MAKALAH
6. PENGARUH PERADABAN
PADA MASA DAULAH
BANI UMAYYAH
Dosen pengampu :
Drs. H. Akhmad
Rowi, MH
Disusun oleh :
Ahmad Faizin
SEMESTER 6
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah
Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau
kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan
pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses
musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau
kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya
untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang
kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
B. Rumusan
Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut
:
1.
Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2.
Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
3.
Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
4.
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
5.
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
6. Bagaimana
sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?
7. Seperti apa
masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
8.
Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani
Abbasiyah ?
9.
Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran
Bani Abbasiyah ?
10.
Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1 Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Masyarakat
Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan
masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan
kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18
Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan
sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[1][1][2] ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi
Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa
Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di
peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti
berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan
Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan
konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada
pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi
di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan)
dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam)
pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[2][2][3]. Muawiyah
tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat
setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di
Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan
ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah
Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak
kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan
kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah
mengecam agar tidak mengakui (bai’at)
kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai
terlibat pembunuhan tersebut untuk
dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah
pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam
negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan
pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra[3][3][4] dan Mesir.
Permohonan atas
penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang
dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah,
dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para
shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak
memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin
Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari
penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa
khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan
politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh
Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini
tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali
dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan
dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah
mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan
pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada
peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat
khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah
yang dihadapi khalifah.
Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para
gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah.
Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap
masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di
ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya
seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi
perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu
Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga
sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya
utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin
Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir
melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin
Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat
dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan
segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin
Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung
menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan
sangat mengenaskan.
Ada beberapa
gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah
bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif.
Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat
Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan
gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang
terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2 Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya
khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan
pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij[4][4][5] yaitu Abdurrahman bin Muljam,
menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya
para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat
Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas
diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi
Thalib.
Proses
penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah
setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk
ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah
Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi
Thalib.
Pengangkatan
Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak
mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya.
Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri
sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam.
Namun Al-Hasan
sosok yang jujur dan lemah secara
politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih
memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk
mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali.
Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan –
pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia
melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena
kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu
Sufyan.
Menghadapi
situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan
pihak Muawiyah. Untuk itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam
perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan
kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi
semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di
ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Setelah kesepakatan
damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi
tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah
satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan
kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah
ibn Abu Sufyan.
Proses
penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu
tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan
demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin
umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun
Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah,
usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara
defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Dengan demikian
berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah
gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan
Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang
didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi
pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan
muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur
Sebelumnya.[5][5][6]
Namun
perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh
Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak
melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik
tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan
syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka
Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di
Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri
mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya
dikubur di Karbela.[6][6][7]
B.
Pola
Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang
ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup
dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan
sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya
dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku
akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[7][7][8]
Pernyataan di atas cukup mewakili
sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung
dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti
besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti
Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik
mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya,
politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia
wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak
kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan
masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan
kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat
secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun
temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia
dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut[8][8][9]. Dia menyebutnya “Khalifah
Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[9][9][10]
Karena proses
berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana
pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak
baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M)
akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang
sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya
pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah
sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah
berikutnya.
Orang yang
pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661
M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra
mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan
Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan
konflik politik intern umat Islam
seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu,
sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah
untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa
Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan
sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan
para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan
ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi
perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga
terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana
setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah
kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah
Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
- Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
- Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
- Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
- Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
- Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
- Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
- Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
- Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
- Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
- Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[10][10][11]
C.
Masa
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul
Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar
khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum
ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya
raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan
uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang
raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[11][11][12] Karena kesholihannya, ia
dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai
pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa
pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak
perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan
semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh
saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan
tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang
tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[12][12][13]
Pada masa
pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi
islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara
dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat
dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter
pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama.
Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
D.
Ekspansi
Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang
terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti
ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah
dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke
Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan
dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.[13][13][14]
Ekspansi ke
barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan
Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi
selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara
Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[14][14][15]. Pada saat itu, pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui
pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah
telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan
sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam
dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
·
Masa
kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan
menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
·
Menertibkan
angkatan bersenjata.
·
Pencetakan
mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang
dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak
mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
·
Jabatan
khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
·
Keberhasilan
kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan
Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul
Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan.
·
Membangun
panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan
humanis di gaji tetap oleh Negara.
·
Membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
·
Membangun
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
·
Hadirnya
Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar
Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan
Al-sunnah).
·
Pengembangan
di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang
sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara
kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir,
hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh.
Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
dalam bab, “Sîrah wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah
kitab yang lain.
BANI ABBASIYAH
A.
Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah
didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus
sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang
sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M.
Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah
dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya.
Kelahiran bani
Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh golongan
syi'ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Golongan
Syi'ah selama pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan
tersingkir karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal
ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di
Karbela.
Gerakan oposisi
terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi'ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali,
ia telah di bai'ah oleh orang-orang syi'ah sebagai imam. Tujuan utama dari
perjuangan Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari
tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi'ah keturunan Bani
Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan
dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan
Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini memakai nama Bani
Hasyim, belum menonjolkan nama Syi'ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk
mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini
adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini
bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.
Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani
Umayyah ada dua tahap :
· Gerakan
secara rahasia
Propoganda
Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia,
akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan
kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir,
Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah
dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada
adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui
bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
· Tahap
terang-terangan dan terbuka secara umum
Tahap ini dimulai
setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada Abu
Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan.
Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia
menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan
oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara
Ibrahim bin Muhammad. Abul Abbas sangat beruntung, karena pada
masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan sebaliknya
gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah luas
pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas
untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk
maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas
pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin
oleh khalifah Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi
sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan
diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah
bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya
terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena
pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada
tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai'ah
menjadi khalifah , dalam pidato pembiatan tersebut , ia antara lain mengatakan
"saya berharap semoga pemerintahan kami ( Bani Abbas ) akan
mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk koufah, bukan
intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami
beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah SWT. Hai
penduduk koufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah
berubah dalam pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim ( Bani Umayyah )
telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah
dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang berbahagia dan yang
paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-saffah". Setelah
Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai
pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya,
dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Para pendukung
Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
2) Kota Koufah jauh
dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung Bani Abbas dalam
menggulingkan Bani Umayyah
3) Kota Damaskus
terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman bagi
pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur
(754-775 M ) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang
baru.
B. Masa kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani
Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para
sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
· Masa
Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq
232 H/847 M.
· Masa
Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai
berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
· Masa
Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M
· Masa
Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai
jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun
656 H/1258 M.
1) Masa
Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali
sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga
meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan
Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya memperluas wilayah
kekuasaan.
Wilayah
kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut
Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang
cukup berprestasi dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas
ash-shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi
(785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma'mun (813-833
M), Ibrahim (817 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2) Masa
Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali
dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah
bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi
khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil
meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol
pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol
pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu
adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta'in (862-866 M), Al-Mu'taz (866-896
M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa
disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah
yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka
seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3) Masa
Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai
dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah
Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan
Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur,
Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah
beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah
berdiri di Mesir.
Kekhalifahan
Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah
meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan
berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam
dan menjadi kediaman Khalifah
Pada akhir Abad
kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak
memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil
dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di
Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti
Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan
dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)
4) Masa
Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai
dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah.
Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol
menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian
timur.
C.
Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah
Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis para
khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan Filsafat dan
ilmu pengetahan dalam Islam. Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan
tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan
pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok
dinasti Abbasiyah dengan dinasti Umayyah. Puncak
kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809
M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam
keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga
pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang
sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu
juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a. Terjadinya
asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas,
bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam
bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat
dari terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b. Gerakan
penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah
Al-Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah
buku-buku dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa
khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah
bidang filsafat, dan kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun
300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang
ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Di zaman khalifah
Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini
kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya,
Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala
penjuru ke Baghdad. Salah satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan
tersebut adalah didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya
membawa kertas dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan
perkembangan Universitas Islam. Pabrik kertas ini memicu pesatnya penyalinan
dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku ditulis tangan. Ilmu cetak
muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di Jerman. Dikota-kota besar
islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga berfungsi sebagai sarana
pendidikan dan pengajaran non-formal.
Popularitas Bani
Abbasiyah ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah
Al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan
dokter, dan faramasi didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang
dokter, selain itu pemandian-pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada
pada zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Adapun ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa Bani Abbasiayah adalah sebagai berikut :
v Ilmu Kedokteran
Pada mulanya Ilmu Kedokteran
telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya sekolah tinggi
kedokteran Yundisapur dan Harran.. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan
dokter terkenal diantaranya sebagai berikut
· Hunain
Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan
penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
· Ar-Razi
(809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan
campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya
dbidang ilmu kedokteran adalah Al-Ahwi.
· Ibnu
Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi
At-Tibb dan dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa
dan negara-negara Islam.
· Ibnu
Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh
darah dan penyakit cacar. Dll.
v Ilmu tafsir
Pada masa ini
muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir
Bir ra'yi, aliran yang pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan
Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang
kedua lebih menekan pada logika ( rasio ) dan Nash. Diantara ulama tafsir yang
terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan
karangannya jami' al-bayan fi tafsir Al-Qur'an, Al-Baidhawi dengan
karangannya Ma'alim al-tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanyaal-kassyaf,
Ar-Razi(865-925 M) dengan karangannya al-Tafsir al-Kabir, dan
lain-lainnya.
v Ilmu Hadist
Pada masa
pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah
mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan
ilmu hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa
inilah muncul ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara
yang terkenal ialah Imam
Bukhari (W.256
H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadist dan setelah diteliti
terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam
Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H)
terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim,
buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam
dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan Abu Daud oleh
Abu Daud ( W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh imam
Al-Turmizi(W.287 H) Sunan Al-Nasa'i oleh Al-Nasa'i ( W.303 H)
dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275 H) keenam
buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub Al-Sittah.
v Ilmu Kalam
Bukanlah hal yang berlebihan
jika dikatakan pada masa Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar Ilmu Fiqh. Ilmu
ini disusun oleh ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih besar
pengaruhnya sampai sekarang, Diakalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal
jamaah. Muncul Imam Abu Hanifah(810-150 H) yang lebih cendrung memakai
akal (rasio) dan Ijtihad, Imam Malik Bin Anas (93-179 H) yang lebih cendrung
memakai hadist dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian Rasio, Imam Syafi'i
(150-204 H) yang berusaha mengkompromikan aliran Ahl al-Ra'yi,
dengan Ahl al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad bin
Hambal(164-241 H) yang merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan kurang
luwes dari aliran-aliaran fiqh yang lainnya. Buku karang mereka masih dapat
kita temukan sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-umm, al-risalah,
dan sebagainya.
v Ilmu Tashawuf
Dalam bidang ilmu
Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn Daulah
Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah
Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu
buku Ihya' Al-Din, yang terdiri dari lima
jilid. Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang
berjudul Al-Thawasshin, Al-Thusi
menulis buku al-lam'u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465 H) dengan
bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il'm al-Tashawuf.
v Ilmu Matematika
Terjemahan dari
bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara
ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang
pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan
penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin
Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.
v Ilmu Farmasi
Diantara ahli
farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal
adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami'
al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan
bergizi). Dan masih banyak lagi ilmu yang berkembang
pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini terlihat bahwa saat Khalifah
Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan Universitas Mustansiriah di
Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu melampaui Universitas di
Eropa. Mereke mempunyai Fakultas-fakultas yang sempurna, mahaguru digaji
berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam Fakultasnya, setiap Mahasiswa
dan Mahaguru mendapatkan satu dinar emas setiap bulannya, dan rata-rata setiap
Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000 Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa
boleh makan ke dapur umum Mahasiswa dengan Cuma-Cuma, sebuah perpustakaan besar
terdapat dalam Universitas itu. Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin
buku-buku atau ingin menyusun buku baru, ada sebuah kantor yang mengurus
persediaan kertas, pena dan tinta untuk keperluan itu. Disamping Universitas
dibangun sebuah rumah sakit untuk mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah
yang menyebabakan berbagai Universitas di Eropa mengambil contoh pada
Universitas Mustansiriah itu.
D.
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah
Menurut W.
Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah adalah :
1. Luasnya
wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa
dan pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2. Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuangan
negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat
besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
Sedangkan menurut
Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani
Abbasiayah Adalah :
1. Persaingan
antar bangsa
Khalifah Abbasiyah
didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan
dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah,
keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas
tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa
menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk
berkusa telah dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2. Kemerosotan
Ekonomi
Khalifah Abbasiyah
juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan Kemunduran dibidang
Politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan
pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada yang
keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami
periode kemunduran , pendapatan negara menurun, dengan demikian terjadi
kemerosotan ekonomi.
3. Konflik
Keagamaan
Fanatisme keagamaan
berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode
Abbasiyah , konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi
perpecahan. Berbagai Aliran keagaam seperti Mu'tazillah, Syi'ah, Ahlus sunnah,
dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami
kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Perang
Salib
Perang salib
merupakan sebab dari eksternal ummat Islam. Pernag salib yang terjadi beberapa
gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian Bani Abbasiyah
terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan
kelemahan-kelemahan.
5. Serangan Bangsa
Mongol
Serangan tentara
mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi
serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuasaan
Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.
E.
Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah
Akhir dari
kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay
Khan yang berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan
yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina
kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pada mulanya
Hulagu Khan mengirim suatu tawaran kepada Khalifah Bani Abbasiyah
yang terakhir Al-Mu'tashim billah untuk bekerja sama menghancurkan gerakan
Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena itu
timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan september 1257 M,
Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan, dan mengadakan
penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah
untuk menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari
1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.
Pada waktu
penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah
dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya
membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota
Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak
ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sunagi Tigris sehingga
berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena
lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan–penjelasan yang
telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah
mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat
melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18
Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama
Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis
semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian
berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh
rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum
muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan
perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan
pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa
keemasan dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada masa
Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat
tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa
ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik
itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak
dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini
telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang
matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka
Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu
kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh
dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid
kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari
kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan
rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
B.
SARAN
Demikianlah isi dari makalah
kami, yang menurut kami telah kami susun
secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai
sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya.
Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa
“meskipun” berkisah mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi
perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai
perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai tetes darah dan keringat
mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar
dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk
melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar
dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali
lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi
menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang
kita peluk ini.
DAFTAR
PUSTAKA
- Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009
- Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang : IAIN-IB Press, 2001
- Dra. Hj. Ismail, Chadijah, sejarah pendidikan Islam, Padang : IAIN-IB Press, 1999
- Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009
- Dr. Yatim,Badri, M. A, Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993
- www.akhmadrowi.blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !