MAKALAH
TUGAS
FILSAFAT
TENTANG TEORI AKAL
Dosen pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi,
M.H
Di susun oleh : Durotus saniyah
NIM : C.1.4.11.0054
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
PENDAHULUAN
Puji
syukur kepada Allah Rabb semesta alam yang telah banyak mencurahkan rahmat dan
juga serta kasih sayangnya kepada penduduk bumi sehingga Islam masih menjadi
pondasi yang kokoh dalam diri pribadi manusia. Shalawat serta salam tak lupa
kita hadiahkan kepada nabi Muhammad SAW juga beserta para sahabatnya yang
istiqomah memperjuangkan Islam, semua ini tiada lain adalah hasil dari akal dan
wahyu yang selalu berdampingan dalam memberikan petunjuk kepada manusia itu
sendiri, karena pemahaman yang baik akan melahirkan keistiqomahan, sudut
pandang yang baik dan juga ahlak yang baik. Dan dengan akal juga manusia bisa
menjadi ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka
bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah
yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus yang di
sertai dengan akal.
POKOK PERMASALAHAN
- apa itu akal?
- bagaimana cara mengetahui
akal dan wahyu?
TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH
Menjelaskan
akal, akal dan wahyu menurut filsafat dengan mengetahui isi dari inti pokoknya
permasalahan yang ada, serta bisa
bermanfaat bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya dan meningkatkan minat belajar.
1. Akal Pengetahuan : Berfungsi sebagai ruang yang memuat dan memahami kebijakan yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah
2. Akal kemauan : Berfungsi sebagai pelaksana kebijakan yang tetapkan oleh akal pengetahuan
Bagi orang-orang yang menginginkan kesuksesn dunia akhirat harus memiliki dua fungsi akal tersebut, kalau tidak maka akan mengakibatkan ketimpangan, sebagaimana dapat Anda lihat dalam contoh di bawah ini:
a. Seorang pencuri yang mengetahui bahwa aktivitas mencuri adalah haram, maka akal pengetahuannya bekerja 100%, akan tetapi dia melanjutkan aktivitas pencuriannya, karena akal kemauannya tidak bekerja (0%)
b. Tukang sulap yang tidak tidur dan juga tidak tenang, kecuali jika telah memakai jimat sebelum tidur, maka akal pengetahuannya tidak bekerja sama sekali (0%), sedangkan akal kemauannya bekerja 100%. Dia memiliki asam folat untuk mempraktekkan sesuatu yang menjadikan ia celaka a’udzubillahi min dalik.
PEMBAHASAN
Akal
adalah suatu alat untuk bertindak sesuatu
dari pemikiran seseorang yang menghasilkan uraian atau ciptaan asli dari
pemikiranya yang ingin di sampaikan, jadi akal yang sebenarnya menjadi alat
pengetahuan, sedangkan indra hanya pembantu saja, indra hanya merekam atau
memotret realita yang berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah
adalah akal.
Berikut menjelaskan akal dan wahyu serta karakteristik serta kekuatanya
A. Karakteristik Wahyu
1. Wahyu baik berupa
Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang
menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya
wahyu.
2. Wahyu mmerupakan perintah
yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu,
baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah
nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang
berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh
wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan
prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu
kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan
hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang
berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang
waktu yang cukup panjang.
B. Pentingnya
Akal
1. Akal menurut pendapat
Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena
itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2. Akal adalah tonggak
kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya
akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal adalah jalan untuk
memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman
harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi
sumber keyakinan pada tuhan.
C. Kekuatan akal
1. Mengetahui tuhan dan
sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya hidup
akhirat.
3. Mengetahui bahwa
kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik,
sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia
mengenal tuhan.
5. Mengetahui wajibnya
manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum
mengnai kwajiban-kwajiban itu.
D. Kekuatan wahyu
1. Wahyu lebih condong
melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan
pada diri manusia
3. Untuk memberi keyakinan
yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4. Wahyu turun melalui para
ucapan nabi-nabi.
E. Akal dan Wahyu Menurut beberapa
Aliran
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang
menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia
berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran
kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat
konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk
pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang
baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut
pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui
tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan,
baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang
jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah
Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat
bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang
baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban
berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta
meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh
paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan
pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat
al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa
yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus,
menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia
sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an
surat Hud ayat 24.
Fungsi akal1. Akal Pengetahuan : Berfungsi sebagai ruang yang memuat dan memahami kebijakan yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah
2. Akal kemauan : Berfungsi sebagai pelaksana kebijakan yang tetapkan oleh akal pengetahuan
Bagi orang-orang yang menginginkan kesuksesn dunia akhirat harus memiliki dua fungsi akal tersebut, kalau tidak maka akan mengakibatkan ketimpangan, sebagaimana dapat Anda lihat dalam contoh di bawah ini:
a. Seorang pencuri yang mengetahui bahwa aktivitas mencuri adalah haram, maka akal pengetahuannya bekerja 100%, akan tetapi dia melanjutkan aktivitas pencuriannya, karena akal kemauannya tidak bekerja (0%)
b. Tukang sulap yang tidak tidur dan juga tidak tenang, kecuali jika telah memakai jimat sebelum tidur, maka akal pengetahuannya tidak bekerja sama sekali (0%), sedangkan akal kemauannya bekerja 100%. Dia memiliki asam folat untuk mempraktekkan sesuatu yang menjadikan ia celaka a’udzubillahi min dalik.
F. Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia.
Bagi alran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka
wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh
akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran
Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan
bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih
kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari
perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu.
Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia,
bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana
yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang
akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam
tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada
aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak
mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang
menjadi kewajibannya.
Selanjutnya wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi
memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima
manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah
untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu
perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu
perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain.
Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata
wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh
manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan
bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi,
memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum
diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh
akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui
adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia
mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya
hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak
akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada
Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak
akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang
diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan
mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan
tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu,
sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu
mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya
wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan
sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk
mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani
berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk
mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam
teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh
terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand
mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah
Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui
kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu
perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia. Oleh Karena itu di dalam
system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil
kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di
dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi
terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.
Tegasnya manusia dalam pandangan aliran
Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah
manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di dalam aliran maturidiyah manusia
mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran
Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang
Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan
cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan
kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan
pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak
sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
KESIMPULAN
Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang
memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang
kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi
pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan
dari baginda rasulullah SAW.
Semua
aliran juga berpegang kepada wahyu serta adanya akal, dalam hal ini yang
terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi.
Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi
inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang
akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang
hukum Islam atau fiqih.
PENUTUP
Demikianlah akal dan wahyu yang kami bahas dalam
pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkan ataupun
maturidiyah Bukhara, mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam
memberikan pendapat tentang akal dan wahyu, dan dari penutup inilah penulis
menyarankan agar lebih teliti lagi dalam mambaca apa yang ada dalam presentasi
kami, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi
dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini.
DAFTAR PUSTAKA
Yunan Yusuf, M, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta;
Perkasa Jakarta 1990.
Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka,
2003.
. Nasution,
Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta;
Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986.
Al-Majid. Al-Najjar. Pemahaman Islam, PT. Remaja Rodsakarya,
Bandung; 1997.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakata’ 1987.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !