PENGARUH PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH ABBASIYAH
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen pengampu: Drs. H. Akhmad Rowi, M.H
Oleh: Ani Minatul Ulwiyah
NIM: C.1.4.13.0001
UNIVERSITAS SULTAN FATAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
DEMAK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah
kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan sejarah
kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang. Islam yang di wahyukan
kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang semula terbelakang,
bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa
yang maju.
Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban
islam yang masuk ke eropa melalui spanyol. Islam memang berbeda dari
agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya
Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more
than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam
sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang
sempurna).
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana
dinamika umat Islam itu sendiri. Maka dari itu kita akan membahas sebuah
peradaban besar yang sangat berpengaruh luas, yaitu masa kekhalifahan Abbasiyah
yang berpusat di Baghdad.
B. Maksud
dan Tujuan
- Mengetahui sejarah peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
- Memahami proses berkembang dan terbentuknya Dinasti Abbasiyah
- Mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh para khalifah pada masa Dinasti Abbasiyah.
- Memahami proses kemunduran dan keruntuhan Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul Pertumbuhan dan
Perkembangan Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul
Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali
bin Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas
As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132 – 656 H / 750 – 1258
M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana Khilafah
Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan
pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di
satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika
itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada khalifah yang ada di
Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan
pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari
segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima
abad.
Bani Abbasiyah mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari
masa pemerintahan Abul Abbas As-Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama
Islam mencapai zaman keemasan (132 – 232 H / 749 – 879 M). Dan pada masa
kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-Mu’tashim, Islam mengalami masa
kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H / 1258 M.[1]
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1.
Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4.
Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani
sejak dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.
5. Periode
Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif disekitar kota Baghdad.[2]
B.
Perkembangan Politik
Pemerintahan daulah Bani
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani Umayyah yang telah
hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara kekuasaan
dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah, diantaranya
adalah
1. Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya
dalam segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan
Arab murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan pada dinasti ini.
2.
Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah
terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir
dan sebagainya.
C.
Perkembangan Peradaban Islam
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat Islam telah banyak
melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya
penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang
dilakukan oleh para ahli. Kebangkitan ilmiah pada zaman ini terbagi di dalam
tiga lapangan, yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu
Islam dan penerjemahan dari bahasa asing.[3]
Setelah mencapai kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh
tentara membukakan jalan kepada anggota-anggota pemerintahan, keuangan,
undang-undang dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat di lapangan
masing-masing. Dengan demikian munculah pada zaman itu sekelompok
penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli ilmu
hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan
bahasa Arab.[4]
Banyak ahli dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti;
filsafat. Filosuf terkenal saat itu antara lain adalah Al-Kindi (185-260
H/801-873 M). Abu Nasr al Faraby (258-339 H/870-950 M), yang
menghasilkan karya dalam bentuk buku berjudul Fusus al-Hikam, Al-Mufarriqat,
Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah. Selain mereka, juga ada Ibnu Sina(370-428
H/980-1037 M), Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M), diantara karyanya adalah Risalatul
Wada’, akhlak, kitab al-Nabat, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bil Ihsan, Tadbir
al-Mutawahhid, kitab al-Nais, Risalah al-Ghayah al-Insaniyah, Al-Ghazali (1059-1111
M), Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196 M), dan lain-lain. Selain filsafat,
juga terjadi perkembangan dan kemajuan dalam bidang Ilmu Kalam atau Teologi.
Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali,
Sajastani, dan lain-lain.[5]
Adapun
bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut :
·
Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah
adalah Baghdad dan Samarra. Baghdad merupakan ibu kota negara kerajaan
Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun
762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu pengetahuan datang
beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah timur
sungai Tigris, yang berjarak +60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya
terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota
lain.[6]
·
Bidang Pemerintahan
Pada masa Abbasiyah I (750-847 M),
kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang
kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang
masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir
(perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa
Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja,
karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai
penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada
apa-apanya lagi.
Dalam
pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan
Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/ Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam,
yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada
wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura
dengan kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain
itu, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang kuat di bawah
panglima, sehingga kholifah tidak turun langsung dalam menangani tentara.
Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan
negara khususnya. Di samping itu juga kholifah membentuk badan peradilan, guna
membantu kholifah dalam urusan hukum.[7]
·
Bangunan Tempat Peribadatan dan
Pendidikan
Di antara bentuk bangunan yang
dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah madrasah. Madrasah yang terkenal
saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad, Isfahan,
Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana
menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai
lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai tempat
pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.
Di
samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti
masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah
sholat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di
antara masjid-masjid tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan
lain sebagainya.[8]
·
Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu
‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam,
Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu
Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.[9]
D.
Perluasan/ekspansi Kekuasaan Islam
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah
kekuasaan Islam semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani
Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran
(Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko,
Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga
India.[10]
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat,
dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan
Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan
selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di
laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.[11]
E.
Sebab-Sebab Kemunduran dan Kehancuran
Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak terjadi dengan cara
spontanitas, melainkan melalui proses yang panjang yang diawali oleh berbagai
pemeberontakan dari kelompok yang tidak senang terhadap kepemimpinan kholifah
Abbasiyah. Disamping itu juga, kelemahan kedudukan kekholifahan dinasti
Abbasiyah di Baghdad, disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang
terkendali, sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau
khalifah Abbsiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini,
khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang
cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah
Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan
politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad
dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran
Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah
Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab kemunduran
itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya khalifah pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini
tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa
apabila kalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Di
antara kelemahan yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah sebagai
berikut :
a.
Mayoritas Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya
dan cenderung hidup mewah.
b.
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan.
c.
Ketergantungan kepada tentara bayaran.
d.
Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia, yang menimbulkan
kecemburuan bagi bangsa Arab murni.
e.
Permusuhan antara kelompok suku dan agama.
f.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
g.
Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang menghacur
leburkan kota Baghdad.
Menurut W. Montgomery Watt,[12]
bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah abbasiyah
adalah sebagai berikut:
a.
Luasnya wilayah kekuasaan daulah
abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
b.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata,
ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
c.
Keuangan negara sangat sulit karena
biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan
militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim,
M.A.,[13]
diantara hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
a.
Persaingan antar bangsa
Kholifah Abbasiyah di dirikan oleh
Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang persia. Persekutuan di latar
belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama . setelah
Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu.
Pada masa ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan
sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
b.
Kemorosotan ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
pada yang keluar, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khalifah
mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun, dan dengan demikian
terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
c.
Konflik keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Pada periode
Abbasiyah konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga
mengkibatkan terjadi perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah,
Syi’ah, Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan
Abbasiyah menglami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang
ada.
d.
Perang salib
Perang salib merupakan sebab
dari eksternal umat islam. Perang salib yang
berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan
perhatian pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib
sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
e.
Serangan bangsa mongol (1258 M)
Serangan tentara mongol ke wilayah kekuasaan islam menyebabkan kekuatan
islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan mongol yang
biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah
kepada kekuatan mongol.
F. Akhir Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
Akhir
dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika Baghdad di hancurkan oleh pasukan
mongol yang di pimpin oleh Hulagu khan, 656 H/1258 M. Hulagu Khan adalah
seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di cina hingga ke asia tenggara, dan
saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah
sebelah barat dari cina ke pangkuannya. Baghdad di bumihanguskan dan di ratakan
dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al
Mu’tashim Billah di bunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar
dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang
jernih bersih menjadi hitam kelam karena larutan tinta yang ada pada buku-buku
itu.
Dengan
demikian lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam
percaturan kebudayaan dan peradaban islam dengan gemilang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari
nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah
Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan
sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132 –
656 H / 750 – 1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki
singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Di antara kota pusat peradaban pada
masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Bangdad merupakan ibu kota
negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775
M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan.
Ketika banyak terjadi pemberontakan,
kekuatan Dinasti Abbasiyah pun melemah. Sehingga terjadi kegoncangan kekuasaan
yang berakhir dengan disintegrasi wilayah dan keruntuhan dinasti ini.
B. Kritik
dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami selaku penyusun masih
banyak kekurangan dalam pengetahuan makalah ini. Maka disini kami sebagai
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
A. Syalabi, Prof. Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3,
Al-Husna Zikra, Jakarta, 2000
Murodi,
Drs, Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya
Toha Putra, Semarang, 2003
Murodi, Dr.MA, Sejarah
Kebudayaan Islam Tsanawiyah kelas IX, Karya Toha Putra, 2007
Chatibul
Umam, Prof, Dr. Abidin Nawawi, Drs, Sejarah
Kebudayaan Islam MTs, Menara Kudus, Semarang, 1995
Yatim, Badri, Dr. MA, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004
Brockelmann, Carl, History
of the Islamic Peoples, (London: Routledge & Kegan Paul, 1982)
Samsul
Munir Amin, Drs, M.A., Sejarah Peradaban
Islam jilid 2, penerbit Amzah, Jakarta, 2010
akhmadrowi.blogspot.com
[5] Drs. Murodi, M.A., Sejarah dan Kebudayaan Islam Tsanawiya kelas IX, karya Toha Putra,
2007, hlm. 18.
[6] Ibid.,
[8] Drs. Murodi, M.A., Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya Toha Putra, hlm. 51.
[10] Drs. Murodi, M.A., Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya Toha Putra, hlm. 51.
[11] Carl Brocjekmann, History of The Islamic Peoples (London:Routledge Kegan Paul, 1982),
hlm. 111.
[12] W.
Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian
Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, cetakan
pertama, hlm. 165-166.
[13] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 80-85.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !