Headlines News :
.
Home » , , » Pesantren sebagai Benteng Spiritual (Kholifah-FAI UNISFAT)

Pesantren sebagai Benteng Spiritual (Kholifah-FAI UNISFAT)

Written By Akhmad Rowi on Kamis, 24 April 2014 | 21.05

akhmadrowi.blogspot.com
MAKALAH

PESANTREN SEBAGAI BENTENG SPIRITUAL

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah SPI

Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH



DISUSUN OLEH :

Kholifah

UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
FAKULTAS AGAMA ISLAM
DEMAK 2014




                                                                                       

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pendidikan agama Islam yang independent, kemudian populer dengan nama “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi Pendidikan Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah mencatat bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik Indonesia dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan menelorkan ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat beragama.
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan Nasional, Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma ngaji dan menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi keaslian budaya Indonesia, disamping Lembaganya yang bercorak pribumi (indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka dalam Sejarahnya, perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam pembangunan Indonesia. Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah”. Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di bidang pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan perilakunya. Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di kawasan Kota Kediri saja pada abad ke-20, mulai mengajarkan pendidikan ketrampilan di pelbagai bidang. Seperti menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya. Pendidikan ketrampilan ini diberikan dengan tujuan supaya civitas pesantren memiliki wawasan keduniawian sesuai profesi yang diinginkan melalui pendidikan ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam  hal-hal yang bersifat karitas atau charitable, tetapi juga professional menghadapi hal-hal yang bersifat sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan demikian, para sejarawan akhirnya berhasil menyimpulkan bahwa sejarah geneologi sistem pendidikan ala pesantren sebenarnya dapat ditelusuri dari era sebelum masuknya Agama Islam. Istilah pesantren yang berawal dari surau Sunan Ampel dianggap oleh sebagian ahli sejarah sebagai tonggak eksistensi awal munculnya bendera Lembaga Pendidikan Pesantren dalam rangka mentransfomasikan keilmuan dan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari tempat inilah, Pesantren menjelma sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang berorientasi mencetak agen-agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
       B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Pesantren Sebagai Benteng Spiritual?
  2. Seperti apa nilai-nilai Pesantren itu?
  3. Bagaimana Pesantern Sebagai Institusi Pendidikan yang komprehensif?
C. Tujuan
·         Mengetahui Pesatren Sebagai Benteng Spiritual
·         Mengetahui Nilai-nilai Pesantren
·         Mengetahui Pesantren Institusi Pendidikan yang Komprehensif






















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pesantren sebagai Benteng Spiritual
Di samping sistem pendidikannya yang amat sederhana, di dalamnya juga terdapat interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang berperan penting sebagai guru bagi para santri dan telah menjadikan standar pendidikan yang cukup efektif bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai, sebagai top leader (uswah) yang menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur langsung komunitas yang diembannya, mulai urusan para tamu, santri baru, penentuan kitab-kitab kajian hingga berbagai aktifitas yang dijalankan dalam tubuh Pesantren. Bertambah banyaknya santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk santri seniornya menjadi Lurah Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai didelegasikan. Sejarah metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal menempatkan Pesantren sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif, emiret), dimana antara satu Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan aktifitas yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang sering disebut-sebut “tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium ketiga dan mendapat sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan tradisional, toh kenyataannya, Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis, bahkan mendapat simpati dan animo masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon krisis berkepanjangan di Indonesia. Karenanya, topik sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, pelestarian dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tinjau dari berbagai manfaat guna dijadikan sebagai suri tauladan umat.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan) serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Apalagi jika menengok sejarah penanaman nilai-nilai moral dan metodologi pendidikan salaf bernafas religius seperti yang diterapkan Pondok Pesantren Lirboyo sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya mempertahankan anak bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap Kyai yang tulus, ikhlas, sabar. Tawakal (berserah diri), tawadlu’ (hormat), jujur serta independensi merupakan dinamika energy power bagi nilai-nilai luhur Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka saat ini sungguh langka ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada nilai-nilai mulia itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi moral serta penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi “krisis” berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran bagi umat manusia.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.
B. Nilai-nilai Pesantren
Harus diakui bahwa pada dasarnya, Pesantren dibangun atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Komunitas santri yang ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang secara ihklas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis mutualisme ini saling melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang memiliki kesamaan kesadaran dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang kemudian disebut Pesantren. Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga besar berlandaskan nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah yang menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai diatas, eksistensi pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa, Seperti jiwa keihlasan yang tidak pernah didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan tertentu, khsusnya material, melainkan karena semata-mata karena beribadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan memanifestasikan dalam segala rangkaian sikap dan perilaku serta tindakan yang dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren. Jiwa kiekhlasan ini dilandasi oleh keyaqinan bahwa perbuatan baik pasti diganjar oleh Allah dengan sesuatu yang tak bisa dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya Pesantren salaf juga telah terpatri jiwa kesederhanaan, kata’sederhana’ disini bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan menerima apa adnya, akan tetapi lebih dari itu mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri dan kecakapan menguasai diri dalam menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara kompetitif. Jiwa kesederhanaan ini menjadi ‘baju’ identitas yang paling berharga bagi civitas santri dan Kyai. Apalagi dengan adanya jiwa kemandirian yang peranannya mampu mengurusai persoalan-persoalan internal pesantren, namun kesanggupan membentuk Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang independen, tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga banyak dari mereka yang benar benar menjadi merdeka, otonom dan mandiri di dalam budaya Pesantren salaf, biasanya ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan civitas Pesantren sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya, hanya dengan jiwa besar dan sikap optimis inilah maka dalam lembaran sejarahnya, Pesantren mampu mengahadapi segala problematika kehidupan umat manusia dengan dilandasi nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap kemandirian yang tidak berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun orientasi kepesantrenan dan kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain seperti ukhuwwah Islamiyyah, jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas Pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa ini mematri suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan saling mengharagai bahkan saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.  Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan mampu eksis sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi teknologi industry yang massif dan mendunia tidak menggoyahkan eksistensi Pesantren sebagai penjaga sekaligus pelestari nilai-nilai luhur. Dikarenakan Pesantren hanya tergantung terhadap kebenaran mutlak (tuhan) yang diaktualisasi dalam fiqh-sufistik yang berorientasi kepada amalan ukhrawiy, maka kebenaran didalamnya relative bersifat empiris pragmatis dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan sesuai dengan hukum agama. Semua aktivitas Pesantren selalu mengacu kepada keseimbangan antara ukhrawiy dan duniawi. Keimanan civitas Pesantren senantiasa memanifestasikan setiap perilaku, sikap dan tindakan sehari-hari. Karena itulah, identitas Kyai dan santri menjadi sesuatu yang layak diteladani bagi setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai kemandirin yang menjadi pondasi eksistensial pesantren merupakan nilai utama paling signifikan bagi perubahan sosial dan budaya yang otonom. Dengan kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma sebagai creative cultural makers dan figure sang kyai sangat penting dalam kehidupan bermasyrakat. Sehingga, profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok juga sebagai tokoh masyarakat, mediator, dan pialang. Kenyatan semacam ini tentu saja disebabkan Kyai mempunyai integritas keilmuan tinggi yang mampu mempriteksi kesadaran masyarakatnya sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan budaya kemandirian. Dengan kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari jerat-jerat dependensi dan hegemoni pihak lain.
C. Pesantren, Institusi Pendidikan yang komprehensif
Rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai Pondok pesantren mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong dari metodologi pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang diterapkannya. Jika dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini telah banyak menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih bergelut dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah banyak di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak para alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu yang membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di Kawasan Kota Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya. Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf, Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam













BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agamaIslam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.





















DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Tahun 2008, Cet. III.
Hasan Abu’l Ali al-Nadwi. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988.




Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok