Headlines News :
.
Home » , , » Pengaruh Peradaban Islam terhadap Pengembangan Pendidikan sejak abad pertama hingga abad modern (Samsul Muarif-FAI UNISFAT)

Pengaruh Peradaban Islam terhadap Pengembangan Pendidikan sejak abad pertama hingga abad modern (Samsul Muarif-FAI UNISFAT)

Written By Akhmad Rowi on Kamis, 24 April 2014 | 20.24

akhmadrowi.blogspot.com

PENGARUH PERADABAN ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN SEJAK ABAD PERTAMA HINGGA ABAD MODERN

Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, M. H.





Oleh:
SAMSUL MU’ARIF
NIM : C.1.4.11.0082

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Qur`an dan terjabar dalam Sunnah Rasul bermula sejak Nabi Muhmmad SAW menyampaikan ajaran tersebut pada umatnya.[1]
Kajian tentang “The Islamic Civilization” atau peradaban Islam tidak bisa lepas dari peradaban Arab yang menjadi tempat lahirnya agama Islam. Oleh karena itu, terkadang peradaban ini disebut dengan peradaban Arab, karena pertama kali peradaban ini muncul di kalangan bangsa Arab, sekalipun kemudian meluas dan dikembangkan oleh generasi Islam selain bangsa Arab, baik melalui transfer ilmu, kesamaan tipologi dan standar, maupun bahasa dan tulisannya. Selain itu, peradaban ini disebut peradaban Arab karena sebagian tokoh terbesarnya seperti; Hunain ibn Ishaq, Yohana ibn Masawih, Nabit ibn Qarrah dan Ali Abbas Al-Majusi mereka adalah orang-orang Arab non-muslim.
Sedangkan penyebutannya sebagai peradaban Islam, karena ia sebagai penggagasnya dan selamanya akan menjadi kekuatan yang menggerakkannya dengan dengan ajaran-ajarannya. Di sisi lain, penyebutan sebagai peradaban Islam ini dikarenakan sebagian tokohnya yang terbesar adalah orang Islam non-Arab seperti; Ibnu Sina, Al-Birruni, Abu Bakar Al-Razi, dan Al-Khawarizmi.[2]
Terlepas dari perbedaan penyebutan tersebut, faktor utama dalam sebuah peradaban besar adalah Ilmu pengetahuan. Sebagai faktor utama dalam perkembangan peradaban, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang

serius dalam Islam. Masa sebelum kedatangan Islam yang disebut dengan Masa Jahiliyah, misalnya, merupakan argumentasi penting bahwa Islam datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan meminimalisir kebodohan. Predikat “jahiliyah” bukan berarti bangsa Arab sebelum Islam datang tidak memiliki peradaban dan mengenal peradaban-peradaban lainnya. Beberapa abad sebelum Islam muncul, daerah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil, peradaban lembah Daljah dan Furat, peradaban Syam, peradaban Yaman, peradaban Tunis, peradaban Bahrain, peradaban Yunani, peradaban India dan peradaban Persia.[3]
B.     Rumusan Masalah
Permasalahan yang dapat kami angkat dari latar belakang di atas adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengaruh peradaban Islam terhadap pendidikan sejak abad pertama hingga abad modern?


















BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pengaruh Peradaban Islam Terhadap Pendidikan Sejak Abad Pertama Hingga Abad Modern
Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah Islam bisa dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2) masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M sampai sekarang.[4]
1.      Abad Pertama /Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan dikembangkan era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.[5]
Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi reformasi

teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Qurasiy.[6]
Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Periode Mekkah merupakan periode yang menyakitkan bagi Nabi dan pengikutnya sehingga Nabi melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M untuk menyusun kekuatan baru setelah Mekkah dianggap tidak kondusif untuk penyebaran dakwah Islam. Di Madinah, Nabi menyusun kekuatan sosial-politik dan ekonomi untuk menyatakan perang ekonomi kepada pedagang Quraiys.[7] Secara sosiologis, hijrah merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy Mekkah.[8] Namun demikian, hijrah tidak hanya merupakan perpindahan Nabi dan umat Islam untuk menghindari tekanan-tekanan dan perlawanan dari kaum kafir Quraisy. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya.
Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya -Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah- secara garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.[9] Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.[10]
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.[11]
Peran para khalifah tidak bisa dinegasikan dari kemajuan yang dicapai oleh periode ini, terutama pada masa Bani Abbas. Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.[12]
Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan.[13]
Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M)[14] dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi.[15]
Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih dalam filsafat. [16]
Ringkasnya, periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh pada tercapainya peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini, menurut Christopher Dawson, bersamaan dengan abad kegelapan di Eropa. Memang sebagaimana dijelaskan oleh Mc. Neill, kebudayaan Kristen di Eropa antara 600-1000 M. sedang mengalami masa surut yang rendah. Di Abad XI, Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit dibawa ke Eropa.[17]
2.      Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat.[18] Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.[19]
Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.[20] Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan sebagainya.
Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[21]
Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.[22]
3.      Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah.[23] Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan militer.
Setelah umat Islam menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya dekonstruksi oleh para pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam. Etika politik kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi teologi. Upaya-upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting paradigm (loncatan paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan ajaran-ajaran dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan progresif sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat. Dari sini, bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan), revivalisme (puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan bahkan  muncul juga sekularisme yang kontroversial.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat disebutkan diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam empat model gerakan sebagai berikut:
a)      Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di India yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India[24]. Menurut Harun Nasution[25], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais[26], gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan gerakan ini.[27]
b)      Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu.
Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.[28]
c)      Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.[29]
d)     Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu,  menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.[30]





























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban. Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Pemaknaan dan pemahaman terhadap kedua sumber itu yang menyebabkan perbedaan generasi umat Islam dari awal hingga sekarang. Interptreasi itu pulalah yang menyebabkan gairah inteletual dalam lembaran sejarah peradaban Islam mengalami fluktuasi.
Secara garis besar, pengaruh peradaban Islam terhadap pendidikan dibagi menjadi tiga fase :
1)     Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan temuan-temuan sains yang belum pernah ada sebelumnya.
2)     Periode Pertengahan (1250-1800 M), gairah intelektual umat Islam terkikis dan sangat merosot. Tidak ada lagi buah karya atau penemuan sains yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat menurun.
3)     Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat Islam mulai menyadari keterpurukan dan ketertinggalannya utamanya dalam bidang sains dan teknologi. Spirit ini melahirkan beberapa model gerakan pembaharuan dalam interpretasi dan implementasi terhadap ajaran Islam. Secara umum, ada empat model gerakan pembaharuan yang muncul; Wahabiyah, Modernisme, Westernisme dan Sekularisme.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Mohammad Athiyah. 1974. Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, terjemahan Bustani A. Gani dan Johar Bahry dengan judul “Dasar-Dasar Pendidikan Islam”. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. 1994. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra. Mekkah: Dar Al-Baz.
Al-Faruqi, Ismail Raj’i. 1982. Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Al-Khudary, Muhammad ibn ‘Afifi. 2004. Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursalin. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Al-Sirjany, Raghib. 2009.  Madza Qaddama Al-Muslimun li Al-‘Alam: Ishamat Al-Muslimin fi Al-Hadlorat Al-Insaniyyah. Kairo: Muassasah Iqra’.
Bakri,Syamsul. 2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Donohue, John J. 1995. Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Press.
Gaudah, Muhammad Gharib. 2012. 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan Muhyiddin Mas Rida. Jakarta: Pustaka A-Kautsar.
Khaldun, Abdur Rahman Ibn. t.t. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah.
Khaleel, Shwaki Abu. 1991. Islam on the Trial. Beirut: Dar Al-Fikr.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.
Schroeeder, Ralph. 1992. Max Weber and The Sociology of Culture. London: Sage.
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Sulaiman, Umar. 2012. Islam Kosmopolitan: Ikhtiar Pembumian Nilai-Nilai Transenden-Humanis di Ruang Publik. Yogyakarta: Freshbooks.
Sunanto,  Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Turner, Bryan S. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir. Yogyakarta: Suluh Press.
akhmadrowi.blogspot.com.



[2] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan Muhyiddin Mas Rida (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 2012), hal. 7-8.
[3] Ibid., hal. 5.
[4] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Lihat pula: Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1994), hal. 112.
[5] Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage, 1992), hal. 150-151.
[6] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 19-20.
[7] Shwaki Abu Khaleel, Islam on the Trial (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991), hal. 52.
[8] Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hal. 54.
[9] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah, t.t.),  hal. 344-345.
[10] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 71.
[11] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 11.
[12] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 70.
[13] Ibid., hal. 71.
[14] Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka..., hal. 68-77.
[15] Ibid., hal. 107-118.
[16] Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan..., hal. 265-266.
[17] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 74.
[18] Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan, hal. 266.
[19] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 82.
[20] Ibid., hal. 84.
[21] Ibid., hal. 85-86.
[22] Ibid., hal. 87-88.
[23] Ismail Raj’i Al-Faruqi, Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982), hal. vii.
[24] Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995), hal. x.
[25] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 25.
[26] Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan...
[27] Ibid., hal. xii.
[28] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam..., hal. 66.
[29]Ibid., hal. 167.
[30] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hal. 306.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. AKHMAD ROWI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Tonitok