Headlines News :
.
Home » , , » TEORI KENABIAN (MUHTAR-FAI UNISFAT 2014)

TEORI KENABIAN (MUHTAR-FAI UNISFAT 2014)

Written By Unknown on Kamis, 16 Oktober 2014 | 19.08

akhmadrowi.blogspot.com

MAKALAH
TEORI KENABIAN

MATA KULIAH : FILSAFAT ISLAM

Dosen Pengampu : Drs.H.Akhmad Rowi,MH



Penyusun           : Muhtar

Jurusan                : PAI Tarbiyah

Semester              : 3 ( Tiga )
Rounded Rectangle: UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
FAKULTAS AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2014/2015
 








Bottom of Form
BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang
Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu besar. Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas teori kenabian ini adalah Ibnu Sina, dalam sejarah Islam, perdebatan tentang wacana kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang direpresentasikan oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.

Menurut Ibnu Sina, bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya.
Perbedaan cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks, ajaran kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya bersumber dari wahyu Tuhan.
Sementara bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah ajaran manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi. Salah satu filosof klasik yang berpandangan seperti ini adalah Ar Razi yang berpendapat ”bahwa tidaklah masuk akal Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada nabinya dan tidak mengakui nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa  karena kefanatikan agama bangsa yang dipeluknya.”


2.       IDENTIFIKASI
1.      Apa yang dimaksud dengan filsafat kenabian ?
2.      Kenapa harus ada Nabi ?
3.      Apa argumentasi tentang pentingnya kenabian ?
4.      Bagaimana derajat dan penetapan kenabian ?
5.      Kenapa masa kenabian berakhir ?
















BAB II
PEMBAHASAN

1.  FILSAFAT KENABIAN
          Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan  Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam  maujud dan  bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat juga adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Sehingga filsafat dapat juga dikatakan sebagai mother of science karena mempelajari suatu hakikat dari pengetahuan.
Kata Nabi berasal dari kata kerja (fi’il) bahasa Arab nabba’a yanabbi’u yang berarti member kabar. Kata Nabi di petik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang berkedudukan sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fa’il) yang berarti orang yang membawa kabar atau berita. Darii kata nabi yang bermakna harfiah sebagai pembawa berita ini kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga nabi berarti orang yang di utus Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk manusia.
Kenabian menurut Ibnu Sina merupakan jiwa (roh) yang tinggi. Nabi merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya. Memiliki mukjizat yang bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, mengantar manusia untuk memahami sistem kebaikan.
Walaupun nabi dan rasul seperti halnya manusia biasa, akan tetapi ia mempunyai keistimewaan karena ia memperoleh akal tertinggi dari Tuhan yang di sebut al-hadas. Al-hadas ini mempunyai daya yang suci yang di sebut al-quwwah al-qudsiyyah. Adapun yang di maksud al-hadas dalam penerian filosofis ialah pancaran ilahi yang diperoleh para nabi dan rasul sehingga mereka dapat berhubungan langsung dengan ‘aql (Allah) tanpa melalui usaha manusia itu sendiri. (Al-hidayah li Ibn Si’na’,298,299,293,294). Daya inilah yang membedakan nabi dan rasul dari manusia yang lainnya. Suatu daya yang istimewa dan hanya diperoleh nabi dan rasul. Karena daya ini pula nabi dan rasul dapat menerima wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia dan agar mereka bertindak dan berbuat sesuai dengan wahyu itu.
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan tubuh.
2.  KENAPA HARUS ADA NABI

Berdasarkan ketetapan Ilahi, semua keberadaan mengalami perubahan dan perkembangan menuju kesempurnaan. Secara alami, benih yang ditanam berproses menjadi kecambah, tanaman kecil, pohon besar, dan pada akhirnya berbuah. Puncak kesempurnaan pohon adalah ketika dia memberikan buah-buahan segar.Sperma mengalami perubahan menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang, bentuk janin, hingga akhirnya terlahir menjadi bayi yang sempurna. Fenomena ini berlaku pada seluruh keberadaan di alam semesta ini.
Semua keberadaan bergerak menuju kesempurnaan masing-masing secara alami. Tiap makhluk mengetahui jalan dan cara mencapai tujuan penciptaannya. Manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang tidak memiliki ikhtiar (pilihan) dalam menempuh proses perubahan menuju kesempurnaan. Manusia mampu memilih tujuan hidupnya yang dianggap sebagai kesempurnaan. Manusia bebas menentukan pilihannya dalam meraih tujuan. Dia menggali tanah demi mendapatkan air. Dia mengais rezeki demi mendapatkan makanan enak. Dia melakukan eksperimen untuk mengetahui hukum-hukum alam yang berlaku. Adapun keberadaan yang lain bergerak menuju kesempurnaan penciptaannya sesuai dengan firman Allah : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu”. (Adz-Dzariyat:56) 
   Atas dasar itu, agar manusia mampu meraih tujuan penciptaannya, dia harus menggunakan kebebasan pilihannya dengan tepat. Manusia mesti menyeimbangkan hubungan antara  hukum alam dan tujuan. Prinsip inilah yang mengatur dan menyelaraskan ikhtiar manusia. Tujuan penciptaan manusia tidak mungkin tercapai dengan sendirinya. Setiap manusia menentukan tujuannya sesuai dengan tuntutan kepentingan dan kebutuhannya. Kebutuhan manusia diciptakan oleh situasi dan lingkungan yang dialaminya. Namun keduanya (situasi interpersonal dan lingkungan) tidak mampu menggerakkan manusia secara langsung. Jika demikian, hal ini akan memandulkan fungsi manusia sebagai keberadaan yang memiliki pilihan(ikhtiar).
             Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia. Dalam dimensi teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan sebagai kepentingan duniawi atau kepentingan sosial dan kepentingan jangkapanjangadalahkepentinganukhrawi.
             Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi kebutuhan duniawinya? Sebab manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama yaitu dimensi transeden tentang hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal antara manusia dan manusia. Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan kewajiban mana yang terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya pengorbanan kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan pribadi manusia.

            Pada dimensi horizontal atau dimensi sosial telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar Ruum: 41). Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah manusia yang menjadikan kepentingan pribadi sebagai tujuan hidupnya dengan cara mengorbankan kepentingan sosial yang akhirnya berimplikasi terhadap tanggung jawab kita kepada Tuhan.

            Oleh karenanya, masyarakat manusia membutuhkan aturan dan undang-undang, lantaran adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Manusia merupakan makhluk sosial dan membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta beragam urusan hidupnya, agar tidak terjadi silang pendapat, pertikaian, benturan, dan kezaliman di antara anggota masyarakat, serta demi menjaga kepentinganindividudansosial.
Dalam pada itu, undang-undang tidak mungkin dapat terlaksana dengan sendirinya. Hanya dengan adanya undang-undang, persoalan sosial atau individual apapun tak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, setiap undang-undang niscaya memerlukan sosok pelaku yang mampu menjamin pelaksanaan, penegakan, dan penerapannya secara sempurna, serta tegaknya keadilan di atas basisnya.

             Kebutuhan kepada sosok yang adil dan bijaksana yang mampu menerapkan undang-undang di tengah masyarakat, merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Dari sinilah nampak nilai penting seorang nabi dan rasul. Yaitu pribadi-pribadi pilihan Allah Swt yang mempunyai misi untuk menerapkan dan menjalankan aturan di tengah masyarakat manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk menjaga aturan dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.”  (al-Hadid: 25)

Fadhl bin Syadzan meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Musa ar-Ridha—salam sejahtera bagi keduanya—menjelaskan tentang penyebab penetapan ulil amr (pemimpin manusia) dan adanya perintah untuk mematuhinya. Beliau berkata, “Mungkin seseorang bertanya, ‘Mengapa Allah menetapkan pemimpin masyarakat dan memberikan perintah untuk mematuhi mereka?’ Jawabannya dikarenakan banyak sebab. Antara lain: Ketika seseorang berdiri di hadapan sebuah garis-batas dan diperintahkan untuk tidak melanggar batas itu lantaran akan membahayakannya, maka perintah itu tidak akan  dan tak dapat tegak, kecuali jika Allah Swt menetapkan baginya sosok terpercaya yang mampu mencegahnya melanggar batas dan memasuki kawasan berbahaya. Kalau tidak begitu, niscaya manusia tidak akan meninggalkan kesenangan dan kepentingannya dengan mengganggu orang lain. Oleh karenanya, Allah Swt menetapkan baginya sosok penegak hukum yang mampu mencegahnya berbuat kerusakan serta sanksi dan hukum di tengah manusia.
Argumen lain tentang kemestian adanya nabi dan rasul yang logis, rasional dan menggunakan argument empiris-historis dikemukakan oleh al-Jurjawi dan Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatu. Argument tersebut adalah sebagai berikut:
Secara naluriah. Manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan yang buruk dengan akalnya. Daya akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara yang dapat menunjukkan jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu manusia, manusia memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang menyampaikan syariat-Nya agar manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati perbuatan dan jalan yang membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan kebutuhan primer manusia karena akal tidak dapat memenuhinya. Nabi dan rasul mengemban enam tugas utama yaitu:

1.      Memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia mengetahui Allah (ma’rifatullah). Menyampaikan sifat-sifat Allah yang dapat memudahkan manusia memahami ke-Maha Esaan-Nya, dengan cara yang paling mudah.
2.      Menyampaikan berita bahwasannya Allah mengancam manusia yang tidak taat kepada-Nya dan memberikan kabar gembira bagi mereka yang mentaati-Nya. “Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi” (Al-Ahzab 33 : 45-46)
3.      Mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia yang berguna bagi diri manusia itu sendiri dan bagi sesamanya, seperti sifat jujur, tidak berdusta, dermawan dan sebagainya.  Sesungguhnya aku diutus Allah SWT, untuk menyempurnakan(memperbaiki) akhlak manusia”. (HR. Ahmad)
4.      Mengajarkan tata cara mengagungkan Allah serta menunaikan kewajiban yang di bebankan Allah kepada manusia, dan beribadah kepada-Nya dalam berbagai bentuknya secara sempurna.
5.      Menetapkan ketenutan-ketentuan hukum (hudud) dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya, seperti ketentuan hukum berzina, pembunuhan, dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk menegakan keadilan yang dapat menjamin keamanan negri dan penduduknya.dalam hubungannya dengan tugas tersebut, nabi dan rasul berfungsi sebagai hakim atau pembuat hukum. “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid; 57: 25)
6.      Menjelaskan cara-cara yang benar apa yang mesti ditempuh manusia dalam kehidupan duniawinya, seperti keharusan aktif bekerja, dan melaksanakan berbagai bentuk kewajiban.
Berdasarkan tugas-tugas nabi dan rasul di atas, dapatlah di nyatakan bahwa agama islam adalah agama bagi seluruh umat manusia. Islam menjamin kebahagiaan hidup mereka yang menganutnya, dan melaksanakan ajaran islam itu sepenuh-penuhnya. Kedudukan rasul bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah. Bila manusia salah membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah, maka itu terjadi karena ketidak pedulian manusia terhadap penggunaan akal dan kalbunya yang kemudian dikuasailah dirinya itu dengan kebencian, kerakusan, dan permusuhan. Oleh karena itu, terjadinya kekacauan, kesesatan, fanatisme mazhab dan kelompok. Semua itu terjadi bukan karena agama, melainkan karena agama tidak dilaksanakan dengan benar sebagai akibat kesalahan dalam pemahaman dan penghayatannya.



3.  ARGUMENTASI PENTINGNYA KENABIAN

Gambaran di atas sebenarnya telah membuktikan kepada kita bahwa kenabian adalah hal yang penting bahkan niscaya. Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan diutusnya para Nabi, yaitu sebagai berikut :

a. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.

 b. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.

c. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk memberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu, Allah mengutus Nabi atau Rasul.


 d. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.
              Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.

4.      DERAJAT DAN PENETAPAN KENABIAN
Kenabian merupakan ikhtiar dua arah, yakni ikhtiar manusia sebagai utusan dan ikhtiar Allah swt sebagai pengutus. Inilah yang dikenal dengan istilah ‘derajat kenabian’ dan ‘gelar kenabian’.
               Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.

               Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?

               Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.

                Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.

5.      PENUTUP KENABIAN
Meskipun tiap nabi membawa pesan-pesan yang ternyata kandungannya hanya memiliki perbedaan yang kecil, para nabi adalah pembawa pesan yang satu dan sama, dan mereka memiliki satu aliran pemikiran yang sama.  Aliran pemikiran ini disuguhkan secara gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka mencapai titik perkembangan dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam bentuknya yang lengkap dan sempurna. Ketika itulah kenabian berakhir.
Versi yang sempurna dari aliran pemikiran yang mengalami kontinyuitas tersebut disuguhkan melalui pribadi Muhammad bin Abdullah, semoga selawat dan salam dilimpahkan kepadanya dan kepada keluarganya, dan kitab suci terakhir adalah al-Quran.
Qur’an Suci mengatakan: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan harmoni, tak ada yang dapat mengubah kalimatnya.” (QS. Al-An’am; 6: 115)
Meskipun  kenabian merupakan alur yang berkelanjutan dari pesan Ilahi, dan agama hanya kebenaran tunggal, ada beberapa alasan bagi diperbaharuinya kenabian dan munculnya nabi-nabi, baik yang membawa hukum Ilahi maupun hanya mendakwahkannya saja. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, umat manusia pada zaman dulu tidak mampu menjaga orisinalitas Kitab Suci yang diturunkan pada mereka disebabkan kurangnya perkembangan mental dan kematangan berfikir mereka. Kitab-kitab suci sebelum al-Quran diubah dan didistorsi atau bahkan dirusak sama sekali, sehingga diperlukan pembaharuan pesan (risalah). Masa dimana al-Quran diturunkan, yaitu abad 7 Masehi adalah puncak dari masa kekanak-kanakan tersebut karena manusia saat itu telah berhasil melampui masa kekanak-kanakannya dan akhirnya bersedia bertanggung jawab teerhadap isi ajaran kitab suci yang terakhir, yaitu al-Quran.Kaum Muslimin pada umumnya, sejak saat diturunkannya tiap-tiap ayat al-Quran hingga kini, telah merekamnya dalam ingatan atau tulisan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kemungkinan terjadinya suatu macam distorsi, transformasi, perubahan, penghilangan atau penambahan, dihilangkan. Karenanya, tidak ada perubahan dan kerusakan terhadap kitab suci al-Quran. Alasan ini adalah salah satu alasan bagi pembaharuan kenabian, menghilangkan kebutuhan atas kitab suci baru.
Kedua, alasan bagi diperbaharuinya agama dalam Kitab Suci, adalah bahwa umat manusia pada masa sebelumnya belum mampu memahami suatu program yang umum dan komprehensif. Dengan berkembangnya kemampaun ini, suatu program yang bersifat umum dan komprehensif disuguhkan kepada umat manusia secara kontinyu, dan dengan cara ini kebutuhan bagi pembaharuan kenabian dan hukum-hukum Ilahi dihilangkan.
Ketiga, para ulama umat di masa Nabi Terakhir, yang merupakan abad ilmu (the age of knowledge), mampu mengadaptasikan ajaran-ajaran umum al-Quran terhadap masa dan tempat serta tuntutan-tuntutan dan kondisi-kondisi yang ada. Dengan mengetahui prinsip-prinsip umat Islam, dan dengan mengenali situasi dan kondisi masa dan tempat, mereka mampu merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum Ilahi. Usaha ini disebut ijtihad (berusaha sejauh kemampuan untuk melakukan pertimbangan keagamaan yang mandiri mengenai suatu masalah hukum).
Dari apa yang diuraikan diatas, jelaslah bahwa kematangan intelektual dan pertumbuhan social umat manusia memainkan peran dalam berakhirnya kenabian. Peran ini mempunyai aspek-aspek yang berbeda:
-          Umat manusia telah menjaga kelestarian Kitab Suci dari distorsi yang bagaimanapun
-          Umat manuisa telah mencapai suatu titik perkembangan di mana mereka bisa menerima dan menggunakan program perkembangannya sebagai suatu keseluruhan dan tidak selangkah demi selangkah
-          Kematangan intelektual umat manusia dan kemajuan social mereka telah memungkinkan mereka untuk melaksanakan, menyebarluaskan dan memanfaatkan agama untuk memerintahkan masyarakat mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang jahat. Kebutuhan akan nabi-nabi yang hanya berfungsi sebagai pendakwah, yang mempromosikan dan menyebarluaskan agama nabi yang membawa hukum Ilahi telah dihilangkan. Para ulama dan kalangan umat telah memenuhi kebutuhan ini.
-          Kematangan intelektual umat manusia telah mencapai suatu titik dimana mereka bisa mengomentari dan menjelaskan hal-hal umum yang terkandung dalam wahyu, hingga dengan bantuan ijtihad dalam berbagai situasi dan kondisi serta lingkungan, mereka bisa merujukkan suatu kasus hukum yang ada kepada prinsip asalnya.







BAB III
KESIMPULAN

·         Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan tubuh.
·         Tujuan utama nabi diutus dimuka bumi adalah untuk menyeimbangkan dimensi Ketuhanan dan dimensi Kemanusiaan bagi umat.
·         Kedudukan rasul bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.






DAFTAR PUSTAKA

Yazdi, Mizbah,Iman Semesta, (Jakarta: Al-Huda, 2005)
Yazdi, Mizbah, Membangun Agama, (Bogor: Cahaya, 2004),
Abu Bakar Atjeh, Prof. Dr. Syi’ah, Rasionalisme Dalam Islam, Yogyakarta: beranda publishing, 2003
Adz-dzakiey, hamdani bakran, 2007, Psikologi kenabian, Yogyakarta: beranda publishing
 www.akhmadrowi.blogspot.com


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok