MAKALAH
“ IDENTITAS PERADABAN ISLAM DI
INDONESIA”
Disusun
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH
Disusun
oleh :
Siti
Nurmalia
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayahnya, makalah ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang
senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
Dalam penyusunan makalah ini penulis
mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kapada teman-teman yang telah
memberikan motifasi belajar dan memberikan ilmunya kepada penyusun, sehingga makalah ini dapat
penulis selesaikan.
Penulis
mohon kepada teman-teman satu
semester khususnya, dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan
kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun
isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada
semua pembaca demi lebih baiknya makalah yang akan datang.
Wassalamualaikum
Wr.Wb.
Penulis
SITI
NURMALIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Identitas
merupakan bentuk ciri-ciri atau tanda pengenalan diri. Dengan ciri-ciri
tertentu tersebut seseorang ingin dikenali oleh orang lain dan orang lain pun
dapat mengenali seseorang tersebut. Selain itu, identitas juga sebagai bentuk
pengakuan diri, individu yang ingin diakui keberadaannya oleh individu lain;
sebuah pengukuhan eksistensi diri. Hal tersebut juga berlaku dalam bentuk skala
yang lebih besar seperti kebudayaan masyarakat tertentu berdasarkan tradisi
yang ada di dalamnya.
Bila
dikaitkan dengan Islam, maka Islam dapat dipandang sebagai salah satu bentuk
yang khas dari sebuah identitas, ketika ia membumi dengan kehidupan manusia
yang bermasyarakat dalam bentuk tradisi dan kebudayaan. Namun sayangnya, ketika
Islam berperan sebagai sebuah identitas yang mengejawantah dalam bentuk budaya
dan tradisi, ia cenderung menjadi eksklusif.Eksklusivitas yang dikedepankan
oleh masyarakat muslim lebih cenderung disebabkan oleh karena mereka menganggap
identitas sebagai akidah bagi kehidupan mereka. Di sinilah bentuk sebuah
identitas sering menjadi lahan konflik karena menganggap perbedaan sebagai al
yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu,
problem yang ingin dijawab oleh penulis dalam kesempataan ini adalah: peran
identitas yang sering dimasukkan dalam wilayah teologi, kemudian menjadi sebuah
bentuk keyakinan yang rigid dan menjadi legitimasi bagi tindak
kekerasan.
B.Rumusan Masalah
1. Memahami Sejarah Peradaban islam di Indonesia?
2. Memahami Identitas
peradaban islam di Indonesia
3. Memahami Peninggalan-peninggalan Peradaban Islam
C.Tujuan Makalah
Dalam
penulisan makalah ini pemakalah bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah dan
semoga makalah bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.Sejarah Peradaban
Islam Di Indonesia
a.Peradaban
islam sebelum kemerdekaan
Islam
masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke
delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita
muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475
H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang
mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345
M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh
karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya
agama islam ke Indonesia.
Derah
yang pertama-pertama dikunjungi ialah pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di
peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam
pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas
ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan
Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke
XVII dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka
kemenangan agama islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia. Pada
tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun
pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke
Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah
Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang
menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan
sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek
kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama
saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi
markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah
(pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima
perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan
perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya
hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan
perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda
mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi: Politik devide
et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara
kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang
Diponegoro di Jawa.
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Di
akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh
Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar
di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara
mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam
yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan
seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915).
Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di
Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan
al-Munir.
Sejak pertengahan abad ke XIX, agama
islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang
Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan
dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang
bermukim bertahun-tahun lamanya.
Ada
tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan,
yakni :
1.Pada
Masa Kesultanan
Daerah
yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh,
Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam
mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga
di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang
lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia
merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan
peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.
Dikerjaan
Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak
begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya
membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam.
Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan
adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam
bidang Fiqih dan Tasawuf.Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai
kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang
dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau
paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo
sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
Menurut
buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu
Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan
Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya
cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya
untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran,
keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
2.
Pada Masa Penjajahan
Dengan
datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan
pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang
barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang
teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan
Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di
sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia
untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah,
kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu
itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum
mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social
islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para
bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan
untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun
1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun
1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada
bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang
bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka
mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik itu, ia membagi
masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan
kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan
agamanya sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
c. Bidang politik
Orang
islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang
menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
3. Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat
asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini
sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini.
Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini,
tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.Islam di Indonesia telah diakui sebagai
kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia
menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui
keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri
ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan
Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah
(sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik
perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah
diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama
dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui
hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
b. Peradaban Sesudah Kemerdekaan
1. Pra Kemerdekaan
Ajaran
islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja.
Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan
perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan
organanisasi. Seperti :
- Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
- Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama
(1926)
- Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional
Indonesia (1927)
- Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang
tersebut diatasmasih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu,
diantaranya:
- Jamiat Khair (1905)
- Persyarikatan Ulama ( 1911)
- Persatuan Islam (1920)
- Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi
perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah
yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh
K.H Hasyim Asy’ari.Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah,
maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan
suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia (
Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di
Surabaya pada tahun 1937.
Masa
pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan
Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama
yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh
Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c. Hizbullah, ( Partai Allah atau
Angkatan Allah ) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang
dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara
Nasional
d.
Indonesia (TNI).
2. Pada Masa Penjajahan
Dengan
datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan
pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang
barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang
teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia.
Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang
pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk
menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian
mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani
mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan
bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808
pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama
tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan
perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun
1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun
1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada
bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang
bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka
mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck
Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan
Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia,
karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab,
Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik
islamnya.
Dengan politik itu, ia membagi masalah
islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial
memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang
tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa
diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
c. Bidang politik
Orang islam dilarang
membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang
politik kenegaraan dan ketata negaraan.
3. Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat
asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini
sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini.
Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini,
tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.Islam di Indonesia telah diakui sebagai
kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia
menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui
keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri
ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan
Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah
(sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik
perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah
diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama
dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui
hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.[1]
B.Identitas Peradaban Islam Di Indonesia
Identitas
merupakan bentuk ciri-ciri atau tanda pengenalan diri. Dengan ciri-ciri
tertentu tersebut seseorang ingin dikenali oleh orang lain dan orang lain pun
dapat mengenali seseorang tersebut.
Iman kepada Tuhan hanya
akan bermakna jika dilanjutkan dengan tindakan. Dengan begitu, iman dapat
dikatakan bermakna ketika terjadi sebuah proses yang menjamin tersebarnya
kabaikan, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Dengan begitu, ketika terdapat
pertanyaan, Islam dibangun atas apa? Maka jawabannya adalah iman (ilmu) dan
tindakan (amal). Karena, identitas tercermin dalam keimanan dan tindakan
seseorang.Namun yang sangat disayangkan berkaitan dengan masalah teologi,
sekalipun doktrin tauhid tidak pernah menghilang dari perjalanan peradaban
Islam, aktualisasinya dalam berbagai dimensi kehidupan tidak selalu menjadi
kenyataan. Kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah (iman-tauhid) belum tentu terkait
dengan perilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Dengan kata lain, iman dapat
saja menjadi iman yang mandul. Padahal bagi muslim generasi awal, iman
merupakan kekuatan penggerak sejarah yang dahsyat. Kekuatan itu bukan untuk
menghancurkan peradaban lain, tapi untuk mengarahkannya kepada tujuan dan nilai
kemanusiaan yang luhur.
Akan
tetapi di lain pihak, saat ini masyarakat muslim dihadapkan dengan pilihan yang
sulit antara identitas pluralistik (seperti “Nasionalis Muslim Indonesia” atau
“Sosialis Muslim Arab”) dan identitas Islam yang murni. Identitas-identitas
pluralistik memiliki resiko terjerumus pada banyaknya melakukan akomodasi
dengan unsur-unsur lain yang pada akhirnya aspek Islam yang unik itu hilang dan
identitas itu bahkan menjadi semakin non-islami. Di sisi lain, kecenderungan
monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam hanya akan mengalienasi
gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih
luas. Bila terisolasi dari koalisi-koalisi itu, gerakan Islam akan tampak
menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan
dan eksklusif, sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan
separatisme palsu. Tantangan pada saat ini adalah menemukan identitas yang bisa
membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada
jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh
ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan keprihatinan global.
Penyusupan
nilai-nilai islami dalam dunia politik merupakan bentuk identitas tersamar,
dengan pengertian bahwa meski tidak diberi embel-embel “Islam”, namun dapat
diketahui berdasarkan tindakan politiknya bahwa mereka mengusung nilai-nilai
(idea-moral) islami. Namun sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya, identitas
Islam ditampilkan secara jelas, akan tetapi dibalik identitas tersebut
tersembunyi ambisi politik untuk meraih tujuan tertentu demi melanggengkan
legitimasi kekuasaan dan kesenangan diri pribadi. Dengan begitu, Islam sebagai
identitas hanya dijadikan sebagai kendaraan tunggangan untuk dapat mencapai
kepentingan kelompok tertentu.
Berdasarkan hal di atas, ketika Islam
berperan sebagai identitas, apakah nilai-nilai kemanusiaannya atau atribut
fisiknya yang akan lebih dikedepankan?Dengan begitu, dapat terlihat bahwa
problem utama yang terjadi antara Islam dan identitas adalah ketika identitas
dijadikan sebagai akidah bagi kehidupan kaum Muslimin dan juga ketika dijadikan
alat tunggangan politik kekuasaan.
Oleh karena itu, salah satu hal yang
sangat penting yang perlu diperhatikan untuk memahami Islam dalam menentukan
identitas dirinya, - selain bersumber pada al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
(bahasa, sosial, humaniora, dan lain-lain) - adalah “kesadaran spiritual”. Kesadaran
spritual yang dimaksudkan dapat digali dari konsep Ihsan. Ihsan
dapat dipandang sebagai kesadaran manusia terhadap Tuhan secara vertikal
dan horizontal. Dalam tataran vertikal, manusia sadar akan
kehambaannya di hadapan Tuhan yang berada dalam kawasan transendental,
sehingga ia tidak akan bersombong diri dengan segala kemampuan yang
dimilikinya. Dengan kata lain, ada kontrol diri dalam semua perbuatannya karena
sadar akan keberadaan Tuhan. Sedangkan secara horizontal, manusia sadar
akan fungsinya di dunia sebagai khalifatullahdi muka bumi ini untuk
menyebarkan kebaikan dan kasih sayang untuk seluruh umat manusia dan alam
semesta (rahmatan lil ‘alamin). Melalui manusia, Tuhan menjadi imanen,
dapat dirasakan segala bukti kasih-sayang serta keagungan-Nya. Itulah
mengapa “bismillahirrahmanirrahim” selalu diucapkan ketika seorang
muslim akan berbuat sesuatu.[2]
C.Peninggalan-peninggalan
peradaban islam
Ajaran Islam mencakup
semua segi kehidupan. Peninggalan tersebut sebagian besar merupakan hasil
perpaduan kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat. Banyaknya bentuk
perpaduan kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat menurut para ahli
antropologi sebagai tanda bahwa penyebaran Islam di Indonesia dengan cara
damai, tanpa adanya usaha menghapuskan kebudayaan yang telah ada
sebelumnya.Kenyataan ini juga berlaku di negara-negara lain, seperti di Mesir
dan Irak. Kedatangan Islam di negara-negara tersebut tidak menghilangkan
peninggalan-peninggalan sebelumnya, bahkan melindungi dan merawatnya. Hal ini
sangat berharga, karena kita masih dapat menyaksikan karya besar manusia di
masa lampau.
Peninggalan-peninggalan
sejarah Islam di Indonesia antara lain dalam bentuk masjid, keraton, nisan,
kaligrafi dan karya sastra. Mari kita bahas satu-persatu:
1. Masjid
Peninggalan sejarah Islam di Indonesia yang berupa masjid adalah sebagai
berikut ini:
a. Masjid Demak
Masjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Demak Bintoro. Masjid ini didirikan para wali pada masa
pemerintahan Raden Patah. Bentuk atap bangunan masjid ini seperti meru.
Contohnya wantilan di Bali dan joglo di Jawa. Meskipun masjid tersebut telah
mengalami pemugaran, namun tidak mengubah bangunan dan bentuk aslinya. Masjid
Demak terletak di tengah kota Demak,dan sekarang masih dalam keadaan utuh.
Sehingga masih dapat dipergunakan sebagai pusat ibadah.
b. Masjid Indrapura Aceh
Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan
Kerajaan Islam Aceh. Dilihat dari bentuk atapnya, seni arsiteknya merupakan
hasil perpaduan kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu Sumatera.
c. Masjid di Aceh
Masjid ini merupakan peninggalan kerajaan Islam
di Aceh. Bantuk atapnya bersusun menyerupai pura Hindu. Kenyataan ini
menggambarkan bahwa Islam disebarkan dengan cara damai yaitu dengan memadukan
kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat.
d. Masjid Sunan Ampel
Masjid tersebut dibangun pada masa kehidupan
Sunan Ampel yang terletak di Ampeldhenta, Surabaya. Di sinilah Sunan Ampel
memberikan pendidikan agama kepada para santrinya.
e. Masjid Kudus
Masjid ini dibangun pada masa kehidupan Sunan
Kudus. Bangunan menara dan pagar masjid ini menyerupai bangunan candi Hindu.Ada
beberapa pendapat mengenai asal-usul bentuk menara yang menyerupi candi Hindu
ini. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa bangunan ini dikerjakan oleh arsitek
Islam yang sebelumnya telah menguasai arsitek bangunan Hindu. Ahli kebudayaan
memandang bangunan tersebut sebagai hasil perpaduan kebudayaan Islam dengan
kebudayaan sebelumnya dan sengaja dibentuk semacam itu. Tahun pembuatan Masjid
Kudus ini kemudian ditetapkan sebagai "Hari jadi Kota Kudus".
2. Keraton
a. Keraton a. Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik
Maulana Malik Ibrahim adalah wli pertama di Jawa yang berasal dari negara
asing. kaibon (Banten)
Keraton ini merupakan peninggalan kerajaan Islam
di Banten. Kerajaan Islam Banten didirikan oleh Faletehan setelah memisahkan
diri dari Demak abad ke-16. Peninggaln ini masih dapat dilihat karena mash
dalam keadaan utuh.
b. Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan Cirebon ini merupakan peninggalan Kerajaan Islam
Cirebon. Kerajaan tersebut pecah menjadi 2, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Keraton Kasepuhan ini juga masih dapat dilihat, karena bangunannya masih
berdiri tegak.
3. Makam
Peninggalan Sejarah Islam yang berupa makam adalah sebagai berikut:
a. Maulana Malik Ibrahim
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula Maulana
Malik Ibrahim. Ada yang berpendapat dari Persia, sehingga mendapat sebutan
"Maulana Maghribi" yang berarti ulama dari barat. Sedangkan pendapat
lain menyebutkan bahwa dia berasal dari daerah Maghribi Maroko, Afrika Utara.
Makam tersebut bercirikan khas Islam dan
berpahatkan huruf Arab, dapat dijumpai di daerah Gresik, Jawa Timur.
b. Makam Islam Talo
Makam ini merupakan peninggalan sejarah Islam di
Makasar dan diperkirakan dibangun pada tahun 1616 Masehi. Makam tersebut
sebagai bukti bahwa sejak awal bad 17 Islam telah berkembang di Talo, Sulawesi
Selatan.
c. Makam Sunan Bayat di Kalten
Bentuk gapura makam Sunan Bayat seperti bangunan
candi Hindu, sehingga oleh masyarakat disebut Candi Bentar. Dari
bangunan ini dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Islam banyak berpadu dengan
kebudayaan pra-Islam.
d. Nisan pada kuburan Raja Islam
Batu nisan ini memberikan petunjuk bahwa
raja-raja nusantara memeluk agama Islam sejak awal berkembangnya Islam di
Indonesia.
4. Peninggalan-peninggalan lain
Peninggaln lain yang merupakan peninggalan Islam adalah seperti berikut:
a. Benteng
Benteng ini dibangun pada masa pemerintahan
kerajaan Islam di Banten, yang merupakan bagian pertahanan Banten dalam
menghadapi serangan musuh.
b. Meriam
Meriam Ki Amuk merupakan senjata andalan Banten
yang telah beberapa kali dipergunakan dalam pertempuran melawan musuh. Menurut
beberapa sumber sejarah, meriam tersebut dibuat oleh Kerajaan Banten sendiri dengan mendatangkan para ahli meriam
dari Turki.
5. Kesusastraan
Hasil kesusastraan peninggalan sejarah Islam
berisi ajaran khusus seperti tasawuf atau budi pekerti yang baik, maupun
filsafat kemasyarakatan. Kesusastraan juga ditulis dalam beberapa bentuk ,
yaitu:
- Suluk: adalah kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf. Beberapa suluk yang terkenal antara lain: Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang.
- Syair: beberapa karya sastra syair peninggalan sejarah islam Indonesia karya Hamzah Fansuri antara lain: Syair Perahu dan Syair si Burung Pingai.
- Hikayat: beberapa hikayat peninggalan sejarah Islam Indonesia antara lain; Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Jauhar Manikam dan Hikayat Hang Tuah.
- Babad: adalah cerita sejarah yang biasanya lebih bersifat cerita daripada nilai sejarahnya. Karya-karya babad yang ditemukan andata lain; Sejarah Negeri Kedah, Sejarah Melayu (Salawat Usalatin), Babad Tanah Jawi, Babad Gianti, Babad Banten dan Sejarah Raja-raja Riau.
- Kitab ajaran Budi pekerti: kitab-kitab ini antara lain Nitisruti, Nitisastra dan Astabrata.
- Kitab politik pemerintahan: kitab tentang politik pemerintahan antara lain adalah Sastra Gending.[3]
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan semua hal di atas,
penulis berpendapat bahwa agar Islam sebagai identitas tidak disalahpahami
sebagai agama eksklusif dan kekerasan, maka setidaknya umat Islam perlu
mendulang kembali prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat humanis
yang disertai kesadaran egaliter, inklusifyang diikuti oleh kesadaran
empatik, pluralis yang memiliki kesadaran multikultural, dan liberatif
yang diiringi oleh kesadaran inovatif. Namun semua itu tetap berada dalam
selubung iman yang memiliki kesadaran spiritual. Dengan begitu, Islam
sebagai identitas akan menampakkan wajahnya yang ramah dan tidak lagi tampil
dengan wajah kekerasan, sehingga segala bentuk konflik dalam masyarakat dapat
diminimalisasikan.
Demikianlah
sepercik pengetahuan yang dapat penulis sampaikan, dengan meyakini adanya Tuhan
sebagai hal yang transendental sekaligus imanen, yang merupakan
modal dasar untuk mengokohkan tauhid dalam diri manusia.
Sekian,
terimakasih.
Daftar Pustaka
http://bagusizza.blogspot.com/2013/05/sejarah-peradaban-islam.htmlSejarah
Peradaban Islam Di Indonesia
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !