MAKALAH
RESPON NEGARA NON ARAB TERHADAP
PERADABAN ISLAM
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosesn Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH
Disusun Oleh :
Dewi Rohayati
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH DEMAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sejarah islam menyangkut agama islam
dan penganutnya,yang dikenal sebagai muslim. Muslim dan agama mereka telah
sangat berdampak pada politik,ekonomi,dan sejarah militer dari belahan bumu
timur,terutama timur tengah,dimana letak akar-akarnya.Setelah berawal dari
Mekah dan Madinah,maka dunia islam diperluas untuk mencakup orang-orang dari
peradaban islam termasuk non muslim. Kepentingan global di wilayah islam
,konflik-konflik internasional dan globalisasi mengubah pengaruh islam pada
abad 21. Islam adalah agama yang universal dimana keberadaan ajarannya
melampaui batas-batas suku,etnis,bangsa,dan bahasa Karena jangkauan dakwah
islam mestilah mendunia,bukanya agama suku,rasial sebagaimana agama-agama
terdahulum yang hanya dialamatkan pada suatu kaum tertentu.
Kemajuan suatu bangsa bukan disebabkan oleh kekuatan
spiritual,tetapi melalui proses kemajuan ilmu pengetahuan yang memadai Karena
negara islam telah jatuh bangun membangun peradabannya. Perpecahan internal
ditubuh umat ini akan berakibat kemerosotan diberbagai bidang.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa sumber
permusuhan islam dan barat?
2. Apa respon
muslim terhadap barat?
3. Apa
Implikasi penjajahan barat terhadap peradaban islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUMBER PERMUSUHAN ISLAM DAN BARAT
Apa yang menjadi sumber permusuhan barat terhadap
Islam dewasa ini sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk
menghancurkan Islam dan kaum muslim. Pada garis besarnya ada dua sebab:
a. Dendam historis
Selama berabad-abad barat takluk di
bawah hegemoni khilafah Islam. Kebencian kaum Kristen barat pernah meledak
dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya
perang salib (1096-1291M) yang brtujuan utam penghancuran islam. Akan tetapi
melalui peperangan tersebut umat Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan
lebih banyak diraih oleh pasukan Islam. Trauma perang tesebut berdampak pada
tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di kedua belah pihak.Perang salib
membentuk fondasi pertama dan esensi untuk menerapkan sikap Eropa (barat)
terhadap Islam. Dendam perang salib tersebut belum padam . kebencian dan
permusuhan barat terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan setalah Perang
Dingin berakhir.
b. Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat umumnya melakukan
kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya
memepelajari dan memahami Islam dari buku-buku para orientalis, sedangkan para
orientalis mengkaji Islam dengan tujuan utnuk menimbulkan miskonsepsi terhadap
Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan
Islam yang tidak lepasa dari ambisi imperialis Barat untuk mengetahui dunia
Islam. Umumnya ketika berbicara mengenai Islam pandangan dan analisis
para orientalis tidak objektif dan tidak fair sudah bercampur dengan
subjektivisme dan kepentingan tertentu. Karenanya pandangan mereka biased dan
berat sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat.
Citra Islam yang tampak di dunia Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme,
kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah dengan sajian
media massa mereka yang menampilkan Islam tidak secara utuh. Bahkan Islam yang
mereka kenalkan bukan Islam kebanyakan (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran)
yang hanya dianut oleh 10% kaum Muslim dunia.Kekeliruan Barat dalam memahami
Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan perilaku individu umat Islam
yang melakukan kekerasan, cap “teroris” pun dilekatkan pada Islam tanpa mau
tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya, populerlah istilah
“Terorisme Islam”.Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi dengan gencarnya
serangan propaganda Barat melalui berbagai media massanya untuk memojokkan
agama dan umat Islam (demonologi Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat
Islam kerap mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”,
“ekstremisme”, “radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk
mendiskreditkan Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan
terhadap Islam) adalah produk utama propaganda media massa Barat (demonoloogi
Islam). Parahnya lagi fobi tersebut tidak hanya melanda masyarakat Barat,
tetapi juga sebagian besar umat Islam. Mereka merasa ngeri bila hukum Islam
diberlakukan karena frame yang ada dikepala mereka adalah hukum rajam bagi
pezina , hukum cambuk bagi pemabuk, hukum potong tangan bagi pencuri, atau
hukum mati bagi pembunuh. Isu-isu hukum Islam yang menjadi bahan propaganda Barat
untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.
B.
RESPON
MUSLIM TERHADAP BARAT (DIALOG ATAU MELAWAN HEGEMONI)
Apapun motif, model, dan pihak yang
terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana
kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim –
adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat
jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia
tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu,
di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang
atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang
ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni. Dialog adalah model
penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini
mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-)
berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain.
Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala
bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun
relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna
bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog
untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa
syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi
Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah
utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia.Setelah cara
dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh
negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu
dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental
adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan
untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif – umat Islam Islam – terhadap
yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia
Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu
mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik
adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah.
Sudah saatnya kaum Muslim di
negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang
diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai
sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi
(hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan
ekoniomi rakyat sangat luar biasa.Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa
kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah
menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan
syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan
adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena
syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional
atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk
Indonesia.
C.
PERANAN
TOKOH INTELEKTUAL ISLAM DALAM MERESPON PENGARUH BARAT
- Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab
Salah satu tanggapan terpenting di
dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya
mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat
anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia
tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun,
gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu
pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya
ia diusir dari negeri itu.Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan
dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya
agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini
sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu
pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak
berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya
bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap
taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu
pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat berpengaruh,
khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab
adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat
terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat
pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang
menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum.
Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal
Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak
sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.Seperti Afghani, Abduh
tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an.
Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti
dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika
seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar
memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat
untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan
dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang
akan diadopsi.
Namun, sama seperti Abduh,
dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim
mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan
Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah
tujuan penggunaannya.Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius”
atau “sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah
gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa
itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh
ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog
Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika
modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu
pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
D.
IMPLIKASI
PENJAJAHAN BARAT TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM.
Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam
tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui peradaban
mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan hanya
peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan
nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan
pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu
sosial, modal dan lain-lain. Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran
bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan
untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak
mereka, tetapi setan berada di hati mereka.Dahulu kaum muslimin menghayati
peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping
pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya
peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama
berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka. Inti peradaban
Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah
meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material
daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah
menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan
siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat barat mendominasi dunia di
bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh
Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan
mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan
balance of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani,
karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran
itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari
Eropa.Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang
didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang
dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan
pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, sedangkan yang kedua, tercermin
dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke
negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan
gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar
muslim asal India juga banyak menuntut ilmu ke Inggris. Pengaruh Barat terutama
terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada intelegensia orang yang
memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam
reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai pandangan yang
berbeda-beda.
Pandangan pertama berpegang pada
sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan
ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat.
Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam
pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian
Barat.Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar dalam
memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu masih seperti
keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa peradaban Barat tidak mengandung
cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah menjauhkan dunia Islam dari
peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam bukan lagi suatu produk
dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat adalah produk dari
orang-orang Barat sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan penting terkait dengan dominasi barat dan respon umat Islam
yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat
konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan
politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa sumber permusuhan Barat
terhadap Islam pada garis besarnya ada dua sebab, yaitu dendam historis dan
kesalahpahaman masyarakat barat terhadap Islam. Ketiga, Cara untuk melawan
hegemoni Barat adalah dengan dua cara yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog
atau melawan hegemoni dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk dalam hal
ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh
dan untuk kepentingan Barat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !