MAKALAH
Pengaruh Peradaban Pada Masa Daulah Bani Umayyah
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
“SEJARAH PERADABAN ISLAM”
Dosen Pembimbing :
Drs. H. Akhmad Rowi, M.H.
Disusun Oleh :
Farida Nur Santi
NIM:
C.1.4.12.0006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah merupakan suatu rujukan yang sangat penting saat
kita akan membangun masa depan. Namun, kadang kita sebagai umat Islam malas
untuk melihat sejarah. Sehingga kita cenderung bedalan tanpa tujuan dan mungkin
mengulangi kesalahan yang pernah ada di masa lalu. Disnilah sejarah berfungsi
sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah teriadi sebuah kisah yang patut kita
pelajari untuk merancang serta merencanakan matang-matang untuk masa depan yang
lebih cemerlang.
Sangat memilukan ketika masyarakat Indonesia yang religius
dewasa ini terpuruk dalam himpitan krisis dan terbelakang dalam aspek
kehidupan. Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dimana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. ironis ketika saat ini
menjadi terbalik, negara Barat menjadi model bagi negara-negara berkembang
termasuk Indonesia.
Perkembangan Islam pada zamar' Nabi Muhammad SAW dan Para
Sahabat adalah merupakan masa keemasan agama Islam, hal itu bisa terlihat
bagaimana kemurnian Islam itusendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya
yaitu Rasulullah SAW. Kemudian padazaman selanjutnya yaitu zaman pata sahabat,
terkhusus pada zaman Khalifah empat atauyang lebih terkenal dengan sebutan
Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang deng.an pesatdimana hampir 2/3 bumi yang
kita huni ini hampir dipegang dan dikendblikan oleh Islam. Hal itu tentunya
tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankandan juga
dalam menyebarkan Islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi. Perkembanganlslam
pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih
maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa Islarn pada zaman Nabi
Muhammad dan Khulalbur Ilasyidin merupakan lslam yang luar biasa pengaruhnya.
Berlanjut pada masa pada masa Bani Umayyah Di Damaskus, Bani Abbasiyyah Di
Baghdad dan Bani Umayyahdi Andalusia serta Afrika Utara (hdura.bbitun,
Muwahhidun, dan Fathimiyyah), serta Dinasti Mamluk di Mesir. Namun yang
terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita
melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat kembali dan
mengkaji kembali bagaimand sejarah Islam yang sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Bani Umayyah.
1. Asal Mula Dinasti Bani Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi
Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki
cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup
kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur
tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh
kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya yaitu Hasyim
bin Abdu Manaf dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1][1] Sesudah
datang Agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan
yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya
Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk
Islam atau yang belum. Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk
agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum
mereka masuk Islam. Setelah itu sekumpulan Bani Umayyah masuk islam.
Jadi, nama Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd
Al- Syam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sofyan berasal
dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy.[2][2]
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan
pada tahun 35 H/656 M, sa’at khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu Nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal
Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan
bin Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh khalifah
Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur Syam dan tampil sebagai pemimpin
Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah muncul sebagai khalifah.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah
dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan
sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran
tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar tadi yaitu
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam merasa tenang, dan kemudian mereka
dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah
setia (bai’at) kepada Ali pada tahun 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini
mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali
bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah
keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat
oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah,
ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya
Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus dan Syiria, serta Marwan bin Hakam
yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris
khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah
bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang
bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara
kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan
perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin
Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali bin Abi Talib di tebing
Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M.
Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan Umat Islam yang
baru.
Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan,
masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman.
Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Tetapi Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut karena ada berita bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan pada waktu itu.
Muawiyah mengancam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan
Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat
pembunuhan tersebut untuk dihukum. Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji
akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan
situasi dan kondisi di dalam Negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil
individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra
dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu
Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan
keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk
bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan
alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu,
khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan
lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu
karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis
tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena
justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya yaitu Hasan dan Husein
serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan
melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi
kediaman khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah
peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani
Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di
dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin
Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah
Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku
sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan
kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur
Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah
setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari
khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir
untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir,
Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin
Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan
mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebijakan yang mengancam
nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara
massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi
atas sistem pemerintahan yang dianggap sangat sarat dengan kolusi dan
nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut
khalifah Utsman bin Affan untuk segera melepaskan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin
Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung
menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman bin Affan
terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan
khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru
ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah
Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan
pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di
sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat
peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian
mereka.
2. Usaha Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat
sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin
Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam
khususnya para pengikut setia khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu Syi’ah. Oleh
karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi
Thalib (Syi’ah) melakukan sumpah setia (bai’at) atas Hasan bin Ali untuk di
angkat menjadi khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang.
Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah
yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali
mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam
pendukung setia Ali bin Abi Thalib (Syi’ah).
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut
ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan
dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai
gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan
karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki
jabatan tertinggi dalam dunia Islam pada saat itu.
Namun Hasan bin Ali sosok yang jujur dan lemah secara
politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin Negara
(khalifah). Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan
oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap
Hasan bin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk
pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti
Umayyah. Dialah tokoh pembangunan yang besar. Namanya disejajarkan dalam
deretan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahanya yang menghianati prinsip
pemilihan kepala negara oleh rakyat (demokrasi) dengan diganti sistem Monarchi,
dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang
mengagumkan. Mu’awiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin
Abi Thalib berdamai denganya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagianya membaiat
Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun, Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia
berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu
dinamakan ‘amul jama’ah (Tahun Persatuan).
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai
pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa
dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan syarat
antara lain:
1. Agar Muawiyah menyerahkan
Harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Agar Muawiyah tak lagi
melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.
3. Agar Muawiyah menyerahkan
pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali setiap
tahun.
4. Pemberian kepada Bani
Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams.[3][3]
5. Muawiyah tidak boleh
menarik sesuatu apapun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu
telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus
seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk
menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk
menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus
orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah
surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan.
Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah,
Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan
Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan
ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam Berdiplomasi.
Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah
satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin
sebelumnya yaitu Hasan bin Ali.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke
Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di
bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai
pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita
untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin
Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi
dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah
sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada
di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah Dinasti baru yaitu Dinasti Bani
Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya
kepemimpinan Raja-Raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk
menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan
Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus,
tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi,
perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai
khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke
Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah
ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
3.Kemajuan Dan Keunggulan Bani Umayyah
Di masa Bani Umayyah ini, kebudayaan mengalami perkembangan
dari pada masa sebelumnya. Di antara kebudayaan Islam yang mengalami
perkembangan pada masa ini adalah seni sastra, seni rupa, seni suara, seni
bangunan, seni ukir, dan sebaginya. Pada masa ini telah banyak bangunan hasil
rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia dan Arab. Contohnya
adalah bangunan masjid Damaskus yang dibangun pada masa pemerintahan Walid bin
Abdul Malik, dan juga masjid Agung Cordova yang terbuat dari batu pualam. Seni
sastra berkembang dengan pesatnya, hingga mampu menerobos ke dalam jiwa manusia
dan berkedudukan tinggi di dalam masyarakat dan negara. Sehingga syair yang
muncul senantiasa sering menonjol dari sastranya, disamping isinya yang bermutu
tinggi.
seni suara yang berkembang adalah seni baca Al-Qur‟an,
qasidah, musik dan lagu-lagu yang bernafaskan cinta. Sehingga pada saat itu
bermunculan seniman dan qori‟/ qori‟ah ternama.
seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan khot Arab
sebagai motif ukiran atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding
masjid dan tembok-tembok istana yang diukur dengan khat Arab. Salah satunya
yang masih tertinggal adalah ukiran dinding Qushair Amrah (Istana Mungil
Amrah),istana musim panas di daerah pegunungan yang terletak lebih kurang 50
mil sebelah Timur Amman.
ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu
pengetahuan agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu
kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah, dan lain-lain.
politik telah mengaami kamajuan dan perubahan, sehingga
lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah
(kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah
(Ajudan), Organisasi Keuangan, Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha
Negara. militer pada masa Bani Umayyah jauh lebh berkembang dari masa
sebelumnya, sebab diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nizhamut Tajnidil
Ijbary). Sedangkan pada masa sebelumnya, yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara
adalah merupakan pasukan sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah
politik Arab, dimana tentara harus dari orang Arab sendiri atau dari unsur
Arab. Pada masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir sempurna
hingga mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau Rhodus
dengan panglimanya Laksamana Aqabah bin Amir. Disamping itu Muawiyah juga telah
membentuk “Armada Musin Panas dan Armada Musim Dingin”, sehingga
memungkinkannya untuk bertempur dalam segala musim.
sosial budaya, kholifah pada masa Bani Umayyah juga telah
banyak memberikan kontribusi yang cukup besar. Yakni, dengan dibangunnya rumah
sakit (mustasyfayat) di setiap kota yang pertama oleh Kholifah Walid bin Abdul
Malik. Saat itu juga dibangun rumah singgah bagi anak-anak yatim piatu yang
ditinggal oleh orang tua mereka akibat perang. Bahkan orang tua yang sudah
tidak mampu pun dipelihara di rumah-rumah tersebut. Sehingga usaha-usaha
tersebut menimbulkan simpati yang cukup tinggi dari kalangan non-Islam, yang
pada akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam. b) Keruntuhan Bani
Umayyah
Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal,
diantaranya adalah terbaginya kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua
wilayah. Kholifah Marwan bin Muhammad berkuasa di wilayah Semenanjung Tanah
Arab, dan Kholifah Yazid bin Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling
kuat di antara kedua wilayah tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah
Arab. Sehingga para pendiri kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus
mengatur strateginya untuk menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun,
termasuk menghabisi
nyawanya.
4. Pembunuhan Terhadap Marwan bin
Muhammad dan Yazid iirn Umar
Salah satu pendiri daulah Bani Abbasiyah, Abul Abbas As-Shaffah
mengirimkan pasukannya ur;tuk melumpuhkan kepemimpinan Marwan. Sebagai
panglima, ia mengutus Abdullah bin Ali. Kholifah MArwan juga telah
mempersiapkan pasukannya yang besar dengan
rnembaginya dengan dua lapis. Lapis pertama, adalah terdiri
dari pasukan yang selalu mengalami kemenangan dalam setiap peperangan, yang
kedua, adalah pasukan yang selalu mengalami kekalahan dalam setiap peperangan.
Kedua pasukan tersebut bertempur di lembah Sungai az-Zab,
salah satu cabang Sungai Djlah (Tigris) dari sebelah timur. Pertempuran berlaku
sengit. Angkatan perang Marwan memang cukup besar dan memiliki perbekalan yang
banyak. Namun, itu semua tidak menyurutkan keingirran pasukan Abbasiyah untuk
memperoleh kemenangan demi masa depan yang cemerlang. Demikianlah angkatan
tentara Abbasiyah mencapai kemenagan atas pasukan Kholifah Marwan. Sejak saat
itu, Marwan terus diburu untuk benar-benar dibunuh, sehingga tidak ada lagi
kekuasaan Bani Umayyah yang tersisa. Marwan terus menerus melakukan pengunduran
dari satu tempat ke tempat lain, dimulai dari ia mundur dari Harran, Qinnisirin
(Syiria), kemudian Hims, Damsyik, Palestin dan akhirnya Mesir. Di Mesir, Marwan
dan sedikit pasukannya yang tersisa masih harus melakukan pertempuran kecil,
dan saat itu pula ia tewas. oment inilah yang menyebabkan kemunduran dan
kehancuran daulah Bani Urnayyah yang sudah berkuasa selama 90 tahun.
B. Pola Pemerintahan Dinasti
Bani Umayyah.
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan
cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada
ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan
membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan
melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan
keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[4][8]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi
Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan
yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri
sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah
pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke
7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa
melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha
dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya
dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41
H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya
dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di
wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang
tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru
dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut[5][9]. Dia menyebutnya
“Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[6][10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan
perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan
menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra
mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk
Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak.
Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar
terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti
yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk
mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian
memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan
sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang
dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah
Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi
sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang
sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi
Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja
seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[7][11]
C. Khalifah Terbesar dari Dinasti
Bani Umayyah.
1. Muawiyah bin Abi Sufyan
Pada Masa Muawiyah inilah, Ekspansi besar-besaran dilakukan,
Muawiyah juga mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang
selalu siap ditiap pos. dan awal pendirian sebuah sitem Dinasti. Ia juga
berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan Mata Uang), dan lain-lain.
Pada Masa pemerintahan Muawiyah diraih kemajuan besar dalam
perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan.
Peristiwa paling mncolok adalah keberanianya mengepung Kota Konstatinopel
melalui Ekspedisi yang dipusatkan di Kota pelabuhan Dardanela.
Muawiyah dibaiat oleh umat islam di Kuffah (Madinah),
Muawiyah wafat pada tahun 60 H, di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh
anaknya, yazid yang telah ditetapkanya sebagai Putra Mahkota sebelumya. Yazid
tidak sekuat Ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya,
antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat
Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan
terbunuhnya Husain, cucu Rosulullah SAW itu. Yazid menghadapi para pemberontak di
Makkah dan Madinah dengan keras. Dinding Ka’bah runtuh dikarenakan terkena
lemparan Manjaniq , alat pelempar batu ke arah lawan. Peristiwa itu merupakan
aib besar pada masanya.
Yazid Wafat pada tahun 64 H, setelah memerintah 4 Tahun dan
digantikan oleh Anaknya, Muawiyah II bin Yazid.
2. Abdul Malik bin
Marwan
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam
deretan para khalifah Bani Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang
dalam ilmu agamanya, terutama dibidang Fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan
sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan Bani Umayyah dari segala
pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan
separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij,
sampai kepada Aksi teror yang dilakukan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di
wilayah Kuffah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi
pemerintahan Umayyah. Ia memrintahkan pengguna’an Bahasa Arab sebagai bahasa
administrasi diwilayah Umayyah, yang sebelumnya masih bermacam-macam, seperti
bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia, dan Bahasa Qibti di Mesir. Ia
juga memerintahkan untuk mencetakuang secara teratur, membangun beberaapa
gedung, dan masjid serta saluran-saluran air. Dan lain-lain.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintah paling lama,
yakni 21 tahun.
3. Umar bin Abdul Aziz.
Adapun khalifah besar yang ketiga adalah Umar bin Abdul Aziz.
Meskipun masa pemerintahanya sangat singkat, namun Umar bin Abdul Aziz
merupakan “Lembaran Putih” Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri
sendiri. Mempunyai karakter yang terpengaruh oleh berbagai kebijaksana’an
daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang
khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada
sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir.
Umar bin Abdul Aziz pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin
karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah
Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan.
Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat
menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana,
adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada
jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar
tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan
komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk mengadakan perdamaian antara
Amawiyah, Syi’ah serta Khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki
terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia mengembalikan tanah-tanah yang
dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual
barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualanya ke Baitul Mal. Ia
banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan
masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem
zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang
berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara
imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan,
kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar lepas dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan
meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua
golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter
kepemimpinannya.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah mulai mundur sepeninggal
Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah.
Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa khalifah Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti ini. Di
zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat
menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke
Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan
Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan
dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai era yang
agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan kemajuan
besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman
Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq
bin ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara
Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan
demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira
dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya
Kordova.[8][4]. Pada saat itu, Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah
karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis
melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di
Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai
masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan,
Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang termasuk sovyet (Rusia).
Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi,[9][5] penaklukan militer di
Zaman Umayyah mencakup 3 Front penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran
utama pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau
dilaut tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam
Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas,
sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara
ke daerah-daerah disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah
selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat.
·
Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Umayyah.
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata
tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelamahan-kelemahan internal dan semakin
kuatnya tekanan dari pihak luar.
Kemunduran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor,
yakni:
Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinansti Umayyah
adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin
Abbas Al-Mutholib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan
golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali (non-Arab) yang merasa dikelasduakan oleh
pemerintah Bani Umayyah. Mereka orang non-Arab derajatnya dianggap lebih
rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka harus lebih
sedikit dari orang Arab.
Pada Masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara
Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada
sejak zaman sebelum islam semakin runcing. Perselisian ini mengakibatkan para
penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Disamping itu, sebagian besar golongan timur lainya merasa tidak puas karena
status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan
bangsa Arab yang diperhatikan pada Masa Bani Umayyah.
Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan tidak
adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat tidak
disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan diri
sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien. Persaingan
antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah semakin buruk
banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi Karbala.
Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan terhadap
khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah. Kaum
Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati
terhadap keturunan Nabi.
Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat
dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di Masa Ali. Sisa-sisa
Syi’ah (Para Pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik
secara terbuka seperti di Masa awal dan Akhir maupun secara tersembunyi seperti
di Masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan
ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah
sesuatu yang baru bagi Tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas,
pengaturanya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan Anggota keluarga
istana.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu,
sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan
berdirinya kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan
membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul
Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya dipengaruhi oleh
pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah
diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah Marwan bin Muhammad
pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari Bani Umayyah).[10][6]
E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Bani Umayyah.
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang
kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi, teknologi,
maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Dinasti Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan
yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutsn perkembangan wilayah dan
administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat Majelis
Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah dibantu oeh beberapa orang
sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi :
1. Katib Ar-Rasa’il,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat
dengan para pembesar setempat.
2. Katib Al-Kharraj,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Katib Al-Jundi, sekertaris
yang bertugas menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
4. Katib Asy-Syurtah,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
umum.
5. Katib Al-Qudat, sekertaris
yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan
hakim setempat.[11][7]
Bidang Sosial Budaya : Bani Umayyah telah membuka terjadinya
kontak antar bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang
terkenal memiliki tradisin yang luhur seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan
sebagainya. Hubungan tersebut lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan
dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni bangunan
(arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang, seperti
Home Of The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang
hingga kini tak henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra
juga meningkat dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti
Al-Ahtal, Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’
(Bukan Sahabat), menyusun gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf
hijaiyah yang semula tidak bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub). Usaha ini
besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta memudahkan
orang membaca, mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan
bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya. Kerajaan
inipun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan
mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir).[12][8]
Sudah ada titiknya tapi masih banyak orang non-Arab yang
masih belum bisa membaca, maka Imam Kholil bin Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl,
Fathah, kasroh, dhommah, fathahtein, sukun,dll, (w. 165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan
yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu
pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1. Pengembangan Bahasa Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai
Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan dikembangkanlah Bahasa Arab dalam
wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab
sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha negara dan pemerintah sehingga pembukuan
dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan
bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di
Persia sendiri.
2. Marbad Kota Pusat Kegiatan
Ilmu.
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah Kota kecil sebagai
pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan Kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan
kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Di Kota Marbad
inilah berkumpul para pejangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendikiawan lainya,
sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya Islam.
3. Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca Al-Qur’an. Ilmu Qiraat
merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina sejak Zaman Khulafaur
Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi
Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir para Ahli Qiraat
ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127
H).
4. Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an sebagai kitab Suci diperlukan
interprestasi peahaman secara komprehensif.
5. Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah berusaha memahami Al-Qur’an,
ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan
Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu timbullah usaha untuk mengumpulkan
Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang
berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits. Diantara para Ahli Hadits pada Masa
Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri
(w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil
(w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil salah satu orang yang
bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk membuat ilmu yang digunakan untuk
menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul Hadits,
6. Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah, maka para penguasa sangat
membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam
menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dan
mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan
memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada zaman ini ilmu
Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli
Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim
Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7. Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang
secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu Nahwu sangat
diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam
(Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan.
Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu
yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu Agama Islam.[13][9]
Contoh, membaca : Innallaha barii’um minal musyriki wa
Rosuulih, (Salah), yang artinya: “sesungguhnya Allah tidak melindungi orang
Musyrik dan tidak melindungi Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um
minal Musyriki wa Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi
Orang Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh).
8. Ilmu Jughrafi dan Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa Dinasti Umayyah telah
berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu Tarikh (ilmu Sejarah),
baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya pengembangan
dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk
mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi), demikian pula ilmu tarikh.
Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa Dinasti Umayyah, barulah
berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
9. Usaha Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan Dakwah Islamiyah, pada masa
Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari
bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa
gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang secara
pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula melakukan usaha
penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang sangat cerdas dan
ambisius.
- Masa kepemimpinan Muawiyah
telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan.
- Menertibkan angkatan
bersenjata. Masa pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil
menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
- Muawiyah bin Sufyan berhasil
mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai kemakmuran dan kekayaan yang
melimpah.
- Pencetakan mata uang oleh
Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M
dengan memakai kata dan tulisan Arab.
- Jabatan khusus bagi seorang
Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri.
- Keberhasilan kholifah Abdul
Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M)
yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
- Membangun panti-panti untuk
orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji
tetap oleh Negara pada waktu itu.
- Membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
- Membangun pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
- Hadirnya Ilmu Bahasa Arab,
Nahwu (Abu Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar
Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan
As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar
pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak
dari peradaban Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang.
Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah
Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan
Hadist. Pengumpulan hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini
muncul ahli-ahli hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah
al-Zuhri dan Hasan Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab
(Nahwu), Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab bagi
orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah
berkembang ke luar Jazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi
khalifah Abdul Malik bin Marwan mengerakkan Politik Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah
Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya Bangsa Grek (Yunani)
yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikkian orang Islam pada masa ini
mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu
Aqliyah pada masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat permulaan dan pengenalan.
Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[14][10]
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama
peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari
cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan
teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system
pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan
dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan
sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah runtuhnya bani Umayyah, karena persoalan internal
dan pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh bani Hasyim. Karena bani
Umayyah menindas pengikut Ali dan bani Hasyim, merendahkan kaum muslimin dan
melanggar ajaran Islam secara terang-terangan. Muncullah khalifah bani
Abbasiyah, khalifah yang melanjutkan perdaban Islam. Pada waktu itu wilayah
kekuasaan Daulah Abbasiyah tidak bertambah, bahkan berkurang, namun wilayah
penyebaran lslam meluas sampai ke pedalaman anak benua India dan lahir
daulah-daulah Islam di sana.
Dari pemaparan makalah tersebut, penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Diantara faktor-faktor yang
membawa Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran adalah sebagai berikut:
-
Munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
-
Kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya
kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali)
-
Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
-
Larutnya beberapa penguasa ftnalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
2. Adapun faktor-faktor yang
membawa Daulah Bani Umayyah ke gerbang kehancuran adalah sebagai berikut:
-
Tidak adanya sistem pergantian pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa
dijadikan patokan dalam pergantian khalifah
-
Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi'ah dan Khawarij
-
Perselisihan dan pertentangan etnis antara suku Arab yang mengakibatkan para
peoguasa mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan
-
Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
-
Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang
-
Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh ksturunan al-Abbas lbn Abd.
Al- Muthalib dan didukung oleh Bani Hasyim, kaum Syi'ah dan kaum Mawali.
3. Hikmah atau pelajaran yang
dapat penulis petik bahwa, setiap Daulah/kekuasaan akan mengalami masa kejayaan
dan kehancuran, dan alangkah jayanya suatu kekuasaan/peradaban kalau ia dapat
mengambil pelaiaran untuk menggapai kejayaan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Fuad Mohd Fachrudin. 1985. Perkembangan Kebudayaan
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ibnu Hisyam, 1937. Sirah Ibnu Hisyam, Jilid IV. Mesir:
Matba’ah Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuh.
Jalaludin As-Suyuti. 1979. Kitab Khulashotul Nuril Yaqin-45
Jilid Wa Tarikh Al-Khulafa. Beirut: Darul Fikr.
Jurji Zaidan. 1999. Tarikh Adab Lughah Al-Arabiyah, Jilid
II, Cairo: Darul Hilal.
Kitab Al-Kaamil Fit-taarikh lil Imam Ibnil Atsiir-13 jilid,
wa Tarikh Ibnu Kholdun-14 Jilid, Tariikhul Umaamil wal Muluk li Abii ja’far
Ibni At-thobari-10 Jilid,
www.akhmadrowi.blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !