MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. H. AKHMAD
ROWI, M.H
NAMA :
ZAENUL ARIFIN
NIM
: C.1.4.12.0054
JENJANG
STUDI STRATA SATU (S1)
PRODI
PAI FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SULTAN FATAH DEMAK
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi
merupakan asas dari sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam
kurun waktu 23, Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di jazirah
Arabia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam
waktu yang singkat, pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke
berbagai belahan dunia, termasuk ke wilayah Nusantara.
Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang masuknya
Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa Islam
masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori
tersebut, proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada
abad ke-7 melalui proses perdagangan , kemudian pada abad selanjutnya Islam
mulai tumbuh dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, maupun di NTB.
Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam
mengembangkan khazanah peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam
di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas lebih spesifik dari uraian tersebut yaitu mengenai proses masuknya
islam di Sumatera.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Masyarakat Sebelum Masuknya Islam di Sumatera
Sumatera
Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara
menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar
muslim Arab dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum
masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama
Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik
As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya
diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama
halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis
yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang
ramai dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena
itu, otomatis banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum
masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak
Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena
kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar
masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak
yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau
harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang
masuk ke Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem
pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.
Bangsa
Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri,
dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan
besar ajaran agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang
membuat Islam dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan
khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.
B. Proses masuknya Islam di Sumatera
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia
dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak
awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan
Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat
Nusantara dan sekitar Malaka, sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi
titik perhatian, terutama hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para
pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara
itu, buah pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan
Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing.
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India
sudah sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke- 7M (abad 1
H). Menurut J.C Van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat
diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera,
yaitu di Barus, daerah penghasil kapur Barus terkenal. Dari berita Cina,
diketahui bahwa di masa Dinasti Tang (abad ke 9-10). Orang-orang Ta-shin sudah
ada dikanton (Kan-fu) dan Sumatera. Ta-shin adalah sebutan untuk orang-orang
Arab dan Persia , yang ketika itu jelas sudah mejadi muslim.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat
Internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin
disebakan oleh kerajaan Islam. Akan tetapi belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia
di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama
Islam. Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini, tentu bermula
dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Sumber sejarahya
Shahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dipertanggung jawabkan tentang
berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti dan
historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komonitas
Islam“ berubah menjadi kekuasaan. Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan itu.
Dari data-data ilmiyah dari berbagai sumber tersebut
tentang masuknya Islam ke Indonesia dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan
agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu :
Fase pertama, Singgahnya
pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, termasuk di Sumatera,
sumbernya adalah berita luar Negeri
terutama Cina.
Fase kedua, Adanya
komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia sumbernya di
samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam.
Fase ketiga, Berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam.
C. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di
Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 H (9 M).[1] Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah
kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan
nakhoda khalifah. Kerajaan Perlak didirrikan oleh Sayid Abdul Aziz (Raja
Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah. Pada akhir abad ke 12, di pantai timur Sumatera terdapat negara Islam
bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para
pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di wilayah
itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang
Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. Dari perkawinan
tersebut ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul
Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan
negeri Perlak, bernama Alaudin Syah. Demikian ia dikenal sebagai sultan Alaidin
Syah dari negeri Perlak.
Angkatan dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah berjumlah 100 orang, yang
terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini menyiarkan Islam pada
penduduk setempat dan keluarga istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali
dari suku Quraisy kawin dengan seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah
seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini
lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab Perlak pada tahun 225 H.[2]
Kerajaan
ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang
pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua
putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari
Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura
sekarang).
Perkawinan
ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad
Syah.Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan
Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah
beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja
Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri
Ganggang Sari.
Perlak
merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang
sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak
(kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
2. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan
Samudera Pasai terletak di Aceh dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh.
Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat
dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka
Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa
kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau
pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah
pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan
seterusnya.[3] Berdasarkan
berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri
kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai.[4] Hal ini dibuktikan dengan adanya
batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.[5]
Malik
Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan
tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum
menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat
mendapatkan seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari
Mekkah.
Pendapat
bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh
berita China dan pendapat Ibn Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai pada
pertengahan abad ke 14 M (tahun 746 H/1345 M). Dalam kisah perjalanannya ke
Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang
sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir
miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Zhahir tidak
pernah bersikap sombong. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat
menyambut rombongan Ibnu Battutah.[6]
Samudera
Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul
ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah
keagamaan dan keduniaan.[7] Selain itu, Sultan Maliku Zhahir
juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat
Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya
bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya
sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan
Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad 13 sampai
awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan bandar
pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan
internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan
hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju,
Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya
yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
3. Kerajaan Aceh
Kurang
diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat,
sebagaimana yang dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri
pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah
(1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[8]
Pada
awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar
yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta
menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah
Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar
tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur
Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat
Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial
Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk
menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia
taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh
lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari
penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Peletak
dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di
Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di
pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan
Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak
kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana
kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.[9]
Di
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu
pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman,
rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal
ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.
4. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan
Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau yang merupakan salah satu
Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang
dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman
sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan
Islam.[10]
Munculnya
nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.
Pengaruh
Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para
musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah
satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah
Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap
pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan
Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama
dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan
masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan
agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada
agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh
agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau.
Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti,
masih sukar dibuktikan.
Islam
juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan
ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang
berhubungan dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata
kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat
dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan
pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain
itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila
(Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang
berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya.[11]
D. Bukti-Bukti Masuknya Islam di Sumatera
1. Makam Sultan Malik Al-Saleh
Makam Sultan Malik Al-Saleh yang berangka tahun 1297 merupakan bukti bahwa
Islam telah masuk dan berkembang di daerah Aceh pada abad XIII. Mengingat Malik
Al-Salaeh adalah seorang sultan, maka dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk
ke daerah Aceh jauh sebelum Malik Al-Saleh mendirikan Kesultanan Samudera
Pasai.
2. Cerita Marco Polo
Pada tahun 1092, Marco Polo seorang musafir dari Venesia (Italia) singgah di
Perlak dan beberap tempat di Aceh bagian Utara. Marco Polo sedang melakukan
perjalanan dari Venetia ke negeri Cina. Ia menceritakan bahwa pada abad XI,
Islam telah berkembang di Sumatera bagian Utara. Ia juga menceriterakan bahwa
Islam telah berkembang sangat pesat diJawa.
3. Cerita Ibnu Battuta
Pada tahun 1345, Ibn Battuta mengunjungi Samudera Pasai. Ia menceriterakan
bahwa Sultan Samudera Pasai sangat baik terhadap ulama dan rakyatnya. Di
samping itu, ia menceriterakan bahwa Samudera Pasai merupakan kesultanan dagang
yang sangat maju. Di sana, Ibn Battuta bertemu dengan para pedagang dari India,
Cina, dan para pedagang dari Jawa.
4. Pendapat lain
Beberapa waktu terakhir ini berkembang pendapat baru bahwa Islam sebenarnya
telah datang dan berkembang di kawasan Nusantara pada abad VII-VIII atau abad I
tahun hijrah. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia
telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa-bangsa India, Cina, dan Arab
(khususnya Persia). Bahkan kalau ditelusur pada awal abad Masehi orang-orang
Yunani telah mengenal Nusantara. Tercatat dalam peta yang disusun oleh
Ptolomeus, nama-nama seperti Tabih, Argue, Posi Lam Wuli, Rommi, dan Lameri.[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masuknya
Islam ke wilayah Nusantara, khususnya ke Sumatera telah memberikan sebuah warna
baru dalam peradaban diwilayah tersebut. Islam tidak hanya dianggap sebagai
sebuah agama saja, akan tetapi lebih jauh daripada itu, telah mampu memasuki
aspek-aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam bidang budaya. Hal ini
menyebabkan akulturasi antara peradaban dengan Islam, dan salah satu hasilnya
adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada tahap selanjutnya, kerajaan-kerajaan inilah
yang berperan penting dalam pembentukan budaya Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Usairy,
Ahmad, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul
asli: At-Tarikh Al-Islami, penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media,
Jakarta: 2010), cet. 10
Amin, Samsul
Munir , Drs., M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika,
2009)
http://education.poztmo.com/2011/06/kesultanan-samudera-pasai.html, di unduh pada tanggal 12 Mei 2012
http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-melampaui-sekat-sekat kewilayahan & catid =34: artikel & Itemid=
59…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
http://imagination-my.blogspot.com/2012/09/bukti-bukti-masuknya-islam-di-indonesia_1.html, di akses pada tanggal 15 Mei 2013
Syamsu
As, Muhammad , Drg., H., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan
Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1996).
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, (PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2011), cet. 23.
www.akhmadrowi.blogspot.com
[1] Drg. H. Muhammad
Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya,
Jakarta: Lentera, 1996, hlm. 9.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2010), cet. 22, h. 205
[9] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi
Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami,
penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10, h. 449.
[10]http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-melampaui-sekat-sekat-kewilayahan&catid=34:artikel&Itemid=59….
diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
[11] http://www.minangforum.com/Thread-Sejarah-Islam-di-Minangkabau…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
[12] http://imagination-my.blogspot.com/2012/09/bukti-bukti-masuknya-islam-di-indonesia_1.html, di akses pada tanggal 15 Mei 2013
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !