MAKALAH
“ TEORI
KENABIAN ”
MATA KULIAH :
FILSAFAT ISLAM
Dosen Pengampu :
Drs.H.Akhmad Rowi,MH
Penyusun : Muhtar
Jurusan :
PAI Tarbiyah
Semester : 3 ( Tiga )
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Teori
kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti
hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak
terlalu besar. Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas
teori kenabian ini adalah Ibnu Sina, dalam sejarah Islam, perdebatan tentang
wacana kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang
direpresentasikan oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi
atau kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh
karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini
berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para
ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan
keniscayaan dalam kehidupan ini.
Menurut
Ibnu Sina, bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai
akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah
batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi
adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga
kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga
memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui
hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya.
Perbedaan
cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada
perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks,
ajaran kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena
semuanya bersumber dari wahyu Tuhan.
Sementara
bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah ajaran
manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan
adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan
Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah,
yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan
Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang
hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut
intervensi. Salah satu filosof klasik yang berpandangan seperti ini adalah Ar Razi
yang berpendapat ”bahwa
tidaklah masuk akal Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari
banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada nabinya dan tidak
mengakui nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian
antara bangsa karena kefanatikan agama bangsa yang dipeluknya.”
2.
IDENTIFIKASI
1. Apa yang dimaksud dengan
filsafat kenabian ?
2. Kenapa harus ada Nabi ?
3. Apa argumentasi tentang
pentingnya kenabian ?
4. Bagaimana derajat dan
penetapan kenabian ?
5. Kenapa masa kenabian
berakhir ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. FILSAFAT
KENABIAN
Al-Farabi
(meninggal 950M), filsuf Muslim
terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang
alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Filsafat juga adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang
merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga
diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan
segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan. Sehingga filsafat dapat juga dikatakan
sebagai mother of science karena mempelajari suatu hakikat dari
pengetahuan.
Kata Nabi
berasal dari kata kerja (fi’il) bahasa Arab nabba’a yanabbi’u yang berarti
member kabar. Kata Nabi di petik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang
berkedudukan sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fa’il) yang berarti
orang yang membawa kabar atau berita. Darii kata nabi yang bermakna harfiah
sebagai pembawa berita ini kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga nabi
berarti orang yang di utus Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari
Tuhan untuk manusia.
Kenabian menurut Ibnu Sina merupakan jiwa (roh) yang tinggi.
Nabi merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya.
Memiliki mukjizat yang bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan
kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, mengantar
manusia untuk memahami sistem kebaikan.
Walaupun
nabi dan rasul seperti halnya manusia biasa, akan tetapi ia mempunyai
keistimewaan karena ia memperoleh akal tertinggi dari Tuhan yang di sebut
al-hadas. Al-hadas ini mempunyai daya yang suci yang di sebut al-quwwah
al-qudsiyyah. Adapun yang di maksud al-hadas dalam penerian filosofis ialah
pancaran ilahi yang diperoleh para nabi dan rasul sehingga mereka dapat
berhubungan langsung dengan ‘aql (Allah) tanpa melalui usaha manusia itu
sendiri. (Al-hidayah li Ibn Si’na’,298,299,293,294). Daya inilah yang
membedakan nabi dan rasul dari manusia yang lainnya. Suatu daya yang istimewa
dan hanya diperoleh nabi dan rasul. Karena daya ini pula nabi dan rasul dapat
menerima wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia dan agar mereka
bertindak dan berbuat sesuai dengan wahyu itu.
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul
hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum
pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia
mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari selain
Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah ilahiyah
dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi suatu
kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan tubuh.
2. KENAPA HARUS ADA NABI
Berdasarkan
ketetapan Ilahi, semua keberadaan mengalami perubahan dan perkembangan menuju
kesempurnaan. Secara alami, benih yang ditanam berproses menjadi kecambah,
tanaman kecil, pohon besar, dan pada akhirnya berbuah. Puncak kesempurnaan
pohon adalah ketika dia memberikan buah-buahan segar.Sperma mengalami perubahan
menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang, bentuk janin, hingga
akhirnya terlahir menjadi bayi yang sempurna. Fenomena ini berlaku pada seluruh
keberadaan di alam semesta ini.
Semua
keberadaan bergerak menuju kesempurnaan masing-masing secara alami. Tiap
makhluk mengetahui jalan dan cara mencapai tujuan penciptaannya. Manusia
berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang tidak memiliki ikhtiar (pilihan) dalam
menempuh proses perubahan menuju kesempurnaan. Manusia mampu memilih tujuan
hidupnya yang dianggap sebagai kesempurnaan. Manusia bebas menentukan
pilihannya dalam meraih tujuan. Dia menggali tanah demi mendapatkan air. Dia
mengais rezeki demi mendapatkan makanan enak. Dia melakukan eksperimen untuk
mengetahui hukum-hukum alam yang berlaku. Adapun keberadaan yang lain bergerak
menuju kesempurnaan penciptaannya sesuai dengan firman Allah : “Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu”.
(Adz-Dzariyat:56)
Atas dasar itu, agar manusia mampu meraih tujuan penciptaannya, dia harus
menggunakan kebebasan pilihannya dengan tepat. Manusia mesti menyeimbangkan
hubungan antara hukum alam dan tujuan. Prinsip inilah yang mengatur dan
menyelaraskan ikhtiar manusia. Tujuan penciptaan manusia tidak mungkin tercapai
dengan sendirinya. Setiap manusia menentukan tujuannya sesuai dengan tuntutan
kepentingan dan kebutuhannya. Kebutuhan manusia diciptakan oleh situasi dan
lingkungan yang dialaminya. Namun keduanya (situasi interpersonal dan
lingkungan) tidak mampu menggerakkan manusia secara langsung. Jika demikian,
hal ini akan memandulkan fungsi manusia sebagai keberadaan yang memiliki
pilihan(ikhtiar).
Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia. Dalam dimensi teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan sebagai kepentingan duniawi atau kepentingan sosial dan kepentingan jangkapanjangadalahkepentinganukhrawi.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi kebutuhan duniawinya? Sebab manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama yaitu dimensi transeden tentang hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal antara manusia dan manusia. Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan kewajiban mana yang terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya pengorbanan kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan pribadi manusia.
Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia. Dalam dimensi teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan sebagai kepentingan duniawi atau kepentingan sosial dan kepentingan jangkapanjangadalahkepentinganukhrawi.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi kebutuhan duniawinya? Sebab manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama yaitu dimensi transeden tentang hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal antara manusia dan manusia. Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan kewajiban mana yang terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya pengorbanan kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan pribadi manusia.
Pada dimensi horizontal atau dimensi sosial telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar Ruum: 41). Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah manusia yang menjadikan kepentingan pribadi sebagai tujuan hidupnya dengan cara mengorbankan kepentingan sosial yang akhirnya berimplikasi terhadap tanggung jawab kita kepada Tuhan.
Oleh karenanya, masyarakat manusia membutuhkan aturan dan undang-undang, lantaran adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Manusia merupakan makhluk sosial dan membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta beragam urusan hidupnya, agar tidak terjadi silang pendapat, pertikaian, benturan, dan kezaliman di antara anggota masyarakat, serta demi menjaga kepentinganindividudansosial.
Dalam pada itu, undang-undang tidak mungkin dapat terlaksana dengan sendirinya. Hanya dengan adanya undang-undang, persoalan sosial atau individual apapun tak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, setiap undang-undang niscaya memerlukan sosok pelaku yang mampu menjamin pelaksanaan, penegakan, dan penerapannya secara sempurna, serta tegaknya keadilan di atas basisnya.
Kebutuhan kepada sosok yang adil dan bijaksana yang mampu menerapkan undang-undang di tengah masyarakat, merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Dari sinilah nampak nilai penting seorang nabi dan rasul. Yaitu pribadi-pribadi pilihan Allah Swt yang mempunyai misi untuk menerapkan dan menjalankan aturan di tengah masyarakat manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk menjaga aturan dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.” (al-Hadid: 25)
Fadhl bin
Syadzan meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Musa ar-Ridha—salam sejahtera bagi
keduanya—menjelaskan tentang penyebab penetapan ulil amr (pemimpin manusia) dan
adanya perintah untuk mematuhinya. Beliau berkata, “Mungkin seseorang bertanya,
‘Mengapa Allah menetapkan pemimpin masyarakat dan memberikan perintah untuk
mematuhi mereka?’ Jawabannya dikarenakan banyak sebab. Antara lain: Ketika
seseorang berdiri di hadapan sebuah garis-batas dan diperintahkan untuk tidak
melanggar batas itu lantaran akan membahayakannya, maka perintah itu tidak
akan dan tak dapat tegak, kecuali jika Allah Swt menetapkan baginya sosok
terpercaya yang mampu mencegahnya melanggar batas dan memasuki kawasan
berbahaya. Kalau tidak begitu, niscaya manusia tidak akan meninggalkan
kesenangan dan kepentingannya dengan mengganggu orang lain. Oleh karenanya,
Allah Swt menetapkan baginya sosok penegak hukum yang mampu mencegahnya berbuat
kerusakan serta sanksi dan hukum di tengah manusia.
Argumen
lain tentang kemestian adanya nabi dan rasul yang logis, rasional dan
menggunakan argument empiris-historis dikemukakan oleh al-Jurjawi dan Hikmat
al-Tasyri’ wa Falsafatu. Argument tersebut adalah sebagai berikut:
Secara
naluriah. Manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan yang buruk dengan akalnya. Daya
akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara yang dapat menunjukkan jalan
menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu manusia, manusia
memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang menyampaikan syariat-Nya agar
manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati perbuatan dan jalan yang
membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan kebutuhan primer manusia
karena akal tidak dapat memenuhinya. Nabi dan rasul mengemban enam tugas utama
yaitu:
1. Memberikan petunjuk kepada
manusia agar manusia mengetahui Allah (ma’rifatullah). Menyampaikan sifat-sifat
Allah yang dapat memudahkan manusia memahami ke-Maha Esaan-Nya, dengan cara
yang paling mudah.
2. Menyampaikan berita bahwasannya
Allah mengancam manusia yang tidak taat kepada-Nya dan memberikan kabar gembira
bagi mereka yang mentaati-Nya. “Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi
saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi” (Al-Ahzab
33 : 45-46)
3.
Mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia yang berguna bagi diri manusia itu
sendiri dan bagi sesamanya, seperti sifat jujur, tidak berdusta, dermawan dan
sebagainya. “Sesungguhnya
aku diutus Allah SWT, untuk menyempurnakan(memperbaiki) akhlak manusia”. (HR. Ahmad)
4. Mengajarkan tata cara
mengagungkan Allah serta menunaikan kewajiban yang di bebankan Allah kepada
manusia, dan beribadah kepada-Nya dalam berbagai bentuknya secara sempurna.
5. Menetapkan
ketenutan-ketentuan hukum (hudud) dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi
seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya, seperti ketentuan hukum berzina,
pembunuhan, dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk
menegakan keadilan yang dapat menjamin keamanan negri dan penduduknya.dalam
hubungannya dengan tugas tersebut, nabi dan rasul berfungsi sebagai hakim atau
pembuat hukum. “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS.
Al-Hadid; 57: 25)
6. Menjelaskan cara-cara yang
benar apa yang mesti ditempuh manusia dalam kehidupan duniawinya, seperti
keharusan aktif bekerja, dan melaksanakan berbagai bentuk kewajiban.
Berdasarkan tugas-tugas nabi dan rasul di atas, dapatlah di
nyatakan bahwa agama islam adalah agama bagi seluruh umat manusia. Islam
menjamin kebahagiaan hidup mereka yang menganutnya, dan melaksanakan ajaran
islam itu sepenuh-penuhnya. Kedudukan rasul bagi manusia bagaikan kedudukan
akal dan hati nurani bagi manusia yang dapat membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah. Bila manusia salah
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana
yang salah, maka itu terjadi karena ketidak pedulian manusia terhadap
penggunaan akal dan kalbunya yang kemudian dikuasailah dirinya itu dengan
kebencian, kerakusan, dan permusuhan. Oleh karena itu, terjadinya kekacauan,
kesesatan, fanatisme mazhab dan kelompok. Semua itu terjadi bukan karena agama,
melainkan karena agama tidak dilaksanakan dengan benar sebagai akibat kesalahan
dalam pemahaman dan penghayatannya.
3. ARGUMENTASI PENTINGNYA KENABIAN
Gambaran di atas sebenarnya telah
membuktikan kepada kita bahwa kenabian adalah hal yang penting bahkan niscaya.
Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah ini akan diuraikan secara
singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan diutusnya para Nabi,
yaitu sebagai berikut :
a. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.
b. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.
a. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.
b. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.
c. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk memberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu, Allah mengutus Nabi atau Rasul.
d. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.
Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.
4. DERAJAT DAN PENETAPAN
KENABIAN
Kenabian merupakan ikhtiar dua arah,
yakni ikhtiar manusia sebagai utusan dan ikhtiar Allah swt sebagai pengutus.
Inilah yang dikenal dengan istilah ‘derajat kenabian’ dan ‘gelar kenabian’.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?
Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.
Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?
Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.
Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.
5. PENUTUP KENABIAN
Meskipun tiap nabi membawa
pesan-pesan yang ternyata kandungannya hanya memiliki perbedaan yang kecil,
para nabi adalah pembawa pesan yang satu dan sama, dan mereka memiliki satu
aliran pemikiran yang sama. Aliran pemikiran ini disuguhkan secara gradual
sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka mencapai titik perkembangan
dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam bentuknya yang lengkap dan
sempurna. Ketika itulah kenabian berakhir.
Versi yang sempurna dari aliran
pemikiran yang mengalami kontinyuitas tersebut disuguhkan melalui pribadi
Muhammad bin Abdullah, semoga selawat dan salam dilimpahkan kepadanya dan
kepada keluarganya, dan kitab suci terakhir adalah al-Quran.
Qur’an Suci mengatakan: “Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan harmoni, tak ada yang dapat
mengubah kalimatnya.” (QS. Al-An’am; 6: 115)
Meskipun kenabian merupakan
alur yang berkelanjutan dari pesan Ilahi, dan agama hanya kebenaran tunggal,
ada beberapa alasan bagi diperbaharuinya kenabian dan munculnya nabi-nabi, baik
yang membawa hukum Ilahi maupun hanya mendakwahkannya saja. Alasan-alasan
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, umat manusia pada zaman dulu tidak
mampu menjaga orisinalitas Kitab Suci yang diturunkan pada mereka disebabkan
kurangnya perkembangan mental dan kematangan berfikir mereka. Kitab-kitab suci
sebelum al-Quran diubah dan didistorsi atau bahkan dirusak sama sekali,
sehingga diperlukan pembaharuan pesan (risalah). Masa dimana al-Quran
diturunkan, yaitu abad 7 Masehi adalah puncak dari masa kekanak-kanakan
tersebut karena manusia saat itu telah berhasil melampui masa
kekanak-kanakannya dan akhirnya bersedia bertanggung jawab teerhadap isi ajaran
kitab suci yang terakhir, yaitu al-Quran.Kaum Muslimin pada umumnya, sejak saat
diturunkannya tiap-tiap ayat al-Quran hingga kini, telah merekamnya dalam
ingatan atau tulisan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kemungkinan
terjadinya suatu macam distorsi, transformasi, perubahan, penghilangan atau
penambahan, dihilangkan. Karenanya, tidak ada perubahan dan kerusakan terhadap
kitab suci al-Quran. Alasan ini adalah salah satu alasan bagi pembaharuan
kenabian, menghilangkan kebutuhan atas kitab suci baru.
Kedua, alasan bagi diperbaharuinya agama
dalam Kitab Suci, adalah bahwa umat manusia pada masa sebelumnya belum mampu
memahami suatu program yang umum dan komprehensif. Dengan berkembangnya
kemampaun ini, suatu program yang bersifat umum dan komprehensif disuguhkan
kepada umat manusia secara kontinyu, dan dengan cara ini kebutuhan bagi pembaharuan
kenabian dan hukum-hukum Ilahi dihilangkan.
Ketiga, para ulama umat di masa Nabi
Terakhir, yang merupakan abad ilmu (the age of knowledge), mampu
mengadaptasikan ajaran-ajaran umum al-Quran terhadap masa dan tempat serta
tuntutan-tuntutan dan kondisi-kondisi yang ada. Dengan mengetahui
prinsip-prinsip umat Islam, dan dengan mengenali situasi dan kondisi masa dan
tempat, mereka mampu merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum Ilahi. Usaha ini
disebut ijtihad (berusaha sejauh kemampuan untuk melakukan pertimbangan
keagamaan yang mandiri mengenai suatu masalah hukum).
Dari apa yang diuraikan diatas,
jelaslah bahwa kematangan intelektual dan pertumbuhan social umat manusia
memainkan peran dalam berakhirnya kenabian. Peran ini mempunyai aspek-aspek
yang berbeda:
-
Umat manusia telah menjaga kelestarian Kitab Suci dari distorsi yang
bagaimanapun
-
Umat manuisa telah mencapai suatu titik perkembangan di mana mereka bisa
menerima dan menggunakan program perkembangannya sebagai suatu keseluruhan dan tidak
selangkah demi selangkah
-
Kematangan intelektual umat manusia dan kemajuan social mereka telah
memungkinkan mereka untuk melaksanakan, menyebarluaskan dan memanfaatkan agama
untuk memerintahkan masyarakat mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan
mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang jahat. Kebutuhan akan nabi-nabi
yang hanya berfungsi sebagai pendakwah, yang mempromosikan dan menyebarluaskan
agama nabi yang membawa hukum Ilahi telah dihilangkan. Para ulama dan kalangan
umat telah memenuhi kebutuhan ini.
-
Kematangan intelektual umat manusia telah mencapai suatu titik dimana mereka
bisa mengomentari dan menjelaskan hal-hal umum yang terkandung dalam wahyu,
hingga dengan bantuan ijtihad dalam berbagai situasi dan kondisi serta
lingkungan, mereka bisa merujukkan suatu kasus hukum yang ada kepada prinsip
asalnya.
BAB III
KESIMPULAN
· Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul
hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum
pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar
manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari
selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah
ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi
suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan
tubuh.
· Tujuan utama nabi diutus dimuka bumi
adalah untuk menyeimbangkan dimensi Ketuhanan dan dimensi Kemanusiaan bagi
umat.
· Kedudukan rasul bagi manusia
bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh
seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian
merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan
Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian
derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan
pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang
dikehendaki-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Yazdi,
Mizbah,Iman Semesta, (Jakarta: Al-Huda, 2005)
Yazdi,
Mizbah, Membangun Agama, (Bogor: Cahaya, 2004),
Abu Bakar Atjeh, Prof. Dr. Syi’ah, Rasionalisme
Dalam Islam,
Yogyakarta: beranda publishing, 2003
Adz-dzakiey, hamdani bakran, 2007, Psikologi
kenabian, Yogyakarta: beranda publishing
www.akhmadrowi.blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !