MAKALAH
FILSAFAT
ISLAM
”dasar logika dan pemikiran psikolog islam”
DI SUSUN OLEH :
AHMAD ZAENUDIN AL ISHLAH
UNIVERSITAS
SULTAN FATTAH DEMAK
(UNISFAT)
LOGIKA DAN PSIKOLOG DALAM ISLAM
I. PENDAHULUAN
Pengaruh Filsafat Yunani klasik terhadap pemikiran
Filsafat Islam generasi awal memanglah sudah diakui keabsahannya oleh banyak
pemikir dan peneliti filsafat Islam. Akan tetapi, seberapa pengaruh pemikiran
tersebut terhadap Teologi Islam, masih banyak perdebatan mengenainya.
Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya Filsafat Islam; Tinjauan
Historis-Kritis, membagi perbedaan pandangan tentang pengaruh ini dalam tiga pemikiran. Pada pandangan pertama,
ada beberapa Islamis yang menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari
filsafat Yunani kuno, antara lain tampak pada pendapat Ernest Renan (1852) saat
berbicara konteks Filsafat Islam dalam tulisannya mengenai Ibn Rusyd. Sementara
pandangan kedua –diwakili pandangan revisionis- berpendapat bahwa
filsafat Islam adalah murni hasil kegiatan intelektual umat Islam yang telah
dipupuk –bahkan- sejak kurun pertama Islam, dan juga berasal dari kandungan
Al-Qur’an itu sendiri. Tokoh seperti M.M. Sharif (1966) adalah salah satu
penggagas pandangan ini. Pandangan ketiga melihat filsafat Islam tidak
lain muncul sebagai reaksi atas doktrin agama lain (Yahudi dan Kristiani) yang
telah berkembang lebih dahulu pada waktu itu. Pandangan dan teknik argumentasi
para Teolog tidak lain adalah adopsi beberapa pemikiran yang ada di tradisi filsafat
Yunani. Pendapat yang terakhir ini lah digawangi salah satunya oleh Josef van
Ess.
Dilatar belakangi oleh
kejatuhan dunia Islam dalam cengkeraman penjajahan Eropah dan Barat dan
selanjutnya berada di bawah pengaruh budaya sekular Eropah dan Barat sehingga
banyak Ilmuwan Muslim yang tergila-gila terhadap segala aspek peradaban Eropah
dan Barat termasuk teori-teori Psikologi. Akibatnya adalah keterputusan rantai antara ahli psikologi
Muslim modern dengan warisan psikologi kelasik Islam. Ini dapat dilihat dari
kenyataan – yang sangat patut disayangkan – bahwa para ahli psikologi Muslim
yang mendalami psikologi dari Barat umumnya memulai kajian psikologi pada kaum
pemikir Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung
membahas pemikiran kejiwaan para pemikir Eropah abad pertengahan dan Masa
Kebangkitan (Renaisance) Eropah Modern. Mereka benar-benar melupakan andil para
ilmuwan Muslim yang di antaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
banyak mempengaruhi pendapat para pemikir Eropah abad pertengahan hingga awal
masa renaisans Eropah Modern sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para
sejarahwan psikologi dari Barat tersebut justru diikuti oleh para pakar
psikologi Muslim kontemporer. Mereka yang mempelajari berbagai manuskrip
sejarah psikologi di banyak universitas sama sekali tidak melirik peranan para
ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru datang dari para
sejarahwan filsafat Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab sendiri maupun
non Arab. Mereka menginformasikan kepada kita sejumlah ikhtisar yang bermanfaat
tentang pandangan para ilmuwan Muslim terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati
nilainya sangat penting, namun ikhtisar tersebut tidak cukup menarik minat para
psikolog Muslim kontemporer untuk mendalami pandangan kejiwaan yang dibangun
oleh para pendahulunya.
II. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN PSIKOLOGI DALAM ISLAM
Menapak-tilasi latar belakang kajian
psikologi dalam Islam dilakukan pertama sekali dengan menelusuri
ayat-ayat Alqur’an dan Hadits yang memotivasi manusia untuk mengkaji dirinya
sendiri yang antara lain adalah:
وَفِي
الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ ﴿٢١﴾
Artinya:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin 8 Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada
memperhatikan? (QS. 51/Al-Dzariat: 20-21)
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41/Fuşilat: 53)
Termasuk dalam hal ini mengkaji sisi psikologis
manusia.
إِنَّ
الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ
جَزُوعاً ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ
مَنُوعاً ﴿٢١﴾
Artinya:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir 8 Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah 8 dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS.
70/Al-Ma’ârij: 19-21)٠
Demikian juga hadis-hadis Rasulullah saw. banyak
bermuatan tentang kejiwaan manusia yang antara lain adalah:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ وَأَخْبَرَنَا
سُلَيْمَانُ التَّيْمِىُّ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ».[1]
Artinya:
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Memberitakan kepada kami Yahyâ ibn Ayyûb dari ibn ‘Ulaiyah ia berkata memberitakan kepada kami Sulaimân al-Taimiy dari Anas ibn Mâlik ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, menyia-nyiakan usia dan dari sifat kikir. Aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari fitnah kehidupan serta kematian.
Dengan demikian jelas bahwa sumber
utama ajaran Islam yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia
secara fisikal, psikologikal, spiritual, dan sosial turut berperan dalam memicu
lahirnya kajian psikologi dalam Islam.
Kedua, dilatarbelakangi oleh kajian tentang akhlak dan tasawuf
dan berbagai kajian yang berkaitan dengan upaya membangun kesehatan mental
manusia, membuat para ilmuwan Islam kelasik melakukan kajian mendalam tentang
jiwa dengan fokus antara lain pada nafs, qalb, rûh,
dan ‘aql. Kajian ini juga menyertakan para filusuf Muslim yang membahas rûh
dan nafs dengan mengadopsi kajian roh dari filsafat Yunani. Selama lebih
kurang tujuh abad psikologi dibahas dalam kajian filsafat dan tasawuf.[2]
Hasilnya adalah, pada masa keemasan
Islam psikologi ditekuni dan dikembangkan oleh dua kalangan: filusuf dan sufi,
yang melahirkan psikologi-falsafi dan psikolog-sufistik. Mereka telah
melahirkan konsep tentang jiwa secara menyeluruh dengan melakukan kajian
terhadap nas-nas naqliyah dan melakukannya dengan metode empiris
(perenungan, observasi dan praktek) secara sistematis, spekulatif, universal,
dan radikal.[3]
III. POKOK PERMASALAHAN
.Bagaimana Logika Dasar dari
Teologi Islam?
.Teologi Islam;
Logika Kaum Stoa atau Aristoteles?
.Refleksi
.pemikiran psikolog islam
IV POKOK
PEMBAHASAN
Logika Dasar dari Teologi Islam
Dalam
tulisannya, van Ess membagi pembahasan ke dalam tiga tema bahasan yang juga
sekaligus menjadi pembagi bab dari makalah ini. Bagian pertama ini dari tulisan
tersebut, van Ess menelaah terminologi yang digunakan oleh Teolog Islam, seperti
pengertian tentang “kalam” itu sendiri. Ada beberapa terminologi lain yang
cukup penting dipahami, antara lain penyebutan kalam, sa’il-mas’ul sebagai
subjek dari adab al-jadal, serta keberadaan wajhu-t-ta’alluq
sebagai aspek penghubung, juga antara madlul dengan dalil dimana
kebenaran itu dibangun. Menurut van Ess, istilah ‘kalām’ adalah terjemah dari ‘dialexis’,
‘diálektos’ dan ‘dialektika’ dalam bahasa Yunani kuno yang
diartikan sebagai logika demonstratif tentang kebenaran dari sebuah
keyakinan. Istilah ini, selanjutnyan dibedakan dari dengan struktur logika
Aristotelian yang didasarkan pada silogisme (adanya premis mayor, premis minor,
dan kesimpulan dan adanya middle term dari kedua premis) Teolog Islamsendiri sudah mengenal silogisme a la Aristoteles,
tetapi memaknainya dengan terminologi qarina dan bukan sulujismus atau qiyas.
Beberapa
di antara ahli Kalam tidak menggunakan terminologi mantiq untuk menyebut
metode berfikirnya, melainkan adab al-kalam atau adab al-jadal yang dipahami sebagai seni berdialog, menggunakan
metode dialektik, semacam jawab wa-su’al, dengan adanya mas’ul dan
sa’il sebagai aktornya. Karakter logika seperti ini terwujud dalam
tesis wa in qala qa’ilun …..qulna ….. atau wa la yuqalu inna …
li-anna naqulu… Karakter dasar dari struktur logika ahli Kalam ini,
kemudian memiliki beberapa konsekuensi dalam praktiknya, antara lain 1) cara penyampaian
logika yang defensif. Van Ess menyebut demikian, karena masing-masing dari
kedua aktor secara reaktif berusaha untuk menolak cara berfikir lawan
bicaranya, sehingga bukan kebenaran asali yang ingin ditemukan, melainkan
kebenaran yang muncul dari usaha merubuhkan rasionalisasi lawan bicara.
Sebagaimana van Ess berkomentar;
“Many of the arguments were made for momentary success; they proved that
one was right, but not always that one had the complete truth. They
were critical, but not constructive, valid, but not formally valid; Kalam means the triumph
of the argumentum ad hominem”
Selain
itu, logika berfikir ini juga 2) bersifat apologetik baik di dalam
internal kaum muslim, ataupun ketika berhadapan dengan kaum Kristiani ataupun
Yahudi. Dibalik sisi non-produktif tersebut, logika ini memiliki aspek positif,
yakni fleksibilitas ahli Kalam terhadap pemikiran yang baru bagi mereka.
Karenanya Pseudo-Qudama’ dalam tulisannya Kitab Naqd an-nathr membedakan
antara jadal dengan bahth. Pada kasus yang pertama, dialektika,
seseorang akan memunculkan argument menurut logika berfikir lawan debatnya,
sedangkan pada kata yang terakhir, dengan logika burhani seseorang akan
mencari kebenaran melalui bukti yang tepat.
Teologi Islam; Logika Kaum Stoa atau Aristoteles
Setelah
melakukan studi atas kebenaran yang dibangun oleh logika berfikir dalam Kalam,
pada bab kedua, van Ess berkesimpulan bahwa metode berfikir Kalam secara
umum dapat dikategorikan memiliki basis dari logika menurut Kaum Stoa (Stoic),
walaupun pernyataan itu bukanlah sebuah generalisasi. Baginya, pengaruh
dari Plato, juga logika Aristotelian (syllogism) juga masih terlihat
dalam pemikiran kaum Mutakallimun. Tetapi, yang terpenting dicatat oleh
van Ess adalah adopsi ahli kalam terhadap logika ma’ani atau ma’na yang
digunakan untuk menjelaskan tentang Tuhan, agaknya lebih dekat pada logika
disjungtif dan hipotetik dari aliran Stoa.
Dalam
hal ini, van Ess sedang berbicara tetnang pentingnya proses istidlal di
dalam qiyas, dimana sebuah opini dibangun melalui bukti tersebut. Disituterdapat
beberapa terminologi kunci, misalnya proses tersebut harus melibatkan adanya dalil
(bukti) dan madlul alaihi (sesuatu yang dianalogikan) serta pentingnya ta’alluq
di antara keduanya. Selain ketiga aspek tersebut, terdapat mekanisme
penilaian, yakni wajhu at-ta’alluq (yang dilakukan sebagai proses
memenuhi konsistensi dari sebuah logika).
Keterhubungan
antara dalil dan madlul melalui Ta’alluq memiliki
pengertian bahwa penanda selayaknya memiliki keterhubungan/paralelitas dengan
esensi dari benda yang ditandai. Misalnya, seorang anak yang melihat punggung
ibunya dapat saja menyimpulkan bahwa disitulah sang ibu berada (memahami
seluruh badan ibu di tempat tersebut). Tetapi pada kasus lain si anak mendengar
sebuah suara (barangkali mirip dengan suara ibu), kemudian merasa dapat
menyimpulkan pula bahwa itulah ibunya (yang juga bagian dari esensi ibu). Pada
kasus yang kedua, ta’alluq tidak terjadi. Padahal, secara ghalibnya, ta’alluq
harus memiliki karaktker lebih spesifik, dan inilah yang disebut sebagai wajh
at-ta’alluq (bentuk paralelitas). Contoh nyata dari logika ini adalah
sebuah ayat dari Al-Qur’an yang dipahami sebagai alasan –pasti- diturunkannya
sebuah perintah kepada umatnya, sebenarnya yang terjadi adalah “proses
menghubungkan” bahwa Allah adalah Maha bijaksana, yang Maha Mengetahui segala
kebaikan bagi umat-Nya dan menjauhkan umat dari keburukan bagi mereka. Dari
logika berfikir ini, van Ess memperlihatkan, bagaimana proses pembuktian yang
dilakukan dalam logika Teolog Islam, tidak semata-mata menekankan pada bahasan
tentang terminology yang saling berbeda atau sama, lebih jauh, ini adalah
persoalan penilaian dan keputusan.
Refleksi
Van
Ess telah membuktikan bahwa nyatanya, qiyas tidaklah sesederhana
pembuktian satu pernyataan yang masih hipotetik atau masih diragukan
keabsahannya melalui analogi. Praktik istidlal untuk membuktikan
keberadaan Allah, juga meragukan pendapat Teolog bahwa qiyas adalah
berbeda dari silogisme. Qiyas, dengan demikian –di dalam
nalar Teolog Islam- adalah terminologi yang umum bagi seluruh aktivitas
penalaran untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Atau, qiyas juga
bermakna seluruh usaha spekulatif (rasional) yang menjadi penghubung bagi
pengetahuan baru. Dan, generalisasi ini memiliki kekhasan tersendiri bila kita
menghubungkan struktur logika ini kepada aliran Shiah yang dalam tataran
Teologi nya lebih banyak menghindarkan diri dari qiyas, dan lebih
menyandarkan putusan tentang teologi kepada Imam. Uniknya, Shiah bukannya
menghindar –sama sekali- dari Qiyas. Pemikiran individu (di dalam qiyas)
tidaklah memiliki nilai yang pasti dan final.
Diskursus Paradigma Psikologi Dalam Perspektif Islam
Menurut Freidrichs Robert paradigma
adalah “suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalannya.”[4] Dengan demikian paradigma psikologi secara
umum adalah prilaku manusia dan faktor-faktor yang memicu prilaku tersebut. Di
dalam Islam, manusia diciptakan dengan fungsi yang tidak hanya terbatas untuk
menata kehidupan manusia, ia juga memiliki fungsi sebagai hamba Allah dan juga
khalifah Allah. Sebagaimana terdapat dalam Firman Allah berikut ini:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (QS. 51/al-Dzariyat: 56)
Sebagai hamba manusia harus menjalin hubungan
dengan Allah dan menujukan semua aktifitas jasmani dan rohaninya hanya pada
Allah.
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
(QS. 2/al-Baqarah: 30)
Sebagai khalifah di bumi manusia harus menata
kehidupannya dengan sesama manusia dan semua makhluk Allah yang lain termasuk
alam raya.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ
بِحَبْلٍ مِّنْ اللّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَآؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ اللّهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا
وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ
Artinya:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan melampaui batas. (QS. 3/Ali Imran: 112)
Kedua fungsi di atas harus dilakukan sesuai
dengan hukum-hukum Allah yang telah Ia tetapkan dalam alam dunia ini. Oleh
sebab itu mengkaji hukum-hukum Allah tersebut merupakan kemutlakan jika manusia
ingin berhasil menata kehidupannya dan kehidupan alam semesta.
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Tokoh, Teori Dan Karyanya
Dalam bidang
psikologi pengobatan, ilmuwan-ilmuwan Islam kelasik menekankan keharusan bagi
individu untuk memahami kesehatan mental mereka. Rumah sakit yang menangani
pasien-pasien dengan keluhan psikhiatri pertama kali dibangun oleh kalangan
Muslim di Baghdad pada tahun 705 M, di Fes di awal abad ke 8, di Kairo pada
tahun 800 M, di Damaskus dan Aleppo pada tahun 1270 M.[5] Para ilmuwan psikologi pada
masa kelasik dan pertengahan Islam mendasarkan teori mereka pada psikhiatri
klinis dan observasi klinis. Mereka telah membuat kemajuan yang berarti dalam
psikhiatri dan merupakan kalangan yang pertama mengaplikasikan psikhoterapi dan
penyembuhan moral bagi pasien yang menderita penyakit mental disamping bentuk
terapi lainnya seperti mendi, penggunaan obat-obatan, terapi musik.[6]
Konsep
kesehatan mental dan kesegaran mental dikenalkan oleh seorang dokter, Ahmad
ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M) dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa
al-Anfus [7]
(Keseimbangan Raga dan Jiwa) – yang manuskripnya disimpan di Ayasofya Library, Istanbul dengan nomor 3741 – dengan sukses menjabarkan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan jiwa dan raga (psikhosomatis) yang ia
istilahkan dengan Tibb al-Qalb dan al-Tibb al-Ruhani untuk
menjabarkan penyakit-penyakit kejiwaan dan penyakit-penyakit yang berhubungan
kehidupan spiritual. Ia mengkritik para dokter di masanya yang hanya memfokuskan
pada penyakit-penyakit fisik dan menafikan kontribusi psikologis pada
penyakit-penyakit fisik. Ia mendasarkan teorinya pada Alqur’an dan Hadis yang
banyak menyatakan akan kesehatan jiwa dan penyakit-penyakit jiwa. Ia menyatakan
bahwa karena manusia terdiri dari jiwa dan raga maka keduanya akan saling
mempengaruhi yang dengan demikian manusia tidak akan mencapai kesehatan
sempurna jika tidak tercapai keseimbangan jiwa dan raga (istilah yang
digunakannnya untuk ini adalah isytibak) tidak tercapai. Jika raga sakit
maka jiwa akan kehilangan banyak energi kognitif dan kemampuan berpikir
komprehensifnya yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan untuk menikmati
kebahagiaan yang diinginkannya di dalam hidupnya. Demikian juga raga tidak akan
mampu menikmati kebahagiaan jika jiwa sedang sakit yang kemudian akan
mengakibatnya penyakit fisik. Dengan pendapat-pendapatnya tersebut al-Bakhi
kemudian dikenal sebagai pencetus psikologi kognitif dan psikologi pengobatan.
Ia yang pertama membedakan neurosis dengan psikhosis. Ia mengklasifikasikan
neurosis dalam empat kategori penyimpangan emosional: takut, marah dan agresi,
depresi dan kesedihan, obsesi.
Berikut
ini adalah penjabaran umum teori psikologi yang dikemukakan oleh dua ahli
psikologi masa kelasik Islam, yakni Ibnu Sina dan al-Ghazali.
Ibnu Sina[8] mendefenisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal[9]
yang dengannya spesies menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Ia
membagi jiwa manusia dalam tiga bagian, yaitu jiwa nabati, jiwa hewani dan jiwa
rasional.
1) Jiwa nabati.
Jiwa ini mengandung tiga daya,
yaitu:
a. Daya nutrisi yang berfungsi untuk mengolah makanan menjadi
bentuk tubuh.
b. Daya pertumbuhan yang berfungsi untuk pengolahan makanan yang
telah diserap tubuh agar mencapai kesempurnaan pertumbuhan dan perkembangan
tubuh.
c. Daya generatif yang
merupakan daya untuk pengolahan secara harmonis unsur-unsur makanan yang ada
dalam tubuh sehingga menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang
sempurna.
2) Jiwa hewani.
Jiwa ini terdiri dari dua daya: daya
penggerak dan daya persepsi.
a. Daya pengerak yang terbagi
atas daya hasrat dan daya motorik.
Daya hasrat yaitu daya yang berfungsi untuk mendorong
perealisasian berbagai bentuk khayalan tentang hal-hal yang diinginkan dan
tidak diinginkan. Daya ini terdiri dari dua bagian:
-
Syahwat, merupakan dorongan untuk mencapai sesuatu yang
menimbulkan kenikmatan.
-
Emosi, yang merupakan dorongan untuk melawan sesuatu yang
membahayakan, merusak dan menggagalkan pencapaian tujuan, atau dengan kata lain
dorongan untuk mencapai kemenangan. Dalam hal emosi Ibnu Sina menyatakan bahwa
situasi emosional mempengaruhi kondisi jiwa yang kemudian akan mempengaruhi
kondisi fisik, baik secara spontan maupun bertahap. Sedangkan tentang urutan
pengaruh emosi dan perubahan fisik itu ia menyatakan terdapat dua kemungkinan:
fisik berubah lalu melahirkan perubahan emosi atau emosi merubah kondisi fisik.
Daya motorik berfungsi melaksanakan hasrat yang muncul dalam
bentuk motorik untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
b. Daya persepsi yang terdiri
dari dua bagian, yakni
-
Indera internal yang terdiri dari:
·
Indera kolektif, yang merupakan akumulasi semua hasil
penginderaan eksternal yang menghasilkan pemrosesan secara global.
·
Konsepsi, yang berfungsi untuk menyimpan gambaran hasil
indera kolektif dan mempertahankannya walaupun stimulus inderawinya sudah tidak
ada.
·
Fantasi, berfungsi untuk mengolah data daya konsepsi,
mengklasifikasikannya dan men-diferensiasikannya. Daya fantasi berperan penting
dalam mengingat dengan mengolah data parsial menjadi gambaran untuk dikirim ke
daya waham. Daya fantasi juga berperan peting dalam berfikir dengan mengolah
data parsial menjadi gambaran untuk dikirim ke akal. Tidak kalah pentingnya,
daya fantasi juga berperan penting dalam mimpi dengan melakukan peniruan
berbagai prilaku untuk memuaskan berbagai dorongan dan hasrat, khusunya yang
tidak terrealisir.
·
Waham, berfungsi untuk mempersepsikan berbagai makna
parsial non inderawi yang ada pada stimulus inderawi. Dalam hal ini, waham
melihat makna parsial dari berbagai bentuk. Misalnya, pemulung melihat puntung
rokok sebagai sumber uang. Waham juga merupakan wahana terbentuknya ilham.
·
Memori, berfungsi untuk menyimpan semua data yang
dihasilkan dalam waham. Dengan demikian, proses mengingat merupakan hasil
kerjasama antara daya waham dan fantasi.
-
Indera eksternal yang terdiri dari:
·
Indera penglihatan.
·
Indera pendengaran
·
Indera penciuman
·
Indera perabaan
·
Indera pengecapan
3) Jiwa rasional
Jiwa rasional merpakan daya khusus
yang dimiliki manusia yang fungsinya berhubungan dengan akal. Dari satu sisi
jiwa rasional melaksanakan berbagai prilaku berdasarkan hasil kerja pikiran dan
kesimpulan ide. Dari sisi lain ia mempersepsi semua persoalan secara universal.
Jiwa rasional terdiri dari dua bagian: akal teoritis dan akal praksis.
a. Akal teoritis, yang
berfungsi untuk mempersepsi gambaran-gambaran universal yang bebas dari materi.
Akal teoritis terdiri dari lima
tingkatan:
-
Akal potensial (materi), memiliki potensi untuk menangkap
hal-hal yang rasional.
-
Akal bakat, berfungsi dalam pembenaran premis-premis tanpa
melakukan usaha dalam pembenaran itu.
-
Akal aktual, berfungsi untuk mempersepsi hal-hal rasional,
dan ini terjadi kapan saja.
-
Akal mustafâd,
berfungsi untuk mengolah data akal aktual untuk dimanfaatkan.
-
Akal kudus, yang berfungsi untuk memproses hal-hal
yang ada dalam akal aktual secara
otomatis (tanpa usaha manusia itu sendiri). Tingkatan ini merupakan tingkatan
tertinggi yang umumnya hanya dimiliki oleh para nabi.
b. Akal praksis, yang
berfungsi untuk memproses semua data dari akal teoritis untuk memutuskan
pengambilan tindakan.
Al-Ghazaly[10] sangat mementingkan ilmu jiwa dan memandangnya
sebagai jalan untuk mengenal Allah. Teori-teori al-Ghazaly tentang jiwa senada
dengan teori Ibnu Sina dan al-Farabi. Ia membagi ilmu jiwa menjadi dua bagian. Pertama,
ilmu jiwa yang mengkaji tentang daya hewan, daya jiwa manusia, daya penggerak,
dan daya jiwa sensorik. Kedua, ilmu jiwa yang mengkaji tentang
pengolahan jiwa, terapi dan perbaikan akhlak.
Berdasarkan kekuatan emosi dan
syahwat yang menguasai manusia Al-Ghazaly membagi sifat manusia menjadi empat.
Keempat sifat ini merupakan potensi yang dimiliki manusia secara alami
(instink) dan dapat dikembangkan dan dikendalikan melalui proses belajar.
·
Sifat hewan buas (as-sab’iyyah) akan muncul dari
diri manusia yang dikuasai emosi, dan perwujudannya berupa prilaku permusuhan,
kebencian, penyerangan terhadap manusia lain baik melalui perkataan maupun
perbuatan.
·
Sifat hewan liar (al-bahîmiyah) akan menjelma jika
manusia dikuasai syahwat dengan perwujudannya adalah tingkah laku kejahatan,
ketamakan dan seksual.
·
Sifat setan (asy-syaithâniyah) muncul dari perpaduan
kekuasaan syahwat dan emosi serta kemampuan membedakan. Wujudnya berupa prilaku
kejahatan dan memperlihatkan kejahatan dalam bentuk kebaikan.
·
Sifat ketuhanan (ar-rabbâniyah), yang bila menguasai
manusia akan melahirkan pribadi yang bertindak seperti Tuhan, seperti: sangat
cinta kekuasaan, kebesaran, kekhususan, kediktatoran, lepas dari peribadatan,
sombong, mengakui dirinya berilmu sangat luas.
Tentang daya fantasi
al-Ghazaly menyatakan bahwa manusia berbeda dalam kadar dan kesiapannya.
Kualitas daya fantasi ini akan mempengaruhi hubungannya dengan Akal Aktif.
Sebagian orang memiliki daya fantasi sangat kuat, sehingga proses pengolahan
data ke jiwa rasional tidak bergantung pada input dari daya indera.
Dalam upaya perolehan pengetahuan
manusia menempuh dua cara. Pertama, melalui proses belajar yang bersifat
manusiawi dengan menggunakan indera dan akal. Hasilnya adalah perolehan ilmu
dan keahlian inderawi. Pengetahuan jenis ini adalah pengetahuan yang terbatas
dan tidak memiliki keterkaitan dengan alam ghaib, apalagi dengan Allah. Kedua,
melalui belajar secara rabbâni atau belajar ladunnî yang hasilnya
adalah pengungkapan pengetahuan hati secara langsung melalui ilham dan wahyu.
Jenis pengetahuan rabbâni ini merupakan tingkat tertinggi pengetahuan.
Untuk memperoleh pengetahuan jenis ini diperlukan ibadah, kejuhudan, pendekatan
diri kepada Allah (mujâhadah), pengolahan batin (riyâdah
an-nafs) menuju akhlak mulia. Orang yang telah berhasil menguasai
pengetahuan secara rabbâni akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan
kenikmatan pengetahuan sejati.
Demikian
juga Najab al-Dîn Muhammad (abad 10) memaparkan berbagai penyakit mental
secara rinci berdasarkan pengamatan yang teliti terhadap pasien-pasien yang
mengidap penyakit mental. Hasil pengamatannya ini kemudian dikompilasikannya
dengan mengklasifikasikan berbagai penyakit mental sehingga kompilasinya
tersebut merupakan pengklasifikasian terlengkap hingga saat itu dan digunakan
hingga saat ini.[11]
Tokoh lainnya adalah Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes), seorang bangsa Persia
dan penganut agama Zoroaster dengan karyanya al-Mansuri dan al-Hawi
yang diterbitkan pada aban ke 10 dan memuat antara lain defenisi penyakit jiwa,
simpomnya, dan penyembuhannya. Ia juga mengepalai rumah sakit jiwa di Baghdad
sesuatu yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa Eropah.[12] Di bagian lain kawasan
Islam, yakni di Andalusia dikenal Abu al-Qasim (Abulcasis) yang dikenal sebagai
bapak ilmu bedah, juga Ibn Zuhr (Avenzoar) yang pertama kali memberikan
deskripsi yang akurat tentang penyimpangan neorologis.[13]
Ibn al-Haytham
dikenal sebagai penemu psikologi eksperimental dan pskhofisik dalam kitabnya Kitab
al-‘Ain.[14]
Demikian juga al-Kindi yang dikenal sebagai perintis psikologi eksperimental
yang secara empiris memperkenalkan waktu reaksi antara organ-organ sensoris,
stimulasi organ dan kesadaran persepsi dalam pengobatan.[15] Ibn Sina dikenal sebagai
perintis psykhofisiologi dan pengobatan psikhosomatis yang memperkenalkan
antara lain halusinasi, insomnia, mania, mimpi buruk, melankolis, epilepsi,
paralisis, stroke, vertigo dan tremor.[16]
Pada masa kontemporer dalam bidang
teoritis beberapa pakar Psikologi maupun pencinta Psikologi Islam telah
melahirkan karya-karya dalam bidang ini, yang antara lain:
1) Adnan Syarif. Menurut Adnan
Syarif banyak di kalangan masyarakat dan bahkan di kalangan pemerhati Psikologi
masih mencampuradukkan antara jasad, nafs dan ruh, serta lebih khusus
lagi antara jiwa dengan ruh. Ia berpendapat bahwa nafs adalah darah yang
merupakan sumber segala gejala yang dimunculkan oleh anggota tubuh dan jiwa.[17]
Ruh merupakan substansi yang menjadi pengerak pertama bagi segala kehidupan.
Ruh berpusat di dalam dada dan hati yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh
melalui darah. Qalb yang ditempati ruh dan mengandung berbagai rahasia
Ilahi berfungsi sebagai stasiun transmisi, sedangkan otak berfungsi sebagai
layar penerima yang kemudian meneruskannya ke seluruh tubuh. Itulah sebabnya
jika qalb rusak maka entitas lain juga akan mengalami kerusakan.
Pemeliharaan qalb merupakan keharusan, sebab jika qalb
terpelihara akan menghasilkan ruh yang bersih, jiwa yang tenang, emosi dan
semua yang direfleksikannya akan menjadi lurus, suci, dan terhindar dari
berbagai penyakit. Siklus ini harus disadari oleh setiap ahli Psikologi, sebab
tanpa penetahuan akan siklus ini maka terapi psikologis tidak akan berhasil
secara sempurna. Salah satu karyanya adalah Min
‘Ilm an-Nafs al-Qurânî yang
diterbitkan di Beirut oleh Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn pada tahun 1987.
2) Mohammad Shafii. Muhammad
Shafii adalah seorang profesor psikhiater dan psikhiater anak di Universitas
Louisville School of Medicine. Ia mendapatka gelar M.D dari Universitas Tehran
Medical School, kemudian menerima pelatihan tingkat lanjut dalam bidang
psikhiater dan psikhiater anak di Neuropsychiatric Institute dan Children’s
Psychiatric Hospital di Universitas Michigan Medical Center. Selama lebih dari
empat puluh tahun ia mendalami dan meneliti dan mengkaji studi komparasi
psikhoterapi dan perkembangan manusia dari perspektif Barat dan Timur.
Karya-karyanya terfokus dalam bidang psikhoanalisa, psikhodinamis, dan
signifikansi psikhoterapi dengan tehnik meditasi termasuk sufisme. Salah satu
karyanya adalah , Freedom from the Self:
Sufism, Meditation and Psychotherapy, yang diterbitkan di New York oleh
Human Science Press pada tahun 1988.
3) Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam,
Jakarta: Rajawali, 2001.
4) Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa, 1996.
5) Fuad Nashori (ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islam,
Yogyakarta: Sipress, 1994.
6) Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
7) M. Thoyini dan M. Ngemron
(ed)., Psikologi Islam, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 1996.
8) Malik B. Badri, The Dilemma of Muslim Psichologists,
terj. Siti Zainab Luxfiati, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
9) M. Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazaly, Jakarta:
Rajawali, 1988.
10) Rendra K. (ed), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
11) Sukanto dan A. Dardiri
Hasyim, Nafsiologi, Surabaya: Risalah
Gusti, 1996.
12) Sukanto dan A. Dardiri
Hasyim, Nafsiologi, Surabaya: Risalah
Gusti, 1996.
13) Yahya Jaya, SpritualisasiIslam Dalam Menumbuhkembangkan
Kepribadian Dan Kesehatan Mental, Jakarta: Ruhama, 1994.
14) Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
IV. IMPLIKASI BAGI DUNIA ISLAM
Kesuksesan
ilmuwan-ilmuwan Muslim kelasik dan abad pertengahan memadukan ajaran-ajaran dan
nilai-nilai Islam dalam berbagai bidang, termasuk psikologi, tidak mampu
diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer. Entah apa sebabnya, tiba-tiba
ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer terputus dari khazanah keilmuwan kelasik dan
lebih parah lagi tercabut dari akar keislamannya.
Praktek-praktek
terapi dan pembangunan mental dan psikologi yang mengakar pada kultur Islam
dalam dunia Islam kontemporer lebih banyak diambil alih oleh tasawuf. Sehingga
praktek tasawuf kemudian berkembang bahkan sampai pada belahan dunia yang maju
dan non Islam seperti Amerika. Fenomena ini kemudian melahirkan kajian-kajian
psikologis dalam dunia tasawuf. Salah satu tokoh yang sangat mengemuka dalam hal
ini adalah Inayat Khan dengan salah satu karyanya Spiritual Dimension of
Psychology.
Kondisi ini kemudian disadari pada
beberapa dekade belakangan ini sehingga menimbulkan geraka islamisasi sains dan
tehnologi. Dalam bidang psikologi tentu saja islamisasi ini tidak terelakkan,
sebab konsep
psikologi yang saat ini ada gagal membicarakan manusia secara totalitas.
Kegagalan ini berupa pengkajian terfokus pada manifestasi gejala jiwa (tingkah
laku) dan bukan jiwa itu sendiri, penafian unsur-unsur spiritual manusia, dan
dibangun atas dasar penafsiran fakta ilmiah sedangkan fakta ilmiah tidak selalu
sesuai dengan teori dan selalu dipengaruhi bias kepribadian dan budaya
pembangunnya. Para ahli psikologi Muslim dan para pencinta psikologi Islam
akhirnya aktif memunculkan Psikologi Islam dalam dunia psikologi.
Untuk mewujudkan Psikologi
Islam ini setidaknya ada empat tahap yang harus ditempuh: Pertama,
melakukan reskonstruksi sistematis terhadap Psikologi agar dapat melahirkan
konsep yang mengintegrasikan ketauhidan dengan seluruh aspek kehidupan manusia
yakni: sejarah, pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, ummah, keluarga,
tata politik, tata ekonomi, tata dunia dan estetika. Proses islamisasi Psikologi ini tentu
saja sama dengan proses islamisasi sains dan tehnologi lainnya. Dalam hal ini Ismail Raji
al-Faruqi menetapkan lima prinsip pokok dan lima sasaran rencana islamisasi.[18]
Kedua, mensosialisasikan
hasil-hasil rekonstruksi Psikologi Islam kemudian dikembangkan, diperkaya,
dilipat gandakan dan yang tidak kalah pentingnya juga harus ditingkatkan dengan
memperluas fungsinya sampai kepada dimensi masyarakat secara global.
Ketiga, mengoptimalkan fungsi
lembaga-lembaga keilmuan Islam dalam usaha pencapaian pengembangan Psikologi
Islam. Termasuk didalamnya mengembangkan
budaya ilmiah.[19]
Keempat, membentuk dan menyebarluaskan Psikologi Islam
sebagai satu bentuk kebudayaan dan peradaban Islam. Ini merupakan titik akhir
dari perjuangan umat Islam terhadap kebudayaan dan peradaban manusia. Tahap ini
sangat penting, sebab kebudayaan dan peradaban yang sekarang ini terbangun dari
gagasan-gagasan yang didasarkan pada asumsi, meredupkan aqidah. Ditambah lagi,
penetrasi ideologi-ideologi yang berseberangan dengan Islam yang kemudian ke
lahan-lahan intelektualitas Islam, khususnya yang dipaksakan oleh
kekuatan-kekuatan non Islam, membentuk keyakinan-keyakinan baru yang
menyesatkan dan mengaburkan wawasan dan pandangan manusia tentang dirinya, alam
semesta dan Allah. Dengan demikian, bangunan peradaban yang berdasarkan konsep Ilahiah
perlu dikembangkan agar dapat mengembalikan manusia ke dalam bangunan
intelektual keimanan yang hidup atas, dengan dan untuk Allah.[20]
Kegagalan dalam usaha ini akan mengakibatkan kegagalan penyebaran Psikologi
Islam dan berarti pula kegagalan menunaikan missi utama Rasulullah Muhammad
saw. yang menjadi inti kehidupan manusia, yakni penyempurnaan akhlaq manusia.[21]
V. PENUTUP
Karakter dasar dari
struktur logika ahli Kalam ini, kemudian memiliki beberapa konsekuensi dalam
praktiknya, antara lain 1) cara penyampaian logika yang defensif. Van
Ess menyebut demikian, karena masing-masing dari kedua aktor secara reaktif
berusaha untuk menolak cara berfikir lawan bicaranya, sehingga bukan kebenaran
asali yang ingin ditemukan, melainkan kebenaran yang muncul dari usaha
merubuhkan rasionalisasi lawan bicara. Sebagaimana van Ess berkomentar;
“Many of the arguments were made for momentary success; they proved that
one was right, but not always that one had the complete truth. They
were critical, but not constructive, valid, but not formally valid; Kalam means the triumph
of the argumentum ad hominem”
Selain
itu, logika berfikir ini juga 2) bersifat apologetik baik di dalam
internal kaum muslim, ataupun ketika berhadapan dengan kaum Kristiani ataupun
Yahudi. Dibalik sisi non-produktif tersebut, logika ini memiliki aspek positif,
yakni fleksibilitas ahli Kalam terhadap pemikiran yang baru bagi mereka.
Karenanya Pseudo-Qudama’ dalam tulisannya Kitab Naqd an-nathr membedakan
antara jadal dengan bahth. Pada kasus yang pertama, dialektika,
seseorang akan memunculkan argument menurut logika berfikir lawan debatnya,
sedangkan pada kata yang terakhir, dengan logika burhani seseorang akan
mencari kebenaran melalui bukti yang tepat.
Teori psikologi yang sudah mapan
ternyata memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan itu meliputi dua hal
yang mendasar, yaitu objek studinya dan pendekatan ilmiah yang digunakan. Dari
sisi objek, manusia dan bagian-bagiannya hanya dimaknai secara material
empiris.[22]
Contohnya dalam berpikir psikologi non Islam hanya menitik beratkan pada fungsi
otak dengan mengabaikan fungsi-fungsi non fisik seperti qalb dan ‘aql.
Ini berarti bahwa psikologi non Islam telah melakukan reduksi dan simplifikasi
keutuhan realitas eksistensi manusia. Dari sisi metode, psikologi non Islam
menggunakan metode introspeksi dan metode ilmu-ilmu alam untuk mengkaji entitas
jiwa sehingga lahirlah aliran strukturalis dan aliran behavioris serta
psikoanalisis. Kalangan strukturalis mengkaji jiwa melalui introspeksi dan
menganalisis kesadaran hingga ke unsur terkecilnya sedangkan kalangan
behavioris lebih memfokuskan pada prilaku. Kalangan psikoanalisis menggunakan
metode tersendiri yakni asosiasi bebas dalam terapi perilaku. Ketiga aliran ini
secara ensensi menggunakan pendekatan yang sama, yakni metode ilmiah yang ketat
sebagaimana yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Hasilnya adalah, psikologi
menghadapi kesulitan dalam menjelaskan fakta-fakta yang berkaitan dengan
keutuhan eksistensi manusia, terutama yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman
spiritual.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut
menghalangi para ahli psikologi untuk mengungkap realitas eksistensi manusia
secara utuh. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan alternatif untuk keluar dari
kungkungan keilmiahan konvensional dengan mengambil pendekatan yang lebih luas
yang mampu mengungkapkan pengalaman-pengalaman fisikal, psikologikal, sosial
dan spiritual manusia secara integral. Dan psikologi Islam tampaknya merupakan
satu-satunya pilihan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa dengan menelusuri karya-karya kelasik Islam jelas diketahui bahwa para
ilmuwan Muslim terdahulu telah membangun dasar-dasar dan pengembangan Psikologi
yang dengan itu tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya mereka memiliki andil
yang sangat besar dalam mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya,
berbeda dengan bidang filsafat, kedokteran dan sains, peranan mereka dalam
memajukan dan mengembangkan psikologi tersebut idak mendapatkan perhatian yang
layak dari para pakar sejarah psikologi modern, khususnya dari kalangan Muslim,
sepanjang sejarah.
Menyadari keunggulan perkembangan
pemikiran dan praktek psikologis pada masa Islam kelasik dan pertengahan yang
menyatu dalam filsafat, tasawuf dan akhlaq, maka merupakan hal urgen bagi umat
Islam, khususnya tokoh-tokoh dan pecinta psikologi untuk kembali membangun
teori dan aplikasi psikologi Islam yang mandiri. Pada saat ini dari sisi
praksis, therapy psikologis holistik islami telah dilakukan oleh berbagai
kalangan, misalnya therapy psikologis melalui ibadah (antara lain dengan
zikir). Maka optimisme muncul untuk dapat membaku praktek-praktek tersebut
dalam bangunan keilmuwan psikologi yang mandiri.
Perkembagan
pemikiran psikologi dalam dunia Islam kontemporer dilatar belakangi oleh
gerakan islamisasi sains dan teknologi. Gelombang ini melanda seluruh wilayah
Muslim termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, beberapa dekade terakhir ini di
kalangan psikolog Muslim Indonesia muncul diskursus tentang psikologi Islam.
Kemunculan diskursus psikologi Islam ini dapat dipandang dari dua sisi. Di satu
sisi, ini merupakan indikasi pengaruh gelombang dan semangat Islamisasi sains
dan teknologi yang telah mulai merebak sejak tahun 1980-an. Di sisi lain, ini
merupakan refleksi dari kesadaran sebagian psikolog Muslim Indonesia yang mulai
memahami keterbatasan-keterbatasan psikologi dalam menjelaskan realitas
eksistensi manusia secara paripurna. Antusiasme terhadap kemunculan Psikologi
Islam mendorong terselenggaranya berbagai simposium, seminar, dan penerbitan
buku tentang psikologi Islam. Namun gerakan-gerakan ini masih bersifat
periferial, walaupun perlu diakui bahwa diskursus-diskursus ini telah mengarah
kepada persoalan-persoalan mendasar, atau dengan kata lain, sebagian psikolog
Muslim Indonesia mulai menyadari secara sungguh-sungguh keterbatasan
teori-teori psikologi yang sudah mapan dalam mengungkapkan eksistensi manusia
sesungguhnya. Dengan demikian perlu melakukan kajian alternatif dalam membahas
tentang manusia.
Untuk
mewujudkan hal ini tentu saja bukanlah hal yang mustahil walaupun bukan berarti
tanpa kendala. Beberapa
faktor penghambatnya yang paling utama adalah sikap psikolog Muslim yang tidak seragam, yakni : apatis, fanatis, sekularis,
antagonis dan idealis.[23]
Faktor penghambat lainnya adalah keterpesonaan sebagian psikolog Muslim dengan
teori-teori yang telah mapan dan berkembang yang tidak berasal dari Islam.
Selain hambatan di atas, ada
sejumlah problem yang dihadapi dalam pengembangan Psikologi Islam, antara lain:
1) Belum ada teori Psikologi
Islam yang mapan, atau setidak-tidaknya belum tergali konsep-konsep mendetail yang
dapat dijadikan landasan teoritis untuk menjelaskan berbagai fenomena
kemanusiaan secara islami.
2) Para ilmuwan Islam,
khususnya yang mendalami bidang Psikologi, kurang atau tidak menguasai bahasa
arab dan bahasa-bahasa dunia Islam yang berkaitan dengan karya-karya kelasik
Islam.
3) Para ilmuwan Islam kurang
atau tidak memiliki akses sama sekali dalam merujuk karya-karya Islam kelasik.
4) Kekurangan atau ketiadaan
penelitian Psikologi Islam yang mandiri.
5) Kelangkaan jaringan dan
wadah bagi psikolog Muslim.
Segala hambatan dan tantangan dalam pembangunan
kembali dan pengembangan Psikologi Islam memerlukan kesatuan dan kebersamaan
semua lapisan umat Islam untuk saling bahu-membahu dalam mewujudkan psikologi
Islam. Kemudian umat Islam harus memperlakukan semua kesulitan dalam mewujudkan
dan mengembangkan Psikologi Islam bukan sebagai hambatan melainkan sebagai
tantangan yang perlu ditaklukkan.
L I T E R A T
U R
Van
Ess, Josef, The Logical Structure of Islamic Theology dalam Issa J
Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill:
Institute of Islamic Studies McGill University, 1970),
Adamson,
Peter, 2005, The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,
(USA: Cambridge University Press)
sophiasciencia.wordpress.com/2012/06/01/contoh-review-buku-tugas-akhir-filsafat-ilmu-prodi-psikologi-uin-suka-2012
“Ahmed ibn Sahl al-Balkhi” http://en.wikipedia.org/wiki/Ahmed_ibn_Sahl_al-Balkhi.htm diakses
tanggal 20 Nopember 2008.
“Medicine in medieval Islam” http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_medicine.htm
diakses
tanggal 20 Nopember 2008.
al-Balkhi,
Ahmad ibn Sahl, Masalih al-Abdan
wa al-Anfus, Kuwait: Dar al-Da`wah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990.
al-Faaruqi,
Isma’il Raji, Tawhid: Its Implication for
Thought and Life, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988.
an-Nisâbûrî, Abu al-Husain Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî,
Şahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Jîl, tt.
Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Deuraseh, Nurdeen,
“Physical Medicine and Spiritual Medicine in Islam: An Interweaving” dalam The
Yale Journal for Humanities in Medicine di http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/essays/ndeuraseh3.htm
diakses tanggal 20 Nopember 2008.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Kartanegara,
Mulyadhi, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas,
Jakarta: Erlanga, 2007.
Khaleefa,
Omar. "Who Is the Founder of Psychophysics and Experimental
Psychology?" dalam American Journal of Islamic Social Sciences,
Summer 1999, 16 (2).
Martin-Araguz,
A.; Bustamante-Martinez, C.; Fernandez-Armayor, Ajo V.; Moreno-Martinez, J. M..
"Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic
medicine", dalam Revista de neurología, 2002, 34 (9).
Mubarok,
Achmad, Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Mudhafir, Ali,
Kamus Istilah Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1992.
Mujib, Abdul
dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali, 2001.
Nadvi, Syed
Habibul Haq, The Dynamics of Islam,
terj. Asep Hikmat, Bandung: Risalah, 1982.
Najati,
Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi
Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Syed, Ibrahim
B., “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, dalam Journal of the
Islamic Medical Association, 2002, (2), h. 2-9.
Thoyibi, M.
dan M. Ngemron ed., Psikologi Islam,
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1996.
Youssef,
Hanafy A. dan Fatma A. Youssef, "Evidence for the existence of
schizophrenia in medieval Islamic society", dalam History of Psychiatry,
1996, 7 (25).
[1] Abu al-Husain
Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî an-Nisâbûrî, Şahîh
Muslim, Jilid 8, باب التَّعَوُّذِ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَغَيْرِهِ , nomor 7048, (Beirut: Dâr
al-Jîl, tt.), h. 75
[2] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2000), h. 261.
[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa
Psikologi Islam, (Jakarta :
Rajawali, 2001), h. xiv.
[4] Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty,
1992), h. 114 dikutip oleh Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), 341.
[5] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its
times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9,
h. 7-8.
[6] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its
times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association, 2002 (2), 2-9,
h. 7.
[7] Ahmad ibn Sahl
al-Balkhi, Masalih al-Abdan wa al-Anfus,
(Kuwait: Dar al-Da`wah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990).
[8] Nama lengkapnya adalah Abu ‘Alî bin ‘Abdullah bin Hasan bin
‘Alî bin Sina ( 80 – 1037 M). Bagian ini dirangkum dari Muhammad Utsman Najati,
Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
terj. Gazi Saloom, (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2002).
[9] Kesempurnaan awal maksudnya tubuh merupakan prasyarat dan mediasi
bagi jiwa yang berfungsi untuk mengaktualisasikan berbagai prilaku atau fungsi
psikologis.
[10] Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly
(1058 – 1111 M). Bagian ini dirangkum dari Muhammad Utsman Najati, Jiwa
dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj.
Gazi Saloom, (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2002).
[11] Hanafy A. Youssef and Fatma A. Youssef (1996), "Evidence for
the existence of schizophrenia in medieval Islamic society", dalam History
of Psychiatry 7 (25): h. 55-62.
[12] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000
years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association,
2002 (2), 2-9, h. 7.
[13] Martin-Araguz, A.; Bustamante-Martinez, C.;
Fernandez-Armayor, Ajo V.; Moreno-Martinez, J. M.. "Neuroscience in
al-Andalus and its influence on medieval scholastic medicine", dalam Revista
de neurología, 2002, 34 (9), h. 877-892
[14] Omar Khaleefa. "Who Is the Founder of Psychophysics
and Experimental Psychology?", American Journal of Islamic Social
Sciences, Summer 1999, 16 (2). Juga
[15] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam, dikutip oleh Deuraseh,
Nurdeen, “Physical Medicine and Spiritual Medicine in Islam: An Interweaving”
dalam The Yale Journal for Humanities in Medicine di http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/essays/ndeuraseh3.htm
diakses tanggal 20 Nopember 2008.
[16] Ibrahim B. Syed PhD, “Islamic Medicine: 1000
years ahead of its times”, dalam Journal of the Islamic Medical Association,
2002 (2), 2-9, h. 7.
[17] Adnan Syarif, Min ‘Ilm an-Nafs
al-Qurânî, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1987) edisi terjemahan dalam
bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali Mighwar, Psikologi
Qurani, (Bandung :
Pustaka Hidayah, 2002), 57.
[18] Prinsip-prinsip
pokok itu meliputi : 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan alam semesta, 3)
Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) Kesatuan hidup, 5) Kesatuan
umat manusia. Dengan lima sasarannya adalah: 1) mengetahui disiplin-disiplin
ilmu modern, 2) engetahui khazanah Islam, 3) menentukan relevansi Islam yang
spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, 4) mencari cara-cara untuk
melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan
modern, 5) mengarahkan pemikiran Islam kearah lintasan-lintasan yang mengarah
pada pemenuhan pola rancangan Allah. Lebih lanjut baca
Isma’il Raji al-Faaruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life,
terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988).
[19] Antara lain dilakukan dengan: 1) menumbuh-suburkan semangat Iqra’,
2) merumuskan dan membangun
konsep manusia menurut Islam dan konsep-konsep Psikologi yang lebih rinci yang
bisa dijadikan landasan teoritis, 3) mengembangkan metode-metode baru, 4)
membangun pendekatan-pendekatan bagi upaya penigkatan sumber daya manusia dan
menangani permasalahan manusia, 5) menggali dan mengkaji khazanah keilmuwan
Islam yang berkaitan dengan Psikologi sejak zaman kelasik sampai kontemporer,
6) memperdalam bahasa Arab, khususnya bagi para
psikolog Muslim, 7) melakukan riset dasar (basic
research), riset konseptual (conceptual
research), dan riset aplikatif (applied
research).
[20] Syed Habibul Haq Nadvi, The
Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Risalah, 1982), 194-200.
[21] Lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah,
terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), 541-43.
[22] M. Thoyibi dan M. Ngemron (ed)., Psikologi Islam, (Surakarta :
Muhammadiyah University Press, 1996), h. v
[23] Apatis yaitu acuh tak acuh dan tidak ada minat membicarakan hubungan antara agama
dan Psikologi, terlebih terhadap gagasan islamisasi Psikologi. Fanatis maksudnya berpendapat bahwa agama telah mencukupi segala hal dalam
kehidupan manusia. Gagasan
islamisasi sains dan islmisasi Psikologi tidak perlu dilakukan karena pada
dasarnya “sudah Islam”. Sekularistik maksudnya menganggap tidak
ada hubungan asasi antara sains dan agama sehingga keduanya harus dipisah dan
dibedakan dengan tegas. Psikologi yang objektif- ilmiah harus bebas nilai,
tidak boleh “dicemari” oleh hal-hal yang tidak ilmiah (cq. agama). Antagonis maksudnya
meyakini agama dan juga menganut aliran Psikologi tertentu secara fanatik.
Dalam menerapkan Psikologi pantang membawa-bawa agama dan sebaliknya ilmu (dan
Psikologi) tidak diperlukan dalam mengamalkan agama. Idealis maksudnya bersikap positif terhadap gagasan dan upaya
islamisasi sains pada umumnya dan islamisasi Psikologi pada khususnya, serta
mendambakan terwujudnya Psikologi yang bercorak islami. Lihat Hanna Djumhana
Bastaman, Integrasi Psikologi dengan
Islam: Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 40 –
42.
Jika anda ingin memperdalam pengetahuan tentang psikologi khususnya psikologi dalam Islam, anda perlu membaca artikel tersebut. semoga bermanfaat dan anda bertambah ilmu.
BalasHapus