MAKALAH
TEORI AKAL
Disusun Untuk Melengkapi Tugas Akademik
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi,M.H
Disusun Oleh :
Siti Munawaroh
NIM : C.1.4.11.0084
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATTAH
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Allah menciptakan manusia
sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan,
kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki
menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan
fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang
diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka
hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak
terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan
akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh
syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat
disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu:
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan
dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni
melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal,
yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran
untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu
diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh
melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang
memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun
Nasution, 1986: 1).
Di zaman kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih
dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu,
atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya. Karena itu,
masalah hubungan akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur
dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih
dua ribu tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun
demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan
kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat.
Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia
melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian akal ?
2.
Bagaimana fungsi dan kedudukan akal ?
3.
Bagaimanakah akal dalam pemikiran
Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa
Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata
al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki
banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam,
dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima
(memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu
sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku
al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya
seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh
indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb,
hati nurani atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman
jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah
(problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang
dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut
menurutnya, kata ‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam
filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang
masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang
mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan
pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di
kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani
terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat mereka
tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh)
yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang
terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya
bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani
(al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir
(al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di
kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh
pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang
ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas
moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya
untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk
jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya
sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan
di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan)
dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka
mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb
(mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita
tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan
dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan
kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada
di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb
tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak
berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam
bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal
dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang
terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan
dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah
SWT.
B. Fungsi
Dan Kedudukan Akal
Al-quran juga
memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan pembagian tugas
dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau wilayah
fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman
untuk menangkap makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya
dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi
yang lain yaitu sebagai berikut:
1. Akal
sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber
utama ajaran islam.
2. Akal
merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui
maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3. Akal
juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an
dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat
manusia dalam bentuk ijtihat.
4. Akal
juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam
kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan
memakmurkan bumi seisinya.
Namun demikian,
bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif. Untuk
itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at
Islam.
Syari'at Islam memberikan
nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat
dilihat dari point-point berikut:
1) Alloh subhanahu wa'ta'ala hanya
menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena
hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
Artinya:"Dan kami
anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan)
kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2) Akal merupakan syarat yang harus ada
dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu
wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai
akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena
kehilangan akalnya.
Rosululloh sholallohu
'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ
القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan
pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang
gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i:
6/156).
3) Alloh subhanahu
wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Alloh
subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
Artinya:"Dan mereka
berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Alloh subhanahu
wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk
Nabi-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
Artinya:"Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4) Penyebutan begitu banyak proses dan
aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan
lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan
kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak
berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak
merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5) Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran
rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya".
(QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 )
6) Islam mencela taqlid yang membatasi
dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
Artinya:"Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang
yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Alloh subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
Artinya:"Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali
kepada Alloh, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Alloh
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar
[39]: 17-18)
7) Alloh subhanahu wa'ta'ala menggunakan
ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan
itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk
mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Alloh subhanahu wa'ta'ala
berfirman:
Artinya:"Yang Telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah
berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah".
(QS. Al Mulk [67]: 3-4)
C. Akal Dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai
agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya
sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara,
selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang
daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan
peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek
itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi
juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan,
ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula
bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam pembahasan
masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat,
tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri
.(Nasution Harun, 1986: 71)
1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum
Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti
dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan
tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan
penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha
keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha
keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan
sumber-sumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau
dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam
ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu.
Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan
pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat
Sesuai
denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud,
akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang
dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya
pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat
keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan
bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam
berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada
pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi,
filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan
falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa
wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya
berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan
antara agama dan falsafat.
4. Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam
zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang
falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad
ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern
sekarang mulai pada permulaan abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan
nasionalisme yang datang dari dunia barat mulai timbul kembali.
Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang
tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam
pemikiran Ahmad Khan. Bagi pemimpin
pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan
harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak.
Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam.
Islam dalam pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam.
Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam
timbul karena salah pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat
al-Qur’an. Islam adalah agama yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Disamping itu akal dapat
membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
1. Akal merupakan hidayah
Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi sebagai alat untuk mencari
kebenaran, akal mampu merumuskan yang bersifat kognitif dan manajerial.
2. Dalam ajaran Islam, akal
mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan hanya dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan
ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri.
B. Saran
Kami mengharapkan para
pembaca bisa mengambil pelajaran dari makalah kami ini, dan member kritikan
dari setiap kesalahan yang ada karena kami manusia biasa yang dhaif, dan jika
ada benarnya itu semata-mata dari Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1992.
Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986.
Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
Absori, Sudarno Shobron,
Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta: LPID UMS
Asy’arie, Musa. 1992.
Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga studi
Filsafat Islam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !