INTERAKSI PERADABAN ISLAM DENGAN PERADABAN MODERN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ SEJARAH PERADABAN ISLAM
”
yang di ampu oleh : Drs. H. AKHMAD ROWI, MH
Disusun Oleh:
MUSTAMID KOWI MUZAQQI
NIM : C.14.13.0009
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN AKADEMIK 2013
/ 2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
umat Islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran
dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik
di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun
Barat. Dari kekhawatiran tersebut, maka kemudian cenderung bersikap resisten
demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat muslim dari pengaruh
negative berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu,
mereka juga berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau
konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat Islam yang lain
cenderung menerima apa yang datang dari Timur maupun Barat tanpa reserve.
Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai
kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka,
segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang
menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.
Dari gambaran tersebut, kaum muslimin harus bersikap kritis dengan menelaah
setiap permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan mendukung atau
menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.[1][1].
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana problem dunia Islam di Era Modern?
2. Bagaimana kondisi politik, ekonomi, dan budaya Islam di Era Modern?
II.
PEMBAHASAN
1.
Dunia Islam di Era Modern
Melihat wajah dunia
Islam masa kini yang berada pada titik puncak kemundurannya, maka dapat
dikemukakan beberapa problem secara umum yang dialami oleh sebagian besar umat
Islam:
a. Ancaman Yahudi
Kuku-kuku Yahudi menyebar ke berbagai sektor kehidupan manusia, yahudi
ingin memutarbalikkan fakta sejarah dan menguburkan fakta kebenaran sehingga
mereka mampu menempatkan orang yang benar sebagai terhukum dan yang salah
sebagai termenang. Racun Yahudi telah ada jauh sebelum Konferensi sebelum tahun
1897. Juga telah ada jauh sebelum Rabae Leiva (1520-1659) yang menyerukan
berdirinya Negara Yahudi di Palestina. Bahkan pada zaman Rasulullah pun ancaman
Yahudi “kepala naga” sudah ada untuk umat Islam
b. Sukularisme
Sekularisme berasal dari kata “secular”, yang berarti unreligious atau anti
agama. Pada mulanya, sekulerisme bertujuan menghancurkan pengaruh gereja di
Eropa dan melepaskan belenggu kedzaliman tokoh-tokoh gereja, yang pada akhirnya
berhasil mengibarkan panji sekulerisme dengan slogan “Religion is for God and
Nation is for All”. Akan tetapi, sekulerisme tidak hanya melanda dunia
Barat-Kristen, tetapi menyusup ke seluruh Negara-negara Islam melalui sistem
pemerintahan yang diwariskan oleh colonial kepada Negara jajahannya, dan juga melalui
sarjana-sarjana yang belajar di Perguruan Tinggi Barat yang tidak hanya datang
mempelajari ilmu-ilmu Exacta, tetapi juga belajar ilmu politik, social, dan
bahkan ada yang datang ke Barat untuk belajar Islam. Sebuah kenyataan yang
memprihatinkan akhir-akhir ini.
Dalam konteks ini tampaknya sebagian orang benar-benar tertipu oleh
kemajuan peradaban Barat. Kemajuan sains dan teknologi Barat, oleh sebagian
orang dinilai karena keberhasilan mereka memisahkan antara dunia dengan agama
(sekularisme). Akan tetapi, mereka lupa bahwa kemajuan Barat itu sendiri dengan
segala akses dan bencana yang dibawanya yang dinilai sebagai hasil dari
sekulerisme, sungguh tidak relevan dengan dunia Islam. sekulerisme mungkin
dapat diterima untuk dunia Barat Kristen, karena sistem religiusnya yang sulit
bertahan dalam menghadapi perkembangan zaman. Lain halnya dengan Islam, yang
ajarannya senantiasa relevan dengan perputaran roda peradaban manusia. Ini
karena, sebagai agama yang terakhir, Islam menganut sistem universal dan lengkap.
Tak satu aspek pun dalam kehidupan ini yang luput dari aturan Islam ditambah
lagi oleh sistem hukum dalam Islam yang menerima perkembangan zaman yang
dinamis (mutathawwir) di samping konsep-konsep yang konstan dan berlaku umum
(tsabit).
c. Nasionalisme
Seiring dengan
sekulerisme bangkit pula faham nasionalisme yang menjangkiti seluruh Negara
muslim. Gerakan nasionalisme telah menyerbu negeri-negeri Islam sejak khilafah
Utsmaniah masih berdiri tegak. Melalui penjajahan colonial, ide nasionalisme
diinjeksikan kepada tokoh-tokoh dan membangkitkan semangat cinta leluhur di
setiap negeri-negeri Islam, hingga setiap bangsa tidak lagi merasa dipersatukan
oleh akidah Islam, tetapi lebih menonjolkan warisan nenek moyangnya sebelum
Islam. Mesir ingin kembali pada leluhur Fir’aunnya, Turki membesar-besarkan
peradaban Turani-nya, Suriah dengan Phoenicisme-nya, Maroko
dengan Barbar-nya, daan demikian pula dengan Negara-negara Islam
lainnya.
Karena saangat ampuhnya spirit nasinonalisme di dunia
Islam, begitu “Khilafah Utsmaniyah” di Turki runtuh masing-masing negeri Islam
yang sebelumnya bernaung di bawah payung “Utsmaniyah”, memproklamasikan dirinya
sebagai Negara yang berdiri sendiri dengan pemerintahan yang tersendiri pula.
Jadi, pada saat Khilafah Utsmaniyah mengalami kemunduran, Yahudi dan Barat
Kristen bekerja sama melakukan konspirasi di dalam tubuh pemerintahan
Utsmaniyah dengan mengorbitkan Kemal Attarurk, Yahudi Turki yang siap
menghancurkan pemerintahan yang telah berumur ratusan tahun itu. Di
Negara-negara Islam lainnya colonial Barat telah lebih dahulu menanamkan
semangat Nasionalisme kepada setiap bangsa yang dijajahnya agar memisahkan dari
pemerintahan induk di Turki. Barat berusaha melukiskan kepada bangsa-bangsa
Islam bahwa Nasionalisme adalah jawaban satu-satunya untuk mengatasi problema
yang sedang dihadapi umat Islam. Padahal dalam literature Islam nasionlisme,
tidak lain dari suatu seruan fanatisme kesukuan dan kebangsaan yang dilukiskan
oleh Rasulullah SAW. Sebagai “barang yang berbau busuk”.[2][2]
1.
Kondisi Politik,
Ekonomi, dan Budaya Islam di Era Modern
a.
Kondisi Politik Islam
di Era Modern
Ketika Negara-negara Islam berhasil meraih kemerdekaan
dari penjajahan militer Barat pada pertengahan abad ini, banyak orang
bergembira. Akan tetapi, banyak orang lupa bahwa pada awal abad ini telah
terjadi suatu konspirasi internasional yang meruntuhkan kekuatan politik umat
Islam, yaitu dihapuskannya Khalifah Utsmaniyah di Turki, karena kemunduran
progress dari kerajaan Utsmani yang merupakan pemangku Khilafah Islam, setelah
abad ke tujuh belas[3][3]. Walaupun tidak bisa
dipungkiri adanya berbagai kelemahan di dalam tubuh sistem yang berkuasa pada
saat itu. Dan banyak orang yang lupa bahwa dengan hengkangnya penjajah, bukan
berarti sebuah Negara telah merdeka secara total. Akan tetapi, jauh sebelum
Barat meninggalkan daerah jajahannya, Barat terlebih dahulu mempersiapkan calon
pimpinan penggantinya di negeri itu, walaupun orangnya berasal dari putra
Negara jajahan. Buktinya kemerdekaan yang dicapai hanya sekedar merdeka dari
orang-orang asing, tetapi dari segi hukum, sistem, dan praktek yang berlaku
tidak jauh berbeda, kalau tidak persis sama dengan sistem dan hukum masa
penjajahan.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, Amerika Serikat dan
Uni Soviet tampil sebagai pengatur dan penentu peta politik dunia. Kedua negara
“super power” itu berhasil mengotak-otakkan dunia Islam ke dalam dua blok,
yaitu blok Barat dan Blok Timur. Meskipun dunia Islam menyatakan dirinya
sebagai Negara nonblok, namun dalam praktiknya sikap itu sulit dipertahankan,
karena ketergantungan sebagai Negara-negara Islam kepada Barat, yang tidak
hanya menyangkut ekonomi, bahkan juga politik, miter, dan sampai pada budaya.
Di Barat menggunakan sistem kapitalisme dalam
perekonomian, demokrasi dalam sistem politik, dan eksistensialis atau faham
kebebasan dalam kehidupan social, maka di Negara muslim, sistem yang sama juga
ditemukan dengan tiga elemennya. Demikian pula blok Timur dengan sosialisme
sebagai landasan ekonomi, diktatorisme-proletar sebagai faham politik, dan
kebebasan moral normatif sebagai sistem sosialnya, maka acuan yang sama juga
ditemukan di banyak Negara Islam. Walaupun pada hakekatnya, kedua sistem ini
adalah hassil dari rekayasa Yahudi dan diatur oleh sebuah policy
(kebijaksanaan) yang sama.[4][4]
b.
Kondisi Ekonomi Islam
di Era Modern
Bidang ekonomi merupakan sisi globalisasi yang paling
penting. Salah satu bentuk implementasinya adalah realisasi pasar bebas dengan
berbagai piranti pendukungnya, seperti hilangnya sekat penghalang bagi transaksi
perdagangan, dibukanya pintu jual-beli tanpa proteksi, dan menjamurnya
konglomerasi perekonomian raksasa yang banyak menguasai Negara-negara maju.
Fenomena ekonomi global yang lain adalah merebaknya perusahaan-perusahaan
patungan antar Negara yang mampu mencengkeram perekonomian dunia, sekalipun
harus digerakkan atas atnggungan pihak (Negara) yang miskin dalam bentuk
institusi-institusi keuangan seperti bank internasional ataupun holding
company.
Seandainya kita boleh memandang fenomena tersebut secara terbuka,
dengan menghilangkan asumsi-asumsi parsial, niscaya kita akan sampai pada suatu
keyakinan bahwa globalisasi ekonomi harus diapresiasi dengan positif agar kaum
muslimin bisa memtik manfa’at darinya. Kita perlu sesegera mungkin menyatukan
langkah untuk membangun konglomerasi ekonomi Islam yang secara pro aktif turut
meramaikan percaturan zona-zona ekonomi tingkat regional maupun internasional.
Salah satu bentuknya adalah dengan meningkatkan kualitas produksi, yang akan
mendorong kaum muslimin mampu bersaing dengan kompetisi era globalisasi. Tentu
saja, hal ini harus dibarengi dengan peningkatan dan penyempurnaan kualitas
produksi internal kita dalam berbagai komoditas yang berbeda.
Lebih dari itu umat Islam juga dituntut untuk
meningkatkan frekuensi perdagangan bilateral antara Negara-negara Islam, yang
saat ini ironisnya hanya sekitar 10% dari total frekuensi hubungan dagang
Negara-negara Islam dengan dunia luar.
Jika umat Islam berhasil melaksanakan agenda-agenda di
atas, maka paling tidak kita tak perlu lagi mengkhawatirkan imbas negative
globalisasi ekonomi terhadap dunia Islam. Jika umat Islam mampu merespon arus
ekonomi yang datang dari luar dengan arus ekonomi yang sepadan, maka umat ini
akan menjadi salah satu competitor (pesaing) penting di era globalisasi. Bukan
sekedar menjadi partisipan yang mengikuti kelompok-kelompok lain. Sehingga pada
stadium selanjutnya, umat Islam akan memiliki pengaruh yang amat diperhitungkan
dan mampu menyumbangkan saham bagi rekonstruksi arus globalisasi.[5][5]
c.
Kondisi Sosial Budaya
Islam di Era Modern
Selanjutnya globalisasi di bidang budaya. Jika hal ini
didefinisikan sebagai upaya mewujudkan suatu budaya dunia universal yang
bertujuan membangun kesadaran setiap individu akan tujuan-tujuan bersama demi
kemanusiaan, dan untuk lebih mengetahui bahaya-bahaya yang mengancam umat
manusia beserta lingkungannya, bahaya terorisme, jaringan narkotika, dan lain
sebagainya. Sehingga tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang semua itu.
Tetapi, inti persoalannya baru muncul setelah ada kecenderungan globalisasi
budaya yang hendak mengikis jati diri budaya bangsa-bangsa dan menggantinya
dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu, yaitu
peradaban Barat. Suatu hal yang dapat menghancurkan jati diri budaya suatu
bangsa, daan bahkan mengikisnya. Barangkali fenomena seperti itulah yang
agaknya melahirkan penolakan dalam dunia Islam dan terkadang dianggap sebagai
tantangan terberat yang mengancam identitas kaum muslimin.
Ada suatu pertimbangan yang layak direnungkan. Islam
sebagai agama inklusif tentu tak mungkin menolak suatu budaya hanya semata-mata
karena ia berasal dari luar. Islam akan menelaah budaya tersebut, memilah-milah
kandungannya secara seksama dan mengambil elemen-elemen yang bermanfa’at dalam
dinamika perdaban itu.
Di zaman modern ini kita dituntut untuk memainkan fungsi
akal dan ikiran demi menyikapi kebudayaaan modern yang disuguhkan ke hadapan
kita. Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan maslahat manusia,
tidak mungkin rasanya menolak secara membabi buta suatu kebudayaan yang
mengandung manfa’at bagi umat manusia. Maka melalui penyikapan yang kritis, di
satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi
lain kita tetap tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang
hidup di dalamnya. Kita harus berinteraksi dengan perkembangan zaman sebagai
sebuah kenyataan, bersentuhan dengannya secara positif-konstruktif, agar kita
selalu dapat memetik maslahat yang dihasilkannya bagi masyarakat.[6][6]
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Problem Dunia Islam di Era Modern
a.
Ancaman Yahudi
Yahudi ingin memutarbalikkan fakta sejarah dan menguburkan fakta kebenaran,
sehingga mereka mampu menempatkan orang yang benar sebagai terhukum dan yang
salah sebagai pemenang.
b.
Sekularisme
Sekularisme telah melanda
sebagian besar dunia Islam, dimana Islam tidak lagi difungsikan untk mengatur
segenap aspek kehidupan umat Islam, tetapi
hanya sekedar ibadah ritual yang tidak boleh ikut campur dalam urusan politik.
Ekonomi, social budaya, dan lainnya.
c.
Nasionalisme
Melalui penjajahan
colonial ide gerakan nasionalisme diinjeksikan kepada tokoh-tokoh dan
membangkitkan semangat cinta leluhur di setiap Negara-negara Islam, hingga
setiap bangsa tidak lagi merasa dipersatukan oleh Akidah Islam, tetapi lebih
menonjolkan warisan nenek moyangnya sebelum Islam.
2.
Kondisi Politik, Ekonomi, dan Budaya dalam Dunia Islam di Era Modern
a.
Kondisi Politik Islam di Era Modern
Di Barat menggunakan
sistem kapitalisme dalam perekonomiannya, demokrasi dalam politik, dan
eksistensialis atau faham kebebasan dalam kehidupan social, maka di Negara
muslim sistem yang sama juga ditemukan. Walaupun pada hakekatnya, sistem ini
adalah hasil dari rekayasa Yahudi dan diatur oleh sebuah policy
kebijaksanaan yang sama.
b.
Kondisi Ekonomi Islam di Era Modern
Negara-negara Islam perlu
sesegera mungkin menyatukan langkah untuk membangun konglomerasi Ekonomi Islam
yang secara pro aktif turut meramaikan percaturan zona-zona ekonomi tingkat
regional maupun internasional.
c.
Kondisi Budaya Islam di Era Modern
Di zaman modern ini, kita
sebagai umat Islam dituntut untuk memainkan fungsi akal dan pikiran demi
menyikapi kebudayaan modern yang disuguhkan di depan kita.
B.
Penutup
Demikianlah makalah yang
adapat kami buat, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan kami
mohon ma’af. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk
perbaikan dalam pembuatan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfa’at untuk kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdi, Mahmud Zaqzaq. 20001. Reposisi Islam di Era Globalisasi.
Jogjakarta. Pustaka Pesantren.
Rasyid, Daud. 1998. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta. Gema
Insani Press.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. PT. Raja
Grafindo Persada.
[1][1] Mahmud Hamzi Zaqzuq,
Reposisi Islam di Era Globalisasi, Jogyakarta, Pustaka Pesantren, hlm 3
[2][2] Daud, Rasyid, islam dalam
Berbagai Dimensi, Jakarta, Gema Insani Press, hlm 246-254
[3][3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm 257
[4][4] Ibid,hlm 250-251
[5][5] Mahmud Hamdi Zagzug,
Reposisi Islam di Era Globalisasi, Jogyakarta, Pustaka Pesantren hlm 6-7
[6][6] Ibid,hlm10-11
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !