IDENTITAS PERADABAN
ISLAM DI INDONESIA
Disusun guna untuk
memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah
Peradapan Islam
Dosen Pengampu : Drs. H.
AKHMAD ROWI, M.H
Disusun Oleh :
Nama : M. ROZIKAN
NIM : C.1.4.11.OO63
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH
DEMAK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha sistematis untuk memarginalkan peran kesejarahan Islam di Nusantara
(termasuk Indonesia) sampai sekarang dengan cara menyanjung budaya-budaya
setempat non-Islam ini disebut politik nativisasi. Kebudayaan Islam di sini
ditampilkan sebagai produk peradaban asing yang diposisikan berseberangan
secara diametral dengan Hindu-Budha yang selanjutnya diakui sebagai kebudayaan
lokal asli pribumi. Bahaya gerakan Nativisasi sebagai gerakan sistimatis
memarginalisasikan Islam di Nusantara telah diingat oleh almarhum DR.M.Natsir 3
bulan menjelang wafatnya, dalam buku "Percakapan Antar Generasi : Pesan
Perjuangan seorang Bapak". Beliau mengatakan ada 3 tantangan dakwah yang
dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan Sekularisasi,
dan (3) Gerakan nativisasi. Buya Natsir, mengingatkan perlunya umat islam
mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir,
yang biasanya melakukan koalisasi dengan kelompok lain yang juga tidak senang
pada Islam, apakah golongan Kristen maupun golongan sekularis itu sendiri (Indonesia
Masa Depan, Perspekti Peradaban Islam,Dr.Adian Husaini, 2009,"Tasyakur dan
Orasi Ilmiah).
B. Rumusan Masalah
1.
Indonesia pra Islam ?
2.
Indonesia sesudah Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Indonesia Pra Islam
Indonesia sebelum masuk agama islam ada kerajaan-kerajaan besar. Hal
tersebut dapat dilihat dalam teks-teks sejarah Nasional. Masyarakat Indononesia
lebih mengenal nama Patih Gajah Mada daripada Syarif Hidayatullah. Lebih
populer Majapahit daripada Kerajaan Demak, Samudra Pasai dan lain-lain. Ia
dikenal dengan sumpah Palapanya dan tokoh Majapahit yang mampu menyatukan
Nusantara.
Tapi kita tidak banyak yang tahu bahwa Majapahit melakukan invasi ke daerah
lain dengan kekerasan. Menarik upeti yang menyulitkan daerah yang ditaklukkan.
Mirip sistem penjajah. Pendekatan ini menimbulkan kemarahan rakyat Sunda yang
melahirkan peristiwa Sunda pada tahun 1351 M.
Candi-candi peninggalan Hindu juga lebih populer daripada masjid-masjid
sebagai warisan budaya bangsa. Replika-replika candi dapat mudah ditemui di
tempat-tempat penting seperti kantor pemerintah, lembaga pendidikan,
pintu-pintu gerbang di jalan-jalan dan gedung-gendung penting. Tapi di
tempat-tempat itu sulit ditemukan replika masjid-masjid kuno.
B. Indonesia Sesudah Islam
Setelah masyarakat Indonesia masuk Islam di tandai dengan Masjid-masjid
dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu pengetahun ke masyarakat, pusat balai
kesehatan, sekolah dan basis perjuangan melawan penjajah. Sementara Candi
menjadi tempat penyimpanan abu raja-raja. Tempat ini pun jarang dikunjungi
rakyat bawah pada zaman dahulu. Pada zaman keemasan kerajaan Hindu, candi
merupakan tempat elit dikhususkan oleh raja-raja dan bangsawan menyembah. Tidak
terlalu membekas kepada rakyat bawah.
Tidak heran jika kemudian
candi-candi di Nusantara ketika ditemukan di abad modern ini ternyata telah
terpendam tanah selama berabad-abad. Sebab, setelah kerajaan runtuh, tidak ada
yang merawat ataupun sembahyang di tempat itu.
Sementara itu, masyarakat rantau Nusantara telah lupa warisan berupa
karya-karya keilmuan yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri,
Nawawi al-Bantani, Seykh al-Tirmasi, Daud Ibrahim bin Abdullah al-Fatani dan
lain-lain. Karya-karya mereka tidak saja menasional tapi telah diakui
internasional memberi kontribusi kepada ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat sejarah, mengatakan bahwa
politik nativisasi itu merupakan rekayasa sarjana-sarjana Barat.
Tujuannya, untuk menghilangkan warisan Islam di Nusantara, sehingga generasi
selanjutnya tidak mengenal identitas Islam di rantau Melayu.
Dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, al-Attas
menjelaskan: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak
meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya
di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek
sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya.
Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan
wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka”
(hal. 41).
Ahli-ahli sejarah Belanda, sejak masa kolonialisme, sudah membuat rekayasa
sejarah mengutamakan kebudayaan Jawa dan Bali sebagai puncak kejayaan
Melayu-Indonesia. Di antaranya sejarawan Belanda bernama Brandes dan Douwes
Dekker. Keduanya menulis buku tentang Nusantara dengan wawasan yang sempit.
Keduanya menggunakan kata ‘Nusantara’ yang artinya kepulauan antara Jawa
dan Bali. Penggunaan ini memiliki tujuan khusus. Yakni memunculkan Jawa dan
Bali -yang beragama Hindu- sebagai pusat peninjauan utama kajian sejarah di
rantau Nusantara.
Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan
tetapi kebudayaan Hindu-Budha tidak memberi bekas terhadap masyarakat
Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat
Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar. Pengaruh kuat Hindu
hanya terbatas kepada keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak
begitu menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu.
Dalam hal ini al-Attas menulis: “Kita harus tahu bahwa kedatangan agama
Hindu itu tidak merubah pandangan hidup masyarakat Melayu-Indonesia, suatu
weltanschaung atau pandangan hidup yang berdasarkan seni dan bukan
falsafah. Apabila agama Hindu tiba di kalangan mereka, ajaran-ajaran yang
mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang lebih menarik hati mereka
adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan jiwa asli masyarakat”.
Sejalan dengan analisis al-Attas tersebut, Van Leur juga berkesimpulan
sama. Ia menyatakan bahwa masyarakat Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya
masyarakat Hindu. Tapi hakikatnya hanya golongan bangsawan sajalah yang
meresapi kebudayaan Hindu-Budha itu.
Karya sastra Nagara Kartagama yang ditulis Prapanca pada masa
Majapahit, misalnya, ditulis justru untuk kepentingan keraton dan istana. Ia
tersimpan dan terpelihara hanya dalam satu bentuk naskah saja, tidak
diperbanyak. Karya ini tidak menyorotkan falsafah luhur yang menyerap akal
budi. Karya lain seperti Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa merupakan karya
sastra yang mengandung falsafah namun tidak ada syarah atau penafsirannya yang
bisa dipahami rakyat, sehingga mengisyaratkan karya ini khusus untuk elit
raja-raja dan bangsawan.
Karya-karya tersebut dinikmati dan memang diingini oleh kalangan raja,
namun gagal ‘membumi’ di kalangan rakyat jelata. Dan tidak membawa pengaruh dan
kesan apa-apa. Sehingga, keberagamaan rakyat sesungguhnya lebih cenderung
kepada kebudayaan animisme khas Jawa daripada Hinduisme.
Dalam catatan al-Attas, sarjana-sarjana Barat keliru dalam mengesankan
kebudayaan asli pribumi itu Hindu-Budha. Beberapa mitologi dan teori kebudayaan
yang berlangsung di kalangan penduduk pribumi Nusantara telah wujud dalam
bentuk animismse sebelum Hindu-Budha datang. Ketika Hindu-Budha dianut
raja-raja, para pemuka agama membuat rekayasa mempersamakan dengan adat-adat
pribumi. Dalam legenda-legenda Hindu, cerita dibuat mirip. Lantas, kebudayaan
tersebut diklaim sebagai Hindu.
Van Leur cukup terbuka dan tegas menolak pandangan kebanyakan sarjana
Barat. Menurutnya, partisipasi masyarakat terhadap Hindu dilakukan dengan
paksaan raja. Sehinga ia berkesimpulan bahwa Masyarakat Melayu-Indonesia
bukanlah masyarakat yang di-Hindukan. Adapun pengaruhnya, terlalu
dibesar-besarkan oleh orientalis Belanda dan Inggris.
Kebudayaan ini tidak mewariskan sebuah pandangan hidup yang filosofis dan
rasional. Kebanyakan kebudayaan Hindu-Budha mewarisi seni arsitektur India,
candi dan kesusastraan yang berbau mitos.
Menurut al-Attas, selama abad ke-6 sampai 11 Masehi, konon Sumatera
merupakan pusat terbesar agama dan falsafah Budha. Namun para pemukanya tidak
memberi kesan apa-apa dalam bidang filsafat, tapi justru bidang seni. Sampai
kini, rakyat Sumatera tidak mewarisi tradisi falsafah Budha itu, justru
mayoritas beragama Islam taat.
Sedangkan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Jazirah Arab
telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat. Salah satu kontribusi
nyata di Nusantara adalah penggunaan bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa
pemersatu Nusantara. Ia menjadi lingua franca penduduk Melayu-Indonesia,
bahkan sampai kepada daerah Filipina dan Thailand.
Para pendakwah Islam sengaja memilih bahasa Melayu untuk
di-Islamkan(Islamisasi bahasa). Banyak sekali istilah-istilah bahasa Melayu
yang diambil dari bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah,
adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang
sering disebut tulisan Pegon (pego). Jenis tulisan ini populer di
pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan
Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia dan
hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren. Tapi menariknya di Malaysia masih digunakan
dalam tulisan-tulisan di ruang publik.
Pengislaman bahasa ini berlanjut kepada pengislaman konsep-konsep kehidupan
masyarakat Melayu-Nusantara. Sehingga sedari dulu, bahasa Melayu identik dengan
Islam. Para mubaligh Arab juga mengenalnya sebagai salah satu bahasa dunia
Islam waktu itu, bahkan tercatat sebagai bahasa Islam nomor dua terbesar
setelah bahasa Arab.
Kehadiran Islam berlangsung sistematis, gradual dan terencana, tanpa
kekerasan. Revolusi besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui
tradisi keilmuan. Dari abad ke-15 sampai ke-17 Melayu-Indonesia mengesankan
perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya (worldview), yang melahirkan
filosuf dan pemikir tingkat internasional dengan karya-karya yang berbobot.
Dalam catatan al-Attas, Islam di Nusantara ini hadir sejak lama, sejak zaman
kekhalifahan Islam abad ke-7. Islam lebih mudah diterima, karena pendekatannya
kepada masyarakat bawah cukup hangat.
Selain itu, kebudayaan Islam melahirkan corak berpikir rasional yang tidak
mitologis, filosofis tidak animis serta membekas dalam benak masyarakat, baik
kaum elit bangsawan maupun rakyat jelata. Semangat rasionalisme dan
intelektualisme inilah yang menarik minat semua kalangan, bahkan kalangan
istana dan keratonpun yang telah lama dalam budaya Hindu. Maka, di sinilah
strategi pendakwah Islam kita lihat banyak yang menikah dengan putri-putri
raja.
Risalah-risalah tentang metafisika dan falsafah begitu mudah ditulis oleh
pendakwah Islam untuk dinikmati kalangan umum. Oleh sebab itu, karya sastra
Melayu-Islam, seperti yang populer di Aceh dan tanah Jawa, tidak berdasarkan
mitos dan dongeng tapi lebih bersifat saintifik, serius dan rasional. Namun
ketika penjajah Belanda dan Inggris datang, kebudayaan seperti ini berusaha
ditutup-tutupi perannya.
Belanda juga membuat rekayasa sejarah Indian-centrik. Dipopulerkan
bahwa tidak saja kebudayaan Nusantara ini Hindu dari India, tapi juga berlanjut
bahwa Islam juga dibawa oleh pendakwah dari Gujarat India. Al-Attas membantah
teori Indian-centrik ini.
Dalam penelitian al-Attas, Islam datang langsung dari Arab. Memang
benar bahwa sebagian mubaligh yang datang itu datang melalui India. Namun harap
dicatat, mereka di India hanya mampir setelah berangkat dari tanah Arab. Mereka
asli berdarah Arab, bukan India. Sebagaimana mereka juga melalu Persi dan China
selatan. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat singgah saja. Persi waktu itu
juga masih mayoritas Sunni. Jadi ini sekaligus membantah teori bahwa Islam
dibawa mubaligh Syiah. Begitu pula karya cipta yang dihasilkan merupakan karya
Arab-Islam bukan berbau India.
Jadi, politik Nativisasi Belanda ini bertujuan melanggengkan penjajah, dan
mengesankan ketiadaan budaya rasional dan filosofis di bumi Nusantara. Maka,
jika ingin berjaya peradaban Nusantara ini, maka harus kembali kepada Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Indonesia sebelum masuk
agama islam ada kerajaan-kerajaan besar. Hal tersebut dapat dilihat dalam
teks-teks sejarah Nasional. Masyarakat Indononesia lebih mengenal nama Patih
Gajah Mada daripada Syarif Hidayatullah. Lebih populer Majapahit daripada Kerajaan
Demak, Samudra Pasai dan lain-lain. Ia dikenal dengan sumpah Palapanya dan
tokoh Majapahit yang mampu menyatukan Nusantara.
Setelah masyarakat Indonesia masuk Islam di tandai dengan Masjid-masjid
dahulu menjadi pusat penyebaran ilmu pengetahun ke masyarakat, pusat balai
kesehatan, sekolah dan basis perjuangan melawan penjajah. Sementara Candi
menjadi tempat penyimpanan abu raja-raja. Tempat ini pun jarang dikunjungi
rakyat bawah pada zaman dahulu. Pada zaman keemasan kerajaan Hindu, candi
merupakan tempat elit dikhususkan oleh raja-raja dan bangsawan menyembah. Tidak
terlalu membekas kepada rakyat bawah.
B.
Penutup
Alham
dulilah puji syukur penulis haturkan kepada allah swt yang telah memberikan
rahmat serta hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah ini. Penulis menyadari kemampuan penulis sangatlah terbatas sehingga
makalah ini masih jauh dari sempurna, mohon kritik dan sarannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://dahoodgunkz.multiply.com/journal/item/2/ajaran_dan_paham_sesat_aliran_Isa_Bugis, di akses pada tanggal 5 Mei 2012.
Jaiz, Hartono Ahmad, 2002, Aliran dan Paham Sesat
di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Jaiz, Hartono Ahmad, 2010, Dirastul Firaq ; Sejarah
Pemikiran Islam, Solo: Pustaka
Arafah.
Kahmad, Dadang, 2000, Sosiologi Agama, Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA.
www.akhmadrowi.blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !