MAKALAH
Respon Negara-Negara Non Arab terhadap Perkembangan Peradaban Islam
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam
Dosen pengampu : Drs. H. Akhmad Rowi, MH
Disusun oleh:
Lisa Setiyo wati
C.1.4.11.0060
UNIVERSITAS SULTAN FATAH DEMAK
FAKULTAS AGAMA ISLAM
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Saat ini diperkirakan terdapat
antara 1.250 juta hingga 1,4 miliar umat Muslim yang
tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut sekitar 18% hidup di
negara-negara Arab, 20% di Afrika, 20%
di Asia Tenggara, 30%
di Asia Selatan yakni Pakistan, India danBangladesh. Populasi
Muslim terbesar dalam satu negara dapat dijumpai di Indonesia. Populasi
Muslim juga dapat ditemukan dalam jumlah yang signifikan di Republik Rakyat Cina, Amerika
Serikat, Eropa, Asia
Tengah, dan Rusia.
Pembaruan dalam Islam yang timbul
pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan,yakni membawa umat Islam pada
kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan Islam
dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Bab ini akan menguraikan
perkembangan Islam pada masa pembaruan. Pada masa itu, Islam mampu menjadi
pemimpin peradaban. Mungkinkah Islam mampukembali menjadi pemimpin
peradaban? Dalam bahasa Indonesia, untuk merujuk suatu kemajuan selalu
dipakai kata modern, modernisasi, atau modernisme. Masyarakat barat
menggunakan istilah modernisme tersebut untuk sesuatu yang mengandung arti
pikiran, aliran atau paradigma baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi.
TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui sejarah latar belakang
perkembangan islam atas respon negara non arab
RUMUSAN MASALAH
Respon negara non Arab tentang adanya peradaban islam
di Arab
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan Islam dengan Barat dalam
sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama
Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam
yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih
adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol
dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan
kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan
Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian
kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan
secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan
konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang
telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka
mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global
Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya
Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan lagi-lagi demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan lagi-lagi demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?
TesisHuntington
Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
Huntington mengajukan tesis dalam
kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,” katanya, “sumber utama konflik
dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya akan
memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan
tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik
global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan
mendominasi politik global.”
Secara lebih luas, Huntington
mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan yang dijadikannya
sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan
sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat
mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan
konflik paling keras dan paling lama. Kedua,
dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda
peradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah
mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal
yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang
kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan
“fundamentalisme”. Keempat, dominasi
peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa
menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Kelima, kesadaran
peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi
(Huntington, 2002:ix-x).
Dari premis-premis itu, sebelum
sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di atas secara otomatis akan
menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, Huntington
melakukan dua hal; pertama, memetakan muara kultural, kecenderungan dan dinamika
internal peradaban-peradaban, yaitu : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam,
Hindu, Slavik/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Premis di atas berimplikasi
pada semakin lebarnya perbedaan antar peradaban yang akan semakin menyulitkan
kompromi antar peradaban itu untuk sampai pada saling pengertian. Maka,
ujung-ujungnya akan terjadi benturan antar peradaban. Namun pertanyaan
kemudian, peradaban mana, vis a vis mana yang nantinya akan saling berbenturan?
Ia menjawab pertanyan ini pada langkah kedua, meramalkan bahwa potensi konflik
yang akan mendominasi dunia masa mendatang bukan diantara kedelapan peradaban
tersebut, tetapi antar Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik
paling besar terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius (ibid, x).
Sejak awal, teori “benturan
antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan cibiran,
daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang fantastis,
teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi
danpluralitas,toleransidankesetaraan.
Kelemahan
Tesis Huntington
Akbar S. Ahmed (1992), salah seorang
cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang tidak sepaham dengan
Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia
lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor
perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris
peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis
Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini,
negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan
yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa
dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat.
Kelemahan lain dalam tesis
Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut
tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di
masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam,Hindu, Slav/Ortodoks,
Amerika Latin, dan Afrika.
Huntington mencampuradukkan berbagai
hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik
(Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia
tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk
menguji tesis itu.
Selain itu, sama seperti apa yang
telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington ternyata tidak
menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin,
kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas
tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju
entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari
disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya
dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat
bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa
ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.
Benturan Antar Peradaban atau
Benturan Kepentingan?
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis. Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi.
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis. Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi.
Mereka membedakan antara tindakan-tindakan
kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit
jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T.
Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam
sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang (Fawaz, 2000:30).
Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri Malaysia Datuk
Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.
Tesis Huntington sebenarnya bagian
dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata
dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan
pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan
runtuhnya negara Uni Soviet.
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.
Bukti otentik adanya “faktor
kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik
dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara
Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi
terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi
para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon
kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu,
dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni
AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat
apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Cendekiawan terkemuka Muslim lain
yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri
(1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada Muhammad V
University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar
peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi
dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar
negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi
dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of
interensts)
Kepentingan global Barat
sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat.
Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang
paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan
hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang
diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk
berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa
menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara
berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat
jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar
menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi,
civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai
nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus
diikuti.
Respon Muslim : Dialog atau Melawan
Hegemoni. Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia
yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana
negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang
dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar
antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu
lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan
sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang
didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa
kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian
yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara
pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi
yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat
harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk
proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan
bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan
keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog
untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa
syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi
Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah
utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia.
Setelah cara dialog adalah model
utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat
(berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan
yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis
terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan
Barat. Sikap yang terlalu adaptatif - umat Islam Islam - terhadap yang datang
dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat
Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam
ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk
menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas,
dan civil society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry
Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk
melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi
terhadap manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di
negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang
diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai
sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi
(hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi
rakyat sangat luar biasa.
Memang patut untuk disayangkan sikap
beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka
telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan
syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan
adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena
syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional
atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk
Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan penting terkait dengan relasi Islam dan Barat yang
membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama,
basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik
(kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa dominasi Barat atas dunia
non-Barat, yang termasuk di dalamnya dunia Islam adalah dalam rangka
mengamankan kepentingan ekonomi dan politik global Barat. Ketiga,
dominasi itu dilaksanakan oleh Barat melalui cara yang paling halus sampai yang
paling kasar, bahkan berdarah-darah (perang fisik).
Cara halus Barat adalah melalui
rezim pengetahuan yang terus-menerus diinjeksikan ke dalam dunia intektual
Islam, sehingga pengetahuan lain tidak (boleh) berkembang. Ketiga, Cara untuk
melawan hegemoni Barat adalah dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk
dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang
dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://nadirkiki.blogspot.com/p/hegemoni-barat-dan-respon-islam-oleh.html
Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicamen and Promise, London : Routledge, 2002
Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicamen and Promise, London : Routledge, 2002
Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam
Politik : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, Jakarta : Alvabet,
2002
James Petras dan Henry Veltmeyer,
Imperalisme Abad 21, penj. Agung Prihantoro, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002
Mohammad Abed al-Jabiri, Islam,
Modernism and the West, dalam Mun’in A Sirri, “Membangun Dialog Peradaban :
Dari Huntington ke Ibn Rusyd”, Kompas 22 Januari 2002
Samuel Huntington, Benturan
Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , penj, M. Sadat Ismail, Yogyakarta
: Penerbit Qalam, 2002, cet V
http://akhmadrowi.blogspot.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !