TUGAS
MAKALAH
“ Peran
Bangsa Arab Dalam PerAdaban IslaM”
Dosen
Bapak Drs. H. Akhmad Rowi, MH
Disusun Oleh :
Nama : Muhammad
Azhar Alwi
NIM : C.1.4.11.0069
UNIVERSUTAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur
saya ucapkan kepada Allah swt yang mana telah memberikan rahmat dan hidayahnya
yang luar biasa kepada saya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta
salam saya panjatkan kepada Nabi Muhammad Saw yang mana kita tunggu-tunggu sya’faatnya
di hari akhir nanti.
Dan tak lupa
saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. H. Akhmad Rowi, SH selaku dosen mata kuliah Sejarah
Pendidikan Islam Yang telah memberikan bimbinganya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini dengan semaksimal mungkin, walaupun saya tahu bahwa
tugas ini jauh dari kata sempurna, karena sesungguhnya manusia itu tiada yang
sempurna dalam segala hal.
Demikian tugas
ini saya buat, semoga ini bisa menjadi refensi ilmu bagi para pembaca khususnya
bagi saya sendiri. A’min
Demak, 15 April
2014
Penulis
Muhammad Azhar
Alwi
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam, Arab, dan Quraisy merupakan tiga komponen yang tidak
dapat dipisahkan ketika kita membahas tentang sejarah peradaban Islam. Ketiga komponen
tersebut merupakan unsur utama yang saling melengkapi. Kita tidak dapat
membahas sejarah peradaban Islam tanpa mengetahui Islam itu sendiri. Dan ketika
kita membahas Islam tidak dapat terlepas dari bangsa Arab yang merupakan tokoh
utama dalam pembentukan serajah peradaban Islam. Demikian juga dengan suku
Quraiys yang merupakan suku paling berpengaruh di dunia Arab saat itu.
Sebuah peradaban manusia tidak hadir begitu saja dalam ruang
kehidupan, ia senantiasa terbentuk oleh proses perjuangan yang melatari dalam
rentang waktu yang tidak sebentar. Tidak hanya itu, peradaban baru sengaja
hadir untuk menggantikan peradaban lama di masa silam. Proses pergantian
peradaban tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena pondasi
bangunan dari peradaban lama seperti struktur sosial, pola interaksi, nilai,
norma, adat istiadat dan tradisi telah berakar kuat pada setiap generasi dalam
lipatan masa yang tidak terhitung lamanya. Untuk mengubahnya, yang diperlukan
bukan saja agen perubahan yang tangguh namun konsep perubahan sosial yang
diusung harus pula memiliki nilai tawar yang lebih menjanjikan di masa depan.
Begitu pula dengan peradaban masyarakat padang pasir di kala
Islam masih belum hadir dalam ruang kehidupan mereka. Sebagai sebuah entitas
kebudayaan masyarakat dunia, jazirah Arab memiliki peradaban khas dibanding
dengan komunitas masyarakat pada umumnya. Sebuah peradaban yang telah
berlangsung dalam rentang waktu ratusan tahun dan dilestarikan keberadaannya
secara turun temurun dalam proses pewarisan tradisi. Ini mengindikasikan bahwa
bangunan peradaban yang terbentuk telah mengkristal dan terabadikan hingga
dalam bentuknya yang paling sederhana.
Kemudian datanglah Muhammad yang berperan sebagai agen
perubahan sosial dengan membawa gagasan perubahan yang jauh berbeda dengan
tatanan kehidupan masyarakat jazirah Arab. Sebuah perubahan revolusioner dalam
ranah ketuhanan dan hubungan kemanusiaan menjadi gagasan utama dalam gerakannya. Kehadiran
Muhammad beserta konsep kehidupan baru yang dibawanya secara perlahan mampu
merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Arab. Implikasinya tentu
mengarah pada munculnya peradaban baru di tengah-tengah peradaban Arabia yang
lebih dikenal dengan masa jahiliyah.
Akhirnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama peradaban masyarakat Mekkah
muncul menjadi kekuatan baru di sepanjang Jazirah Arab dan sekitarnya. Sebuah
peradaban yang dimotori oleh sang agen perubahan yang bernama Muhammad ini
bernama Peradaban Masyarakat Islam.
B. Rumusan
Masalah
Terkait dengan latar belakang di atas, maka pada makalah ini
dapat dirumuskan beberapa masalah yang berusaha penulis bahas, antara lain:
1.
Bagaimana
peran Islam dalam pembentukan sejarah peradaban Islam?
2.
Bagaimana
peran bangsa Arab dalam pembentukan sejarah peradaban Islam?
3.
Bagaimaan
peran suku Quraiys dalam pembentukan sejarah peradaban Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peradaban Islam
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyah. Kata Arab ini sering diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab
adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia,
sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua
kata “kebudayaan” (Arab, al-Tsasaqafah;
Inggris, culture). Dalam perkembangan
ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kedubayaan adalah
bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan
manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan
peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra,
religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi,
dan teknologi.[1]
Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam”
terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama.
Jadi, dalam Islam, tidak seperti masyarakat yang menganut agama “bumi”
(nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan.
Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama
Islam adalah wahyu dari Tuhan.[2]
Dari pengertian peradaban di atas, pemakalah akan berusaha
membahas tentang peran Islam, Arab, dan Quraisy dalam pembentukan sejarah
peradaban Islam.
B.
Masyarakat
Arab Pra-Islam
Sebelum membahas tentang peradaban Islam, tentunya kita
harus mendalami terlebih dahulu tentang bangsa Arab yang merupakan bangsa yang
sangat berperan dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Hal tersebut
dikarenakan hampir semua peradaban Islam dimulai dan terjadi di Jazirah Arab.
Baik kelahiran Islam itu sendiri, perkembangannya dan masa kejayaannya.
Bangsa Arab sebelum Islam biasanya disebut Arab Jahiliyah,
bangsa yang belum berperadaban, bodoh, tidak mengenal aksara. Sebutan itu tidak
perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak seorang pun dari penduduk
Jazirah Arab yang mampu membaca dan menulis; karena beberapa orang sahabat Nabi
diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Baca
tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang
penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian dan kecendekiaan.[3]
Akan tetapi, Bangsa Arab, terutama Arab Utara, dikenal
sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah syair, dan
syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul di antaranya ditulis untuk
digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut di atas diketahui bahwa
peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada
dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa
penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng,
nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya.
Secara keseluruhan, masyarakat Arab terutama yang berada di
luar kota adalah bangsa yang mandiri dan bangga dengan kemandiriannya,
khususnya dalam menghadapi kehidupan ekonominya. Mereka hidup secara nomaden
guna mencari tempat yang subur untuk menggembala. Menunggang unta adalah hasil
revolusi teknologi terbesar zaman itu. Mereka menangkap dan menjinakkan unta di
Arabia utara.[4]
Jazirah Arabia adalah tempat lahirnya agama Islam dan
kemudian menjadi pusat Islam, merupakan pusat dari peradaban dan kebudayaan
Islam. Oleh karena itu, perlu dijelaskan mengenai keadaan geografi, penduduk,
politik, ekonomi, dan sosial, bahkan agama, sebelum lahirnya agama Islam.[5]
1.
Keadaan Negeri Arabia
Negeri Arabia terletak di sebelah barat daya Asia, dan
merupakan semenanjung yang dikelilingi laut dari tiga jurusan; Laut Merah,
Lautan Hindia, dan Teluk Persia.
Negeri-negeri Arabia pada umumnya terdiri dari padang pasir
(sahara), tetapi tidak semuanya tandus, ada pula yang subur.
Para
ahli geografi membagi Jazirah Arabia sebagai berikut:
a. Arabia Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah
barat daya Lembah Syria.
b. Arabia Deserta, yaitu daerah Syria sendiri.
c.
Arabia
Felix, yaitu negeri Yaman, yang terkenal dengan sebutan “Bumi Hijau”.
Adapun
ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arabia sebagai berikut:
a. Arab Baidah (bangsa Arab yang telah punah), yaitu
orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya dan tidak diketahui lagi, kecuali
karena tersebut dalam kitab-kitab suci, seperti kaum Ad, dan Samud. Di antara
kabilah meraka yang termashyur, yaitu Ad, Samud, Thasam, Jadis, dan Jurham.
b. Arab Baqiyah (bangsa Arab yang masih lestari), dan mereka
terbagi dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Arab Aribah, yaitu
kelompok Qahthan, dan tanah air mereka yaitu Yaman. Di antara kabilah-kabilah
mereka yang terkenal, yaitu Jurham, Ya’rab, dan dari Ya’rab ini lahirlah
suku-suku Kahlan dan Himyar.
2. Arab Musta’rabah,
mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia, dari dusun sampai ke kota, yaitu
mereka yang mendiami bagian Jazirah Arabia dan negeri Hijaz sampai ke Lembah
Syria. Mereka dinamakan Arab Musta’rabah karena pada waktu Jurham dari suku
Qathaniyah mendiami Mekah, mereka tinggal bersama Nabi Ibrahim as. serta
ibunya, di mana kemudian Ibrahim dan putra-putranya mempelajari bahasa Arab.
Menurut ahli riwayat Abul Fidaa mengatakan bahwa bangsa Arab
terbagi tiga bagian, yaitu: Baidah, Aribah dan Musta’ribah.[6]
Arab Musta’ribah, Arab Adnaniyah akhirnya bercabang menjadi
dua suku besar yaitu Kabiah dan Mudlar. Dari Kabiah muncul kabilah Asad yang
menempati utara lembah Rimmah dan kabilah Wail yang bercabang menjadi kabilah
Qais Ailan yang menurunkan marga Hawazin dan Sulaiman; kabilah Tamim, kabilah
Hudzail menempati pegunungan dekat Mekah, dan kabilah Kinaah dimana suku
Quraisy datang darinya.[7]
2.
Kerajaan-Kerajaan Arab
Sebelum Islam, di negeri-negeri Jazirah Arabia, telah
berdiri beberapa kerajaan, yang sifat dan bentuknya ada dua macam, yaitu
sebagai berikut:[8]
a. Kerajaan yang berdaulat, tetapi tunduk kepada kerajaan lain
(mendapat otonomi dalam negeri).
b. Kerajaan tidak berdaulat, tetapi mempunyai kemerdekaan
penuh, ini lebih tepat disebut Induk Suku dengan kepala sukunya. Ia memiliki
apa yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan yang sebenarnya.
Menurut A. Hasjmy, ada beberapa Kerajaan Arabia yang
berdaulat, di antaranya sebagai berikut:
a. Kerajaan Makyan, kerajaan ini terletak di selatan Arabia,
yaitu di daerah Yaman.
b. Kerajaan Saba, kerajaan ini juga berdiri di daerah tanah
Yaman, yang pada waktu kerajaan Saba ini menggantikan kerajaan Makyan. Kerajaan
Saba sangat maju dan terkenal dalam sejarah, terutama terkenal dengan bendungan
raksasanya “Saddul Maarib”, sebagai bendungan raksasa pertama di dunia.
c.
Kerajaan
Himyar, kerajaan ini terletak antara Saba dan Laut Merah, yang meliputi
daerah-daerah yang bernama Qitban sehingga kerajaan ini kadang-kadang dinamakan
juga Kerajaan Qitban.
d. Kerajaan Hirah, beberapa kabilah Arab yang tinggal dekat
dengan perbatasan Kerajaan Romawi dan Persia mengenyam kemerdekaannya yang
penuh. Mereka mendirikan kerajaan-kerajaan dan mereka menganut politik
bersahabat dengan kerajaan besar tetangganya (Persia dan Romawi).
e.
Kerajaan
Ghasan, kerajaan ini terletak di daerah Syam. Kerajaan ini sangat rapat
hubungannya dengan Kerajaan Romawi Timur, sehingga satu waktu menjadi wilayah
dari Kerajaan Romawi.
f.
Negeri
Hijaz, Hijaz mempertahankan kemerdekaannya sejak lama, juga kerajaan Romawi dan
Persia tidak dapat menjajah Hijaz.
3.
Agama Bangsa Arab
Penduduka Arab menganut agama yang bermacam-macam, antara
lain yang terkenal adalah penyembahan terhadap berhala atau paganisme. Namun
demikian di kalangan bangsa Arab masih ada yang tidak suka menyembah berhala,
di antara mereka ialah Waraqah ibn Naufal dan usman bin Huwairis yang menganut
agama masehi.[9]
4.
Keadaan Politik
Bangsa Arab terbagi atas dua bagian yaitu: pertama Badui,
penduduk padang pasir yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan selalu
berpindah-pindah untuk mencari sumber air di oase-oase bagi ternak mereka.
Meraka merupakan bagian terbesar dari masyarakat Arab. Dan kedua, penduduk yang
sudah mempunyai tempat tinggal menetap.
Prinsip demokrasi dan persamaan di antara penduduk Arab
telah mereka kenal namun prinsip ini hanya terbatas pada kabilah atau sukunya
saja dan tidak di luar suku. Prinsip ini dapat dilihat dari acuan dalam
menyelesaikan perselisihan, dilakukan dengan cara musyawarah dan juga
menghargai pendapat anggota seperti musyawarah dalam memutuskan untuk berperang
dan memilih shaikh kabilah.
Kehidupan suku-suku atau kabilah ini telah dikondisikan oleh
alam untuk tetap berpencar-pencar menjadi bagian-bagian tersendiri yang
mempertahankan hak-hak kehidupannya. Mereka membentuk aturan-aturan serta memberlakukannya
pada setiap anggota yang ada di dalamnya, hingga tumbuh perasaan “soidaritas
keanggotaan” yang membabi buta. Kabilah-kabilah biasanya terbentuk oleh
kesatuan emosiaonal tradisional, darah, harga diri, serta pengakuan terhadap
adanya hak dan kewajiban bersama, sesuai dengan geneologi Arab yang berdimensi
“patriahat”, garis kebapakan.[10]
5.
Keadaan Ekonomi dan Sosial
Sesuai dengan tanah Arab yang sebagian besar terdiri dari
padang sahara, ekonomi mereka yang terpenting yaitu perdagangan. Masyarakat
Quraisy berdagang sepanjang tahun. Di musim dingin mereka mengirim kafilah
dagang ke Yaman, sedangkan di musim panas kafilah dagang mereka menuju Syiria.
Perdagangan yang paling ramai di Kota Mekah yaitu selama
musim “Pasar Ukaz”, yaitu pada bulan Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram. Adapun
keadaan social mereka, terdapat beberapa segi yang baik dan ada pula yang
buruk. Segi-segi yang baik, misalnya setia kepada kawan dan setia kepada janji,
menghormati tamu, tolong menolong antara anggota-anggota kabilah. Segi-segi
yang buruk, misalnya merendahkan derajat wanita, suka bermusuhan atau berperang
lantaran masalah sepele.
6.
Kehidupan Intelektual
Sekalipun Jazirah Arab, terutama Hijaz dan Najd, terpencil
dari dunia luar, namun mereka memiliki daya intelektual yang sangat cerdas.
Bukti dari kecerdasan mereka dapat dilihat pada berbagai peninggalan mereka,
baik dalam bidang politik, ekonomi, dan social. Bukti kecerdasan akal mereka
dalam ilmu pengetahuan antara lain tentang: ilmu astronomi, ilmu meteorologi, ilmu
mitologi, ilmu tenung, dan ilmu thib (kedokteran).
7.
Bahasa
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab sebelum
Islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah dan kaya. Syair-syair mereka
sangat banyak. Dalam lingkungan mereka seorang penyair sangat dihormati. Hal
tersebut terbukti dengan diadakannya beberapa kegiatan rutin antara lain:
●
Khithabah
Khithabah
(retorika) sangat maju, dan inilah satu-satunya alat komunikasi yang sangat
luas medannya. Di samping sebagai penyair, bangsa Arab Jahiliah pun sangat
fasih berpidato dengan bahasa yang sangat indah dan bersemangat. Ahli pidato
mendapat derajat tinggi dalam masyarakat, sama halnya dengan penyair.
●
Majlis
Al-Adab dan Sauqu Ukaz
Telah
menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan majelis atau
nadwah (klub), di tempat inilah mereka mendeklamasikan sajak, bertanding
pidato, tukar-menukar berita dan sebagainya. Terkenallah dalam kalangan mereka
“Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping Ka’bah.
C.
Kota Mekah
dan Arti Pentingnya
Mekah merupakan pusat keagamaan dan perdagangan yang
penting. Hal ini terutama karena ia menjadi jalur perdagangan internasional.
Karena kedudukannya yang strategis inilah sehingga Abrahah, raja Absyinia dari
Yaman selatan, bermaksud menjadikan San’a sebagai pusat perdagangan,
menggantikan Mekah. Namun demikian, maksud ini tidak kesampaian, dan Mekah
tetap menjadi pusat perdagangan dan agama terpenting Arab pagan. Mekah terletak
di sepanjang pegunungan yang tandus, berbatu-batu dan tidak ada lapisan tanah.
Karena tanahnya yang tandus sehingga tidak memungkinkan adanya pertanian.
Dengan demikian penduduk Mekah terpaksa mendapatkan bahan makanan dari tempat
lain melalui perdagangan.[11]
Ketika Nabi Muhammad saw lahir (570 M), Mekah adalah sebuah
kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik
karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan
yang ramai, menghubungkan Yaman di selatan dan Syria di utara. Dengan adanya
Ka’bah di tengah kota, Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat
mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama,
Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu
mencerminkan realitas kesukuan masyarakat Arab dengan luas satu juta mil
persegi.[12]
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu,
didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku
yang berkuasa, yaitu Jurhum, sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail
(keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan
politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di
bawah pimpina Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan
politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak itu, suku
Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. Ada sepuluh jabatan
tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah, penjaga kunci-kunci Ka’bah; siqayah, pengawas mata air zamzam untuk
dipergunakan oleh para peziarah; diyat,
kekusaan hakim sipil dan kriminal; sifarah,
kuasa usaha negara atau duta; liwa’,
jabatan ketentaraan; rifadah,
pengurus pajak untuk orang misin; nadwah,
jabatan ketua dewan; khoimmah,
pengurus balai musyawarah; khazinah,
jabatan administrasi keuangan; dan azlam,
penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam pada itu,
sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling
besar dan memakai gelar rais.[13]
D.
Suku
Quraisy
Nabi Muhammad merupakan keturunan Quraisy, yaitu suatu suku
yang berkembang dari Kinanah Ibn Khuzaimah. Ada dua pandangan terkait dengan
pemilikan gelar Quraisy ini yaitu Nadr Ibn Kinanah dan Fihr Ibn Malik Ibn Nadr.
Suku Quraisy dapat dikatakan sebagai suku yang terhormat dan terkuat diantara
kabilah-kabilah yang ada di Jazirah Arab bagian tengah yang pernah
mempertahankan Ka’bah dari serbuan tentara Hunyar dari Yaman. Selain itu mereka
terkenal sebagai pedagang ulung yang menguasai jalur perniagaan ke seluruh
penjuru Hijaz dengan Mesir, Yaman, Siria, Irak dan Persia, dan menguasai
perdagangan lokal, karena peran Ka’bah sebagai pusat pertemuan kabilah-kabilah
Arab. Hal ini disebabkan semenjak Qushai merebut Mekah dan menguasainya dari
bani Khuza’ah secara otomatis otoritas agama dan politik berada di tangan
Quraisy. Pengembalian pengelolaan Ka’bah ke tangan suku Quraisy ini memberikan
pengaruh luas bagi perannya dalam penguasaan seluruh aspek termasuk di dalamnya
adalah perdagangan dan politik.[14]
Suku Quraisy umumnya terbagi menjadi beberapa sub-klan
utama, yang kemudian terbagi lagi menjadi sub-klan, antara lain:
7.
Bani
'Abdus-Syams — sub-klan dari Bani 'Abdul-Manâf,
8.
Bani
Umayyah — sub-klan dari Bani 'Abdus-Syams, klan dari Abu
Sufyan, Utsman bin Affan
dan Muawiyah
E.
Islam
sebagai Sistem Kemasyarakatan dan Sosial Politik
Islam bukanlah sekedar sebuah agama di masyarakat Arab.
Islam merupakan bentuk peradaban yang akan selalu mengikuti perkembangan jaman.
Islam juga membawa perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat bangsa
Arab. Jika awalnya mereka dikenal sebagai bangsa jahiliyah yang jauh dari
peradaban dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia, maka ketika Islam
turun di Arab membawa pencerahan dan peradaban yang nantinya dikenal di seluruh
dunia.
Bukanlah hal yang mudah untuk merubah tatanan masyarakat
yang sudah mendarah daging di dunia Arab saat itu. Dimana penghormatan kepada
nenek moyang yang berlebihan dan penyembahan terhadap berhala-berhala yang
dianggapnya sebagai pengganti Tuhan. Serta perbedaan yang sangat mendasar dalam
strata kehidupan masyarakatnya dan kebiasaan hidup bermewah-mewah yang akhirnya
menimbulkan penyakit sosial.
Hal pertama yang dilakukan Islam untuk menghilangkan
penyakit sosial tersebut adalah menekankan kesatuan, yaitu menghilangkan
sekat-sekat kesukuan. Kedua, menekankan persamaan derajat di antara para
umatnya tanpa memandang status sosial atau asal-usul suku. Kaum budak juga
memiliki derajat yang sama dengan umat Islam lainnya.[16]
Dalam ajaran Islam, kesempurnaan seseorang selaku individu
akan memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan sosial
karena individu merupakan anggota pokok dalam struktur masyarakat. Tidak ada
dinding pemisah antara kualitas kehidupan individu dan kualitas kelompok
masyarakatnya, dan pada realitasnya Islam menempatkan keseimbangan di antara
kemaslahatan keduanya. Dalam membangun keseimbangan itulah, Islam telah
menawarkan aturan-aturan yang jelas bagi manusia, antara hak dan kewajibannya
selaku makhluk individu serta hak dan kewajibannya selaku makhluk sosial.[17]
Sejalan dengan kenyataan seperti itu, etika sosial Islam
yang tercakup dalam nilai-nilai syariah bahkan, dalam berbagai sejarah
kemasyarakatan di dunia Islam telah terbukti dikontribusikan dalam rangka
menjalin mekanisme kehidupan sosial secara integral. Dan, ternyata konsep “amar
ma’rif nahi munkar” yang tertuang dalam konsep kemasyarakatan ideal (khair al-ummah) yang dijelaskan
Al-Qur’an (Q.S. Ali-Imran: 104,110) itu bukan sekedar konsep sederhana, tetapi
terbukti secara filosofis dan historis, ia telah menjadi “mesin penggerak” yang
cukup kompleks dalam menciptakan dinamika peradaban umat manusia.[18]
Dan sejak kehadirannya di Mekah, Islam yang dibawa oleh
Rasulullah saw telah membawa arus transformasi yang sangat radikal dan
komprehensif, terutama bagi perubahan
kehidupan individual dan sosial. Ia telah merombak total perilaku
keseharian dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang berakar kuat pada tradisi yang
sudah turun temurun; yang menyangkut ketuhanan, standar-standar penilaian, cara
pandang seseorang terhadap tata kehidupan, alam, dan penempatan posisi manusia
itu sendiri. Begitupun dalam struktur kemasyarakatan, Islam telah memberikan
format yang sangat tegas dalam pembentukannya sehingga sebagian struktur sosial
yang telah ada atau bahkan hampir seluruhnya tergeser secara sosiologis.
Dari sudut pandang keimanan dan aqidah (teologis), islam merepresentasikan suatu lompatan dari penghambaan
sesuatu yang nyata, seperti patung-patung, binatang yang dapat dilihat dan
diraba menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat
digambarkan atau dipadankan dengan sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Inilah
lompatan besar dalam sejarah manusia, dari akal primitif yang hanya bisa bersentuhan
dengan materi-materi nyata menuju akal berperadaban tinggi yang mampu menyerap
konsep keberadaan dan kebenaran keesaan Tuhan (tauhid), yaitu ketika seluruh totalitas dan potensi kemanusiaan;
akal, perasaan dan pengalaman menjadi aktif dalam menemukan dan membenarkan
keberadaan-Nya. Tuhan menjadi ada di mana-mana yang meliputi dan mengawasi
seluruh totalitas alam semesta raya, termasuk di dalamnya perbuatan manusia.[19]
Perkembangan peradaban Islam di Mekah kurang begitu
menunjukkan peningkatan yang signifikan, apalagi dalam bidang sosial politik.
Peradaban Islam di bidang sosial politik semakin berkembang ketika Islam telah
sampai di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala
agama, tetapi juga sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi
terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.
Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis sebagai kepala negara.
Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar
masyarakat Islam di Madinah, sebagai berikut:
1.
Mendirikan
masjid, tujuannya untuk mempersatukan umat Islam dalam satu majelis, sehingga
di majelis ini umat Islam bisa bersama-sama melaksanakan shalat jama’ah secara
teratur, mengadili perkara-perkara dan bermusyawarah.
2.
Mempersatukan
dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin.
3.
Membuat
perjanjian saling membantu antara sesama kaum muslimin dan bukan muslimin.
4.
Meletakkan
dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat baru.
Di bidang ekomoni dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial,
serta dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan
derajat antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan
derajat manusia adalah ketakwaan.[20]
F.
Peran
Bangsa Arab dalam Pembentukan Sejarah Peradaban Islam
Setelah mengetahui karakteristik bangsa Arab, kita akan
mencoba untuk menggali lebih jauh tentang peran bangsa Arab dalam pembentukan
sejarah peradaban Islam. Bahwa sejarah peradaban Islam tidak dapat dilepaskan
dari bangsa Arab. Meski demikian kita tidak dapat mengatakan bahwa peradaban
Arab adalah peradaban Islam atau pun sebaliknya. Karena selain peradaban Arab
bersifat lokal yaitu hanya di kawasan Arab saja sedang peradaban Islam bersifat
global juga karena dalam peradaban Islam terdapat campur tangan Allah.
Kita mulai pembahasan ini dari segi bahasa. Bahasa Arab yang
akhirnya dijadikan bahasa Al-Qur’an merupakan faktor terpenting dalam peradaban
Islam. Ketinggian bahasa, keindahan, halus susunannya, kaya kata-katanya,
paling lengkap kaedahnya dan paling tinggi sastranya merupakan pilihan yang
tepat dijadikan bahasa kitab suci Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. Melalui bahasa Arab inilah Al-Qu’ran dapat diterima oleh semua
kalangan. Karena ketinggian bahasa Arab menjadikan Al-Qur’an mudah dipahami dan
dipelajari. Hal tersebut seperti yang terdapat di dalam surat al-Zukhruf ayat
3: “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya)”.[21] Ayat di atas menegaskan
betapa bahasa Arab merupakan bahasa yang mudah dipahami oleh siapapun.
Jazirah Arab juga merupakan tempat Nabi meletakkan
dasar-dasar peradaban Islam. Wahyu pertama yang turun adalah perintah membaca.
Membaca adalah awal dari pembangunan peradaban. Meskipun Nabi dikenal sebagai
seorang yang ummi (tidak bisa baca tulis), namun tidak semua masyarakat Arab
demikian. Ada beberapa sahabat yang dapat membaca dan menulis. Meskipun baca
tulis belum menjadi peradaban pada masa itu, tetapi Nabi telah memberikan
motivasi kepada sahabatnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Tidak sebatas ilmu
mempelajari Al-Qur’an saja namun juga pada bidang ilmu yang lainnya.
Bangsa Arab juga dikenal suka berperang. Peperangan antar
suku tidak pernah berhenti, saling berebut kekuasaan dan pengaruh merupakan
kepahlawanan yang dibanggakan. Namun di balik semua itu, bangsa Arab sejak
dahulu memiliki sifat kesatria, setia kepada kawan, dan menepati janji. Bangsa
Arab suka menghormati tamu dan memberi suaka kepada siapa pun yang meminta
perlindungan ke rumah mereka. Mereka juga memberi makan dan minum kepada
kafilah padang pasir dan menghargai kepahlawanan, sebagai contoh bahwa bangsa
Arab Quraisy suka membela orang-orang yang tidak berdaya dari golongan mereka
sendiri serta bermusyawarah dalam persoalan keluarga.[22]
Dari karakter-karakter di ataslah yang nantinya membentuk
peradaban masyarakat Islam. Nilai-nilai peradaban Islam berkembang tanpa
meninggalkan karakteristik positif yang dimiliki bangsa Arab sebelum Islam
datang. Islam mengapresiasi peradaban Arab yang sudah ada dengan tidak meninggalkan
peradaban itu dalam peradaban Islam.
G.
Peran Suku
Quraisy dalam Pembentukan Sejarah Peradaban Islam
Peradaban Islam tidak dapat dilepaskan dari peranan suku
Quraisy. Hal tersebut dikarenakan Nabi sendiri sebagai peletak dasar-dasar
peradaban Islam juga berasal dari suku Quraisy. Namun karena beliau keturunan
Bani Hasyim, suku yang kurang berpengaruh di Mekah sehingga banyak
hambatan-hambatan yang beliau terima selama mengembangkan Islam di Mekah.
Ada beberapa faktor mengapa kaum kafir Quraisy menentang dakwah
Nabi, antara lain:
1.
Mereka
tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa
tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul
Muthalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
2.
Nabi
Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini
tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3.
Para
pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
4.
Taklid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5.
Pemahat
dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[23]
Banyak cara dan upaya yang ditempuh para pemimpin Quraisy
untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad saw, namun selalu gagal, baik secara
diplomatik dan bujuk rayu maupun tindakan-tindakan kekerasan secara fisik.
Puncak dari segala cara itu adalah dengan diberlakukannya pemboikotan terhadap
Bani Hasyim yang merupakan tempat Nabi Muhammad saw berlindung. Pemboikotan ini
berlangsung selama tiga tahun, dan merupakan tindakan yang paling melemahkan
umat Islam pada saat itu. Pemboikotan ini baru berhenti setelah kaum Quraisy
menyadari bahwa apa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang sangat
keterlaluan. [24]
Kekejaman dengan penganiayaan dan penyiksaan berat yang
dilancarkan kaum Quraisy terhadap pengikut Nabi tidak mampu merenggut keimanan
mereka. Namun ketika dilihatnya kaum Quraisy semakin meningkatkan tekanan pada
pengikut Nabi, akhirnya Nabi memutuskan untuk mengungsikan mereka berhijrah ke
Habsy, karena Negus, raja Habsyi adalah seorang yang adil dan bijaksana, sedang
Quraisy tidak mempunyai pengaruh besar di sana.[25]
Kegagalan kaum Quraisy yang kesekian kali itu, menambah geram
dan kebencian terhadap kaum muslim, sebaliknya bagi kaum muslim telah
mempertebal keimanan mereka akan kebenaran agama Islam. Hal inilah yang menjadi
salah satu daya tarik, sehingga sebagian kaum Quraisy yang dulunya sangat
memusuhi Islam, satu per satu mereka mengakui ajaran Nabi. Seperti Hamzah Ibn
Abd Muthalib bergabung pada tahun 615 M, kemudian Umar Ibn Khattab. Dengan
masuknya kedua orang tokoh besar ini semakin memperkuat barisan Islam, bahkan
menambah keberanian mereka menyatakan sikapnya di depan umum.[26]
Pada tahun kesepuluh kenabian, Allah mengisra’ dan
memikrajkan Nabi untuk menghibur beliau yang ditimpa duka baik karena
penyiksaan kaum Quraisy maupun karena ditinggalkan kedua orang yang dicintai
dan menjadi pelindungnya, yaitu Khadijah istrinya dan Abu Thalib pamannya.
Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang
kafir, ia dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan, bagi
orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra’Mi’raj, suatu perkembangan kemajuan
dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang
berhaji ke Mekah. Mereka yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam
dalam tiga gelombang. Pertama pada tahun kesepuluh kenabian, beberapa orang
dari suku Khazraj baiat kepada Nabi. Kedua, pada tahun keduabelas kenabian,
terdiri dari sepuluh orang suku Kharaj dan dua orang suku ‘Aus serta seorang
wanita menemui Nabi di Aqabah. Pada musim haji berikutnya yang datang dari
Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta pada
nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela nabi dari
segala ancaraman. Nabi pun menerima usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini
disebut perjanjian ‘Aqabah kedua’.[27]
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian
antara nabi dan orang-orang Yatsrib itu, mereka kian gila melancarkan
intimidasi terhadap kaum Muslimin. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan
para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib.
Meskipun demikian ada alasan lain yang menyebabkan mereka
hijrah. Saah satunya adalah alasan berdanga, di mana umumnya orang Mekah
berdagang karena sebagian mereka yang berada di Absinia menjalani hidup dengan
berdagang. Itulah yang menjadi alasan lain yang digunakan Nabi Muhammad untuk
mengajak mereka behijrah.[28]
Selanjutnya, peran Quraisy lebih banyak terhadap terjadinya
peperangan antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy. Di antara peperangan
yang terkenal antara lain Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang
Mu’tah, Fathu Mekah, Perang Hunain, Perang Tha’if, Perang Tabuk, dan perang
Widan.
Kaum muslimin diperbolehkan untuk berperang melawan kaum
kafir Quraisy dengan dua alasan. Pertama, untuk mempertahankan diri dan
melindungi hak miliknya. Kedua, untuk menjaga keselamatan dalam menyebarkan
kepercayaan dan mempertahankannya dari mereka yang menghalang-halanginya.[29]
BAB
III
KESIMPULAN
Islam, Arab dan Quraisy
masing-masing memiliki peranan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembentukan
sejarah peradaban Islam. Ketiganya merupakan kesatuan yang membentuk sejarah
peradaban Islam.
Islam memberikan dasar-dasar
terbentuknya tatanan kemasyarakatan yang merupakan salah satu pilar
terbentuknya peradaban. Islam juga memberikan petunjuk dalam bermasyarakat dan
bernegara. Islam juga mengubah cara pandang masyarakat Arab terhadap Tuhan yang
awalnya menyembah berhala sebagai perwujudan Tuhan yang akhirnya dikenalkan
dengan ajaran tauhid.
Arab dengan karakteristik wilayah
dan masyarakatnya memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan
sejarah peradaban Islam. Meskipun awalnya dikenal sebagai bangsa jahiliyah
namun akhirnya mampu memberikan konstribusi yang luar biasa atas berkembangnya
peradaban Islam.
Quraiys meskipun suku yang terkenal
sangat memusuhi Islam pada awal perkembangannya namun tidak dapat dipungkiri
bahwa banyak tokoh-tokoh Quraiys yang berperan dalam mengembangkan Islam. Tidak
semua suku Quraisy memusuhi Islam. Bani Hasyim merupakan salah satu klan
Quraisy yang memberikan perlindungan atas dakwah Islam yang dibawa Nabi
Muhammad saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam. (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1986).
Ali Engineer Asghar, Asal-Usul dan Perkembangan Islam,
Terjemahan Imam Baehaqi dari The Origin
and Development of Islam. (Yogyakarta: Insist bekerja sama dengan Pustaka
Pelajar, 1999).
Depag, Al-Qur’an dan Terjemah. (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1989).
Hamka, Sejarah Umat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
Hashem Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah-Kurun Mekah. (Jakarta: Tama Publisher,
2005).
Montgomery Watt, William, Butir-butir Hikmah Sejarah Islam.
(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002)
Mufrodi Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta: Logos, 1997).
Munir Amin Samsul, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:
Amzah, 2010).
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam.
(Surabaya: Pustaka Islamika, 2003).
Thohir Ajid, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasulullah SAW. (Bandung: Pustaka
Setia, 2004).
Wikipedia, Suku Quraisy, online, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Quraisy,
diakses 18 Oktober 2011.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010).
Yatim Badri, Historiografi Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
akhmadrowi.blogspot.com
[1] Effat Al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), hlm.
5.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 3.
[3] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 27.
[4] Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah-Kurun Mekah, (Jakarta: Tama Publisher,
2005), hlm. 12.
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 55.
[6] Hamka, Sejarah
Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 28
[7] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam,
(Surabaya: Pustaka Islamika, 2003), hlm. 6
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam., hlm. 56
[9] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
(Jakarta: Logos, 1997), hlm. 8
[10] Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasulullah SAW., (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), hlm. 51
[11] Imam Baehaqi, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Terjemahan Aasghar Ali Engineer
dari The Origin and Development of Islam,
(Yogyakarta: Insist bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 43.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 9.
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 14.
[14] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial dan Politik Masyarakat Islam, hlm. 20
[15] Wikipedia, Suku Quraisy, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Quraisy, online, diakses 18
Oktober 2011
[16] Imam Baehaqi, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, hlm. 126.
[17] Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasulullah SAW., (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), hlm. 67.
[18] Ibid,
hlm. 68
[19] Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasulullah
SAW., hlm. 73.
[20] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 68-69.
[21] Depag, Al-Qur’an dan Terjemah, (Surabaya:
Mahkota Surabaya, 1989), hlm. 794
[22] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 64
[23] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 20-21.
[24] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 66.
[25] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, hlm. 37
[26] Ibid, hlm. 38.
[27] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 24.
[28] William Montgomery Watt, Butir-butir Hikmah Sejarah Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002), hlm. 17.
[29] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 73.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !