MAKALAH
FILSAFAT TEORI TENTANG AKAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Drs.H.Akhmad Rowi,M.H
Disusun Oleh :
NURUL
HIKMAH
C.1.4.11.0077
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN 2012
BAB l
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Telah
berkembang banyak teori tentang akal sejak bertahun-tahun. Teori-teori tersebut
dapat digolong-golongkan menurut sistem sederhana yang dipakai oleh para
filosof yang berkecimpung dalam menyelidiki berbagai teori tentang akal yang
kemudian di definisikan sebagai berikut :
- akal adalah substansi non-material,
- akal adalah prinsip penataan,
- akal adalah kumpulan dari pengalaman dan
- akal adalah sebagai bentuk perilaku.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Akal
sebagai Substansi menurut Plato dan Descartes
Menurut Plato
Plato membagi watak manusia ke dalam
tiga bagian. Pertama, bagian rasional, tempatnya adalah dalam otak. Unsur
rasional manusia adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari
badan di mana akal itu terpenjara. Yang kedua adalah bagian yang merasa,
tempatnya di dada. Yang ketiga, unsur yang ingin atau selera, tempatnya di
perut. Unsur keinginan tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri,
karena itu harus berada di bawah kontrol akal. Akal dan badan mempunyai
hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi menurut Plato perbedaan
antara dua hal tersebut adalah nyata. Jiwa yang tak dapat dibagi-bagi berasal
dari alam misal atau form yang tinggi dan abadi, jauh di atas dunia
pengalaman yang selalu berubah dan lewat. Jiwa tercemar karena berhubungan
dengan benda, pada suatu waktu jiwa akan meninggalkan badan dan kembali kepada
tempatnya yang abadi.
Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi
fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja
Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam
bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran
Plato meresap pada pemikiran modern
Menurut Descartes
Descartes, seorang filosof besar
pada abad ke-17, menguatkan teori bahwa akal adalah substansi. Karena sangat
sangsi terhadap kebenaran pengetahuan pada zamannya, dan kebenaran segala
pengetahuan, ia memutuskan untuk mempersoalkan segala-galanya dan memulai suatu
cara untuk sangsi yang sistematik, dan berusaha mendapatkan apa yang mustahil
dapat disangsikan.
Karena metoda tersebut, aku gambarkan segala
sesuatu yang aku lihat itu tidak sungguh; aku percaya bahwa tak ada obyek yang
dikemukakan oleh ingatan saya yang palsu itu ada. Aku
merasa bahwa aku tak mempunyai rasa (indra); aku percaya bahwa badan, angka,
keluasan, gerak dan tempat, semuanya hanya merupakan khayalan akal saya. Kalau
begitu apakah yang dapat dianggap benar. Barangkali hanya ini, yaitu sama
sekali tak ada benda yang nyata.
Dari posisi keragu-raguan metodologis, Descartes keluar dengan suatu
keyakinan yang kuat bahwa aku itulah yang ada. Perkataannya dalam bahasa
Latin adalah “cogito ergo sum”, “aku berpikir, karena itu aku ada”.
Descartes menemukan bahwa adanya sedikitnya satu akal, yakni akalnya sendiri,
tak dapat disangsikan. “Inilah hal yang tak dapat dipisahkan dariku, aku ada,
ini sudah tentu, tetapi berapa kali? Ya, selama aku berpikir, karena barangkali
akan terjadi bahwa aku berhenti berpikir, dan berbarengan dengan itu aku tidak lagi
ada. Dari sini ia meyakinkan adanya akal
lain, adanya Tuhan serta adanya alam materi. Dunia luar menunjukkan adanya,
melalui indra, dan ia tidak percaya bahwa ia dapat ditipu.
Bagi Descartes terdapat dua
substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya.
Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh
karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang
merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat
materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk
kepada aturan-aturannya.
Penjelasan Descartes tentang akal
sebagai suatu substansi yang berdiri sendiri adalah permulaan perkembangan yang
panjang dalam filsafat modern dan pemikiran ilmiah yang kadang-kadang dinamakan
bifurkasi alam (bifurcation of nature). Dualisme Descartes tentang akal
dan badan atau materi memungkinkan kita untuk mengadakan interpretasi tentang
alam di luar diri kita dengan cara-cara mekanik dan kuantitatif, serta
memungkinkan menempatkan aspek kehidupan yang lain dalam bidang akal atau jiwa.
Pemisahan antara akal dan materi adalah teori yang tetap dianut oleh beberapa
filosof dalam segala perioda sejarah.
2.
Akal adalah Prinsip Penataan:
Aristoteles dan Immanuel Kant
Menurut Aristoteles
Aristoteles murid Plato, walaupun
pada dasarnya menyetujui beberapa aspek dari teori akal sebagai substansi,
mengambil arah baru yang akan kita bicarakan sekarang. Bagi Plato, ide-ide
adalah bentuk-bentuk yang abadi yang wujudnya adalah dalam alam lain; ide kita
tentang dunia ini hanya merupakan copy dari bermacam-macam derajat
kebenaran, dari ide yang abadi. Bagi Aristoteles, bentuk itu ada dalam benda,
dalam alam ini. Form itu memberi bentuk, mengatur prinsip-prinsip
dinamis yang memerintah dan mengarahkan materi. Dari pandangan ini, jiwa (soul,
psyche) adalah prinsip kehidupan, kumpulan dari proses kehidupan, prinsip
yang aktif untuk mengatur proses-proses ini. Akal atau fikiran adalah kekuatan
atau fungsi tertinggi dari jiwa (psyche) manusia. Dalam usaha untuk
mempersatukan akal dan badan, Aristoteles menyimpang dari pendirian Plato dan
mendekati pendirian bahwa akal itu adalah proses dan fungsi. Jika bagi Plato alam
Ide atau bentuk yang abadi ada di luar dunia rasa indrawi, bagi Aristoteles form
(bentuk) itu ada di dalam benda sebagai prinsip yang aktif untuk pengaturan.
Menurut Immanuel Kant
pada akhir abad ke-18 mengeritik pandangan tradisional yang mengatakan bahwa
akal itu substansi; pandangan tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat
menjadikan “aku”-nya dan “akal”-nya menjadi obyek langsung untuk diketahui.
Bagi Kant, akal itu aktif. Akal itu mengumpulkan bahan-bahan yang disajikan
oleh bermacam-macam indra dalam suatu pengolah pengetahuan. Zaman dan ruang
merupakan “forms” dari pengalaman-pengalaman indrawi kita, yang dengan memakai
pertimbangan (judgment) dikumpulkan menjadi pengalaman yang teratur dan
terpadu. Akal bukannya suatu substansi mental yang berdiri sendiri. Akal adalah
penataan dan kesatuan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia.
Menurut Kant, yang kita ketahui
secara pasti adalah pengalaman-pengalaman kita. Di mana saya ada pengetahuan
terdapat juga perpaduan; dan pengetahuan memerlukan seorang yang mengetahui.
Jika ada daya ingatan, tentu ada sesuatu yang melakukan ingatan tersebut.
pengaturan pengalaman menjadi mungkin karena ada akal dan pemahaman yang
berlaku sebagai prinsip penataan. Terdapat kesatuan organik atau pribadi yang
mengatasi (transcend) dan yang bertanggung jawab untuk adanya
kontinuitas di antara pengalaman-pengalaman yang terpisah. Kesatuan itu adalah aku
(self). Aku kadang-kadang dikatakan sebagai tempat bentuk
pengetahuan. Kadang-kadang, aku dan akal dianggap sebagai satu. Walaupun
begitu, bersama Kant, kita harus tidak lupa bahwa aku adalah suatu
subyek moral dan subyek yang mengetahui.
3.
Akal adalah Kumpulan dari Pengalaman menurut
David Hume
Pada abad ke-18, David Hume
merupakan kritikus yang tajam terhadap pandangan tradisional tentang akal
sebagai substansi yang terpisah. Sebelum zamannya Kant, Hume sudah menyerang
dualisme Plato dan Descartes. Tetapi Hume tidak berpendapat bahwa terdapat
kesatuan pribadi atau aku. Hume membawakan empirisme kepada
akibat-akibat logikanya dan menyerang ide tentang substansi dan rasionalisme
pada zamannya. Semua pengetahuan datang melalui pengalaman dan satu-satunya isi
dari akal manusia adalah kesan-kesan dan ide-ide. Kesan adalah pengalaman yang
sederhana dan elementer. Kesan-kesan itu jelas dan terang. Ide hanya merupakan
copy-copy kesan. Jika kita melakukan introspeksi, kita hanya menemukan
pengalaman yang lewat dan ide-ide yang selalu berubah. Tak ada bukti tentang
substansi atau aku yang permanen.
Apakah akal itu menurut Hume? Bagi Hume,
akal dan kekuatan atau daya-dayanya serta sifat-sifat kehidupan mental tidak
lain adalah asosiasi ide-ide dan pengalaman. Akal (mind) adalah istilah
untuk sejumlah pengalaman, ide dan keinginan yang menempati perhatian dan
kehidupan seseorang. Ia merupakan suatu kemasan pengalaman atau kumpulan rasa
indrawi. Sikap umum Hume adalah skeptikisme; ia adalah seorang empirisis yang
sepenuhnya. Ia segan menerima apa saja selain pengalaman sehari-hari. Para
penyanggah Hume menunjukkan bahwa ia selalu memakai istilah “I” dan “myself”
yang mengandung ari suatu pusat kesatuan pribadi yang selalu ada. Walaupun aku
sukar untuk menjadi subyek dan obyek pada waktu yang sama, para penyanggah
berpendirian bahwa melakukan pengingkaran berarti menegaskan adanya aku
yang terus-menerus. Para pengikut Hume, sebaliknya, mengatakan bahwa dalam
pernyataan seperti “Aku mengingkari adanya aku, subyek dan predikat
mempunyai arti yang berbeda”. Hume mengatakan bahwa “kumpulan pengalaman” yang
ia namakan I atau me, mengingkari adanya substansi yang
immaterial atau suatu pusat identitas pribadi yang permanen. Dengan begitu maka
Hume memungkiri konsep-konsep tradisional tentang “Aku”.
4.
Akal sebagai Bentuk Tingkah Laku: Psikologikal
Behaviorisme
Bagi sekelompok psikolog, akal
adalah suatu bentuk tingkah laku. Bagi mereka, beberapa macam tertentu tentang
tingkah laku, mendorong kita untuk mempercayai adanya akal; mereka bertanya
“Mengapa kita tidak hanya mempelajari tingkah laku saja dan tidak usah
merepotkan diri dengan kesatuan-kesatuan yang abstrak dan tak dapat diamati
seperti akal?” Bahkan ada psikolog yang mengingkari bahwa istilah seperti: “mind”
dan “consciousness” mempunyai isi atau nilai; mereka lebih suka
membicarakan tentang kejadian-kejadian mental atau aktivitas neuromuscular
(otot dan syaraf) dari sesuatu organisme.
Dalam suatu
diskusi yang menarik tentang “Behaviorism at Fifty” (Perilaku manusia pada usia 50 tahun), B. F.
Skinner menyajikan apa yang ia namakan: pernyataan ulangan tentang radical
behaviorism. Sebagian dari pernyataan ulangan tersebut mengandung sejarah
bagaimana aliran behaviorisme itu timbul sebagai suatu reaksi terhadap para
psikolog yang menyelidiki akal. Ada juga orang-orang yang karena
pertimbangan-pertimbangan praktis, lebih suka membicarakan perilaku daripada
aktivitas mental yang bersifat kurang dapat dilayani walaupun mereka mengakui
adanya. Penyelidikan mereka adalah rintisan dari behaviorisme. Menurut Skinner,
yang mula-mula menjauhkan diri dari akal sebagai penafsiran perilaku adalah
Darwin dan kesibukannya dengan kontinuitas jenis. Untuk menunjang teori
evolusi, adalah penting bagi Darwin untuk menunjukkan bahwa manusia secara
esensial tidak berbeda dari binatang yang lebih rendah, dan bahwa setiap sifat
manusia, termasuk di dalamnya kesadaran dan kekuatan berpikir, dapat ditemukan
dalam jenis-jenis lain. Langkah berikutnya tak dapat dihindari yaitu jika
bukti-bukti kesadaran dan berpikir dapat dijelaskan dalam binatang-binatang
lain.
Mengapa tak
dapat dijelaskan dalam manusia? Dan jika keadaannya memang begitu, apakah yang
akan terjadi pada prikologi sebagai sains kehidupan mental? Jawabnya: psikologi
tersebut tak ada lagi. “Behaviorisme bukannya penyelidikan ilmiah tentang
perilaku akan tetapi adalah filsafat ilmu yang mempelajari subyek dan metoda
psikologi. Jika psikologi sebagai sains dari kehidupan mental, dari akal, dari
pengalaman yang sadar, ia harus mengembangkan dan mempertahankan suatu
metodologi yang khusus yang sampai sekarang belum dimiliki secara memuaskan.
Tetapi jika behaviorisme itu merupakan sains dari perilaku organisme, baik
mengenai manusia atau lainnya, maka ia menjadi bagian dari biologi, suatu sains
tentang alam yang banyak diselidiki oleh metoda-metoda yang sudah dicoba dan
sangat berhasil. Itulah kedudukan psikologikal behaviorisme.
BAB III
KESIMPULAN
Dari sedikit pembahasan di atas telah di uraikan
berbagai teori teori akal menurut para tokoh filsafat dunia , bahwa teori akal
di definisikan menjadi empat definisi yg berbeda tetapi juga semua berdasar.
Menurut Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi
fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja
Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam
bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran
Plato meresap pada pemikiran modern. Bagi Descartes terdapat dua
substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya.
Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh
karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang
merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat
materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk
kepada aturan-aturannya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !