Home »
Filsafat Islam
,
Unisfat
» Mistik Filosof, Hakiki & Misteri Dalam Islam (Imam Taufiq FAI Unisfat Demak)
Mistik Filosof, Hakiki & Misteri Dalam Islam (Imam Taufiq FAI Unisfat Demak)
Written By Unknown on Sabtu, 16 November 2013 | 21.33
MISTIK FILOSOF
HAKIKI DAN MISTERI DALAM ISLAM
Makalah
Diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah FILSAFAT ISLAM
Dosen Pengampu : Drs. H. AKHMAD ROWI, M.H
Oleh :
IMAM TAUFIQ
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATTAH
( UNISFAT )
DEMAK
BAB I
PENDAHULUAN
Apa sebenarnya definisi makna pengertian ‘hakikat’ dan apa sebenarnya konsep ‘ilmu hakikat ‘ (?) …. baik filsafat - sains apalagi tentu agama (Ilahiah) tentu saja semua membicarakannya, apa sebab,… sebab semua institusi itu memerlukan instrument - konsep untuk menerangkan sesuatu yang bersifat mendasar dan tetap - tak berubah serta menerangkan hal yang sebenarnya-sesungguhnya,sebagai lawanan dari sesuatu yang bersifat ‘permukaan,berubah ubah-relatif’ serta bukan hal yang sesungguhnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Sehingga makna - pengertian ‘hakiki’ itu sebenarnya berasal dari pemahaman manusia akan adanya ‘hakikat’(hal yang sesungguhnya) dari segala suatu,dimana pengertian ‘hakiki’ itu diparalelkan dengan segala suatu yang bersifat mendasar-sesungguhnya-tetap dan tak berubah,sebagi contoh : ‘kebenaran hakiki’ artinya kebenaran yang bersifat mendasar-tetap-tak berubah sehingga juga diparalelkan dengan ‘kebenaran yang sebenarnya’ sebagai lawanan dari ada banyak nya ‘kebenaran palsu’ (dianggap benar padahal tidak),lawanan dari suatu yang tidak hakiki karena sifatnya yang temporer-berubah ubah dari waktu ke waktu serta berubah oleh berbagai situasi dan keadaan,’kebahagiaan hakiki’ artinya diparalelkan dengan kebahagiaan yang sebenarnya-sejati yang dilawankan dengan ‘kebahagiaan palsu-semu’,demikian pula dengan adanya berbagai bentuk kesejatian lain seperti ‘keindahan sejati’-‘cinta sejati’ dlsb.adanya istilah ‘sejati’ itu menunjukkan adanya ‘yang tidak sejati-yang bukan sebenarnya-yang bukan sesungguhnya-yang bersifat permukaan-bersifat relatif dan temporer’,nah ‘ilmu hakikat’ adalah jalan menuju kearah pemahaman terhadap ‘yang sejati-yang sesungguhnya-yang tetap-yang tak berubah’
Dalam dunia filsafat bahasan masalah ‘hakikat’ masuk kedalam ranah ontologis,tetapi dalam dunia filsafat pemahaman tentang ‘hakikat’ tentu saja dibatasi pengertiannya sebatas pemahaman terhadap ‘segala suatu yang bersifat mendasar’ artinya filsafat tidak menyandarkan pengertian ‘hakikat’ dengan hal hal yang bersifat Ilahiah
Sedang dalam agama (Ilahiah) pengertian’ hakikat’ tentu saja disandarkan pada Tuhan sebagai dzat yang menjadi asal muasal dari segala sesuatu yang ada dan terjadi,sehingga bila manusia ingin mengetahui hakikat atau asal muasal yang terdalam dari segala suatu yang ada dan terjadi maka manusia harus menelusurinya kedalam dunia Ilahi (mengenal Tuhan untuk memahami landasan dasar dari adanya segala suatu)
Dalam dunia filsafat penelusuran masalah ‘hakikat’ itu berujung pada pertanyaan pertanyaan mendasar seperti : apa hakikat hidup … apa hakikat manusia … apa hakikat kenyataan (?) dlsb.sedang dalam agama Ilahi penelusuran masalah ‘hakikat’ atau asal muasal yang terdalam dari segala suatu yang ada dan terjadi berujung pada pernyataan pernyataan Tuhan sendiri,sehingga pernyataan Tuhan dalam agama selalu diparalelkan dengan ‘kebenaran yang bersifat hakiki’,misal pernyataan Tuhan tentang asal muasal manusia,pernyataan Tuhan tentang alam akhirat,pernyataan Tuhan tentang adanya makhluk gaib dlsb. Dan bersifat ‘hakiki’ disini artinya suatu pernyataan yang langsung dinyatakan oleh Tuhan adalah kebenaran yang sesungguhnya karena bukan hasil khayalan manusia - bukan teori - hasil pemikiran manusiawi.
Itulah perbedaan mendasar antara agama dengan filsafat dalam masalah ‘hakikat’ adalah ; dalam agama penelusuran masalah ‘hakikat’ selalu berujung pada pernyataan pernyataan Tuhan - pemahaman tentang kehendak Tuhan - pemahaman tentang konsep Tuhan sebagai landasan dasar-asal muasal dari segala suatu yang ada dan terjadi, sedang dalam dunia filsafat penelusuran masalah ‘hakikat’ selalu berujung pada berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawab sendiri oleh manusia karena tentu saja pada dasarnya manusia tidak tahu hakikat dari segala suatu yang ada dan terjadi karena manusia bukan sang pencipta kehidupan,manusia hanya menangkap apa yang ada dan terjadi tentu saja sebatas yang manusia bisa menangkapnya tetapi manusia tidak tahu hakikatnya atau asal muasal terdalam nya sehingga hanya Tuhan yang bisa memberitahukannya secara langsung melalui pernyataanNya
Sedang dalam dunia sains pengertian ‘hakikat’ tentu saja akan menjadi lebih terbatas lagi yaitu sebatas yang manusia bisa menangkapnya secara empiris dengan kekuatan panca indera serta bantuan peralatan sains,artinya sains tak akan menelusur masalah hakikat hingga ke dunia gaib-hingga ke wilayah Ilahiah karena metodologi sains tentu saja terbatas hanya untuk menelusur dunia lahiriah-material yang bisa tertangkap - terverifikasi oleh pengalaman dunia panca indera manusia
Sehingga sains mengenal hakikat materi-cahaya-energi-ruang-waktu dlsb. tentu saja di sebatas pada hal hal yang dunia indera masih bisa menangkap dan mengukurnya
Apakah filsafat-sains telah memadai dalam arti memiliki peralatan ilmiah yang sempurna untuk mengungkap rahasia ilmu hakikat (?) .. kelemahannya tentu terletak pada ketidak mampuan mengungkap rahasia yang abstrak-gaib dibalik yang lahiriah,padahal pengungkapan rahasia ilmu hakikat dalam dunia agama secara prinsipil sebenarnya untuk mengungkap rahasia adanya sesuatu yang bersifat abstrak-gaib-yang tak nampak mata dibalik segala suatu yang bersifat lahiriah-nampak mata,untuk mengungkap rahasia adanya sesuatu yang bersifat personal dari Ilahi dibalik segala suatu yang ada dan terjadi
Dengan kata lain, hakikat berbicara tentang yang gaib dibalik yang lahir atau tafsiran abstrak terhadap segala suatu yang ada dan terjadi khususnya yang tertangkap secara lahiriah oleh pengalaman dunia indera manusia
HAKIKAT BERSIFAT MENYATUKAN
Bila tafsiran manusia atas hal hal yang bersifat lahiriah yang ditangkapnya itu berwarna warni-beraneka ragam sehingga melahirkan banyak kepercayaan - ideologi yang berbeda beda dan dalam dunia filsafat melahirkan mazhab pemikiran yang berbeda beda maka dalam agama pengungkapan rahasia ilmu hakikat itu bersifat menyatukan beragam persepsi - pemahaman manusiawi yang berbeda beda, bahwa sanya segala suatu yang ada dan terjadi dalam kenyataan itu hakikatnya berasal dari kehendak serta desain Tuhan yang satuSehingga karena bersifat menyatukan maka dalam ranah ilmu hakikat, realitas serta kebenaran itu difahami sebagai hanya satu yaitu realitas yang tercipta oleh Tuhan yang satu dan kebenaran (hakiki) yang adanya pada Tuhan yang satu (hakikat kebenaran hanya satu tidak dua atau lebih karena berasal dari desain satu Tuhan)
Dalam kacamata ilmu hakikat tidak ada itu kebenaran yang banyak atau ‘tuhan’ yang banyak atau agama yang banyak sebab karena menggunakan kacamata yang bersifat menyatukan maka kebenaran akan difahami sebagai sesuatu yang satu yang berasal dari Tuhan yang satu dan jalan menuju kepadaNya pun hakikatnya sebenarnya hanya satu,sehingga bila ada dua atau lebih jalan yang dianggap menuju Tuhan yang satu sama lain saling berlawanan konsep maka yang satu harus difahami sebagi benar dan yang lain sebagai salah
Dengan kata lain tidak ada dua hakikat yang satu sama lain saling berlawanan untuk realitas - kehidupan yang satu ini artinya hanya ada satu hakikat atas realitas - kehidupan itu karena hanya ada satu Tuhan yang menciptakannya,tidak ada banyak tuhan yang menciptakan banyak hakikat sebab itu hakikat itu hanya satu sehingga kebenaran hakiki-kebenaran yang sesungguhnya itu hanya satu
Masalah ‘hakikat’ yang bersifat memuarakan serta menyatukan pada Tuhan yang satu (bukan pada tuhan yang banyak) hal ini ditegaskan dalam kitab suci Al Qur’an : ‘inna lillahi wa inna ilahi roji’un’ yang pengertiannya : segala suatu yang ada dan terjadi (yang berwarna warni itu) termasuk beragam problem keilmuan-kebenaran yang dilahirkannya itu sebenarnya berasal dari Tuhan dan rahasia penyelesaian atau jawaban akhir (dari beragam problem keilmuan itu) sebenarnya ada pada Tuhan sehingga kehidupan beserta beragam problem didalamnya menjadi seperti hasil desain ilmu Ilahiah’ (makna nya : ‘ter desain’-ter program-tertencana’)
Bila saat ini kita melihat ada berbagai bentuk ‘kebenaran’ (tanda kutip-belum tentu benar) yang berbeda beda yang dinyatakan oleh golongan yang berbeda beda yang bila diselidiki ternyata satu sama lain bisa berbeda bahkan bisa saling berlawanan satu sama lain maka saat itu kita harus menggunakan kacamata ilmu hakikat untuk mencari rahasia mana yang satu yang benar - yang sejati
idalam batin kita ternyata ada khasanah yang agung melebihi kebesaran Jagad Semesta. Kita bisa melihatnya, bukan dengan mata kepala, tetapi dengan matahati kita. Apa yang tampak dalam wujud fisik kita hanyalah lambang belaka dari hakikat yang ada didalam dada.
Jika saja ada anatomi batin, tentu saja ada penglihatan, rasa dan pendengaran batin, bahkan ada Ibadah-ibadah yang mesti dilakukan oleh batin kita, sebagaimana keharusan yang dilakukan oleh gerak-gerik fisik kita.
Kalau kita merasa bersedih, dimanakah tempat bersedih? Kalau kita bergembira, dimanakah tempat kegembiraan itu? Kalau kita sedang mencintai, dimanakah tempatnya cinta? Kalau kita sedang rindu dimanakah rindu itu sesungguhnya? Kalau kita sedang menikmati, dimanakah wilayah nikmat dalam batin kita?
Allah memiliki Sebuah Nama yang disebut dengan Al-Baathin (Yang Maha Batin), lalu apa hubungannya dengan nuansa batiniyah dan lahiriyah kita? Bagaimana batin kita bisa merasakah gelap dan terang?
Ada apa dengan batin kita? Tiba-tiba kita menanyakan sesuatu yang selalu hadir, tetapi terasa misterius, dan sehari-hari, terkadang kita biarkan mengalir dengan sendirinya, tanpa kita berhasrat untuk mengusik lebih jauh. Tetapi siapa yang bisa membendung kerinduan batin itu sendiri untuk hadir dalam penyaksian jiwa kita, dan mengenal Sang Penggerak Batin, Yang Maha Al-Bathin, Allah Ta’ala?
Ketika waktu menembus tengah malam, kita seperti sedang mengembara di jagad semesta. Di balik jubah hitam yang menyelimuti semesta itu, tanpa terasa kita telah menggapai satu bintang ke bintang lainnya. Tetapi kita tidak pernah menjenguk diri kita, apa dan siapa yang tadi mengembara ke cakrawala malam itu? Mengapa sebegitu mudah, seakan-akan seluruh cakrawala itu ada di genggaman kita? Apakah seluruh benda-benda di langit, di bumi dan bahkan makhluk-makhluk Allah di langit itu memiliki hubungan erat dengan diri kita?
Mari kita ketuk pintu batin kita, untuk sekadar membuka hakikat-hakikat dibalik misteri perjalanan hidup kita, lalu kita teguhkan keyakinan-keyakinan kita, yang selama ini naik turun diantara lembah-lembah ngarai, puncak-puncak bukit dan jurang-jurang kehidupan. Lalu muncul adalah perasaan suka dan duka, sedih dan bahagia, bahkan keharuan-keharuan yang tak terhingga, bahkan berlanjut dengan sejuta pertanyaan yang memburu kita. Kita mulai memasuki fakta dan hakikat sesungguhnya, kebenaran-kebenaran yang tidak hanya kita pandang dari sudut dan bilik-bilik pemikiran kita, tetapi sudah mulai menampkkan bayang-bayang, sampai pada titik tertentu, adalah gambaran sesungguhnya tentang kita, diri kita, hakikat kita.
Dalam ruang dalam di dada kita (limaa fish shuduur) ternyata ada kehidupan yang sesungguhnya. Di ruang tengah ada jantung , yang terletak di sisi dada kiri kita, dan itulah yang disebut Qalbu. Dunia Qalbu adalah sentra dari seluruh aktivitas batin kita, yang secara organik termekanis oleh gerak gerik batin kita. Dan Qalbu lah yang memutuskan untuk menerima atau menolak. Al-Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazaly secara cemerlang membedah anatomi batin kita dalam kitabnya Al-Ihya’, dengan uraian yang begitu sistematis, menggambarkan organisasi batin ini. Sebab jauh-jauh Rasulullah Saw, telah mengisyaratkan adanya “segumpal darah” yang sangat menentukan kebaikan dan keburukan kita. Al-Ghazali membagi sudut utama batin menjadi Qalbu, Ruh, Nafsu dan Akal. Sementara Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Araby, membuat klasifikasi, dengan, Al-Fikr, Al-‘Aql, Al-Fu’ad dan Al-Lubb.
Qalbu itulah yang dikatakan sebagai Hakikat Manusia. Hakikat yang terus menerus bergerak mengatur organisme ruhaninya. Dan karenanya, Qalbu disebut sebagai Lathifah Rabbaniyah, yang mengenal dimensi Ketuhanan, sebab Allah berada diantara person dan qalbunya.
Qalbu yang sesungguhnya bermakna berbolak balik, karena fungsi qalbu itu sendiri yang senantiasa menjadi fokus tarik menarik antara Ruh dan Nafsu kita. Ruh yang terus menerus menghembuskan nafas kebajikan menuju kepada Allah, sementara Nafsu mencemarkan dengan udara kotor yang menyeret Qalbu agar berbuat jahat, buruk dan destruktif, melalui kebinatangan nafsu dan kebuasannya. Di sela-sela tarik-menarik itulah syetan memasuki ruang dalam bilik-bilik peredaran darah yang mengaliri seluruh diri kita.
Qalbu itulah yang kelak disebut sebagai Arasy, atau cermin dari Arasy Ilahi. Dan sebab itu, dalam Hadits Nabi Saw, dikatakan, “Qalbu seorang Mukmin adalah Arasy Allah.” Istana Ilahi yang ada dalam diri kita. Jika dada spiritual kita disebut Al-Kursi, maka Qalbu adalah Arasy nya. Seluruh wilayah di dalam dada akan diorganisir menurut perintah Qalbu. Qalbu yang dipenuh cahaya CintaNya, sehingga sang hamba memenuhi ruang qalbu dengan mencintaiNya, adalah Qalbu para Auliya’Nya.
Sejumlah metafor Qalbu dibangun oleh Al-Ghazali. Qalbu ibarat cermin. Gambar yang memantul dalam cermin itu adalah ilmu-ilmu hakikat. Dan dalam cermin itu sebuah kebenaran diterima dalam mosaik cermin Qalbu. Penerimaan kebenaran oleh hati, bisa melalui informasi yang diterima, atau melalui kenyataan yang diyakini, atau bahkan kenyataan atau fakta yang yang disaksikan dengan jelas, khususnya oleh kaum Shiddiqin dan Auliya’.
Tetapi mosaik ini akan buram dan menghalangi cahaya kebenaran yang memantul dalam hati kita, lewat sejumlah penghalang: Gambar yang memantul dalam cermin itu rusak; atau cermin itu buruk dan ternoda; atau cermin itu berlainan arah; atau cermin itu tertutupi oleh hijab tertentu, dan tentu saja rupa dalam cermin akan tidak tampak manakala yang memandang memang bodoh tentang pengetahuan rupa dan cermin itu sendiri.
Bila hakikat manusia adalah Qalbu, lalu apakah hakikat Qalbu itu? Hakikat Qalbu adalah nuansa batinnya qalbu. Qalbu ini menjadi wilayah dari batinnya sendiri, yang disebut sebagai Ruh. Dalam anatomi fisik, ruh biasa disebut dengan nyawa yang bertempat dalam titik hitam di tengah jantung. Tetapi secara hakiki, Ruh adalah Kelembutan Rabbaniyah yang menggerakkan Qalbu Ruhani. Maka di dalam Ruh itu ada Amar yang mengatur gerak-gerik Ruh dari Allah Ta’ala. Karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan, “Katakanlah bahwa Ruh itu adalah Amar Tuhanku.” (Al-Isra’: 85), dan pada ayat lain dijelaskan, “Ruh dipertemukan dari AmarNya pada orang yang dikehendaki dari para hambaNya pada hari pertemuan.” (Ghaafir: 15), atau ayat, “Mereka yang telah dicatat di hati mereka, keimanan, dan dikokohkan dengan ruh dari Allah.” (Al-Mujaadilah: 22)
Mereka yang berada dalam wilayah Ruhiyah adalah para Muqarrabun, karena penguasaan Ruh Ilahiyah yang melimpah begitu kuat dalam dirinya. Para Muqarrabun yang jumlahnya sedikit di dunia ini, adalah mereka yang disebut dalam Al-Qur’an, “Dan tidak Kami beritahu tentang (ruh) kecuali sedikit.” Para Auliya Allah, ruh mereka senantiasa terfokus pada musyahadah (penyaksian) Kemahaagungan Allah dimana-mana, dan kapan saja. Ruh mereka berada dalam alam Malakut-Nya, yang terus menerus menyucikan Allah. Itulah nuansa kaum Muqarrabun.
Jika Ruh posisinya di atas Qalbu, maka Nafsu berada di bawah Qalbu. Pada dasarnya, Nafsu merupakan refleksi dari seluruh keadaan dunia dalam kita, termasuk di sana Qalbu dan ruh, akal dan fikiran. Tetapi, yang demikian itu bermakna Nafsu sebagai Nafs yang berarti jiwa. Namun secara khusus, Nafsu memiliki bilik-bilik transformatif di dalam jiwa itu sendiri, yang kelak terbagi-bagi dalam kamar-kamar jiwa kita.
Paling rendah adalah Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang senantiasa memerintahkan kita untuk berbuat jahat, yang kelak melahirkan sifat-sifat tercela (al-Madzmumat) disebabkan oleh dorongan sifat nafsu ini yang mengarah pada syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya. Jika nafsu ini mendapatkan Rahmat Allah, ia akan selamat. Dari nafsu Ammarah naik ke Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang pasif, antara kebaikan dan keburukan, dan terombang ambing di sana. Seseorang terkadang menuruti syahwat dan keburukan lainnya, kadang ia terdorong untuk bertobat dan kebaikan.
Lalu naik ke tahap Nafsu Muthmainnah, yaitu Nafsu yang tenteram. Nafsul Muthmainnah adalah kondisi dimana seseorang berada dalam ketenangan bersama Allah, dari dan kepada Allah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang “kembali kepada Allah” (an-Nafs al-Murji’ah). Dan yang bisa kembali kepada Allah hanyalah orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah.
Jiwa atau Nafs yang bisa kembali kepada Allah-lah yang bisa tenteram, dan ketentraman jiwa inilah yang menghantar pada kerinduan hamba untuk meraih Ridha Allah. Maka di gerbang Nafsu berikutnya adalah Nafsu Raadhiyyah . Nafsu Raadhiyah adalah kondisi Nafsu yang melampaui Muthmainnah. Karena itu, pada situasi Raadhiyyah, seseorang sudah tidak memikirkan lagi syurga dan neraka. Yang ada hanyalah kerinduan pada Ridha Allah Ta’ala.
Akhir dari Radhiyah adalah Nafsu Mardhiyyah. Seorang hamba telah menjadi Ridha itu sendiri dalam kontemplasi ruhaniyahnya. Karena ia tidak lagi berupaya meraih RidhaNya, sebab Ridha telah menjadi nama, sifat dan perilakunya.
Dari Mardhiyyah naik menjadi Nafs Mulhimah, yaitu Nafsu yang dilimpahi Ilham Allah, yang kelak berada dalam Nafsu Kaasyifah. Nafsu yang berada dalam ketercerahan Rahasia-rahasia Batin (Al-Asraar), yang menjadi gerbang dari Nafs ‘Arifah (yang terus menerus ma’rifat kepada Allah. Dan puncaknya adalah Nafs Kamilah, nafsu yang peripurna dalam tranformasi ruhani seorang hamba yang mendapat predikat Insan Kaamil.
Jika Nafsu (syahwat dan ghadab), Ammarah, itu melahirkan sifat-sifat Madzmumat (tercela), seperti Kufur, Syirik, Iri, Dengki, Takabbur, Riya’, Mencintai Dunia, Ta’jub pada diri (keakuan), Merasa paling bisa dan hebat, Menuruti Syahwat, Ghibah (menggunjing), Ambisius, Serakah, Dzalim, Nifaq, Fasiq, dan seluruh sifat tercela yang bisa menghancurkan diri sendiri, justru sebaliknya jika Allah melimpahkan rahmat pada Nafs, maka akan mengalami transformasi menuju kesempurnaan nafsu itu sendiri, dengan sejumlah predikat Akhlak al-Mahmudah (terpuji), seperti kehambaan, ketaubatan, kezuhudan, kewara’an’ kesyukuran, keridhaan, ketawakkalan, qanaah, dan sampai tahap-tahab Mahabbah dan Ma’rifah.
Nafsu yang bisa terasah dalam kecermelangan, pada mulanya bisa berada dalam ketenteramannya dan seterusnya. Tetapi ketika didominasi oleh Ammarah dan Lawwamah, akan semakin terjerembab oleh lumpurnya sendiri.
Namun perlu diingat dalam Nafsu manusia ada empat dimensi buruk: 1) Sifat-sifat keganasan atau kebuasan yang melhirkan emosi marah. 2) Sifat-sifat hewaniyah yang berperilaku bak binatang. Kedua sifat diatas akan melahirkan rasa senang terhadap kejahatan, kemenangan, pemaksaan, rekayasa buruk dan pengkhianatan. Dari sinilah melahirkan sifat yang ke 3) Sifat-sifat Syaithaniyah. Dan ke 4) Sifat-sifat Rabbaniyah, yaitu sifat yang berambisi ingin menyamai Tuhan, ingin dipuja, ingin disembah, ingin dicatat nama kebesarannya.
Dimensi batin lain yang tak kalah pentingnya adalah Akal. Dalam hadits Nabi disebutkan, “Awal mula yang diciptakan oleh Allah adalah Akal. “ Hadits lain menyebutkan, “Qalam”, dan hadits lain lagi menyebutkan “An-Nuur”. Ketiganya, Akal, Qalam dan Nur, sesungguhnya satu wilayah dengan istilah berbeda. Fungsi akal adalah melihat yang benar dan yang salah, yang kelak akan diputuskan oleh Qalbu apakah yang benar itu diterima dan yang salah itu ditolak, adalah tergantung keputusan Qalbu.
Kedudukan Akal di sisi Qalbu, ibarat kedudukan raja dengan perdana menterinya. Sedangkan badan kasar kita adalah wilayah kekuasaannya.
Akal manusia hanya bisa melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, tetapi akal tidak bisa memutuskan suatu keyakinan. Karena keyakinan itu wilayahnya Qalbu. Oleh sebab itu sehebat apa pun akal manusia, maka akal manusia tidak bisa menyerap dimensi spiritual yang hakiki. Ia sebatas berada dalam paradigma filsafatan saja. Maka bila akal ditanya, “Wahai akal, apakah sesungguhnya induk dari pengetahuan anda ini?” Ia akan menjawab, “Induk Ilmu pengetahuan adalah filsafat.” Lalu ditanya apakah induk filsafat itu? Akal tak mampu menjawabnya. Qalbu lah yang mampu menjawabnya. “Induk filsafat adalah Ahli Dzikir.”
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
pengertian ‘hakiki’ itu sebenarnya berasal dari pemahaman manusia akan adanya ‘hakikat’(hal yang sesungguhnya) dari segala suatu,dimana pengertian ‘hakiki’ itu diparalelkan dengan segala suatu yang bersifat mendasar-sesungguhnya-tetap dan tak berubah,sebagi contoh : ‘kebenaran hakiki’ artinya kebenaran yang bersifat mendasar-tetap-tak berubah sehingga juga diparalelkan dengan ‘kebenaran yang sebenarnya’ sebagai lawanan dari ada banyak nya ‘kebenaran palsu’ (dianggap benar padahal tidak).
Dalam organisme Batin kita kelak akan berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan ruhaniyah dalam pantulan dengan Cahaya Allah (An-Nuur). Maka lembaga batin inilah yang bisa memandang hubungan-hubungan organisma antara kekayaan batinnya dengan Iradah dan Qudrat Allah Ta’ala, termasuk dalam merespon Akhlaq-Akhlaq Allah dalam kefanaan hambaNya, dan kebaqaan-Nya.
Label:
Filsafat Islam,
Unisfat
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !