Logika dan Psikologi dalam
Islam
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad
Rowi, M.H
Oleh :
Muhammad
Musa
NIM. C.1.4.11.0070
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Akal merupakan suatu sarana super
canggih, yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya.
Dengan akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau
memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang
dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Manusia
karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir
sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika manusia itu masih diberi
kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir
tidak akan terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk
mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat itulah ilmu logika berperan
penting dalam mencari suatu kebenaran.
Ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan
ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk
akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh
Al-Qur’an al-Karim.
Hasil pemikiran manusia, meskipun
dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang
salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar.
Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang
terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan
kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman
dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, maka
disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita
kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam
Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan bahwa peran ilmu mantiq atau logika
seperti halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Selanjutnya Dengan melihat pengertian
psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa
psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah
kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan
agama itu dalam sikap dan tingkah laku sehari- hari serta keadaan hidup pada
umumnya.
Dengan ungkapan lain, psikologi agama
adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku
seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata
cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat
dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi
kepribadiannya.
Maka dalam kesempatan ini kami
melihat fenomena dan sekaligus mengkaji serta memaksimalkan untuk memamparkan
apa yang dialami oleh orang dewasa yang semakin merugikan diri sendiri dan ada
juga yang beruntung. Karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari
memisahkan antara psikologi dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat
ditutup. Agama tanpa psikologi berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta,
dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada psikologi, agama menjadi alat bagi
orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat
kita lihat sebagai salah satu contoh kemungkinan ini.
B.
Rumusan
masalah
Dari latar belakang di atas dapat
dirumuskan masalah sebagi berikut :
- Bagimana Logika dalam islam serta peranan logika tersebut bagi agama islam?
- Bagaimana pandangan islam terhadap cara pendekatan memahami jiwa atau secara psikologis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Logika
dalam filsafat Islam
Logika Islam terinspirasi terutama
oleh
korpus logis Aristoteles, Organon
(yang menurut taksonomi Yunani akhir
juga termasuk Retorikadan Poetics).
Penulis Islam juga akrab dengan
beberapa elemen dalam logika Stoic dan teori linguistik, dan sumber-
sumber logis mereka termasuk tidak
hanya bekerja sendiri Aristoteles,
tetapi juga karya-karya para
komentator Aristoteles akhir Yunani, Isagog Image of Porphyry dan tulisan-tulisan logis dari Galen. Namun,
sebagian besar pekerjaan logis dari
para filsuf Islam tetap tepat dalam
tradisi logika Aristotelian, dan
sebagian besar tulisan-tulisan mereka
di daerah ini dalam bentuk komentar tentang Aristoteles.
korpus logis Aristoteles, Organon
(yang menurut taksonomi Yunani akhir
juga termasuk Retorikadan Poetics).
Penulis Islam juga akrab dengan
beberapa elemen dalam logika Stoic dan teori linguistik, dan sumber-
sumber logis mereka termasuk tidak
hanya bekerja sendiri Aristoteles,
tetapi juga karya-karya para
komentator Aristoteles akhir Yunani, Isagog Image of Porphyry dan tulisan-tulisan logis dari Galen. Namun,
sebagian besar pekerjaan logis dari
para filsuf Islam tetap tepat dalam
tradisi logika Aristotelian, dan
sebagian besar tulisan-tulisan mereka
di daerah ini dalam bentuk komentar tentang Aristoteles.
Untuk para filsuf Islam,
logika
mencakup tidak hanya studi mengenai
pola-pola formal dan validitas
kesimpulan mereka tetapi juga unsur-
unsur filsafat bahasa dan bahkan
epistemologi dan metafisika. Karena sengketa wilayah dengan tata bahasa
Arab, filsuf Islam sangat tertarik
bekerja di luar hubungan antara logika
dan bahasa, dan mereka mengabdikan
banyak diskusi untuk pertanyaan
subjek dan tujuan dalam kaitannya dengan logika penalaran dan pidato.
Di bidang analisis logis formal, mereka
dielaborasi teori istilah, proposisi dan
silogisme sebagai dirumuskan dalam
Aristoteles Kategori , De
interpretatione dan Sebelum Analytics. Dalam semangat
Aristoteles, mereka menganggap
silogisme sebagai bentuk yang semua
argumentasi rasional dapat dikurangi,
dan mereka menganggap teori
silogisme sebagai titik fokus logika. Bahkan puisi dianggap sebagai seni
silogisme dengan cara tertentu oleh
sebagian besar Aristoteles besar
Islam.
mencakup tidak hanya studi mengenai
pola-pola formal dan validitas
kesimpulan mereka tetapi juga unsur-
unsur filsafat bahasa dan bahkan
epistemologi dan metafisika. Karena sengketa wilayah dengan tata bahasa
Arab, filsuf Islam sangat tertarik
bekerja di luar hubungan antara logika
dan bahasa, dan mereka mengabdikan
banyak diskusi untuk pertanyaan
subjek dan tujuan dalam kaitannya dengan logika penalaran dan pidato.
Di bidang analisis logis formal, mereka
dielaborasi teori istilah, proposisi dan
silogisme sebagai dirumuskan dalam
Aristoteles Kategori , De
interpretatione dan Sebelum Analytics. Dalam semangat
Aristoteles, mereka menganggap
silogisme sebagai bentuk yang semua
argumentasi rasional dapat dikurangi,
dan mereka menganggap teori
silogisme sebagai titik fokus logika. Bahkan puisi dianggap sebagai seni
silogisme dengan cara tertentu oleh
sebagian besar Aristoteles besar
Islam.
Karena logika dipandang
sebagai
Organon atau instrumen yang
digunakan untuk memperoleh
pengetahuan, logika dalam dunia Islam
juga memasukkan teori umum
argumentasi terfokus pada tujuan epistimologis. Unsur logika Islam berpusat pada teori demonstrasi ditemukan dalam Aristoteles Posterior Analytics, sejak demonstrasi
dianggap sebagai tujuan akhir dicari
oleh logika. Unsur-unsur lain dari teori argumentasi, seperti dialektika dan
retorika, dipandang sebagai sekunder
untuk demonstrasi, karena diadakan
bahwa argumen bentuk-bentuk yang
dihasilkan negara kognitif rendah
dalam kepastian dan stabilitas untuk demonstrasi. Tujuannya adalah filsuf
akhirnya untuk menunjukkan kebenaran
yang diperlukan dan tertentu,
penggunaan argumen retoris dialektis
dan dipertanggungjawabkan untuk
sebagai persiapan untuk demonstrasi, sebagai kesimpulan defensif, atau
sebagai ditujukan untuk
mengkomunikasikan hasilnya kepada
audiens yang lebih luas.
Organon atau instrumen yang
digunakan untuk memperoleh
pengetahuan, logika dalam dunia Islam
juga memasukkan teori umum
argumentasi terfokus pada tujuan epistimologis. Unsur logika Islam berpusat pada teori demonstrasi ditemukan dalam Aristoteles Posterior Analytics, sejak demonstrasi
dianggap sebagai tujuan akhir dicari
oleh logika. Unsur-unsur lain dari teori argumentasi, seperti dialektika dan
retorika, dipandang sebagai sekunder
untuk demonstrasi, karena diadakan
bahwa argumen bentuk-bentuk yang
dihasilkan negara kognitif rendah
dalam kepastian dan stabilitas untuk demonstrasi. Tujuannya adalah filsuf
akhirnya untuk menunjukkan kebenaran
yang diperlukan dan tertentu,
penggunaan argumen retoris dialektis
dan dipertanggungjawabkan untuk
sebagai persiapan untuk demonstrasi, sebagai kesimpulan defensif, atau
sebagai ditujukan untuk
mengkomunikasikan hasilnya kepada
audiens yang lebih luas.
B.
Peran
Logika dalam Islam
Mantiiq atau logika, seperti yang dipelajari dalam ilmu-ilmu Islam,
itu benar-benar berfungsi tentang dua hal:
- Cara membuat definisi yang tepat dari sebuah konsep.
- Cara untuk membangun sebuah bukti hujah atau argumentasi, dan utk mendeteksi kelemahan dalam argumen yang rusak.
Tidak Ada yang misterius dalam ilmu ini. Dengan demikian, Tidak
dapat disangkal bahwa logika dibutuhkan dalam semua ilmu, terutama ilmu Kalam.
Dalam ilmu Kalam bisa membuat dan mengetahui bukti terkuat, sehingga pemahaman
yang baik tentang prinsip-prinsip logis diperlukan untuk menilai kekuatan bukti
atau hujjah. Secara umum, pendidikan modern yang solid benar-benar mengajarkan
tentang kegunaan logika, dan pendidikan terutama yang mengandalkan hafalan,
diperlukan logika untuk mengajar siswa bagaimana cara berpikir.
Pada saat ini kebanyakan orang berpendidikan akan menyadari akan
pentingnya bgmn membuat definisi yang solid, dan bagaimana mendeteksi kelemahan
dalam argumen, terutama jika seseorang berhadapan dgn ahli retorika logika
hususnya kaum filsafat kafir. Jika Anda tahu bagaimana cara sebuah pencarian
yang baik di Google, Anda akan tahu bagaimana anda menggunakan logika utk hal
kecil seperti itu. Dan untuk memahami (cara penilaian istimbat Islam dari
Al-Qur'an dan hadits), maka salah satu kebutuhannya adalah mengkaji Ushul Fiqh
dan juga mebedakan rantai sanad, bagaimana sanad kuat dan doif, knpa harus
sanad bersambung dan kuat? itu utk menjaga otentikasi riwayat, nah darimana
kita tau hal itu perlu? dari logika, itu adalah bagian dari ilmu kalam yang di
kenal dengan istilah Logika Islam, sehingga sangat penting untuk membaca
setidaknya satu kitab dalam ilmu ini "Logika Islam" kitab tentang
logika yang telah dimurnikan dari teologi Yunani dan yang berhubungan
dengannya.
Ingat bahwa kritik dari beberapa
ulama terhadap studi tentang logika, yang dimaksudkan adalah logika yang
dicampur
dengan filsafat Yunani. Setelah semua penjelasan itu, tidak ada orang waras yang melarang mempelajari bagaimana membuat sebuah definisi atau membangun bukti pendapat yang tepat, Satu hal lagi: beberapa orang berpikir bahwa Aristotaleslah yang menemukan logika dan karena itu, sehingga orang yang menggunakan ilmu kalam di kategorikan pengikut-Nya. Ini merupakan perkataan yang tidak benar karena setiap manusia telah menggunakan logika dalam segala usia dan keadaan, atau setidaknya ketika mereka berhujah atau berdebat, karena mereka harus mampu mendeteksi kelemahan dalam argumen dan mendefinisikan konsep dengan benar. yang dilakukan Aristotales adalah menyusun prinsip-prinsip logika sehingga dapat dipelajari secara sistematis.
dengan filsafat Yunani. Setelah semua penjelasan itu, tidak ada orang waras yang melarang mempelajari bagaimana membuat sebuah definisi atau membangun bukti pendapat yang tepat, Satu hal lagi: beberapa orang berpikir bahwa Aristotaleslah yang menemukan logika dan karena itu, sehingga orang yang menggunakan ilmu kalam di kategorikan pengikut-Nya. Ini merupakan perkataan yang tidak benar karena setiap manusia telah menggunakan logika dalam segala usia dan keadaan, atau setidaknya ketika mereka berhujah atau berdebat, karena mereka harus mampu mendeteksi kelemahan dalam argumen dan mendefinisikan konsep dengan benar. yang dilakukan Aristotales adalah menyusun prinsip-prinsip logika sehingga dapat dipelajari secara sistematis.
C.
Psikologi
dalam Islam
Sejarah keilmuan Islam yang gemilang
mencatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia.
1.
Pendekatan
Qur’ani-Nabawi
dimana jiwa manusia dipahami dengan
merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw.
Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan
jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah,
pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada
Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu,
hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter
jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang
senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah).
Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350).
Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh
manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati
itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur.
2.
Pendekatan
Falsafi
dimana pelbagai masalah jiwa dibahas
menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai berkembang
pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani kuno
ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi
oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak mengherankan, sebab
Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan
terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat
jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek
mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan,
hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang
pertama kali melontarkan teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya
pikir), animal (hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).
Hampir semua filsuf Muslim yang
menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan Aristoteles. Mulai dari
Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi pengarang
kitab at-Thibb ar-Ruhani hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut
mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti
apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia itu tunggal dan
sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke
tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu
kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti
shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap
sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql
al-qudsi). Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya.
Jiwa para nabi itu begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima
intuisi, ilham dan wahyu ilahi[1]
3.
Pendekatan
Sufistik
dimana penjelasan tentang jiwa
manusia didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan
dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan
para sufi lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab
ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau
terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur.
Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya
membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan
pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut
al-Qulub (‘nutrisi hati’).
Tokoh penting lainnya ialah Imam
al-Ghazali (w. 1111 M) yang menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit
jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua jenis,
ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan kita sangat memperhatikan kesehatan tubuh
tetapi jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati
penyakit-penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi,
waswas, dsb beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin.[2]
Di abad modern, upaya-upaya untuk
menyelami lautan ilmu psikologi Islam dan “menjual mutiara-mutiara”nya brilian
masih terkendala oleh beberapa hal. Selain sikap prejudice terhadap khazanah
intelektual Islam di satu sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi Barat
modern yang nota bene sekular-materialistik di sisi lain, penguasaan bahasa
Arab merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi
literatur psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Psikolog
muslim tinggal memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis,
dsb atau belajar dari para ahli psikologi Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan pembahasan di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagi berikut :
- logika, seperti yang dipelajari dalam ilmu-ilmu Islam, itu benar-benar berfungsi tentang dua hal yaitu Cara membuat definisi yang tepat dari sebuah konsep dan untuk membangun sebuah bukti hujah atau argumentasi, dan utk mendeteksi kelemahan dalam argumen yang rusak.
Tidak Ada yang misterius dalam ilmu ini. Dengan demikian, Tidak
dapat disangkal bahwa logika dibutuhkan dalam semua ilmu, terutama ilmu Kalam
- Sedangkan sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia yaitu : Pendekatan Qur’ani-Nabawi , Pendekatan Falsafi dan Pendekatan Sufistik
DAFTAR PUSTAKA
kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50
dan Avicenna’s Psychology
Amber Haque, “Psychology from Islamic
Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to
Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4 tahun
2004
[1] kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan Avicenna’s
Psychology, hlm 36-7
[2] Amber Haque, “Psychology from Islamic
Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to
Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4 [2004],
hlm 357-77
Jika anda ingin memperdalam pengetahuan tentang psikologi khususnya psikologi dalam Islam, anda perlu membaca artikel tersebut. semoga bermanfaat dan anda bertambah ilmu.
BalasHapus