MAKALAH
PERUBAHAN PERADABAN ISLAM
PADA MASA DINASTI BANI ABBASIYAH
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Sejarah Peradaban
Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH
Di
Susun Oleh :
Rohani
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
FAKULTAS AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2014/2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Peradaban Islam mulai di bangun oleh Nabi Muhammad
saw, ketika berhasil merumuskan masyarakat Madani dan Piagam Madinah, kemudian
di lanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab,
Utsman Ibn Afffan, dan Ali Ibn Thalib) sistem yang di kembangkan pada saat itu
adalah sistem demokrasi di mana pucuk
pimpinan di pilih melalui Musyawarah oleh beberapa orang yang di tunjuk oleh
kaum muslimin atau khalifah sebelumnya, pasca meninggalnya Ali dan naiknya
Muawiyah, sistem pemerintahan dalam Islam berubah dratis dari sistem
kekhilafahan ke Monarkhi Absolut. Monarkhi Absolut di buktikan dengan di
pilihnya Yazid sebagai putra mahkota, kemudian mengangkat dirinya sebagai Kholifah
fi Allah, mulailah babak baru dalam pemerintahan Islam dan berlangsung
terus menerus sampai kepada Khalifah Turki Usmani sebagai konsep pemerintahan
Khalifah (penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat) terakhir dalam dunia Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada
masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan
ilmu pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah – naskah asing terutama
yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat ilmu pengetahuan
dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan terbentuknya madzhab- madzhab
ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir yang
menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran sebab –
sebab kemunduran Dinasti ini di latar belakangi oleh faktor internal dan
eksternal.
RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana awal
berdirinya bani abbasiyah ?
b.
Apa saja yang
menyebabkan kemajuan dinasti abbasiyah ?
c.
Apa saja yang
mnenyebabkan kemunduran dinasti abbasiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan
Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah
keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah
pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132
H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan
Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian, akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan
Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian, akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah.
B.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Kemajuan
peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan
ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan
peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti Abbasiyah adalah :
- Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang
dilakukan oleh Dinasti
a. Memindahkan
pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad
sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota
pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan
diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota
international yang sangat sibuk dan ramai.
b. Membentuk
Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara.
Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama
khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk
memimpin pemerintah.
c. Membentuk
Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata
usaha Negara.
d. Membentuk
Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara
wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat,
dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala
daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas, yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura”
atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini
jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk
melawan Baghdad.
e. Membentuk
Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk
menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
f. Memperluas
fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul
Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u
untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk
mengurus perlengkapan angkatan perang.
g. Menetapkan
tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal
dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib
semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi
khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah
atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai
oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
h. Membentuk
organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah
al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim
propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar
(hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).
i.
Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan
Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah.
Khalifah al-Mansur adalah tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan
dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal)
- Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah
pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga
ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan
masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar
ilmu agama serta tempat penngajian dari ulama-ulama yang merupakan
kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat berdiskusi dan Munazarah
dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruangan perpustakaan
dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu, di
masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan berbagai macam fasilitas pendidikan
penunjang lainnya. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami ilmunya,
bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah
gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agama
maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran
pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid. Maka pada
perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di pelopori oleh
Nizhamul Muluk. Lembaga inilah yang kemudian yang berkembang pada
masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di Baghdad, Balkar,
Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat rendah, menengah,
serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
2. Gerakan
Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal
pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun
kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam
seperti Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi
kafilah dengan baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan
politik serta moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa
Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa
Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-Magest karya
Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerase, Geometri
karya Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan
Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga
di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H)
seorang penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan kalimat,
bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena sturktur
kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena
keinginan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk
tim penerjemah yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu
Ishaq anaknya dan Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn
Luqa, Jocabite seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen
Nestorian, Ibn A’di, Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas
menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat
diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh
fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata
bahasa Arab.
3. Baitul
Hikmah
Baitul Hikmah merupakan
perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur
Academy yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari
istitusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita
untuk raja, pada masa Abbasiyah intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa
Harun ar-Rasyid intitusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun
mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa
ini juga, Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu
sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium,
bahkan Ethiopia dan India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai
kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika.
Di institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli
bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur
perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
4. Bidang
Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode
tafsir mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil
al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti
Ibn Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim
Muhammad Ibn Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal
ilmu pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti,
Shahih, Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad,
dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi
yang meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah;
Imam Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w
275 H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang Fiqh, mucul kitab Majmu’
al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi tentang Fiqh Syi’ah
Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767 ), seorang hakim
agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris
as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam,
lahir para filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr
Muhammad al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam,
Mu’tazilah pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan
al-Ma’mun. diantara ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail
al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang
dengan pesat karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa
yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani,
Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah
Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208
H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat
terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang
terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali
(w. 502 H), dan lain-lain.
5. Kemajuan
Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat
Islam pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan
teknologi adalah a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia
adalah astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk
mengukur ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam
lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam
dan al-Tusi. b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah
Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M,
tokoh lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina. c). Ilmu Kimia, bapak
kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang
hidp pada abad ke 12 M. d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan
ternama abad ke 3 H adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn
Jarir al-Tabari. Kemudian ahli Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w.
913 H).
C.
Kemunduran
Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah, yaitu
faktor Internal (dari dalam sendiri), dan faktor Eksternal
(dari luar). Faktor internal diantaranya. Pertama, perebutan kekuasaan
antar keluarga merupakan pemicu awal yang akhirnya berimplikasi panjang
terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama suksesi setelah Harun
ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun yang memicu perang sipil
besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah dan control
terhadap provinsi-provinsi di bawah kekuasaan Abbasiyah.24
Selanjutnya dari perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak kompeten,
ditambah lagi terjadi pemisahan antrara agama dan politik. Akibatnya terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dengan cara hidup dalam kemewahan dan pesta pora di
Istana karena agama tidak lagi menjadi pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki
4000 orang selir semuanya pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz
(Khalifah ke-13) menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi ketika konsep khalifah
digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi keahlian kepemimpinan
yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama. Sehingga keberhasilan
raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan kewibawaan moral di hati rakyat,
walaupun mereka mampu menaklukan rakyat dengan kekuasaan dan kekuatan, dan
mengeksploitasi mereka demi tujuan politisnya.25Disinilah
secara filosofis kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu secara
Sosiologis system Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir peodalistik anti
kritik, sehingga mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua,
perpecahan di bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok
saling mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan.
Bahkan khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada orang-orang
yang tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal tersebut kemudian diikuti
kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi terhadap golongan Mu’tazilah karena
tidak mau tunduk kepada Ahlu Hadits.26
Terakhir, penguasaan Baitul Maal yang berlebihan akibatnya muncul
justifikasi bahwa Baitul Maal adalah milik penguasa, bukan milik umat.
Sehingga tidak seorang pun berhak meminta pertanggungjawaban mengenai dari mana
uang itu berasal dan lari kemana uang itu kemudian. Hal ini memancing reaksi
negative dari masyarakat, dan memunculkan rasa ketidakpuasan yang berujung
kepada pemberontakan.
Masalah ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat
sabdanya “Semakin dekat seseorang pada kursi kekuasaan, semakin jauhlah dia
dari Tuhan; semakin banyak jumlah pengikut yang dimilikinya, semakin jahatlah
ia; semakin banyak kekayaan yang dipunyainya, semakin ketat pulalah
perhitungannya.
Namun sangat disayangkan para penguasa Dinasti
Abbasiyah semuanya terbuai dan lupa bahkan kepada Allah sendiri, hingga
keruntuhan mereka.
Kemudian
faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama, pemberontakan terus
menerus yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, Murjiah, Ahlusunnah, dan
bekas pendukung Dinasti Umayyah yang berpusat di Syiria menyebabkan penguasa
Abbasiyah harus selalu membeli perwira pasukan dari Turki dan Persia.
Konsekuensinya meningkat terus ketergantungan pada tentara bayaran dan ini pada
gilirannya menguras kas Negara secara financial.28Kedua,
memberikan kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki, berakibat
mereka dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah di Khurasan,
Shatariyah di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihah
di Baghdad semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan kerajaan yang didirikan oleh
orang-orang Turki adalah Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan,
Ghaznawiyah di Afghanistan.29dan
dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka Umayyah di Andalusia, Fathimiyah
di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko, Rustamiyah, Aghlabiyah, Ziriyyah,
Hammadiyah di Jazirah dan Syiria, al-Murabitun, al-Muwahidun di Afrika
Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga,
serangan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumihanguskan
dan diratakan dengan tanah. Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di bunuh,
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah di bakar dan dibuang ke
sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut menjadi hitam kelam
karena lunturan tinta dari buku-buku.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
deksipsi di atas dapat disimpulkan bahwa Dinasti Ababsiyah merupakan masa
kejayaan umat Islam, berkuasa mulai Khalifah Abu Abbas as-Saffa hingga
al-Musta’shim sebagai khalifah terakhir. Rentan waktu yang lama ini telah
menghasilkan banyak kemajuan dalam peradaban Islam, terutama sejak
menerjemahkan kitab-kitab klasik dari bangsa Yunani, Persia, India, baik dalam
bidang politik pemerintahan, ekonomi, agama di mana lahir para pemikir-pemikir
Islam baik dari bidang Filsafat, Kalam, Fiqh, maupun Tasawuf, dan ilmu-ilmu
Islam lainnya. Selain itu lahir pula pakar-pakar ilmu astronomi, geografi,
sejarah, dan lain sebagainya, yang nantinya sangat berperan besar terhadap
munculnya renaissance di dunia Eropa. Namun dibalik kemajuan itu,
Dinasti Abbasiyah menyisahkan noda bagi peradaban Islam itu sendiri, terutama
pembantaian-pembantai manusia setiap pergantian kekuasaan. Dan hal yang paling
penting sekarang dapatkah kita merefleksikan kemajuan dan kemunduran Dinasti
Bani Abbasyiah dalam kehidupan kontemporer, sehingga menjadi sebuah spirit
perubahan radikal. Wallahu a’lam bi Shawab
DAFTAR PUSTAKA
Badrin Yatim. Dr. M.A. Sejarah Peradaban Islam.
Rajawali Pers. 2008 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
www.akhmadrowi.blogspot.com.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !