mereka. Dari logika berfikir ini, van Ess memperlihatkan, bagaimana proses pembuktian yang dilakukan dalam logika Teolog Islam, tidak semata-mata menekankan pada bahasan tentang terminology yang saling berbeda atau sama, lebih jauh, ini adalah persoalan penilaian dan keputusan.
Refleksi
Van Ess telah membuktikan bahwa nyatanya, qiyas tidaklah sesederhana pembuktian satu pernyataan yang masih hipotetik atau masih diragukan keabsahannya melalui analogi. Praktik istidlal untuk membuktikan keberadaan Allah, juga meragukan pendapat Teolog bahwa qiyas adalah berbeda dari silogisme. Qiyas, dengan demikian –di dalam nalar Teolog Islam- adalah terminologi yang umum bagi seluruh aktivitas penalaran untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Atau, qiyas juga bermakna seluruh usaha spekulatif (rasional) yang menjadi penghubung bagi pengetahuan baru. Dan, generalisasi ini memiliki kekhasan tersendiri bila kita menghubungkan struktur logika ini kepada aliran Shiah yang dalam tataran Teologi nya lebih banyak menghindarkan diri dari qiyas, dan lebih menyandarkan putusan tentang teologi kepada Imam. Uniknya, Shiah bukannya menghindar –sama sekali- dari Qiyas. Pemikiran individu (di dalam qiyas) tidaklah memiliki nilai yang pasti dan final.
Diskursus Paradigma Psikologi Dalam Perspektif Islam
Menurut Freidrichs Robert paradigma adalah “suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya.”[4]  Dengan demikian paradigma psikologi secara umum adalah prilaku manusia dan faktor-faktor yang memicu prilaku tersebut. Di dalam Islam, manusia diciptakan dengan fungsi yang tidak hanya terbatas untuk menata kehidupan manusia, ia juga memiliki fungsi sebagai hamba Allah dan juga khalifah Allah. Sebagaimana terdapat dalam Firman Allah berikut ini:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51/al-Dzariyat: 56)

Sebagai hamba manusia harus menjalin hubungan dengan Allah dan menujukan semua aktifitas jasmani dan rohaninya hanya pada Allah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. 2/al-Baqarah: 30)

Sebagai khalifah di bumi manusia harus menata kehidupannya dengan sesama manusia dan semua makhluk Allah yang lain termasuk alam raya.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَآؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ
Artinya:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. 3/Ali Imran: 112)

Kedua fungsi di atas harus dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah yang telah Ia tetapkan dalam alam dunia ini. Oleh sebab itu mengkaji hukum-hukum Allah tersebut merupakan kemutlakan jika manusia ingin berhasil menata kehidupannya dan kehidupan alam semesta.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

 Tokoh, Teori Dan Karyanya

Dalam bidang psikologi pengobatan, ilmuwan-ilmuwan Islam kelasik menekankan keharusan bagi individu untuk memahami kesehatan mental mereka. Rumah sakit yang menangani pasien-pasien dengan keluhan psikhiatri pertama kali dibangun oleh kalangan Muslim di Baghdad pada tahun 705 M, di Fes di awal abad ke 8, di Kairo pada tahun 800 M, di Damaskus dan Aleppo pada tahun 1270 M.[5] Para ilmuwan psikologi pada masa kelasik dan pertengahan Islam mendasarkan teori mereka pada psikhiatri klinis dan observasi klinis. Mereka telah membuat kemajuan yang berarti dalam psikhiatri dan merupakan kalangan yang pertama mengaplikasikan psikhoterapi dan penyembuhan moral bagi pasien yang menderita penyakit mental disamping bentuk terapi lainnya seperti mendi, penggunaan obat-obatan, terapi musik.[6]
Konsep kesehatan mental dan kesegaran mental dikenalkan oleh seorang dokter, Ahmad ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M) dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa al-Anfus [7] (Keseimbangan Raga dan Jiwa) – yang manuskripnya disimpan di Ayasofya Library, Istanbul dengan nomor 3741 – dengan sukses menjabarkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan jiwa dan raga (psikhosomatis) yang ia istilahkan dengan Tibb al-Qalb dan al-Tibb al-Ruhani untuk menjabarkan penyakit-penyakit kejiwaan dan penyakit-penyakit yang berhubungan kehidupan spiritual. Ia mengkritik para dokter di masanya yang hanya memfokuskan pada penyakit-penyakit fisik dan menafikan kontribusi psikologis pada penyakit-penyakit fisik. Ia mendasarkan teorinya pada Alqur’an dan Hadis yang banyak menyatakan akan kesehatan jiwa dan penyakit-penyakit jiwa. Ia menyatakan bahwa karena manusia terdiri dari jiwa dan raga maka keduanya akan saling mempengaruhi yang dengan demikian manusia tidak akan mencapai kesehatan sempurna jika tidak tercapai keseimbangan jiwa dan raga (istilah yang digunakannnya untuk ini adalah isytibak) tidak tercapai. Jika raga sakit maka jiwa akan kehilangan banyak energi kognitif dan kemampuan berpikir komprehensifnya yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan untuk menikmati kebahagiaan yang diinginkannya di dalam hidupnya. Demikian juga raga tidak akan mampu menikmati kebahagiaan jika jiwa sedang sakit yang kemudian akan mengakibatnya penyakit fisik. Dengan pendapat-pendapatnya tersebut al-Bakhi kemudian dikenal sebagai pencetus psikologi kognitif dan psikologi pengobatan. Ia yang pertama membedakan neurosis dengan psikhosis. Ia mengklasifikasikan neurosis dalam empat kategori penyimpangan emosional: takut, marah dan agresi, depresi dan kesedihan, obsesi.
            Berikut ini adalah penjabaran umum teori psikologi yang dikemukakan oleh dua ahli psikologi masa kelasik Islam, yakni Ibnu Sina dan al-Ghazali.
Ibnu Sina[8] mendefenisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal[9] yang dengannya spesies menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Ia membagi jiwa manusia dalam tiga bagian, yaitu jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa rasional.
1)      Jiwa nabati.
Jiwa ini mengandung tiga daya, yaitu:
a.       Daya nutrisi  yang berfungsi untuk mengolah makanan menjadi bentuk tubuh.
b.      Daya pertumbuhan  yang berfungsi untuk pengolahan makanan yang telah diserap tubuh agar mencapai kesempurnaan pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
c.       Daya generatif yang merupakan daya untuk pengolahan secara harmonis unsur-unsur makanan yang ada dalam tubuh sehingga menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang sempurna.
2)      Jiwa hewani.
Jiwa ini terdiri dari dua daya: daya penggerak dan daya persepsi.
a.       Daya pengerak yang terbagi atas daya hasrat dan daya motorik.
Daya hasrat yaitu daya yang berfungsi untuk mendorong perealisasian berbagai bentuk khayalan tentang hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan. Daya ini terdiri dari dua bagian:
-          Syahwat, merupakan dorongan untuk mencapai sesuatu yang menimbulkan kenikmatan.
-          Emosi, yang merupakan dorongan untuk melawan sesuatu yang membahayakan, merusak dan menggagalkan pencapaian tujuan, atau dengan kata lain dorongan untuk mencapai kemenangan. Dalam hal emosi Ibnu Sina menyatakan bahwa situasi emosional mempengaruhi kondisi jiwa yang kemudian akan mempengaruhi kondisi fisik, baik secara spontan maupun bertahap. Sedangkan tentang urutan pengaruh emosi dan perubahan fisik itu ia menyatakan terdapat dua kemungkinan: fisik berubah lalu melahirkan perubahan emosi atau emosi merubah kondisi fisik.
Daya motorik berfungsi melaksanakan hasrat yang muncul dalam bentuk motorik untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
b.      Daya persepsi yang terdiri dari dua bagian, yakni
-          Indera internal yang terdiri dari:
·         Indera kolektif, yang merupakan akumulasi semua hasil penginderaan eksternal yang menghasilkan pemrosesan secara global.
·         Konsepsi, yang berfungsi untuk menyimpan gambaran hasil indera kolektif dan mempertahankannya walaupun stimulus inderawinya sudah tidak ada.
·         Fantasi, berfungsi untuk mengolah data daya konsepsi, mengklasifikasikannya dan men-diferensiasikannya. Daya fantasi berperan penting dalam mengingat dengan mengolah data parsial menjadi gambaran untuk dikirim ke daya waham. Daya fantasi juga berperan peting dalam berfikir dengan mengolah data parsial menjadi gambaran untuk dikirim ke akal. Tidak kalah pentingnya, daya fantasi juga berperan penting dalam mimpi dengan melakukan peniruan berbagai prilaku untuk memuaskan berbagai dorongan dan hasrat, khusunya yang tidak terrealisir.
·         Waham, berfungsi untuk mempersepsikan berbagai makna parsial non inderawi yang ada pada stimulus inderawi. Dalam hal ini, waham melihat makna parsial dari berbagai bentuk. Misalnya, pemulung melihat puntung rokok sebagai sumber uang. Waham juga merupakan wahana terbentuknya ilham.
·         Memori, berfungsi untuk menyimpan semua data yang dihasilkan dalam waham. Dengan demikian, proses mengingat merupakan hasil kerjasama antara daya waham dan fantasi.
-          Indera eksternal yang terdiri dari:
·         Indera penglihatan.
·         Indera pendengaran
·         Indera penciuman
·         Indera perabaan
·         Indera pengecapan

3)      Jiwa rasional
Jiwa rasional merpakan daya khusus yang dimiliki manusia yang fungsinya berhubungan dengan akal. Dari satu sisi jiwa rasional melaksanakan berbagai prilaku berdasarkan hasil kerja pikiran dan kesimpulan ide. Dari sisi lain ia mempersepsi semua persoalan secara universal. Jiwa rasional terdiri dari dua bagian: akal teoritis dan akal praksis.
a.       Akal teoritis, yang berfungsi untuk mempersepsi gambaran-gambaran universal yang bebas dari materi.
Akal teoritis terdiri dari lima tingkatan:
-          Akal potensial (materi), memiliki potensi untuk menangkap hal-hal yang rasional.
-          Akal bakat, berfungsi dalam pembenaran premis-premis tanpa melakukan usaha dalam pembenaran itu.
-          Akal aktual, berfungsi untuk mempersepsi hal-hal rasional, dan ini terjadi kapan saja.
-          Akal mustafâd,  berfungsi untuk mengolah data akal aktual untuk dimanfaatkan.
-          Akal kudus, yang berfungsi untuk memproses hal-hal yang  ada dalam akal aktual secara otomatis (tanpa usaha manusia itu sendiri). Tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi yang umumnya hanya dimiliki oleh para nabi.
b.      Akal praksis, yang berfungsi untuk memproses semua data dari akal teoritis untuk memutuskan pengambilan tindakan.

Al-Ghazaly[10] sangat mementingkan ilmu jiwa dan memandangnya sebagai jalan untuk mengenal Allah. Teori-teori al-Ghazaly tentang jiwa senada dengan teori Ibnu Sina dan al-Farabi. Ia membagi ilmu jiwa menjadi dua bagian. Pertama, ilmu jiwa yang mengkaji tentang daya hewan, daya jiwa manusia, daya penggerak, dan daya jiwa sensorik. Kedua, ilmu jiwa yang mengkaji tentang pengolahan jiwa, terapi dan perbaikan akhlak.
Berdasarkan kekuatan emosi dan syahwat yang menguasai manusia Al-Ghazaly membagi sifat manusia menjadi empat. Keempat sifat ini merupakan potensi yang dimiliki manusia secara alami (instink) dan dapat dikembangkan dan dikendalikan melalui proses belajar.
·         Sifat hewan buas (as-sab’iyyah) akan muncul dari diri manusia yang dikuasai emosi, dan perwujudannya berupa prilaku permusuhan, kebencian, penyerangan terhadap manusia lain baik melalui perkataan maupun perbuatan.
·         Sifat hewan liar (al-bahîmiyah) akan menjelma jika manusia dikuasai syahwat dengan perwujudannya adalah tingkah laku kejahatan, ketamakan dan seksual.
·         Sifat setan (asy-syaithâniyah) muncul dari perpaduan kekuasaan syahwat dan emosi serta kemampuan membedakan. Wujudnya berupa prilaku kejahatan dan memperlihatkan kejahatan dalam bentuk kebaikan.
·         Sifat ketuhanan (ar-rabbâniyah), yang bila menguasai manusia akan melahirkan pribadi yang bertindak seperti Tuhan, seperti: sangat cinta kekuasaan, kebesaran, kekhususan, kediktatoran, lepas dari peribadatan, sombong, mengakui dirinya berilmu sangat luas.
Tentang daya fantasi al-Ghazaly menyatakan bahwa manusia berbeda dalam kadar dan kesiapannya. Kualitas daya fantasi ini akan mempengaruhi hubungannya dengan Akal Aktif. Sebagian orang memiliki daya fantasi sangat kuat, sehingga proses pengolahan data ke jiwa rasional tidak bergantung pada input dari daya indera.
Dalam upaya perolehan pengetahuan manusia menempuh dua cara. Pertama, melalui proses belajar yang bersifat manusiawi dengan menggunakan indera dan akal. Hasilnya adalah perolehan ilmu dan keahlian inderawi. Pengetahuan jenis ini adalah pengetahuan yang terbatas dan tidak memiliki keterkaitan dengan alam ghaib, apalagi dengan Allah. Kedua, melalui belajar secara rabbâni atau belajar ladunnî yang hasilnya adalah pengungkapan pengetahuan hati secara langsung melalui ilham dan wahyu. Jenis pengetahuan rabbâni ini merupakan tingkat tertinggi pengetahuan. Untuk memperoleh pengetahuan jenis ini diperlukan ibadah, kejuhudan, pendekatan diri kepada Allah (mujâhadah), pengolahan batin (riyâdah an-nafs) menuju akhlak mulia. Orang yang telah berhasil menguasai pengetahuan secara rabbâni akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pengetahuan sejati.
Demikian juga Najab al-Dîn Muhammad (abad 10) memaparkan berbagai penyakit mental secara rinci berdasarkan pengamatan yang teliti terhadap pasien-pasien yang mengidap penyakit mental. Hasil pengamatannya ini kemudian dikompilasikannya dengan mengklasifikasikan berbagai penyakit mental sehingga kompilasinya tersebut merupakan pengklasifikasian terlengkap hingga saat itu dan digunakan hingga saat ini.[11] Tokoh lainnya adalah Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes), seorang bangsa Persia dan penganut agama Zoroaster dengan karyanya al-Mansuri dan al-Hawi yang diterbitkan pada aban ke 10 dan memuat antara lain defenisi penyakit jiwa, simpomnya, dan penyembuhannya. Ia juga mengepalai rumah sakit jiwa di Baghdad sesuatu yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa Eropah.[12] Di bagian lain kawasan Islam, yakni di Andalusia dikenal Abu al-Qasim (Abulcasis) yang dikenal sebagai bapak ilmu bedah, juga Ibn Zuhr (Avenzoar) yang pertama kali memberikan deskripsi yang akurat tentang penyimpangan neorologis.[13]
Ibn al-Haytham dikenal sebagai penemu psikologi eksperimental dan pskhofisik dalam kitabnya Kitab al-‘Ain.[14] Demikian juga al-Kindi yang dikenal sebagai perintis psikologi eksperimental yang secara empiris memperkenalkan waktu reaksi antara organ-organ sensoris, stimulasi organ dan kesadaran persepsi dalam pengobatan.[15] Ibn Sina dikenal sebagai perintis psykhofisiologi dan pengobatan psikhosomatis yang memperkenalkan antara lain halusinasi, insomnia, mania, mimpi buruk, melankolis, epilepsi, paralisis, stroke, vertigo dan tremor.[16]
            Pada masa kontemporer dalam bidang teoritis beberapa pakar Psikologi maupun pencinta Psikologi Islam telah melahirkan karya-karya dalam bidang ini, yang antara lain:
1)      Adnan Syarif. Menurut Adnan Syarif banyak di kalangan masyarakat dan bahkan di kalangan pemerhati Psikologi masih mencampuradukkan antara jasad, nafs dan ruh, serta lebih khusus lagi antara jiwa dengan ruh. Ia berpendapat bahwa nafs adalah darah yang merupakan sumber segala gejala yang dimunculkan oleh anggota tubuh dan jiwa.[17] Ruh merupakan substansi yang menjadi pengerak pertama bagi segala kehidupan. Ruh berpusat di dalam dada dan hati yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui darah. Qalb yang ditempati ruh dan mengandung berbagai rahasia Ilahi berfungsi sebagai stasiun transmisi, sedangkan otak berfungsi sebagai layar penerima yang kemudian meneruskannya ke seluruh tubuh. Itulah sebabnya jika qalb rusak maka entitas lain juga akan mengalami kerusakan. Pemeliharaan qalb merupakan keharusan, sebab jika qalb terpelihara akan menghasilkan ruh yang bersih, jiwa yang tenang, emosi dan semua yang direfleksikannya akan menjadi lurus, suci, dan terhindar dari berbagai penyakit. Siklus ini harus disadari oleh setiap ahli Psikologi, sebab tanpa penetahuan akan siklus ini maka terapi psikologis tidak akan berhasil secara sempurna. Salah satu karyanya adalah Min ‘Ilm an-Nafs al-Qurânî yang diterbitkan di Beirut oleh Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn pada tahun 1987.
2)      Mohammad Shafii. Muhammad Shafii adalah seorang profesor psikhiater dan psikhiater anak di Universitas Louisville School of Medicine. Ia mendapatka gelar M.D dari Universitas Tehran Medical School, kemudian menerima pelatihan tingkat lanjut dalam bidang psikhiater dan psikhiater anak di Neuropsychiatric Institute dan Children’s Psychiatric Hospital di Universitas Michigan Medical Center. Selama lebih dari empat puluh tahun ia mendalami dan meneliti dan mengkaji studi komparasi psikhoterapi dan perkembangan manusia dari perspektif Barat dan Timur. Karya-karyanya terfokus dalam bidang psikhoanalisa, psikhodinamis, dan signifikansi psikhoterapi dengan tehnik meditasi termasuk sufisme. Salah satu karyanya adalah , Freedom from the Self: Sufism, Meditation and Psychotherapy, yang diterbitkan di New York oleh Human Science Press pada tahun 1988.
3)      Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali, 2001.
4)      Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa, 1996.
5)      Fuad Nashori (ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta: Sipress, 1994.
6)      Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
7)      M. Thoyini dan M. Ngemron (ed)., Psikologi Islam, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1996.
8)      Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psichologists, terj. Siti Zainab Luxfiati, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
9)      M. Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazaly, Jakarta: Rajawali, 1988.
10)  Rendra K. (ed), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
11)  Sukanto dan A. Dardiri Hasyim, Nafsiologi, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
12)  Sukanto dan A. Dardiri Hasyim, Nafsiologi, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
13)  Yahya Jaya, SpritualisasiIslam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental, Jakarta: Ruhama, 1994.
14)  Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.


IV. IMPLIKASI BAGI DUNIA ISLAM

            Kesuksesan ilmuwan-ilmuwan Muslim kelasik dan abad pertengahan memadukan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam dalam berbagai bidang, termasuk psikologi, tidak mampu diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer. Entah apa sebabnya, tiba-tiba ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer terputus dari khazanah keilmuwan kelasik dan lebih parah lagi tercabut dari akar keislamannya.
            Praktek-praktek terapi dan pembangunan mental dan psikologi yang mengakar pada kultur Islam dalam dunia Islam kontemporer lebih banyak diambil alih oleh tasawuf. Sehingga praktek tasawuf kemudian berkembang bahkan sampai pada belahan dunia yang maju dan non Islam seperti Amerika. Fenomena ini kemudian melahirkan kajian-kajian psikologis dalam dunia tasawuf. Salah satu tokoh yang sangat mengemuka dalam hal ini adalah Inayat Khan dengan salah satu karyanya Spiritual Dimension of Psychology.
Kondisi ini kemudian disadari pada beberapa dekade belakangan ini sehingga menimbulkan geraka islamisasi sains dan tehnologi. Dalam bidang psikologi tentu saja islamisasi ini tidak terelakkan, sebab konsep psikologi yang saat ini ada gagal membicarakan manusia secara totalitas. Kegagalan ini berupa pengkajian terfokus pada manifestasi gejala jiwa (tingkah laku) dan bukan jiwa itu sendiri, penafian unsur-unsur spiritual manusia, dan dibangun atas dasar penafsiran fakta ilmiah sedangkan fakta ilmiah tidak selalu sesuai dengan teori dan selalu dipengaruhi bias kepribadian dan budaya pembangunnya. Para ahli psikologi Muslim dan para pencinta psikologi Islam akhirnya aktif memunculkan Psikologi Islam dalam dunia psikologi.
Untuk mewujudkan Psikologi Islam ini setidaknya ada empat tahap yang harus ditempuh: Pertama, melakukan reskonstruksi sistematis terhadap Psikologi agar dapat melahirkan konsep yang mengintegrasikan ketauhidan dengan seluruh aspek kehidupan manusia yakni: sejarah, pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, ummah, keluarga, tata politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika. Proses islamisasi Psikologi ini tentu saja sama dengan proses islamisasi sains dan tehnologi lainnya. Dalam hal ini Ismail Raji al-Faruqi menetapkan lima prinsip pokok dan lima sasaran rencana islamisasi.[18]
Kedua, mensosialisasikan hasil-hasil rekonstruksi Psikologi Islam kemudian dikembangkan, diperkaya, dilipat gandakan dan yang tidak kalah pentingnya juga harus ditingkatkan dengan memperluas fungsinya sampai kepada dimensi masyarakat secara global.
Ketiga, mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga keilmuan Islam dalam usaha pencapaian pengembangan Psikologi Islam. Termasuk didalamnya mengembangkan budaya ilmiah.[19]
Keempat, membentuk dan menyebarluaskan Psikologi Islam sebagai satu bentuk kebudayaan dan peradaban Islam. Ini merupakan titik akhir dari perjuangan umat Islam terhadap kebudayaan dan peradaban manusia. Tahap ini sangat penting, sebab kebudayaan dan peradaban yang sekarang ini terbangun dari gagasan-gagasan yang didasarkan pada asumsi, meredupkan aqidah. Ditambah lagi, penetrasi ideologi-ideologi yang berseberangan dengan Islam yang kemudian ke lahan-lahan intelektualitas Islam, khususnya yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan non Islam, membentuk keyakinan-keyakinan baru yang menyesatkan dan mengaburkan wawasan dan pandangan manusia tentang dirinya, alam semesta dan Allah. Dengan demikian, bangunan peradaban yang berdasarkan konsep Ilahiah perlu dikembangkan agar dapat mengembalikan manusia ke dalam bangunan intelektual keimanan yang hidup atas, dengan dan untuk Allah.[20] Kegagalan dalam usaha ini akan mengakibatkan kegagalan penyebaran Psikologi Islam dan berarti pula kegagalan menunaikan missi utama Rasulullah Muhammad saw. yang menjadi inti kehidupan manusia, yakni penyempurnaan akhlaq manusia.[21]

V. PENUTUP
Karakter dasar dari struktur logika ahli Kalam ini, kemudian memiliki beberapa konsekuensi dalam praktiknya, antara lain 1) cara penyampaian logika yang defensif. Van Ess menyebut demikian, karena masing-masing dari kedua aktor secara reaktif berusaha untuk menolak cara berfikir lawan bicaranya, sehingga bukan kebenaran asali yang ingin ditemukan, melainkan kebenaran yang muncul dari usaha merubuhkan rasionalisasi lawan bicara. Sebagaimana van Ess berkomentar;
“Many of the arguments were made for momentary success; they proved that one was right, but not always that one   had the complete truth. They were critical, but not constructive, valid, but not formally valid; Kalam means the triumph of the argumentum ad hominem
Selain itu, logika berfikir ini juga 2) bersifat apologetik  baik di dalam internal kaum muslim, ataupun ketika berhadapan dengan kaum Kristiani ataupun Yahudi. Dibalik sisi non-produktif tersebut, logika ini memiliki aspek positif, yakni fleksibilitas ahli Kalam terhadap pemikiran yang baru bagi mereka. Karenanya Pseudo-Qudama’ dalam tulisannya Kitab Naqd an-nathr membedakan antara jadal dengan bahth. Pada kasus yang pertama, dialektika, seseorang akan memunculkan argument menurut logika berfikir lawan debatnya, sedangkan pada kata yang terakhir, dengan logika burhani seseorang akan mencari kebenaran melalui bukti yang tepat.
Teori psikologi yang sudah mapan ternyata memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan itu meliputi dua hal yang mendasar, yaitu objek studinya dan pendekatan ilmiah yang digunakan. Dari sisi objek, manusia dan bagian-bagiannya hanya dimaknai secara material empiris.[22] Contohnya dalam berpikir psikologi non Islam hanya menitik beratkan pada fungsi otak dengan mengabaikan fungsi-fungsi non fisik seperti qalb dan ‘aql. Ini berarti bahwa psikologi non Islam telah melakukan reduksi dan simplifikasi keutuhan realitas eksistensi manusia. Dari sisi metode, psikologi non Islam menggunakan metode introspeksi dan metode ilmu-ilmu alam untuk mengkaji entitas jiwa sehingga lahirlah aliran strukturalis dan aliran behavioris serta psikoanalisis. Kalangan strukturalis mengkaji jiwa melalui introspeksi dan menganalisis kesadaran hingga ke unsur terkecilnya sedangkan kalangan behavioris lebih memfokuskan pada prilaku. Kalangan psikoanalisis menggunakan metode tersendiri yakni asosiasi bebas dalam terapi perilaku. Ketiga aliran ini secara ensensi menggunakan pendekatan yang sama, yakni metode ilmiah yang ketat sebagaimana yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Hasilnya adalah, psikologi menghadapi kesulitan dalam menjelaskan fakta-fakta yang berkaitan dengan keutuhan eksistensi manusia, terutama yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman spiritual.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut menghalangi para ahli psikologi untuk mengungkap realitas eksistensi manusia secara utuh. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan alternatif untuk keluar dari kungkungan keilmiahan konvensional dengan mengambil pendekatan yang lebih luas yang mampu mengungkapkan pengalaman-pengalaman fisikal, psikologikal, sosial dan spiritual manusia secara integral. Dan psikologi Islam tampaknya merupakan satu-satunya pilihan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan menelusuri karya-karya kelasik Islam jelas diketahui bahwa para ilmuwan Muslim terdahulu telah membangun dasar-dasar dan pengembangan Psikologi yang dengan itu tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya mereka memiliki andil yang sangat besar dalam mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, berbeda dengan bidang filsafat, kedokteran dan sains, peranan mereka dalam memajukan dan mengembangkan psikologi tersebut idak mendapatkan perhatian yang layak dari para pakar sejarah psikologi modern, khususnya dari kalangan Muslim, sepanjang sejarah.
Menyadari keunggulan perkembangan pemikiran dan praktek psikologis pada masa Islam kelasik dan pertengahan yang menyatu dalam filsafat, tasawuf dan akhlaq, maka merupakan hal urgen bagi umat Islam, khususnya tokoh-tokoh dan pecinta psikologi untuk kembali membangun teori dan aplikasi psikologi Islam yang mandiri. Pada saat ini dari sisi praksis, therapy psikologis holistik islami telah dilakukan oleh berbagai kalangan, misalnya therapy psikologis melalui ibadah (antara lain dengan zikir). Maka optimisme muncul untuk dapat membaku praktek-praktek tersebut dalam bangunan keilmuwan psikologi yang mandiri.
Perkembagan pemikiran psikologi dalam dunia Islam kontemporer dilatar belakangi oleh gerakan islamisasi sains dan teknologi. Gelombang ini melanda seluruh wilayah Muslim termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, beberapa dekade terakhir ini di kalangan psikolog Muslim Indonesia muncul diskursus tentang psikologi Islam. Kemunculan diskursus psikologi Islam ini dapat dipandang dari dua sisi. Di satu sisi, ini merupakan indikasi pengaruh gelombang dan semangat Islamisasi sains dan teknologi yang telah mulai merebak sejak tahun 1980-an. Di sisi lain, ini merupakan refleksi dari kesadaran sebagian psikolog Muslim Indonesia yang mulai memahami keterbatasan-keterbatasan psikologi dalam menjelaskan realitas eksistensi manusia secara paripurna. Antusiasme terhadap kemunculan Psikologi Islam mendorong terselenggaranya berbagai simposium, seminar, dan penerbitan buku tentang psikologi Islam. Namun gerakan-gerakan ini masih bersifat periferial, walaupun perlu diakui bahwa diskursus-diskursus ini telah mengarah kepada persoalan-persoalan mendasar, atau dengan kata lain, sebagian psikolog Muslim Indonesia mulai menyadari secara sungguh-sungguh keterbatasan teori-teori psikologi yang sudah mapan dalam mengungkapkan eksistensi manusia sesungguhnya. Dengan demikian perlu melakukan kajian alternatif dalam membahas tentang manusia.
Untuk mewujudkan hal ini tentu saja bukanlah hal yang mustahil walaupun bukan berarti tanpa kendala. Beberapa faktor penghambatnya yang paling utama adalah sikap psikolog Muslim yang tidak seragam, yakni : apatis, fanatis, sekularis, antagonis dan idealis.[23] Faktor penghambat lainnya adalah keterpesonaan sebagian psikolog Muslim dengan teori-teori yang telah mapan dan berkembang yang tidak berasal dari Islam.
Selain hambatan di atas, ada sejumlah problem yang dihadapi dalam pengembangan Psikologi Islam, antara lain:
1)      Belum ada teori Psikologi Islam yang mapan, atau setidak-tidaknya belum tergali konsep-konsep mendetail yang dapat dijadikan landasan teoritis untuk menjelaskan berbagai fenomena kemanusiaan secara islami.
2)      Para ilmuwan Islam, khususnya yang mendalami bidang Psikologi, kurang atau tidak menguasai bahasa arab dan bahasa-bahasa dunia Islam yang berkaitan dengan karya-karya kelasik Islam.
3)      Para ilmuwan Islam kurang atau tidak memiliki akses sama sekali dalam merujuk karya-karya Islam kelasik.
4)      Kekurangan atau ketiadaan penelitian Psikologi Islam yang mandiri.
5)      Kelangkaan jaringan dan wadah bagi psikolog Muslim.
Segala hambatan dan tantangan dalam pembangunan kembali dan pengembangan Psikologi Islam memerlukan kesatuan dan kebersamaan semua lapisan umat Islam untuk saling bahu-membahu dalam mewujudkan psikologi Islam. Kemudian umat Islam harus memperlakukan semua kesulitan dalam mewujudkan dan mengembangkan Psikologi Islam bukan sebagai hambatan melainkan sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan.




L I T E R A T U R
Van Ess, Josef, The Logical Structure of Islamic Theology dalam Issa J Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic Studies McGill University, 1970),
Adamson, Peter, 2005, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,  (USA: Cambridge University Press)
sophiasciencia.wordpress.com/2012/06/01/contoh-review-buku-tugas-akhir-filsafat-ilmu-prodi-psikologi-uin-suka-2012
Ahmed ibn Sahl al-Balkhihttp://en.wikipedia.org/wiki/Ahmed_ibn_Sahl_al-Balkhi.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
Medicine in medieval Islam” http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_medicine.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
al-Balkhi, Ahmad ibn Sahl, Masalih al-Abdan wa al-Anfus, Kuwait: Dar al-Da`wah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990.
al-Faaruqi, Isma’il Raji, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988.
an-Nisâbûrî, Abu al-Husain Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî, Şahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Jîl, tt.
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Deuraseh, Nurdeen, “Physical Medicine and Spiritual Medicine in Islam: An Interweaving” dalam The Yale Journal for Humanities in Medicine di http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/essays/ndeuraseh3.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Kartanegara, Mulyadhi, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlanga, 2007.
Khaleefa, Omar. "Who Is the Founder of Psychophysics and Experimental Psychology?" dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Summer 1999, 16 (2).
Martin-Araguz, A.; Bustamante-Martinez, C.; Fernandez-Armayor, Ajo V.; Moreno-Martinez, J. M.. "Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic medicine", dalam Revista de neurología, 2002, 34 (9).
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Mudhafir, Ali, Kamus Istilah Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1992.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali, 2001.
Nadvi, Syed Habibul Haq, The Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat, Bandung: Risalah, 1982.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Syed, Ibrahim B., “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002, (2), h. 2-9.
Thoyibi, M. dan M. Ngemron ed., Psikologi Islam, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1996.
Youssef, Hanafy A. dan Fatma A. Youssef, "Evidence for the existence of schizophrenia in medieval Islamic society", dalam History of Psychiatry, 1996, 7 (25).


[1] Abu al-Husain Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî an-Nisâbûrî, Şahîh Muslim, Jilid 8, باب التَّعَوُّذِ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَغَيْرِهِ , nomor 7048, (Beirut: Dâr al-Jîl, tt.), h. 75
[2] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 261.
[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali, 2001), h. xiv.
[4] Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1992), h. 114 dikutip oleh Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 341.
[5] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9, h. 7-8.
[6] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9, h. 7.
[7] Ahmad ibn Sahl al-Balkhi, Masalih al-Abdan wa al-Anfus, (Kuwait: Dar al-Da`wah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990).
[8] Nama lengkapnya adalah Abu ‘Alî bin ‘Abdullah bin Hasan bin ‘Alî bin Sina ( 80 – 1037 M). Bagian ini dirangkum dari Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
[9] Kesempurnaan awal maksudnya tubuh merupakan prasyarat dan mediasi bagi jiwa yang berfungsi untuk mengaktualisasikan berbagai prilaku atau fungsi psikologis.
[10] Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly (1058 – 1111 M). Bagian ini dirangkum dari Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
[11] Hanafy A. Youssef and Fatma A. Youssef (1996), "Evidence for the existence of schizophrenia in medieval Islamic society", dalam History of Psychiatry 7 (25): h. 55-62.
[12] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9, h. 7.
[13] Martin-Araguz, A.; Bustamante-Martinez, C.; Fernandez-Armayor, Ajo V.; Moreno-Martinez, J. M.. "Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic medicine", dalam Revista de neurología, 2002, 34 (9), h. 877-892
[14] Omar Khaleefa. "Who Is the Founder of Psychophysics and Experimental Psychology?", American Journal of Islamic Social Sciences, Summer 1999, 16 (2). Juga
[15] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, dikutip oleh Deuraseh, Nurdeen, “Physical Medicine and Spiritual Medicine in Islam: An Interweaving” dalam The Yale Journal for Humanities in Medicine di http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/essays/ndeuraseh3.htm diakses tanggal 20 Nopember 2008.
[16] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9, h. 7.
[17] Adnan Syarif, Min ‘Ilm an-Nafs al-Qurânî, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1987) edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali Mighwar, Psikologi Qurani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 57.
[18] Prinsip-prinsip pokok itu meliputi : 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan alam semesta, 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) Kesatuan hidup, 5) Kesatuan umat manusia. Dengan lima sasarannya adalah: 1) mengetahui disiplin-disiplin ilmu modern, 2) engetahui khazanah Islam, 3) menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, 4) mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan modern, 5) mengarahkan pemikiran Islam kearah lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah. Lebih lanjut baca Isma’il Raji  al-Faaruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988).
[19] Antara lain dilakukan dengan: 1) menumbuh-suburkan semangat Iqra’, 2) merumuskan dan membangun konsep manusia menurut Islam dan konsep-konsep Psikologi yang lebih rinci yang bisa dijadikan landasan teoritis, 3) mengembangkan metode-metode baru, 4) membangun pendekatan-pendekatan bagi upaya penigkatan sumber daya manusia dan menangani permasalahan manusia, 5) menggali dan mengkaji khazanah keilmuwan Islam yang berkaitan dengan Psikologi sejak zaman kelasik sampai kontemporer, 6) memperdalam bahasa Arab, khususnya bagi para psikolog Muslim, 7) melakukan riset dasar (basic research), riset konseptual (conceptual research), dan riset aplikatif (applied research).
[20] Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Risalah, 1982), 194-200.
[21] Lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 541-43.
[22] M. Thoyibi dan M. Ngemron (ed)., Psikologi Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1996), h. v
[23] Apatis yaitu acuh tak acuh dan tidak ada minat membicarakan hubungan antara agama dan Psikologi, terlebih terhadap gagasan islamisasi Psikologi. Fanatis maksudnya berpendapat bahwa agama telah mencukupi segala hal dalam kehidupan manusia. Gagasan islamisasi sains dan islmisasi Psikologi tidak perlu dilakukan karena pada dasarnya “sudah Islam”. Sekularistik maksudnya menganggap tidak ada hubungan asasi antara sains dan agama sehingga keduanya harus dipisah dan dibedakan dengan tegas. Psikologi yang objektif- ilmiah harus bebas nilai, tidak boleh “dicemari” oleh hal-hal yang tidak ilmiah (cq. agama). Antagonis maksudnya meyakini agama dan juga menganut aliran Psikologi tertentu secara fanatik. Dalam menerapkan Psikologi pantang membawa-bawa agama dan sebaliknya ilmu (dan Psikologi) tidak diperlukan dalam mengamalkan agama. Idealis maksudnya bersikap positif terhadap gagasan dan upaya islamisasi sains pada umumnya dan islamisasi Psikologi pada khususnya, serta mendambakan terwujudnya Psikologi yang bercorak islami. Lihat Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 40 – 42.

Share this article :

1 komentar:

  1. Jika anda ingin memperdalam pengetahuan tentang psikologi khususnya psikologi dalam Islam, anda perlu membaca artikel tersebut. semoga bermanfaat dan anda bertambah ilmu.

    BalasHapus

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok