SEJARAH
PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, M.H
Nama : Roudhotun Ni’am
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH
DEMAK
2014
DAFTAR ISI
1.
Bentuk-Bentuk Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam (Termasuk Indonesia) 3
2.
Sumber Permusuhan Islam Dan Barat....................................................
4
a.
Dendam Historis................................................................................
5
b.
Kesalahpahaman Masyarakat............................................................
5
3.
Respon Muslim Terhadap Barat (Dialog Atau Melawan Hegemoni)...... 6
4.
Peranan Tokoh Intelektual Dalam Merespon Pengaruh Barat................ 8
a.
Jamaluddin
Al-Afghani Dan Para Pembaharu Arab...........................
8
b.
India : Sir Sayyid Ahmad Khan Dan Muhammad Iqbal..................... 10
c.
Implikasi Penjajahan Barat Terhadap Perkembangan Peradaban Islam 12
Kesimpulan......................................................................................................
14
Daftar
Pustaka..................................................................................................
15
“RESPON
NEGARA-NEGARA NON ARAB TERHADAP PERADABAN ISLAM”
1. Bentuk-Bentuk Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam
(Termasuk Indonesia)
Negara-negara Barat seperti Inggris,
Perancis, Spanyol, Italia, Rusia dan lain-lain memang mempunyai teknologi
militer dan industri perang yang lebih canggih dibandingkan dengan negara
Islam, sehingga mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan mengalahkan
wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam.
Dari awal penjajahan Barat yaitu
perang salib umat Islam telah kehilangan berbagai daerah yang semula telah
dikuasai Islam, yang kemudian jatuh ke tangan orang Kristen, yang sukar untuk
dikembalikan kembali. Jadi pada perang salib ini telah terjadi penaklukan dan
penyerangan yang dilakukan oleh negara Barat untuk merebut wilayah-wilayah
kekuasaan Islam. Tidak terhingga kerugian yang diakibatkan oleh penjajahan
tersebut, baik kerugian hasil budaya dan peradaban manusia maupun kerugian
material maupun korban jiwa. Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat
antara lain adalah:
a.
1820 Oman
dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris.
b.
1830-1857
Penaklukan Aljazair oleh Perancis 1839.
c.
1881-1883
Tunisia diserbu Perancis.
d.
1882 Mesir
diduduki Inggris.
e.
1898 Sudan
ditaklukkan Inggris.
f.
1900 Chad
diserbu Perancis.
Pada abad ke20 M Italia dan Spanyol
ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika :
a.
1960
Kesultanan muslim di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris.
b.
1912-1913
Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia.
c.
1912 Marokko
diserbu Perancis dan Spanyol.
3
d. 1914
Kuwait di bawah protektorat Inggris.
e.
1919-1921 Sisilia
wilayah Turki diduduki Perancis.
f.
1920 Irak menjadi protektorat
Inggris.
g.
1920 Syria dan Libanon di bawah
mandat Perancis.
h.
1926-1927
Perebutan seluruh Somalia oleh Italia.
Sementara itu, Rusia menggerogoti
wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan
Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin.
Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti
tergambar dalam daftar berikut:
a.
1834-1859
Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia.
b.
1853-1865
Serbuan pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent.
c.
1866-1872
Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia.
d.
1941-1946
Pendudukan Anglo Rusia di Iran.
Selain berupa penaklukan dan
penyerangan negara-negara Barat juga banyak melakukan penindasan, penghisapan
dan perbudakan, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Penindasan dilakukan kepada wilayah-wilayah yang telah dikuasainya untuk
mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Penghisapan terutama pada hasil bumi
dan kekayaan alam negara yang dijajahnya serta perbudakan banyak dialami oleh
orang-orang Islam yang wilayahnya telah jatuh ke tangan negara-negara Barat.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke
Maluku dengan tujuan dagang, yang kemudian disusul oleh Belanda, Inggris,
Demark dan Perancis. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera memonopoli
perdagangan di Indonesia. Tentu kehadirannya ditantang oleh penduduk setempat.
Oleh karena itu seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan penduduk, walaupun
akhirnya peperangan dimenangkan oleh Belanda, yang terbesar diantaranya adalah
perang Aceh, perang Paderi di Minangkabau dan perang Diponegoro di Jawa.
2.
Sumber
permusuhan Islam dan Barat
Apa yang menjadi sumber permusuhan
barat terhadap Islam dewasa ini sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan
tipu daya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim. Pada garis besarnya ada
dua sebab:
4
a.
Dendam historis
Selama berabad-abad barat takluk di
bawah hegemoni khilafah Islam. Kebencian kaum Kristen barat pernah meledak
dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya
perang salib (1096-1291M) yang brtujuan utam penghancuran islam. Akan tetapi
melalui peperangan tersebut umat Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih
banyak diraih oleh pasukan Islam. Trauma perang tesebut berdampak pada
tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di kedua belah pihak.
Perang salib membentuk fondasi
pertama dan esensi untuk menerapkan sikap Eropa (barat) terhadap Islam. Dendam
perang salib tersebut belum padam . kebencian dan permusuhan barat terhadap
Islam itu muncul lagi ke permukaan setalah Perang Dingin berakhir.
b.
Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat umumnya melakukan
kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya
memepelajari dan memahami Islam dari buku-buku para orientalis, sedangkan para
orientalis mengkaji Islam dengan tujuan utnuk menimbulkan miskonsepsi terhadap
Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan
Islam yang tidak lepasa dari ambisi imperialis Barat untuk mengetahui dunia
Islam. Umumnya ketika berbicara mengenai Islam pandangan dan
analisis para orientalis tidak objektif dan tidak
fair sudah bercampur dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu.
Karenanya pandangan mereka biased dan berat sebelah. Hasilnya adalah
kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat. Citra Islam yang tampak di dunia
Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme, kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah dengan sajian
media massa mereka yang menampilkan Islam tidak secara utuh. Bahkan Islam yang
mereka kenalkan bukan Islam kebanyakan (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran)
yang hanya dianut oleh 10% kaum Muslim dunia. Kekeliruan Barat dalam memahami
Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan perilaku individu umat Islam
yang melakukan kekerasan, cap “teroris” pun dilekatkan pada Islam tanpa mau
tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya, populerlah istilah “Terorisme Islam”.
Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi dengan gencarnya
serangan propaganda Barat
5
melalui berbagai media massanya untuk memojokkan agama
dan umat Islam (demonologi
Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat Islam
kerap mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”,
“ekstremisme”, “radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk
mendiskreditkan Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah
produk utama propaganda media massa Barat (demonoloogi Islam). Parahnya lagi
fobi tersebut tidak hanya melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian besar
umat Islam. Mereka merasa ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame
yang ada dikepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina , hukum cambuk bagi
pemabuk, hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh.
Isu-isu hukum Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menjauhkan umat
Islam dari ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.
Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika
kekuatan Islam naik ke puncak kekuasaan di suatu Negara, pemerintahan Negara
itu akan menerapkan syari’at Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika.
Adapun kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi barat
yang terbentang dari Maroko sampai Merauke letak geografisnya sangat strategis
bagi kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya
minyaknya, merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri barat. Bisa
dikatakan bahwa roda-roda perekonomian Negara-negara barat sangat bergantung
pada minyak yang ada di sebagian Negara-negara Islam. Timur tengah sebagai
tempat kelahiran dan “pusat Islam” merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak
dunia. Itulah salah satu alasan mengapa barat merasa “wajib” menaklukkan dunia
Islam.
3.
Respon Muslim Terhadap Barat (Dialog atau
Melawan Hegemoni)
Apapun motif, model, dan pihak yang
terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana
kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim –
adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat
jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia
tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu,
di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat
sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi.
6
Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan
beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai
paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik
(Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling
mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap
imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya,
dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama
dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan
dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog
untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa
syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi
Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah
utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia. Setelah cara
dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh
negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu
dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental
adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan
untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif – umat Islam Islam –
terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat
di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu
mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik
adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan
menerima peradaban, modernitas, dan civil society hampir tanpa reserve.
Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang
itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi perbudakan, genocide,
kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara
berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat.
Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang
niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology)
yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat
luar biasa.
7
Memang patut untuk disayangkan sikap
beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir
liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi
terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam
di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at
liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada
dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk
mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.
4.
Peranan
Tokoh Intelektual Islam Dalam Merespon Pengaruh Barat
a.
Jamaluddin al-Afghani dan Para
Pembaharu Arab
Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam
diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di
Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa,
ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya
kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk
mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern
di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari
negeri itu.
Bagi
Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat
mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab
itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai
ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan
instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk
prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran.
Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan
pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang
dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan
filsafat Islam yang telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di
dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab
adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935). Keduanya sempat
8
mengunjungi
beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana .
Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa
asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu
pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan
Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di
Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan
gerakan itu.
Seperti Afghani, Abduh tidak melihat
adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu
terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti
dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika
seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar
memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat
untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan
dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang
akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan
teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun
ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri
adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil
sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di
dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus
dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga
pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf
al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan
modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas
pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam
tak menolaknya. Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili
pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk
menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat
praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga
kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di
9
kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan filsafat
ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka.
b. India:
Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal
Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah
pemikir yang paling menonjol yang menyerukan “saintifikasi” masyarakat Muslim.
Seperti halnya dengan al-Afghani, ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu
pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh dari al-Afghani ia melihat adanya
“kekuatan yang membebaskan” dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di antara
“kekuatan pembebas” itu adalah penjelasan peristiwa dengan sebab-sebab
terdekatnya, yang bersifat fisik-materiil. Di Barat nilai-nilai ini telah
membebaskan orang dari takhayul dan cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan
semangat yang sama, Ahmad Khan merasa wajib “membebaskan” Muslim dengan
melenyapkan unsur supranatural – yang “tak ilmiah” – dari al-Qur’an. Ia amat
serius dengan upayanya ini, hingga menciptakan sendiri metode penafsiran
al-Qur’an baru. Hasilnya adalah “teologi baru” yang memiliki karakter “ilmiah”.
Generasi setelah Sir Sayyid, di awal abad
ke-20, adalah Mohammad Iqbal (1877-1938), salah seorang Muslim pertama di anak
benua India yang sempat mengkaji pemikiran Barat modern dan mempunyai akses
yang mendalam pada tradisi intelektual Islam. Kedua hal inilah yang muncul dari
karya utamanya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan
Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam) diterbitkan tahun 1930. Dengan
penggunaan istilah reconstruction (pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal
telah tergambar. Reconstruction berarti mengungkapkan kembali pemikiran
keagamaan Islam dalam bahasa modern, untuk konsumsi generasi baru Muslim yang
telah berkenalan dengan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat
Barat abad ke-20. “Bahasa modern” pun berarti bahasa konseptual yang terbentuk
akibat perkembangan tersebut.
Kepeduliannya sama dengan pendahulunya,
Sir Sayyid, karena keduanya menghadapi masalah yang sama. Tetapi sementara Sir
Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis – dengan menunjukkan kesesuaian ajaran
Islam dengan ilmu pengetahuan dan
10
filsafat modern, hingga ke tingkat perumusan ulang
teologi Islam – Iqbal bergerak lebih
jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari
sekadar sebagai alat, tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.
Ia menunjukkan bahwa kesesuaian agama,
khususnya Islam, dengan ilmu pengetahuan tak hanya ada pada permukaan dan tak
pula hanya menyangkut penemuan mutakhir ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan
adalah sebentuk ibadah. Karena itulah sampai tingkat tertentu, ilmu pengetahuan
memiliki tujuan yang sama dengan agama, yakni pencapaian Kenyataan Sejati.
Baginya ruh Islam yang anti-klasik – yang menekankan pada hal-hal yang
kongkrit, seperti yang tampak dalam revolusi intelektual melawan tradisi
abstrak Yunani di masa awal perkembangan filsafat Islam – adalah serupa dengan
ruh yang melahirkan ilmu pengetahuan modern. Namun, meskipun bertujuan sama,
ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan struktur sesuatu, dan tak mampu
berbicara tentang hakikat akhir dari segala sesuatu yang memiliki struktur itu.
Untuk itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu
menjelaskan gagasan filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati.
Sementara ilmu pengetahuan sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang bertentangan
dengan kecenderungan banyak ilmuwan modern, tak dapat menciptakan teori yang
selengkapnya menggambarkan realitas. Ini karena ilmu pengetahuan adalah
“kumpulan pandangan yang sepotong-sepotong tentang realitas.” Tak berhenti di sini, Iqbal
menunjukkan penguasaannya atas teori-teori fisika mutakhir masa itu dengan
menunjukkan bagaimana pandangan ilmuwan seperti Einstein dan Heisenberg mesti
ditafsirkan untuk mendapat gambaran utuh tentang realitas. Tujuan akhirnya,
membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan temuan ilmu pengetahuan
tentang realitas alam.
Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu
yang asing bagi Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai “ilmu manusia”. Artinya,
ilmu pengetahuan adalah universal dan milik umat manusia. Semua masyarakat
memiliki sumbangannya masing-masing. Dalam pencarian kebenaran,
setiap orang memiliki tujuan yang sama, dan menghadapi masalah yang sama.
Dalam kasus peradaban Barat, Eropa
11
telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya
menjadi “peradaban modern”. Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari
Eropa. Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia , dan
India . Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim berbeda dengan
mereka membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat dipertahankan. Hal yang sama
seharusnya terjadi saat ini. Meski beberapa pandangannya
dapat dianggap sebagai dasar bagi suatu epistemologi Islam kontemporer, namun
dengan itu ia tak berniat menciptakan suatu “ilmu pengetahuan Islam”, yang
menjadi kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.
c.
Implikasi
Penjajahan Barat Terhadap Perkembangan Peradaban Islam.
Serbuan kaum salib ke negeri-negeri
Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui
peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan
hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan
nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan
pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu
sosial, modal dan lain-lain. Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran
bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan
untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak
mereka, tetapi setan berada di hati mereka.
Dahulu kaum muslimin menghayati
peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping
pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya
peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama
berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka. Inti peradaban
Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah
meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material
daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah
menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan
siara radio Eropa dan lain sebagainya.
12
Pada saat barat mendominasi dunia di
bidang politik dan peradaban, persentuhan
dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan
ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat
dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of
power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena
kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu
memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Penjajahan Barat juga memicu gerakan
pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran
Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam
dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat,
sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh
penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke
dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu
ke Inggris. Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah,
terutama pada intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang
dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka
mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Pandangan pertama berpegang pada
sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan
ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat.
Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam
pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian Barat.
Memang benar bahwa peradaban Barat
memainkan peranan besar dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat
dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa
peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah
menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam
bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat
adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.
13
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan penting terkait dengan dominasi barat dan respon umat Islam
yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat
konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan
ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa sumber
permusuhan Barat terhadap Islam pada garis besarnya ada dua sebab, yaitu dendam
historis dan kesalahpahaman masyarakat barat terhadap Islam. Ketiga,
Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan dua cara yang ditawarkan
beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni dengan bersikap kritis terhadap
Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai
pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adian
Husaini, Hegemoni Kisten Barat, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Asep Syamsul, Demonologi
Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Hassan
Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
www.akhmadrowi.blogspot.com
15
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !