MAKALAH
PESANTREN SEBAGAI BENTENG SPIRITUAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
SPI
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi,
MH
DISUSUN OLEH :
Kholifah
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH DEMAK
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
DEMAK 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pendidikan agama Islam yang independent, kemudian populer
dengan nama “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi
Pendidikan Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah
mencatat bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik
Indonesia dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di
pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok
pesantren dan menelorkan ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan
perjuangan masyarakat beragama.
Sebagai Lembaga
Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan Nasional,
Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma ngaji dan
menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi
keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi
keaslian budaya Indonesia, disamping Lembaganya yang bercorak pribumi
(indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian
menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka dalam Sejarahnya,
perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam
pembangunan Indonesia. Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah
sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa
menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip
“al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah”. Sejak
tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dengan
berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di bidang
pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi
orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural
dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan
nilai, sikap, dan perilakunya. Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di
kawasan Kota Kediri saja pada abad ke-20, mulai mengajarkan pendidikan
ketrampilan di pelbagai bidang. Seperti menjahit, pertukangan, perbengkelan,
peternakan, dan sebagainya. Pendidikan ketrampilan ini diberikan dengan tujuan
supaya civitas pesantren memiliki wawasan keduniawian sesuai profesi yang
diinginkan melalui pendidikan ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam
hal-hal yang bersifat karitas atau charitable, tetapi juga professional
menghadapi hal-hal yang bersifat sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan
demikian, para sejarawan akhirnya berhasil menyimpulkan bahwa sejarah geneologi
sistem pendidikan ala pesantren sebenarnya dapat ditelusuri dari era sebelum
masuknya Agama Islam. Istilah pesantren yang berawal dari surau Sunan Ampel
dianggap oleh sebagian ahli sejarah sebagai tonggak eksistensi awal munculnya
bendera Lembaga Pendidikan Pesantren dalam rangka mentransfomasikan keilmuan
dan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari tempat inilah, Pesantren
menjelma sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang berorientasi mencetak agen-agen
perubahan dan pembangunan masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana Pesantren Sebagai Benteng Spiritual?
- Seperti apa nilai-nilai Pesantren itu?
- Bagaimana Pesantern Sebagai Institusi Pendidikan yang komprehensif?
C. Tujuan
·
Mengetahui Pesatren Sebagai Benteng
Spiritual
·
Mengetahui Nilai-nilai Pesantren
·
Mengetahui Pesantren Institusi
Pendidikan yang Komprehensif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pesantren
sebagai Benteng Spiritual
Di samping sistem pendidikannya yang amat sederhana, di dalamnya
juga terdapat interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang berperan penting
sebagai guru bagi para santri dan telah menjadikan standar pendidikan yang
cukup efektif bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai, sebagai top
leader (uswah) yang menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur langsung komunitas
yang diembannya, mulai urusan para tamu, santri baru, penentuan kitab-kitab
kajian hingga berbagai aktifitas yang dijalankan dalam tubuh Pesantren.
Bertambah banyaknya santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk santri seniornya
menjadi Lurah Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai didelegasikan.
Sejarah metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal menempatkan Pesantren
sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif, emiret), dimana antara
satu Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan aktifitas yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang sering
disebut-sebut “tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium ketiga
dan mendapat sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan tradisional, toh
kenyataannya, Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis, bahkan mendapat
simpati dan animo masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon krisis
berkepanjangan di Indonesia. Karenanya, topik sejarah berdirinya Pondok
Pesantren Lirboyo, pelestarian dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di tinjau dari berbagai manfaat guna dijadikan sebagai suri tauladan
umat.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan) serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan) serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Apalagi jika menengok sejarah penanaman nilai-nilai moral dan
metodologi pendidikan salaf bernafas religius seperti yang diterapkan Pondok
Pesantren Lirboyo sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya
mempertahankan anak bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan
jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna
merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap
Kyai yang tulus, ikhlas, sabar. Tawakal (berserah diri), tawadlu’ (hormat),
jujur serta independensi merupakan dinamika energy power bagi nilai-nilai luhur
Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka saat ini sungguh langka
ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada nilai-nilai mulia
itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi moral serta
penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi “krisis”
berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran bagi
umat manusia.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.
B. Nilai-nilai Pesantren
Harus diakui bahwa pada dasarnya, Pesantren dibangun atas dasar
keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Komunitas santri yang
ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang secara ihklas ingin
mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis mutualisme ini saling
melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang memiliki kesamaan kesadaran
dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang kemudian disebut Pesantren.
Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga besar berlandaskan
nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah yang menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah yang menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai diatas, eksistensi pesantren menjadi kokoh karena
dijiwai oleh panca-jiwa, Seperti jiwa keihlasan yang tidak pernah didorong oleh
ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan tertentu, khsusnya material,
melainkan karena semata-mata karena beribadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan
memanifestasikan dalam segala rangkaian sikap dan perilaku serta tindakan yang
dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren. Jiwa kiekhlasan ini dilandasi
oleh keyaqinan bahwa perbuatan baik pasti diganjar oleh Allah dengan sesuatu
yang tak bisa dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya Pesantren salaf juga telah terpatri jiwa
kesederhanaan, kata’sederhana’ disini bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan
menerima apa adnya, akan tetapi lebih dari itu mengandung unsur kekuatan dan
ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri dan kecakapan menguasai diri dalam
menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar,
berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara
kompetitif. Jiwa kesederhanaan ini menjadi ‘baju’ identitas yang paling
berharga bagi civitas santri dan Kyai. Apalagi dengan adanya jiwa kemandirian
yang peranannya mampu mengurusai persoalan-persoalan internal pesantren, namun
kesanggupan membentuk Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang
independen, tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain.
Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga banyak dari mereka
yang benar benar menjadi merdeka, otonom dan mandiri di dalam budaya Pesantren
salaf, biasanya ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan civitas Pesantren sebagai
manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya, hanya dengan
jiwa besar dan sikap optimis inilah maka dalam lembaran sejarahnya, Pesantren
mampu mengahadapi segala problematika kehidupan umat manusia dengan dilandasi
nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap kemandirian yang tidak
berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun orientasi kepesantrenan dan
kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain seperti ukhuwwah Islamiyyah,
jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas Pesantren yang bersifat
dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa ini mematri
suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan saling mengharagai bahkan
saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.
Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan mampu eksis sepanjang sejarah
kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi teknologi industry yang massif dan
mendunia tidak menggoyahkan eksistensi Pesantren sebagai penjaga sekaligus
pelestari nilai-nilai luhur. Dikarenakan Pesantren hanya tergantung terhadap
kebenaran mutlak (tuhan) yang diaktualisasi dalam fiqh-sufistik yang
berorientasi kepada amalan ukhrawiy, maka kebenaran didalamnya relative
bersifat empiris pragmatis dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan sesuai
dengan hukum agama. Semua aktivitas Pesantren selalu mengacu kepada
keseimbangan antara ukhrawiy dan duniawi. Keimanan civitas Pesantren senantiasa
memanifestasikan setiap perilaku, sikap dan tindakan sehari-hari. Karena
itulah, identitas Kyai dan santri menjadi sesuatu yang layak diteladani bagi
setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai kemandirin yang menjadi pondasi eksistensial pesantren
merupakan nilai utama paling signifikan bagi perubahan sosial dan budaya yang
otonom. Dengan kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma sebagai creative
cultural makers dan figure sang kyai sangat penting dalam kehidupan
bermasyrakat. Sehingga, profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok juga
sebagai tokoh masyarakat, mediator, dan pialang. Kenyatan semacam ini tentu
saja disebabkan Kyai mempunyai integritas keilmuan tinggi yang mampu
mempriteksi kesadaran masyarakatnya sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan
budaya kemandirian. Dengan kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari
jerat-jerat dependensi dan hegemoni pihak lain.
C. Pesantren, Institusi Pendidikan yang komprehensif
Rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai Pondok
pesantren mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong dari
metodologi pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang
diterapkannya. Jika dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini
telah banyak menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih
bergelut dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah
banyak di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan
pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan
ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak
para alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu
yang membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih
memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung
eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan
pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di Kawasan Kota Kediri
merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap percaya
diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya. Fenomena
ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan modernisasi
zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf, Pondok
Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler berupa
pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam dinamisasi
modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pondok Pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.Keberadaan
Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi
sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum
kedatangan Islam.Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di
negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap
perjalanan sejarah bangsa.
Pesantren pada mulanya merupakan pusat
penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agamaIslam. Namun, dalam
perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak
melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi
keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).Pesantren kini
tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based
curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh
persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).Dengan demikian,
pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni,
tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons
carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Tahun 2008, Cet. III.
Hasan Abu’l Ali al-Nadwi. Islam Membangun Peradaban
Dunia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !