RESPON NEGARA-NEGARA BARAT TERHADAP PERADABAN ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad
Rowi, M.H
Oleh Halim Rois
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATTAH
DEMAK 2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil’aalamin,
segala puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT Sang
pencipta alam semesta beserta segala isisnya yang Maha Besar, yang berkat
rahmat, bimbingan, izin dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaiakan tugas Makalah
ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya,serta
seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Makalah ini diajukan sebagai salah satu
tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam Fakultas Agama Islam Universitas Sultan Fattah
Demak, di mana judul Papernya adalah “Respon
Negara Non Arab Terhadap Peradaban Islam. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
membahas tentang sebenarnya bagaimana Tanggapan Orang Barat terhadap Islam
Dalam menyusun Paper ini Penulis menyusun makalah ini dengan maksimal dan
dengan segala kemampuan penyusun berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Namun,
kritik dan saran yang bersifat konsrtruktif dan membangun penulis terima dengan
senang hati. Akhir kata makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang
diharapkan, dan penyusun berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat.
Amin.
Wabillihi taufik walhidayah
wassalammu’alaikum Wr.Wb
DAFTAR
ISI
Halaman
Kata pengantar…………………………………………………………………..
Daftar
isi..………………………………………………………………………
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang…………………………………………………………..1
B.
Identifikasi maslah……………..…………………………………….…..1
C.
Maksud dantujuan……………..……………………………………...... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Studi Islam di Barat ………………………………………….....2
B.
Pandangan Barat tentang Islam………………………………………......3
C.
Mengapa Barat Masih takut pada
Islam.....................................................5
BAB
III PENUTUP
Kesmpulan……………………………………………..................…………10
Saran……………………………………………………………...................10
DAFTARPUSTAKA……………………………………………………......12
BAB. I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Agama
memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak
baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri
manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti
naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa
seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku
manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh
potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah,
membunuh, mencuri, minum- minuman keras, atau menggunakan narkoba dan
mainjudi).
Agar
hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran
agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan
agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi
dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia
yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri
(self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama. 1
Wahid 'Abdussalam Baali. Pertama, Syawal 1430 H/ Oktober 2009. “Noda-Noda
Perusak 'Aqidah dalam Kehidupan Sehari-hari” Jakarta: Pustaka Ibnu 'Umar.
xx+105 . Hubungan antara agama dan negara dalam konteks Indonesia -tidak
dimungkiri- kerap menjadi perdebatan sengit, bahkan dalam suasana stigmatis.
Perdebatan itu tak hanya terjadi di tingkat wacana, melainkan telah diikuti
tuntutan riil tentang konsep negara Islam yang perlu dibumikan di Indonesia.
Sejarah mencatat, sejak Indonesia merdeka tuntutan untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi dan dasar negara itu seperti tidak pernahsurut.
B. Identifikasi Masalah
1.
Bagaimana
sejarah studi islam di Barat ?
2.
Bagaimana
Pandangan Barat tentang Islam?
3.
Mengapa
Barat masih takut dengan Islam ?
C. Maksud dan
Tujuan
Untuk
mengetahui cara pandang Barat tentang Islam dari persepektif para Cendekiawan
D. Manfaat
1.
Dapat
mengetahui Persepektif Cendekiawan barat terhadap islam
2.
Dapat
mengetahui alasan ketakutan barat terhadap islam
BAB II.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Studi Islam di Barat
Interaksi pertama kali antara Islam dan Barat terjadi ketika umat Islam berhasil menguasai Andalusia (Spanyol) sekitar tahun 711 M. Saat itu peradaban Islam sedang berada di puncak kejayaannya, sehingga tidak heran kalau orang-orang Barat banyak belajar kepada umat Islam. Karena saat itu Barat merasa dikuasai oleh umat Islam, maka dalam pandangan Barat Islam adalah penjajah dan mereka harus berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan tersebut. Sehingga ketika Barat kembali berhasil mengalahkan umat Islam di Andalusia mereka memperlakukan orang Islam layaknya musuh yang harus dimusnahkan.
Selanjutnya interaksi Islam dan Barat berlanjut saat terjadinya perang Salib, sebuah peperangan besar antara pasukan kaum muslimin dan laskar kristen selama 300 tahun, guna memperebutkan Yerussalem. Saat itu tentu saja hubungan Islam dan Barat masih berupa permusuhan. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, sekitar tahun 1141-1142 ada sekelompok intelektual Barat (Kristen) yang berusaha mempelajari Islam dengan serius. Mereka dipimpin oleh Petrus Venerabilis. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menerjemahkan al-quran ke dalam bahasa Latin. Sekalipun terjemahan al-quran tersebut mengandung banyak kekeliruan, namun terjemahan itu tetap menjadi rujuakan Barat dalam memandang Islam selama kurang lebih 600 tahun kemudian. Pada fase ini, intinya Barat memandang ”Islam sebagai Kristen yang Sesat” (Islam as Christian Heresy). Maka tak heran kalau mereka banyak menuduh Islam dengan kata-kata kasar dan vulgar. Misalnya mereka mengatakan bahwa al-quran adalah kitab setan, nabi Muhammad adalah pesuruh setan dan Islam adalah sekte terkutuk, terlaknat sekaligus berbahaya.
Pandangan Barat mengenai Islam seperti itu terus berlangsung hingga abad 16. Munculah stigma Islam itu bagi Kristen merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Bagi orang Eropa Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “orang kristen ingin agar timur dan Barat Eropa bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of christianity). Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya”.
Memasuki abad 17-18 Barat masih tetap memandang Islam dengan pandangan negatif dan penuh api perseteruan. Tahun 1653 misalnya, Alexander Ross menerbitkan buku yang banyak menghujat Islam, ia menulis buku berjudul The Prophrt of Turk and Author of the Al- Coran. Isinya sering menggunakan kata-kata kasar seperi the great Arabian imposter, the little horn in denial, Arabian swine untuk menyebut nabi Muhammad dan para pengikutnya. Terhadap al-quran ia menyebut corrupted puddle of Mahomet’s invention dan Mis-shapen issue of Mahomet’s brain.
Abad ke 19 Barat menguasai mayoritas wilayah Islam. Mereka banyak mendirikan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran untuk mempelajari Islam secara lebih serius. Hasilnya cara pandang Barat terhadap Islam mengalami pergeseran yang cukup besar, dari fase kebencian dan caci maki menjadi serangan sistimatis dan ilmiyah. Walaupun tetap mengandung banyak kesalahan dan pandangan negative.
Setelah perang dunia II, pandangan Barat mengenai Islam kembali mengalami pergeseran dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Mereka tidak lagi mengumbar kata-kata kasar dan vulgar sebagai cerminan kebencian mereka terhadap Islam, tapi banyak mengkritisi ajaran-ajaran Islam, seperti mengkritisi konsep wahyu dan cara menafsirkannya. Walaupun demikian Edward Said menyimpulkan pandangan Barat tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris. Sebab tulisnya, Barat memandang Timur (Islam) dengan rasa superioritas yang tinggi. Jadi walau bagaimanapun, Barat tetap memandang Islam berdasarkan ”kaca mata” dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris, hingga kini.
Itulah gambaran mengenai studi Barat mengenai Islam sepanjang sejarah. Di dalamnya penuh dengan kebencian dan amarah yang luar biasa, sehingga mereka sering menuduh Islam dan umatnya dengan tuduhan negatif, seperti teroris belakangan ini. Yang jelas, sampai kapanpun Barat karena mayoritas penduduknya Kristen tidak akan pernah ridho terhadap umat Islam kecuali jika kita sudah mengikuti millah mereka, sebagaimana yang dijelaskan Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 120:
” Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
B.
Pandangan Barat tentang Islam
Cara pandang
orang barat sebagai mana yang terungkap dalam buku Dr. Morey
terhadap perilaku umat Islam, hukum hukum Islam dan peribadatan dalam Islam
adalah reaksi spontan terhadap keadaaan umat Islam di negara-negara Islam tanpa
memperhatikan apa sesungguhnya ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh
melainkan sepenggal-sepenggal sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memaknai
Islam. Sebagaimana telah kita bahas beberapa penyebabnya yang juga membuat kita
tidak heran dengan adanya pandangan negatif barat kepada Islam itu namun juga
tidak dapat disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut seringkali disebabkan
oleh salah paham, atau malah oleh rasa permusuhan. Apalagi dengan adanya
tulisan Samuel Huntington yang mengemukakan tentang kemungkinan
terjadinya perbenturan budaya (clash of civilizations) dengan Islam
sebagai pola budaya yang paling potensial “membentur budaya modern Barat, maka
rasa permusuhan laten kepada Islam itu semakin memperoleh bahan pembenaran.
Untunglah bahwa
di kalangan orang Barat sendiri selalu tampil orang-orang yang jujur dan sadar.
Dalam kejujuran dan kesadaran itu mereka tampil sungguh menarik sebagai pembela
pembela Islam yang tangguh. Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan pandangan
penuh nafsu namun salah dan Zalim dari kalangan orang Barat tentang Islam dan
kaum Muslim. Contohnya ialah Robert Hughes, seorang yang lama
bekerja sebagai kritikus seni majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya
dengan baik sekali mewakili dan mencoba bersikap adil dan benar, maka ada
baiknya penulis terkenal ini kita kutip sebuah pernyataannya secara panjang
lebar. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Culture of Complaint sebuah bestseller
koran New York Times Hughes mengatakan pandangan hidup aneka budaya
(multicultural) demikian:
“Maka jika
pandangan aneka budaya ialah belajar melihat tembus batas-batas, saya sangat
setuju. Orang Amerika sungguh punya masalah dalam memahami dunia lain. Mereka
tidaklah satu-satunya kebanyakan sesuatu memang terasa asing bagi kebanyakan
orang tetapi melihat aneka ragam asal kebangsaan yang diwakili dalam
masyarakat mereka (Amerika) yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya
merima stereotip masih dapat membuat orang asing heran, bahkan (berkenaan dengan
diri saya) sesudah tinggal di A.S. duapuluh tahun. Misalnya: Jika orang Amerika
putih masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana dengan orang Arab?
Sama dengan setiap orang, saya menonton Perang Teluk di televisi, membaca
beritanya di Koran dan melihat bagaimana perang itu membuat klimaks buruk
kepada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada orang Amerika, berupa ketidak
pedulian yang penuh permusuhan kepada dunia Arab, dahulu dan sekarang. Jarang
didapat petunjuk dari media, apalagi dari kaum politisi, bahwa kenyataan
tentang budaya Islam (baik dahulu maupun kini) bukanlah tidak lain dari sejarah
kefanatikan. Sebaliknya, orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum
bahwa orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak agama yang berubah-ubah,
pengambil sandra, penghuni semak berduri dan padang pasir yang sepanjang zaman
menghalangi mereka untuk kenal dengan negeri-negeri yang lebih beradab.
Fundamentalisme Islam di zaman modern memenuhi layar televisi dengan
mulut-mulut yang berteriak dan tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam
masa lalu apalagi sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap senofobia dan
militerisme fundamentalis sangat sedikit terdengar. Seolah-olah orang Amerika
selalu dicekoki dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan Isabella
pada abad 15, yang dibesar-besarkan dan disesuaikan dengan zaman. Inti pesannya
ialah bahwa orang Arab adalah tidak hanya tidak berbudaya, tetapi tidak dapat
dibuat berbudaya. Dalam caranya yang jahat, pandangan itu melambangkan suatu
kemenangan bagi para mulla dan saddam Husein di mata orang Amerika, apa saja di
dunia arab yang tidak cocok dengan kejahatan dan maniak eskatologis ditutup
rapat, sehingga mereka (orang Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang
(segala kebaikan) itu.
Tetapi memperlakukan budaya dan sejarah Islam
sebagai tidak lebih daripada mukadimah kefanatikan sekaran gini tidak membawa
faedah apa-apa. Itu sama dengan memandang katedral Gotik dalam kerangka orang
Kristen zaman modern seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson
(dua penginjil televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak terhormat
karena skandal-skandal). Menurut sejarah, Islam sang Perusak adalah dongeng.
Tanpa para sarjana Arab, matematika kita tidak akan ada dan hanya sebagian kecil
warisan ilmiah Yunani akan sampai ke kita. Roma abad tengah adalah kampung
tumpukan sampah dibanding dengan Baghdad abad tengah. Tanpa invasi Arab ke
Spanyol selatan atau Andalus pada abad 8, yang merupakan ekspansi terjauh ke
barat dari imperium Islam yang diperintah dinasti Abasiah dari Baghdad (Sic.,
yang benar ialah Spanyol Islam berdiri di bawah dinasti Umayyah, tanpa pernah
menjadi bagian wilayah dinasti Abasiah di Baghdad), kebudayaan Eropa selatan
akan sangat jauh lebih miskin. Andalusia Spanyol-Arab, antara abad 12-15,
adalah peradaban “multicultural” yang brilian, dibangun atas puing-puing (dan
mencakup motif-motif yang hampir punah) dari koloni Romawi kuno, menyatukan
bentuk-bentuk Barat dengan Timur Tengah, megah dalam ciptaan iramanya dan toleransinya
yang pandai menyesuaikan diri. Atsitektur mana yang dapat mengungguli Alhambra
di Granada, atau Masjid Agung Kordoba? Mestizaje es grandeza: perbauran adalah
keagamaan. Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika tentang
masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada
Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak
senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan diatas, sudah diidap
orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh
kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam.
Mari kita lihat
bagaimana Dr. Robert Morey menunjukkan kebenciaanya pada umat
Islam seperti pernyataannya berikut ini:
“Orang Barat
mengalami kesulitan memahami Islam karena mereka tidak mengerti bahwa Islam merupakan
suatu bentuk dari imperalisme budaya di mana agama dan budaya Arab abad ke – 7
ditingkatkan statusnya menjadi hukum Ilahi”.
Kesimpulan yang
impulsive yang mereka buat tentang segi-segi negatif masyarakat Islam karena
melihat kejadian-kejadian itu barangkali memang dapat dipahami. Tetapi orang
Barat, termasuk kebanyakan kaum cendikiawan mereka, apalagi politisi mereka,
melupakan dua sejarah dari dua masyarakat masa lalu yang sangat kontras: mereka
lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis dan tidak beradab, sampai
dengan saatnya mereka berkenalan dengan peradaban Islam; kemudian mereka lupa,
atau semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang membawa rahmat bagi semua
bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua masyarakat, dan membangun
peradaban yang benar benar kosmopolit. Sampai-sampai para sarjana Yahudi (yang
di masa lalu terkenal sengit kepada Islam dan Kristen itu), seperti Schweitzer,
Halkin, dan Dimont, memuji masyarakat Islam klasik sebagai paling baik
memperlakukan para penganut agama lain, termasuk kaum Yahudi, yang sampai
sekarang pun belum tertandingi.
Pandangan Lain
Disamping pandangan negatif Barat terhadap Islam di atas, ada
beberapa intelektual Barat yang memandang Islam dengan pandangan lain. Yang
paling terkenal tentu saja pandangan Michael T. Hart yang dalam
bukunya ”100 tokoh paling berpengaruh di dunia” menempatkan nabi Muhammad
sebagai tokoh nomor satu dengan berbagai komentar positifnya. Atau pandangan Harry
Gaylord Dorman dalam buku "Towards Understanding lslam"
misalnya, ia menulis: "Kitab Qur'an ini adalah benar-benar sabda Tuhan
yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu
mukjizat yang tetap aktual hingga kini, untuk membuktikan kebenarannya dan
kebenaran Muhammad". Prof. H. A. R. Gibb dalam buku
"Mohammadanism" menulis: "Nah, jika memang Qur'an itu hasil
karyanya sendiri (Muhammad), maka orang lain dapat menandinginya. Cobalah
mereka mengarang sebuah ungkapan seperti itu. Kalau sampai mereka tidak sanggup
dan boleh dikatakan mereka pasti tidak mampu, maka sewajarnyalah mereka
menerima qur'an sebagai bukti yang kuat tentang mukjizat.
Sementara itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi terutama internet, pandangan masyarakat Barat secara umum terhadap Islam juga sudah mulai berubah. Jika dulu mereka memandang Islam dengan pandangan negatif karena merujuk pada pendapat para intelektual mereka, maka kini banyak masyarakat Barat yang sudah mendapatkan penjelasan mengenai Islam langsung dari umat Islam sendiri. Sehingga banyak diantara mereka yang memahami Islam sebagaimana adanya, bahkan tak sedikit yang kemudian tertarik dengan Islam hingga akhirnya bersyahadat. Inikah tanda kembalinya kejayaan Islam di Barat?
Sementara itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi terutama internet, pandangan masyarakat Barat secara umum terhadap Islam juga sudah mulai berubah. Jika dulu mereka memandang Islam dengan pandangan negatif karena merujuk pada pendapat para intelektual mereka, maka kini banyak masyarakat Barat yang sudah mendapatkan penjelasan mengenai Islam langsung dari umat Islam sendiri. Sehingga banyak diantara mereka yang memahami Islam sebagaimana adanya, bahkan tak sedikit yang kemudian tertarik dengan Islam hingga akhirnya bersyahadat. Inikah tanda kembalinya kejayaan Islam di Barat?
C. Mengapa Barat masih takut terhadap Islam
Guru besar di Univ. Pensylvania menyebut “terorisme, adalah “industri multinasional”, yang berhubungan erat antara sponsor dan institusi pemikir. Baca CAP ke-63 Adian Husaini, MA. Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa. Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme – yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam – ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa. Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu). Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil. Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama. Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya. Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry O’Sullivan menulis sebuah artikel berjudul “Terrorism” as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut “terorisme, sebagai “industri multinasional”, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah “teroris” adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Salah satu peran penting untuk mendukung operasi “industri terorisme” dimainkan oleh lembaga-lembaga studi “quasi pemerintah”, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS. Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif tertentu tentang terorisme kepada masyarakat. Mereka juga merupakan alat penting bagi propaganda pemerintah Barat. “They are also important vehicles for spesific pieces of government propaganda,” tulis Herman dan Sullivan. Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok “sayap kanan”. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: “The CSIS is a truly “multinational” member of the terrorism industry.” Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia? Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai “ekstrimis”, “teroris”, “militan Yahudi”, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush. Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.
Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai “ekstrimis” atau “militan” Barat? Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya “Western Civilization: a Brief History”“Western civilization is a grand but tragic drama.” Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal. Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal. Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul “The Dewesternization of Knowledge”. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia.
Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed by Western Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan, bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: ““Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.” Diantara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, “Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, Huntington menyimpulkan: “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice.” (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali). Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi “momok” yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi “The Superpower of the World”. Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam. Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis dua jilid buku berjudul Der Untergang des Abenlandes (The Decline of the West). Buku populer “The Rise and Fall of the Great Powers”, ditutup Paul Kennedy dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam. Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.” (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn). Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur. Wallahu a’lam.
BAB. III
KESIMPULAN
Kekuatan
Politik Islam dengan Negara Era Orde Baru Untuk memperoleh gambaran mengenai
konfrontasi negara ORBA dengan kekuatan politik Islam pada dua dekade pertama
periode ORBA berikut faktor-faktor penyebabnya, pada poin ini, dengan cara
pemaparan historis, akan dibicarakan tiga kelompok fenomena. Pertama, Setting
politik menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin dan masa transisi dari Orde
Lama ke Orde Baru. Dalam usaha menekan kekuatan politik PKI dan para
simpatisannya. Kekuatan-kekuatan politik non-Islam yang anti komunis umumnya
cukup senang melihat PKI lumpuh dan siap mengajak presiden Soekarno ke meja
prundingan untuk melakukan kerangka perimbangan kekuasaan politik baru. Namun
kekuatan- kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan unsur-unsur kekuatan
politik Islam di partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi akhirnya
berhasil memaksa Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Besarnya pengaruh dan
peranan umat Islam dalam “Pengganyangan “ PKI dan meruntuhkan Orde Lama bersama
militer, yang berarti memiliki andil besar dalam proses kelahiran Orde Baru
Atas dasar itu, tak mengherankan bila partnership yang terbina antara umat
Islam dengan militer yang merupakan pilar utama rezim ORBA pada masa transisi
Orde Lama mulai berubah menjadi penuh pertentangan dan kecurigaan hingga
menjelang penghujung dekade 1980-an. Kedua, kasus-kasus konfrontasi atau
pertentangan antara kekuatan politik Islam dan negara Orde Baru. Secara umum,
konfrontasi dan pertentangan antara kekuatan pollitik Islam dan negara 3.
Perubahan Posisi dan Ekspresi Kekuatan Politik Islam , Pertama, masih banyaknya
pemimpin Islam yang terepresentasikan dalam fraksi-fraksi yang mewakili kelompok
koalisi pemerintah di DPR/ MPR-RI dalam Sidang Umum 1998. Kedua, kelompok
koalisi pemerintah di MPR-RI dalam Sidang Umumnya 1998 melakukan terobosan
akomodasi baru terhadap tuntutan umat Islam menyangkut status aliran
kepercayaan dalam GBHN. Pertama, adanya sumber ketegangan menyangkut visi masa
depan pemerintah Soeharto dengan para pemimpin
Islam
menyangkut persoalan pertaruhan prinsip kekuasaan yang demokratis dan hampir
tidak lagi masalah perselisihan pure agama.Kedua, Soeharto dianggap telah
melakukan politicking terhadap kelompok ICMI dalam proses rekruitmen di
parlemen
dan penyusunan
kabinet setelah SU MPR Maret 1998.Tak disangkal lagi bahwa ketidakpuasan
masalah disribusi politik itu menjadi salah satu pendorong sikap konfrontatif
elite islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya. Demikianlah
hubungan Islam dan negara dalam politik di Indonesia pada zaman kekuasaan ORBA
yang akhirnya dapat menjadi salah satu faktor tumbangnya pemerintahan ORBA.
B.
Saran
Berdasarkan pembahasan
sebelumnya maka saran yang penyusun pada permasalah adalah :
1. Hubungan
Islam dan Negara harus seimbang .Supaya terjaminnya perlindungan pada masyrakat
karena Hukum Islam bisa di pakai aturan-aturan Negara yang memiliki sifat memaksa
dan mengatur akan kedamain masyarakat,karen Islam menginginkan kedamaian di
umat Manusia.
2. Lebih bagus
Islam juga dengan peran Politik ,tetapi harus dengan politik Islam ayng jujur
atas kepemimpinan nya,jangan berdusta pada janji-janjinya,karena Islam tidak
mengajarkan ajaran yang sesat,dan rata-rata dalam negara islam (indonesia)
menginginkan pemimpin yang ber agama islam,karena Islam itu agama yang baik
dari pada agama yang lain.
3. Seharusnya
setiap Agama mempunyai kekuasaan tetapi sesuai aturan Negara tanpa melanggar
UUD yang telah di tentukan dan harus sepakat dengan masyarakat.tiap pemimpin
pemerintah seharusnya berdasarkan agam islam yang kuat.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Ahmad,. Ilmu Akhlak, Bulan
Bintang,Jakarta. 1968.
Bakar Atjeh,
Abu. Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang,Jakarta.1968.
Hasan, Ali H.M.
Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelambagaan Agama Islam.
1994/1995.
Dr. H. Syamsu
Yusuf LN, M.Pd.. Psikologi Belajar Agama. Pustaka Bani Qurais. Bandung. 2003.
Graves, Elizabeth E. 2006. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia: Michrob, Halwany. 1990. Catatan Masa Lalu Banten: Suatu
Tinjauan Sejarah. Serang : Saudara.
www.wikipedia.org/wiki/islam
dan negara http://hafizfirdaus.com/content/view/125/59/
http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/ pemikiran/10957-Hubungan islam dan
negara www.
www.akhmadrowi.blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !