MAKALAH
Pengaruh Peradaban Islam
Pada Masa Daulah Bani Umayyah
Di susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah sejarah peradaban islam
Dosen pengampu Drs. H. Akhmad Rowi ,MH
OLEH
Anni Musrifah
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH
DEMAK
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan
khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola
Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih
menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan
proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan
yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk
mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan,
diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk
musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan
dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam
pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini
dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali
dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya
Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan
dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang
oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang
kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada
akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan
perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada
umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal
dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan.
Meskipun begitu,
munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam,
hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah,
kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B.RUMUSAN MASALAH
1.Sejarah berdirinya Dinasti Bani Umayyah
2.Para Khalifan Bani Umayyah
3.Kosntruksi Politik Bani Umayyah
4.Perkembangan Ilmu Pengetahun Masa
Dinasti Bani Umayyah
5.Faktor-Faktor Kejatuhan Dinasti Umayyah
6.Komparasi al -Khualafa Al-Rasyidun dan Dinasti Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Pemerintah Bani Umayyah
berdiri setelah Khilafah Rasyidah yang ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi
Thalib pada tahun 40 H / 661 M. pemerintahan mereka dihitung sejak Hasan bin
Ali menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan pada tanggal 25 Rabiul
Awwal 41 H / 661 M.
Keberhasilan Muawiyah mendirikan dinasti
Umayyah bukan karena akibat dari kemenangan diplomasi di shiffin dan
terbunuhnya Khalifah Ali saja, dari semula Gubernur Suriah itu memilliki “
basis rasional “ yang solid bagi landasan pembangunan politiknnya di masa
depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari
keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh
Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh dan terlatih dan disiplin di garis
depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok
bangsawan kaya dari mekah dari keturunan Muawiyah dan memasoknya dengan
sumber-sumber kekuatan yang tiada habis-habisnya, baik moral, tenaga maupun
kekayaan.
Kedua, sebagai administrator, muawiyah
sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan- jabatan
penting, seperti Amr ibn Ash, Mughirah ibn Syu`bah dan ziyad ibn Abihi.
Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan
menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat ‘ Hilm “ sifat
tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman dahulu. Seorang manusia
hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam
diri Muawiyah setidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan
jabatan khalifah secara turun menurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi
kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi
dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat.
Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah.
Abu bakar tanpa dapat dielakkan dirusakkan oleh peristiwa pembunuhan atas diri
khalifah Usman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali.
Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan
khalifah Marwan bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132 H /
749 M. Pemerintahan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun. Pemerintahan ini
dikuasai oleh dua keluarga ( dari keturunan Abu Sufyan dan Keluarga Bani Marwan
) dan diperintah oleh 14 orang khalifah dengan Damaskus sebagai ibukotanya.
2. Para Khalifah Bani Umayyah
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad,
dengan 14 khalifah. Mereka adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M), Yazid
ibn Muawiyah (681-683 M), Muawiyah ibn Yazid (683-684 M), Marwan ibn Al-Hakam
(684-685 M), Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn Abdul Malik
(705-715 M), Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Sulaiman ibn Abdul Malik
(715-717 M), Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M),Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M),
Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M), Walid ibn Yazid (742 - 743 M ), Yazid ibn
Walid (Yazid III) (743 M), Ibrahim ibn Malik (744 M), Marwan ibn Muhammad
(745-750 M). Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu
Muawiyah, Abdul Malik, al- Walid 1 dan hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah
sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat
sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah :
Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri
Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Beliau adalah putera
dari Abu Sufyan bin Harb, seorang pemuka suku Quraisy yang masuk Islam
pasca-fathul makkah.
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah
memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah
Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan
Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu.,
kebijakan yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang berciri-khas
Syam, dengan strata Arab dan Mawali (ajam atau non-Arab).
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah
bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep
Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan
“pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang
cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya,
seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya
untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
Namun dalam perspektif lain, Muawiyah
memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada
waktu itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau
hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer
sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan
untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di
bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak
era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika
Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang
menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons,
gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan
Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah
selatan Tunisia.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
tehadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di
Persia dan Bizantium.
Khalifah Yazid merupakan putera dari
Muawiyah. Beliau lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah
mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai
Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta,
sejumlah tokoh di Madinah tidak mau mengangkat bai’at kepadanya. Khalifah Yazid
kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk mengangkat
bai’at kepada Yazid beserta warga hijaz secara keseluruhan. Dengan cara ini,
semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, pengikut Ali
melakukan rekonsolidasi kekuatan. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh
Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan
pengikut Ali yang ada di sekitar Kufah dan mengangkat Husein sebagai Khalifah.
Akan tetapi, rombongan Husein yang tidak didukung oleh milisi atau tentara
kemudian dihadang oleh pasukan Khalifah Yazid.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di
Karbala, sebuah daerah yang sekarang masuk ke wilayah Irak secara territorial.
Tentara Husein yang tidak bersenjata lengkap kalah dan Husein sendiri mati
terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur
di Karbala.
Pasca-kematian Hussein, penduduk Hijaz
membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Abdullah bin Zubair adalah
putera dari Zubeir bin Awwam, seorang sahabat nabi yang juga adalah golongan
awal masuk Islam Ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar, puteri Abu Bakar
Ash-Shiddiq.Posisi ayahnya sangat dihormati di kalangan muhajirin, dan ayahnya
juga bersama Aisyah terlibat pada perang Jamal. Posisi Abdullah bin Zubair
menguat tanpa bisa dicegah oleh Khalifah Yazid sebelum kematiannya.
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai
Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Berbeda dengan ayahnya, ia
bukan seseorang yang berwatak keras atau menyukai peperangan. Tak banyak
literatur yang membahas tentang Khalifah ini secara lengkap. Ia memerintah
kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah sebelum wafat
tiga bulan kemudian. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup
memikul tanggung jawab khilafah yang besar itu. Dengan wafatnya, maka habislah
keturunan Muawiyah dalam melanggengkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan,
yaitu Marwan bin Hakam.
Sebelumnya, Marwan bin Hakam adalah
penasehat Khalifah Utsman dan turut berada di barisan Muawiyah ketika awal-awal
dinasti Umayyah dan konflik dengaan Ali. Masa pemerintahannya tidak
meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam.
Hal menarik yang patut dicatat adalah
menguatnya pengaruh Abdullah bin Zubair bin Awwam di daerah Hijaz, Nejd, dan
Yaman sehingga ia berhasil mengonsolidasi kekuatan pada era tersebut. Abdullah
bin Zubair telah bertransformasi menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang
sangat efektif; Ia mengorganisasi kekuatan militer di Mekkah dan Madinah serta
menjadi khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Hijaz.
Atas dasar ini, maka pemerintahan Muawiyah
ibn Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan ( di masa awal
pemerintahannya ) adalah tidak sah. Sebab, mereka berkuasa di Syam pada saat
pemerintahan Abdullah ibn Zubair. Inilah pendapat sebagian besar sejarawan.
Khalifah Marwan bin Hakam masih belum
dapat mencegah kekuatan Abdullah bin Zubair secara penuh. Khalifah Marwan wafat
dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai
Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul
Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih dulu dilakukan
oleh Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani
Umayyah yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik kemudian
mengorganisasi kekuata militer untuk menghadapi kelompok Abdullah bin Zubair
yang menguasai Hijaz.
Pada akhirnya, kekuatan Abdullah bin
Zubair terdesak. Pasukan Bani Umayyah dapat menguasai kota Mekkah, benteng
pertahanan terakhir dari Abdullah bin Zubair dan membunuh Abdullah bin Zubair.
Dikuasainya Hijaz ini kemudian mengakhiri pemberontakan orang-orang Hijaz dan
secara otomatis menyatukan kembali kekuatan Bani Umayyah pada satu
kepemimpinan.
Sejak itulah Abdul Malik secara legal
menjadi khalifah kaum muslimin. Abdullah ibn Zubair memerintah selama kurang
lebih Sembilan tahun.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua
yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayah yang disebut-sebut
sebagai “Pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang
khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fikih.
Khalifah Abdul Malik sebagai Khalifah yang
tegas, perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali
kesatuan dunia Islam. Ia memiliki kontribusi penting dalam tata moneter dunia
Islam.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga
memiliki kontribusi dalam penyebaran Islam. Politik Luar Negeri yang berbasis
pada penyebaran Agama Islam ke luar daerah juga menuai hasil yang cukup
signifikan, antara lain dengan berhasil dikuasainya Balkh, Bukhara, Khawarizm,
Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang masuk ke teritori negara
Uzbekistan serta Kazakhstan Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama,
yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan
menjadi kepercayaanya, seperti al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah berani di medan
perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai
gubernur Mesir.beliau wafat pada tahun 705 M / 86 H dalam usia yang ke-60
tahun, dan diganti oleh putranya yang bernama al-Walid.
Pada masa pemerintahan Walid bin Abdul
Malik, telah terjadi kemapanan politik yang mengakhiri periode transisi.
Gerakan-gerakan oposisi dan kelompok penekan telah dipadamkan sehingga kekuatan
Khalifah Walid cukup kuat. Dengan adanya kemapanan ini, kebijakan Khalifah
Walid lebih berkonsentrasi pada konsolidasi politik dan pelaksanaan politik
luar negeri dengan menyebarkan Islam ke daerah lain dengan kekuatan dan sumber
daya yang dimiliki.
Pada era ini, tekanan dari penduduk Hijaz
telah mereda dan tidak lagi mengancam eksistensi kekuasaan khalifah. Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafi diberi kebebasan untuk memerintah daerah Irak. Kebijakan
khalifah Walid lebih berorientasi pada ekspansi dan pengembangan sayap dakwah
Islam ke wilayah-wilayah lain. Khalifah Al-Walid memiliki bangunan sumber daya
yang cukup kuat untuk melaksanakan politik luar negerinya tersebut.
Pada masa ini, penyebaran Islam mengalami
momentumnya tersendiri/ tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah
kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol)
dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad
mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordoba, Granada dan Toledo
yang merupakan wilayah kekuasaan Roderik, penguasa Gothik yang memerintah
wilayah Spanyol dan Portugal.
Khalifah Walid bin Abdul Malik juga
berhasil menyebarkan Islam sampai ke India di bawah kepemimpinan Muhammad bin
Qasim. Kemenangan pasukan Islam di Punjab kemudian memberi peluang untuk masuk
ke India yang sangat kental kekuatan Hindunya. Muhammad bin Qasim kemudian
berhasil memasuki India hingga menguasai Delhi yang kelak menjadi kekuatan
Islam di India.
Walid bin Abdul Malik menjadi seorang Khalifah
yang dikenal luas oleh publik internasional sebagai pemimpin yang disegani.
Khalifah Walid berhasil mendesak kekuatan kaum Gothik di Spanyol serta mulai
menyebarkan Islam ke segenap penjuru Asia. Hal ini tak lepas dari struktur
militer yang professional yang telah dibangun oleh pemerintah pada waktu itu.
Militansi kekuatan militer cukup tinggi, terlihat dari berhasilnya pasukan
Thariq bin Ziyad dalam menaklukkan Spanyol, padahal kekuatan Gothik masih
begitu kuat dan pasukan yang dikirim tidak terlalu besar kuantitasnya.
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah
pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan.
Menjelang saat terakhir pemerintahannya beliau memanggil Gubernur wilayah
Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya.
Umar bin Abdul ‘Aziz pada dasarnya adalah seorang ulama. Hal inilah yang
menyebabkan posisinya cukup kuat di kalangan ulama Mekkah dan Madinah, di
samping faktor nasab beliau yang juga merupakan cucu dari Khalifah Umar bin
Khattab.
Pada era pemerintahannya, penaklukan
Romawi menemui kendala. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa
pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi
yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
Sulaiman ibn Abdul Malik dibenci oleh
rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana. Para pejabatnya terpecah
belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasal di masa para
pendahulunya disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj ibn Yusuf dan Muhammad ibn
Qasim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar ibn Abdul Aziz sebagai
penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H.
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai
Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Hepi Andi
Basthoni dalam sebuah bukunya bahkan membandingkan figur keulamaannya dengan
kepemimpinan yang merupakan warisan dari kakek beliau, Umar bin Khattab.
Beliau adalah cucu dari Khalifah Marwan
bin Hakam (dari Bapak beliau, Abdul Aziz bin Marwan) dan sepupu dari Sulaiman
bin Abdul Malik. Berbeda dari khalifah sebelumnya yang memiliki karakter
politisi, karakter yang melekat pada diri beliau adalah karakter keulamaan.
Semua Umar II dengan tegas menolak jabatan kekhalifahan yang ditunjuk oleh
pendahulunya, Sulaiman. Karena terus didesak oleh kaum muslim, akhirnya
menerima amanah umat tersebut yang menurutnya merasa tidak ringan itu.
Buktinya, pada umumnya seperti layaknya orang baru menerima anugrah jabatan,
pasti seseorang mngucapkan alhmadulillah sebagai anugrah Tuhan, justru Umar II
sebaliknya; ia mengucap Innalillahi wa Inna ilaihi Raajiun, seperti orang yang
baru terkena musibah.
Setelah menjadi khalifah ia kirim segala
kekayaan ke kas negara, termasuk kekayan pribadi ibu negara Hal ini yang
menyebabkan kezuhudan beliau selama memerintah dengan kesederhanaan yang
melekat pada kepribadian beliau. Masa pemerintahan beliau sangat singkat, hanya
dalam 2 tahun lebih.
Sebuah cerita yang dilukiskan oleh Hepi
Andi pada bukunya cukup untuk menyadarkan kita akan pentingnya kesederhanaan.
Pada cerita yang diambil pada sebuah atsar tersebut, terlihat bahwa Umar bin
Abdul Aziz tidak ingin menggunakan lampu yang dibiayai oleh Baitul Mal untuk
keperluan pribadinya. Beliau mematikan lampu ketika anak beliau datang ke
kantor pemerintahan. Kesederhanaan beliau disinggung dalam berbagai kitab
Tarikh dan menjadi teladan bagi pemimpin dunia.
Sehingga, wajar jika banyak yang menyebut
beliau sebagai Umar II, yang memang mewarisi sikap sederhana dari Khalifah Umar
bin Khattab. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, beliau segera menegaskan
sebuah komitmen dan frame kebijakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan
pembangunan negeri yang berada dalam naungan Islam lebih baik daripada menambah
perluasan ke wilayah lain. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan
dalam negeri dan konsolidasi serta ishlah pada beberapa kelompok yang sempat
bertikai dengan khalifah sebelumnya.
Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, beliau berhasil menjalin hubungan baik dengan kelompok Syi’ah dan
Khawarij yang pada saat itu telah memulai langkah untuk menjadi sebuah faksi
teologis di Bani Umayyah.. Posisi beliau sebagai gubernur Hijaz memudahkan
rekonsiliasi dengan penduduk Mekkah dan Madinah, ditambah dengan figure
keulamaan dan kezuhudan yang melekat dalam kepribadian beliau.
Umar ibn Abdul aziz berusaha memperrbaiki
segala tatanan yang ada pada masa kekhalifahanya, seperti menaikkan gaji
untuk para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan member santunan kepada
para fakir dan miskin, memperbaharui dinas pos, menyamakan kedudukan
orang-orang non Arab yang menempati sebagai warga Negara kelas dua, dengan
orang-orang Arab, mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah
bagi orang Islam baru.
Umar ibn Abdul Aziz termasuk khalifah
ketiga yang besar, meskipun masa pemerintahannya sangat pendek, namun Umar
merupakan “ lembaran Putih “ Bani Umayyah dan sebuah periode yangberdiri
sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh kebijaksanaan –
kebijaksanan Daulah Umaiyah yang banyak disesali. Beliau merupakan personifikasi
seorang khalifah yang taqwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali
ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Sayangnya, masa pemerintahannya tergolong
singkat yaitu tidak sampai 3 tahun. Umar II yang naik tahta pada usia 35 tahun,
harus sudah meninggal pada usia 38 tahun. Kematiannya dikaitkan dengan
kecemburuan keluarga Khalifah sebelimnya, yang mengangkat khalifah bukan dari
keturunannya. Cuma sepupu, padahal, Sulaiman punya anak dan saudara yang lebih
berhak untuk menggantikannya, kematian Umar II ini konon karena di racun
pembantunya.
Periode ini merupakan awal dari kemunduran
Bani Umayyah. Khalifah Yazid III tidak dapat melanjutkan keteladanan yang
dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bibit-bibit disintegrasi mulai
muncul dengan pertentangan-pertentangan pada faksi-faksi politik dan etnis yang
ada pada masa itu.
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai
Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Beliau terkenal negarawan yang cakap dan
ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang
menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal
dari kalangan Bani Hasyim, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib dari Mekkah
yang didukung oleh golongan Mawali dan Ajam serta menjadi sebuah ancaman yang
sangat serius.
Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan
baru ini mampu mengonsolidasi diri untuk kemudian menggulingkan Dinasti Umayyah
dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbasiyah.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur
menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran. Namun,
karena gerakan oposisi terlalu kuat, Khalifah tidak memiliki kekuatan yang
cukup kuat untuk mematahkannya. Gerakan Abbasiyah –kekuatan oposisi
tersebut—kemudian menjadi kekuatan laten yang mengancam eksistensi
pemerintahan. Namun, mereka tidak melakukan show of force pada masa
pemerintahan Khalifah Hisyam.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan
Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang
mengalami kemajuan. Hubungan perdagangan dengan Eropa dibuka. Wilayah Eropa
juga berhasil ditaklukkan, sampai ke pegunungan Pyrennia dan mencapai
perbatasan Perancis. Pasukan umat Islam di bawah pimpinan Abdurrahman
Al-Ghafiqi dari Cordoba, ibukota kekhalifahan Islam di Spanyol berhasil
mencapai pegunungan Pyrennia dan bergerak ke selatan, menuju Sisilia.
Hisyam ibn Malik meninggal pada tahun 125
H / 742 M. pemerintahannya beerlangsung selama dua puluh tahun. Pada masa
pemerintahannya Negara mengalami kemerosotan dan melemah. Ini semua karena
terjadi karena adanya fanatisme antara orang-orang arab selatan dan arab utara,
secara khusus khurasan. Inilah yang membuat orang-orang syiah mendapatkan
kemenangan baru di kawasan tersebut.
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran
dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Meskipun demikian, kebijakan yang paling
utama yang dilakukan oleh Khalifah Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah
bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia
yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Beliau menetapkan anggaran khusus
untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang.
Periode Khalifah Yazid III penuh dengan
kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama 6 bulan.
Tidak banyak literatur yang menggambarkan situasi politik dan pemerintahan
ketika beliau memerintah. Beliau wafat dalam usia 46 tahun akibat penyakit
tha`un.
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak
memperoleh legitimasi politik yang cukup di lingkungan keluarga Bani Umayyah
dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya
beberapa pemberontak.
Di sisi lain, kekuatan gerakan Abbasiyah
yang diorganisasi oleh Abul Abbas As-Saffah juga semakin terkonsolidasi.
Klimaksnya, beliau menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari
Arnenia menuju Syiria. Atas tekanan yang dihadapi, beliau dengan suka rela
mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan
ibn Muhammad. Khalifah Ibrahim memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun
132 H.
Marwan ibn Muhammad seorang ahli negara
yang bijaksana dan seorang pahlawan. Pada awalnya, beliau adalah seorang
gubernur di salah satu wilayah yang dikuasai oleh Bani Umayyah. Delegitimasi
politik yang dialami oleh Khalifah Ibrahim serta keadaan yang sudah cukup
mengkhawatirkan menyebabkan beliau akhirnya dibai’at sebagai khalifah.
Pemberontak dapat ditumpas oleh beliau, tetapi ternyata Khalifah Marwan tidak
mampu menghadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendukungnya. Gerakan
Abbasiyah kemudian mengonsolidasi diri dan mulai melancarkan serangkaian
serangan ke Damaskus yang telah lemah. Marwan ibn Muhammad akhirnya berhasil
dikudeta oleh kelompok Abbasiyah.
Beliau melarikan diri ke Hurrah, terus ke
Damaskus dan akhirnya sampai ke Mesir. Khalifah Marwan terbunuh pada tanggal 27
Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan kudeta ini, berakhirlah kedaulatan
Bani Umayyah dan terjadi transformasi kepemimpinan ke Bani Hasyim yang dipimpin
oleh Abul Abbas As-Saffah, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib, paman
Rasulullah Saw.
3.KONSTRUKSI POLITIK BANI UMAYYAH
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan
monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke
putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme
penunjukan, bukan lagi Syuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda
dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga
menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan
pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat.
Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat
Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era
Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak
terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma
ini secara otomatis berubah.
Implikasi pertama yang menyertai
konstruksi monarki ini adalah berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada
pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati
perintahnya.
Implikasi kedua adalah sentralisasi dan
absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam
menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat
kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam
pembuatan keputusan sangat dominan. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat
sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan,
tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan
dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.
Implikasi ketiga adalah berkurangnya peran
ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran
ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan
pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari
lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan
masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para
ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada
implikasi-implikasi lain.
Implikasi keempat adalah kekuasaan ada
pada sekeliling istana saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki
akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem
monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan,
sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah
bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan
runtuhnya Dinasti Umayyah.
Seperti dijelaskan di atas, sistem
pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis
terbangun dengan gerakan politik ekstra kekuasaan dan pemberontakan. Dalam
konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh
Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini,
yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan
gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini
eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok
dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir.
Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz
dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di
bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara
taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair
(peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai
faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai
Khalifah dan mulai mengkonsolidasi diri.
Abdullah bin Zubeir yang mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun
pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya
kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini
merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik
Hasan bin Ali oleh Damaskus.
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan
Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil
mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik
untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi.
Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani
Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Fenomena berbeda justru terjadi pada
kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan
ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa
dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz.
Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan
gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan.
Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari
orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik,
pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah. Lemahnya
pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas
gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini
bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan
pada tahun 750 M Khalifah Muawiyah melanjutkan usaha Khalifaur Rasyidin dalam
penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh,
Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah
Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima
dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era
Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam
terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu
parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam
pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut,
hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi
semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika
itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan
Islam sebagai sebuah peradaban.
Selain itu, umat Islam juga telah menjadi
kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang
secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya
menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh
bangsa lain.
Bertambah luasnya teritorial umat Islam
ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah.
Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur
yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat.
Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah
pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di
wilayah kekuasaan umat Islam.
Selain itu, bertambah luasnya teritori
umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di
kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim
non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli
merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk
kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari
kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.
4.PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MASA
DINASTI BANI UMAYYAH
Meskipun para penguasa dinasti Bani
Umayyah lebih mengutamakan usaha pengembangan wilayah kekuasaan dan memperkuat
angkatan bersenjatanya, ternyata banyak juga usaha positif yang dilakukan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu yang mendorong ilmu pengetahuan
berkembang adalah dengan memberikan motivasi dan anggaran yang cukup besar yang
diberikan untuk para ulama, ilmuan, seniwan, dan sastrawan. Tujuannya antara
lain agar mereka bekerja maximal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam,
tidak lagi memikirkan masalah keuangan rumah tangga mereka.
Kemajuan ilmu agama mulai brkembang pada
da masa Khalifah Abdul Malik sebagai contoh Sibawaih yang berhasil menyusun
kitab Nahwu dan sharaf, Khalifah Abdul Malik juga perhatian kepada tafsir,
hadits, fikih dan ilmu kalam, di zaman inilah dimulai dan muncul nama-nama
seperti Hasan al- Basri, az-Zuhri dan Washil bin Atha`.
Dalam lapangan sosial
budaya, bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa
muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang
luhur seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan
kreatifitas baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Di
lapangan seni, terutama seni arsitektur, Bani Umayyah mencatat prestasi puncak,
seperti Qubah as- Shakhra di Yerusalem menjadi monument terbaik yang hingga
kini tak henti-hentinya di kagumi orang.
Pemerintahan Bani Umayyah juga mempunyai
keistimewaan lain, yaitu terdapatnya peluang yang cukup sepanjang kurun
kekuasaanya bagi perkembangan berbagai aliran yang tumbuh di masyarakat.
Meskkipun sebagian aliran itu boleh jadi dikehendaki perkembangannya oleh
penguasa waktu itu, tetapi situasi yang tercipta disadari atau tidak telah
memperkaya khazanah kebudayaan Islam yang universal. Aliran-aliran tersebut
antara lain Syiah, Khawarij, dan Mu`tazilah.
Pada masa Umar II banyak sekali perilaku
dan kebijakan-kebijakan yang dilakukannya mengandung pelajaran yang patut di
teladani dan di tiru, diantaranya:
a. Sikap hidup yang sederhana, zuhud, dan
wara. Fakta telah menyebutkan bahwa ia menyerahkan seluruh hartanya ke Bait
al-Mal untuk kepentingan rakyat, bahkan kalung emas milik istrinya yang
bernilai 10 ribu dinar mas pun diserahkanya, ia hanya menggunakan 2 dirham saja
dari kekayaanya padahal sebelum menjadi khalifah kekayaanya sangat berlimpah.
b. Demokratis dalam memimpin. Umar II
selalu meminta pendapat penduduk setempat dalam hal pemilihan calon gubernur.
c. Kesalehan dan kezuhudanya. Ia selalu
duduk di tengah para sahabat nabi dan para perawi hadis, karena itulah ia
dikenal sebagai sufinya dinasti umayyah.
d. Mencintai ilmu pengetahuan terutama
agama, ia mengutus sepuluh orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara untuk
mengajar dan menyebarkan ilmu mengajar hal-hal agama Islam di sana termasuk
penyebaran ilmu sains dan ilmu kedokteran, ia mengirim dai-dai islam ke
berbagai Negara seperti di India, Turki, Asia tengah, Afrika, Andalusia.
Dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Ia juga memerintahkan semua warganya
untuk berbondong-bondong untuk mempelajari hukum Islam di setiap bangunan
terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Selain itu ia juga
menyuruh golongan cendekiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani, latin, dan
Suryani ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu dalam naskah-naaskah itu dapat dicerna oleh
umat Islam yang menjaadi bahan kajian bagi cerdik cendekiawan saat itu.
e. Keadilan dan kemanusiaan adalah dasar
pemerintahan yang sangat diperhatikan oleh Umar II. Ia mengaplikasikan ajaran
Islam yang berbicara tentang keadilan murni dalam kepemimpinanya, sehingga Umar
II dapat merangkul mawali dan berkurang jurang antara Arab dan Non Arab.
f .Kebijakan musyawarah yang diterapkan
Umar II dengan para sahabat nabi yang masih hidup dan para ulama yang soleh
dalam hal memutuskan sesuatu supaya tidak menyimpang dari al-Quran dan hadis
dan tidak merugikan masyarakat.
g. Tanggung jawab dan mendahulukan
kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan diri dan keluarganya.
h Tegas dalam hal menegakkan hukum. Pada
masa alWalid I sebuah gereja st Thomas di Damaskus di jadikan masjid, pada masa
Umar II, gereja itu dikembalikan kepada umat Kristen.
i. Tegas dalam memimpin, Umar II berani
memecat pejabat Negara yang korup dan menggantikan dengan pejabat yang amanah.
5. FAKTOR-FAKTOR KEJATUHAN DINASTI UMAYYAH
1. Pertentangan keras antara suku-suku
Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang
disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan ( Himyariyah ) yang
berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umaiyah persaingan antar etnis itu mencapai
puncaknya, karena para khalifah cenderung kepada satu fihak dan menafikan yang
lainnya.
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam
non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu status yang menggambarkan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat
fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya
peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh
di atas rata-rata orang Arab , tetapi harapan mereka untuk mendapatkan
kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan yang di
berikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil di banding tunjangan yang
di bayarkan kepada orang Arab.
3. Latar belakang terbentuknya kedaulatan
Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syiah
dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan
sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan umayyah. Disamping menguatnya
kaum Abbasiyah pada masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak
berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani
Umayyah dalam memimpin umat.
4. Persaingan di kalangan anggota Dinasti
Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan mereka.
5. Hidup mewah di istana memperlemah jiwa
dan vitalitas anak-anak khalifah yang membuat mereka tidak sanggup memikul
beban pemerintahan yang sedemikian besar.
6.Komparasi al-Khulafa Al-Rasyidun dan
Dinasti Umayyah
1. Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun system
pemerintahan dijalankan atas dasar al-Quran, hadis dan ijma’, sedangkan pada
masa dinasti Umayyah dalam menjalankan roda pemerintahan, perintah kholifah
segala-galanya dan harus dipatuhi.
2. Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun, khalifah
menganggap sebagai pelayan masyarakat, sedangkan para khalifah dinasti Umayyah
menganggap diri mereka sebagai penguasa.
3. Pada khulafa ar-Rasyidun bertahan
karena dukungan rakyat, sedangkan masa dinasti Umayyah bertahan dengan
kekuatan.
4. Pada masa khulafa ar-Rasyidun tidak ada
satu suku yang berkuasa terus menerus, sedangkan pada masa Dinasti Umayyah
dalam kekhalifahan hanya merekalah yang menguasai.
5. Pada masa khulafa ar-Rasyidun hak
berbicara dijamin dan rakyat dapat langsung menghadapkhalifah sedangkan pada
masa Dinasti Umayyah hak bicara rakyat ditekan dan jika rakyat menghadap
khalifah harus melewati perantara yang disebut hajib.
6. Pada masa khalifa ar-Rasyidun system
demokrasi berjalan, sedang pada masa Dinasti Umayyah suara rakyat tidak
dihiraukan.
7. Pada masa khulafa ar-Rasyidun tidak
memliki hak terhadap bait al-Mal sedang pada Dinasti Umayyah bait al-Mal
menjadi milik khalifah sendiri.
8. Pada masa khulafa ar-Rasyidun pengaruh
jahiliah berkurang, sementara pada masa Dinasti Umayyah bertambah.
9 Pada masa khulafa ar-Rasyidun khlaifah
hidup sederhana dan dianggap orang biasa, namun sebaliknya para khalifah
Dinasti Umayyah hidup dengan serba kemewahan seperti raja-raja Persia dan
Bizantium
10. Pada masa khulafa ar-Rasyidun khalifah
merangkap ahli hukum, agama, dan sangat menghargai alim ulama. Sedangkan jaman
Dinasti Umayah para ulama di istirahatkan dari dunia politik.
11. Pada masa khulafa ar-Rasyidun
gerak-gerik khalifah tentang urusan agama dibatasi oleh syari’ah sedangkan pada
masa Dinasti Umayyah khalifah memerintah seenaknya.
12 Pada masa khulafa ar-Rasyidun Majelis
Syura’ di atas khalifah dan keluarga, sedangkan pada masa Dinasti Umayyah
anggota majelis Syura’ diangkat dari dan oleh keluarga dan kaum kerabat
khalifah
KESIMPULAN
Dari analisis di atas,
dapat di ambil kesimpulan bahwa :
1. Sejarah dinasti Umayyah tak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya,
yaitu konflik horizontal antara faksi Muawiyah dan Ali sebagai Khalifah pada
waktu itu. Momentum perseteruan terjadi pada Perang Shiffin, ketika pasukan dua
golongan bertemu. Perang ini diakhiri dengan peristiwa Tahkim yang menandai
pembagian kekuasaan antara Muawiyah dan Ali, hingga terbunuhnya Ali.
2. Dinasti Umayyah yang terbentang mulai tahun 661 M – 750 M telah mengalami
dinamika dan pasang-surut kepemimpinan. Faktor Khalifah atau aktor yang menjadi
pemutus kebijakan tertinggi menjadi sangat penting bagi kekuatan Dinasti.
Ketika Khalifah yang berkuasa kuat, kedaulatan Bani Umayyah pun juga menjadi
kuat.
3. Bani Umayyah telah membangun konstruksi
politik yang sedemikian besar ketika berkuasa. Konstruksi kekuasaan dibangun
dengan mekanisme kerajaan atau monarki, sehingga berimplikasi pada bergesernya
pola orientasi kekuasaan, sentralisme kekuasaan pada Khalifah yang berdampak
pada absolutisasi kebijakan Khalifah, berkurangnya peran ulama dalam pembuatan
keputusan, serta munculnya lingkaran elit yang berbasis istana dengan dominasi
kelompok-kelompok di sekeliling Khalifah.
4. Konstruksi Oposisi terbentuk dengan adanya ketidakpuasan atas Khalifah
dengan dua aktor utama: Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Gerakan
Abdullah bin Zubair dapat dihancurkan dengan kekuatan Khalifah yang begitu
kuat, sementara Abul Abbas As-Saffah tak dapat dikalahkan dengan mudah dan akhirnya
berhasil merebut kekuasaan.
5. Konstruksi politik luar negeri dibangun dengan dasar penyebaran Islam
melalui penaklukkan-penaklukkan. Umat Islam berhasil mengembangkan territorial
kekuasaan mereka hingga Spanyol di ujung barat dan India di ujung selatan.
6.Banyak sekali keteladanan yang dapat kita peroleh dari perilaku dan
kebijakan – kebijakan yang diterapkan Umar bin Abdul Aziz, alangkah baiknya
jika bisa meniru dan meneladaninya, sehingga sejarah putih dan indah yang
terjadi pada masa Umar II terulang kembali
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mustofa, Perlukah Negara Islam (Surabaya: Padma press serial
ke-27 diskusi tasawuf modern, 2010)
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam (Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana cetakan I, 2003)
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos
cetakan I, 1997)
Badri Yatim, Sejarah Kebudayaaan Islam (Jakarta: Grafindo cetakan I,
1993)
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI
Press cetakan V, 1985)
www.akhmadrowi.blogspot.com.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !